Sagara mengendikan bahunya. “Mau lamar Suster Indah, mungkin. Dua bulan lagi wisuda. Mau langsung lamar Suster Indah, katanya.”Dokter Aris tersenyum tipis. Raut wajahnya terlihat seperti bingung. Namun, ia tak ingin memperlihatkan mimik wajah tersebut.“Baiklah. Mari, ke depan. Sembari menunggu kalian tebus obat, saya akan bicara dengan Pak Andra.”“Jangan Pak Andra, Dok. Andra aja. Bentar lagi jadi iparnya,” ucap Sagara kemudian menerbitkan senyumnya dengan lebar.Dokter Aris terkekeh dengan pelan. Kemudian menganggukkan kepalanya dan keluar bersamaan dengan Hanna dan Sagara.Sementara kedua insan itu menuju apotek. Dokter Aris menghampiri Andra yang tengah berdiri sembari memandang struktur organisasi yang ditempel di dinding.“Tadi, kata Sagara … saya tidak perlu memakai kata ‘Pak’ untuk memanggil kamu,” kata Dokter Aris kepada Andra.Pria itu mengulas senyumnya. “Iya, Dok. Lagi pula, saya masih muda. Malah, tuaan Dokter Aris.”Dokter Aris lantas terkekeh. “Ada apa, Andra? Katanya
Sementara Hanna dan Andra tengah berdiri di dekat meja konsol. Di mana terdapat foto Satya yang masih disimpan di sana.“Lagi liatin apaan?” tanya Sagara menghampiri kedua orang tersebut.Hanna menolehkan wajahny kepada Sagara. “Kamu, nggak mau bawa foto-foto keluarga kamu? Di rumah kita, nggak ada foto-foto mama dan papa kamu.”Sagara menerbitkan senyumnya. “Kita bawa setelah aku beli rumah baru untuk kita.”Hanna manggut-manggut. “Udah selesai? Baju Mama, udah dibawa semua?”Sagara menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Kita pulang aja, yuk! Dari tadi kulit aku merinding terus. Rumah segede gini, nggak ada yang isi. Jadi sarang hantu.”Sagara menarik tangan Hanna lantaran kulitnya terus bergidik.“Kamu gimana sih. Di rumah sendiri kok takut,” kata Hanna setelah tiba di luar.“Sagara, Sagara! Wartawan datang lagi. Haiiss! Cepet bener, mereka dapat infonya. Sialan!” Andra, Sagara dan Hanna lantas segera masuk ke dalam mobil dan menancapkan gas dengan laju yang sangat tinggi.“Sagara.
Sementara di dalam kamar.Hanna dan Sagara tengah duduk di sofa. Tengah membuka laptop yang sudah lama tidak pernah ia hidupkan. Beruntung, laptop itu masih menyala dan masih bisa digunakan.“Banyak tugas kuliah yang aku simpan di sini. Setelah kamu melahirkan, aku akan kembali ke kampus. Hanya sampai S-2 saja. Nggak akan lanjut S-3. Mau fokus ke kantor dan keluarga aja. Kalau sambil kuliah juga, yang ada nggak bisa fokus ke yang lainnya,” kata Sagara sembari menatap Hanna dengan lembut.Perempuan itu menerbitkan senyumnya. “Terserah kamu saja, Sagara. Apa yang akan kamu lakukan, selama itu baik menurut kamu, silakan dilakukan.”Sagara mengusapi pucuk rambut istrinya itu. “Bonekanya, nggak mau kamu peluk? Dulu, rela terjun demi mengambil boneka itu. Kenapa sekarang hanya diliatin aja?”Hanna menghela napasnya dengan panjang. Matanya kemudian menatap boneka yang disimpan di atas meja di depannya.“Aku masih nggak nyangka, Sagara. Kamu bisa mengambil boneka ini dan mencari keberadaan ak
Sarapan pagi bersama dengan sang kakek, Untuk pertam kalinya setelah ia menyandang status sebagai seorang suami dari Hanna—perempuan yang begitu sangat ia cintai.Sagara terkejut kala melihat sang istri tengah berdiri di ambang pintu. “Sayang! Kamu lagi ngapain berdiri di sini?”Hanna menerbitkan cengiran kepada suaminya itu. “Lagi dengerin kamu ngobrol sama kakek kamu. Kok aku nggak tau, kalau kamu mau adain resepsi lagi? Kenapa aku nggak dikasih tau?”Sagara menghela napasnya dengan panjang. “Jangan salah paham dulu, okay. Aku nggak kasih tau kamu karena mau kasih kejutan buat kamu. Karena kamu udah tau, akhirnya aku kasih tau dari sekarang aja. Iya. Aku akan mengabulkan keinginan kamu yang pernah kamu inginkan saat itu.“Menjadi seorang ratu dalam satu hari. Aku akan mengabulkannya setelah melahirkan. Karena anak kita laki-laki, dia akan menjadi prince di sebuah panggung pelamin, menemani mama dan papanya yang sedang menjadi raja dan ratu dalam sehari. Pokoknya nggak bakalan kamu l
Ruki menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Kalau Kakek tau, mama kamu sudah Kakek masukkan ke dalam penjara, Sagara. Tapi, Tuhan sudah menghukumnya. Dia dibuat gila dan itu cukup membuat Kakek puas.” Ruki tersenyum miring.Sementara Sagara menghela napasnya dengan pelan. “Terlalu banyak kesengsaraan yang aku alami setelah kejadian Papa meninggal, kemudian perusahaan diambil alih Damar, aku diusir dan Hanna mau menampung hidup aku. Dan Kakek hanya diam memandang permainan yang sedang Tuhan mainkan dalam hidup aku.”“Maaf, cucuku. Semuanya sudah terjadi. Maafkan Kakek yang tidak bisa banyak membantu kamu kala itu. Kakek hanya tidak ingin kelemahan kamu menjadi senjata bagi mereka untuk menurunkan reputasi kamu.”Sagara mengerutkan keningnya. “Maksud Kakek apa?” tanyanya lantaran penasaran.Ruki menghela napasnya dengan panjang. “Para wartawan di Indonesia masih mencari keberadaan kamu. Mereka tau, kamu sudah menikah. Bahkan mereka pun tau kalau Hanna sedang hamil. Apa yang akan mereka
Sagara menghela napas kasar. Kemudian menatap Hanna dengan lekat. “Jangan sampai ketemu sama cewek gila kayak dia, yaa. Aku juga nggak akan mau ketemu sama dia. Ogah banget. Tapi, kalau dia berani menjebakku, jangan harap masih bisa keliling mall tiap hari.”David lantas terkekeh mendengar ucapan Sagara. Kemudian pamit kembalikarena hendak istirahat. Pun dengan ketiga orang itu. Berlama-lama berada di balko. Mengingat Hanna yang memiliki alergi dingin.**Waktu sudah menunjuk angka sembilan pagi. Di bank Eropa. Sagara dan David sudah didaftarkan menjadi tamu VIP sehingga langsung bisa bertemu dengan direktur bank tersebut.(Berbicara dalam bahasa Italia)“Uang yang disimpan sebesar empat ratus juta dollar Amerika, akan diambil oleh sang pemilik hari ini, Mr. Albert,” kata David kepada Albert—direktur bank tersebut.Kemudian David memberikan berkas-berkas yang harus disiapkan guna mempermudah proses transak
Sarapan sudah selesai. Sagara tengah membujuk Hanna untuk ikut ke kantor untuk dikenalkan kepada seluruh pegawai bahwa inilah istri Sagara.“Nggak! Aku tetap nggak mau walau kamu memaksa aku dengan cara apa pun,” kata Hanna yang tetap bersikeras tak ingin ikut dengan suaminya itu. “Aku nggak bisa ngomong bohong kalau di depan umum, Sagara.”“Ada benernya juga itu si Hanna, Sagara. Dah! Jangan memancing keributan. Yuk! Orang-orang udah nungguin di kantor. Pak David udah ada di sana. Suruh lewat belakang. Di depan banyak wartawan udah nyampe.”Sagara menghela napasnya dengan pelan. “Ya udah. Aku sama Andra berangkat dulu. Kamu, jangan ke mana-mana. Tetap di sini dan jangan sampai keluar rumah hanya seorang diri.”Hanna mengangguk. Kemudian menyalim tangan sang suami. “Hati-hati di jalan.”Kedua pria itu lantas beranjak pergi menuju gedung Anumerta Coorporation. Di mana Sagara akan memulai me
Semua orang yang ada di sana jelas menggelengkan kepalanya dengan cepat.“Kami selalu mengeluh dengan aturan yang dibuat oleh Pak Damar, Pak. Tidak ada satu orang pun yang memihak dia. Mungkin hanya Direktur Umum dan juga sekretarisnya yang sudah dipecat oleh Pak Ardi,” kata Aiman—Manager Marketing.Sagara manggut-manggut. “Baiklah kalau begitu. Saya ingin mengumumkan hal yang sangat penting. Pak Yuda … akan menggantikan posisi teman si Damar itu menjadi Direktur Umum. Sedangkan General Manager yang baru adalah Andra. Sahabat saya yang sudah menemani saya saat kehidupan saya sedang terpuruk.”Semua para manager menganggukkan kepalanya kemudian menerbitkan senyumnya kepada Andra.“Selamat bergabung di Anumerta, Pak Andra. Semoga betah di sini dan tentunya kita bisa kerja sama dengan baik,” kata Aiman lagi.Andra menerbitkan senyumnya dengan lebar. “Terima kasih, Pak.”Rapat antar ma
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu