Andra yang mendengarnya lantas menatap Sagara kembali. Namun, sesuatu di belakang Sagara membuatnya teralih pada benda tersebut.Andra menyingkirkan tubuh Sagara dengan mata menatap ke arah benda yang baru saja ia lihat. Sagara lantas menghampiri Andra dan menyingkirkan beberapa ordner yang menghalangi benda yang Andra lihat di lemari yang sudah tidak pernah dijamah oleh para staff di sana.“Kotak mungil, Sagara!” kata Andra kemudian mengambilnya.“Kayak kotak cincin. Yang belum nikah di sini, kayaknya nggak ada. Kalaupun ada yang baru, mana mungkin nyimpen kotak itu di lemari tua ini.”Andra mengendikan bahunya. “Kita buka aja dulu. Kalau cincinnya keliatan mahal, elo jual aja. Buat tambahan biaya hidup elo sama si Hanna.”Pria itu lantas memutar bola matanya dengan malas. “Sialan, lo!”“Just kidding, Bro. Jangan dibawa emosi.” Andra menerbitkan cengiran kepada sahabatnya itu. Kemudian membuka kotak tersebut.Baik Andra maupun Sagara mengerutkan keningnya. Bukan cincin yang mereka te
Hanna menghentikan acara mengoles selai ke dalam rotinya kemudian menatap Andra yang masih berdiri di sampingnya sembari memikirkan ucapannya tadi.“Seusuatu apa, Andra?” tanya Hana kembali.Andra menolehkan kepalanya kepada Hana. ‘Kayaknya Sagara belum ngasih tau tentang hal itu ke Hana. Atau mungkin orangnya bukan dia. Kalau bukan, bisa menciptakan keretakan rumah tangga, gue,’ ucapnya dalam hati.Sebab, tak mungkin ia ceritakan tentang sesuatu tersebut jika Sagara sendiri belum memberi tahu kepada Hana. Ia hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan sembari meneguk air minum kembali.“Lupa. Kejadiannya di lima belas tahun yang lalu. Nggak terlalu ingat dan samar-samar,” ucapnya kemudian.“Tentang apa?” tanya Hana lagi.Andra menghela napas pelan. “Kita pernah punya teman perempuan waktu itu. Tapi, orangnya udah nggak ada. Nggak tau ke mana, dia nggak kasih tau.”“Terus … hubungannya dengan aku, apa?” Hana semakin menyudutkan Andra agar mau bercerita.“Hanya mirip.” Andra menerbitkan
Sehingga membuat Sagara menolehkan kepalanya kepada Andra. Lampu lalu lintas berwarna merah. Sagara menghentikan mobilnya.“Kenapa lo bisa berpikir ke arah sana, Ndra?” tanyanya kemudian.Andra mengendikan bahunya. “Hanya menebak-nebak. Jalan, Sagara. Udah hijau.”Mobil itu kembali melaju. Tingkat penasarannya semakin tinggi tentang apa yang akan disampaikan oleh Suster Indah kepadanya. Ia ingin segera tiba. Ingin segera tahu, apa saja yang terjadi selama dua minggu itu.Tiba di rumah sakit jiwa.Sagara menggenggam tangan Hana dengan erat kemudian melangkahkan kakinya menuju ruang rawat sang mama. Diikuti oleh Andra di belakang mereka."It's okay, Sagara. Semuanya akan baik-baik saja. Mama kamu pasti baik-baik saja." Hana mencoba menguatkan sang suami.Sagara lantas menerbitkan senyumnya kepada Hana kemudian menganggukkan kepalanya dan kembali melangkahkan kakinya menuju ruang rawat mamanya."Pagi, Sus!" Sagara menyapa Suster Indah setelah tiba di ruang rawat Mayang."Pagi, Mas Sagara
Andra menjelaskan dengan panjang mengenai kasus pembunuhan yang terjadi pada Satya. Ia yang sudah curiga kepada Mayang, semakin yakin jika Mayang yang sudah membunuh Satya.Sementara Sagara menghela napasnya dengan panjang. Menatap sang mama dengan sangat lekat kemudian memegang kedua tangan perempuan itu."Bisa jadi Mama disuruh Damar, Ndra." Sagara masih mengira jika yang menaburkan racun ke dalam kue Satya adalah Damar."Sama aja, Sagara. Mau lo nuduh si Damar ataupun nyokap lo, sama aja. Mereka yang udah bunuh bokap lo. Mereka berdua. Nyokap lo pengen nikah sama di Damar. Dan si Damar ingin segera menguasai perusahaan lo. Otomatis orang dua itu yang udah bunuh bokap lo. Dah! Urusan yang racun bokap lo udah selesai. Tinggal cari tau di mana dokumen asli itu disembunyikan Om Satya."Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kemudian melepaskan tangannya yang tadi menggenggam tangan sang mama. Ia mengambil bunga mawar yang dibeli di jalan. Kemudian mengambil batu yang cukup besar yang a
Sehingga membuat Hanna geleng-geleng kepala sembari mengulas senyumnya. “Mau ke makam papa kamu, Sagara?” tanyanya kemudian.Sagara menatap jam yang melingkar di tangannya. “Baru jam dua belas. Ya udah. Kita ke makam Papa dulu. Habis itu kita cari tau tentang dokumen yang sudah aku dan Andra ambil.”Hanna menganggukkan kepalanya.Setelah hampir tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di sebuah tempat pemakaman umum. Di mana Satya dimakamkan di sana.“Assalamualaikum, Pa. Aku kembali. Bawa istri aku, Hanna. Dan Andra juga. Dia baru ketemu lagi setelah sekian lama nggak ketemu.” Sagara berbicara sembari menabur bunga di atas pusara sang papa.“Terakhir ke sini waktu mau menikah dengan kamu, Hanna. Meminta restu dan mendoakan Papa agar mendapat kebahagiaan di sana,” ucapnya kemudianHanna menganggukkan kepalanya sembari mengulas senyumnya. “Iya, Sagara.Terima kasih, sudah mengenalkan aku pada orang tua kamu.”Sagara mengusapi punggung istrinya itu. Sementara Andra menatap batu nisan yang
“Aku ingin ikut, Sagara. Aku akan mendampingi kamu sampai urusan ini selesai. Aku baik-baik aja kok. Kayaknya anak aku paham dengan situasi dan kondisi kita. Makanya aku nggak merasa lelah ataupun kacepek’an.” Hanna menerbitkan senyumnya, agar suaminya tahu jika dia baik-baik saja.“Beneran? Kalau capek, bilang, yaa. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa, Hanna. Karena taruhannya, kamu bisa diambil oleh papa kamu karena aku nggak bisa jaga kamu dengan baik.” Sagara menatap Hanna dengan lekat.Perempuan itu lantas mengulas senyumnya sembari menggenggam tangan sang suami. “Don’t worry. I will be fine. Lagi pula, kamu udah stok berbagai macam makanan di sini. Karena tau, aku suka makan.”Pria itu lantas terkekeh pelan. “Ya sudah kalau begitu. Maaf, yaa. Harus ikut andil dalam pencarian semua yang Papa rahasiakan dari aku. Aku nggak akan pernah melupakan kejadian ini, Hanna. Akan selalu mengingatnya. Bahkan, jika semuan
Hari Senin.Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Hanna dan Sagara tengah sarapan sebelum kembali pada aktivitas masing-masing. Hanna kembali ke boutique dan Sagara bekerja sebagai office boy di Lestari Coorporation.Namun, sebelum pergi ke kantor milik Krisna, Sagara akan menghampiri Damar di Anumerta Coorporation. Karena ingin memberi tahu pada semua para staff di sana jika dia masih hidup."Kamu belum memberi tahu aku, apa yang akan kamu lakukan di kantor kamu itu, Sagara," kata Hanna sembari membereskan gelas dan piring."Hanya ingin memberi tahu pada semua orang, kalau aku masih hidup. Akan memberi pelajaran juga ke si Damar kalau aku tidak bisa dibunuh dengan mudahnya.""Tapi, Sagara. Kalau Damar kembali incar kamu, bagaimana? Sedangkan dia ingin sekali kamu meninggal."Sagara menerbitkan senyumnya. "Kamu tenang saja, Hanna. Seperti janjiku seperti yang dulu. Akan baik-baik saja,” ucapnya kemudian mengusap pucuk rambut istrinya itu.Perempuan itu kemudian menghela napasnya deng
Setibanya di kantor.Sagara mengambil alat pel dan menghampiri ruang meeting yang sudah dipastikan sedang membahas masalah yang sama dengan Anumerta. Sebab kedua perusahaan itu tengah bersaing untuk mendapatkan hasil yang baik kemudian bekerja sama dengan perusahaan yang ada di Jerman.“Kita tidak boleh kalah oleh Anumerta itu,” kata Andi—manager produksi di sana.“Mereka bisa menang karena anak dari pemilik perusahaan itu sangat pandai mengukir desain yang diinginkan oleh costumer-nya, Pak Andi. Jelas, kita akan kalah jika bersaing dengan perusahaan itu,” ujar Malik yang sudah putus asa jika mereka tidak akan bisa memenangkan persaingan itu.“Menurut kabar yang beredar, anak dari pemilik perusahaan itu sudah meninggal, Pak Malik. Sepertinya, kita masih memiliki kesempatan untuk memenangkan persaingan ini,” ucap Andi percaya diri.Sementara yang lainnya hanya manggut-manggut. Sebab mereka tak tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan perusahaan tersebut.Klek!Sagara masuk ke dalam. Ia
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu