Share

Berhasil Membuatnya Percaya

“Namanya siapa?” tanya Udin dengan ramah, menatap pria baru tersebut.

“Nama saya adalah Caraga Sagara. Bapak bisa memanggil saya Sagara,” jawab pria tersebut dengan sopan, sambil tersenyum.

“Salam kenal, Sagara. Saya adalah office boy yang telah lama bertugas di sini. Rumah saya berada di belakang kantor ini,” kata Udin sambil mengangguk.

“Wah, sangat dekat ya,” komentar Sagara dengan ringan. “Tidak akan sulit untuk tiba tepat waktu di kantor.”

Udin mengangguk setuju. “Anda tinggal di mana, Nak? Saya kira Anda memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Mengapa memilih menjadi office boy?”

Sagara tersenyum tipis, menghargai pertanyaan tersebut. “Terima kasih, Pak. Mungkin ini adalah jalan yang sudah ditentukan bagi saya.”

Udin kemudian menepuk bahu Sagara dengan ramah. “Anda sudah menikah, bukan? Saya melihat ada cincin di jari manis Anda.”

Sagara mengangguk sambil tersenyum. “Benar, Pak. Saya sudah menikah dan juga sedang menanti kehadiran seorang anak. Istri saya sedang hamil tiga bulan.”

“Selamat atas berita bahagia itu,” ucap Udin dengan senyum hangat. “Saya harap ibu dan bayi akan selalu sehat. Pastikan untuk merawat kesehatan dengan baik, ya. Kehamilan membutuhkan perhatian khusus dan kehati-hatian. Jangan ragu untuk mengonsumsi obat, susu khusus ibu hamil, dan asupan gizi yang cukup.”

“Terima kasih atas peringatannya, Pak. Saya akan memastikan semuanya berjalan dengan baik,” jawab Sagara, menghargai nasihat yang diberikan oleh Udin.

Setelah percakapan itu, Sagara merenung sejenak. Dia menyadari bahwa ia belum sepenuhnya memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan istri dan calon anaknya. Dengan penyesalan, ia kemudian menghubungi Hanna.

“Halo, Hanna. Sudah minum obat dan membeli susu ibu hamil?” tanyanya dengan nada khawatir, menyadari akan kewajibannya sebagai suami dan ayah yang harus memastikan kesejahteraan keluarganya.

“Ya, aku sudah beli. Tiga hari yang lalu, Mama menemaniku periksa ke dokter dan sekaligus membeli obat serta susu ibu hamil,” ujar Hanna dengan suara yang sedikit bergetar.

“Syukurlah kalau sudah dibeli. Jika kamu perlu periksa lagi, beritahu aku. Aku akan mengantarmu ke dokter,” kata Sagara dengan nada perhatian.

“Iya, Sagara. Sudah makan siang?” tanya Hanna, mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Sudah. Baru saja selesai makan. Bagaimana denganmu?” balas Sagara.

“Sudah. Kamu… langsung bekerja hari ini juga?” tanya Hanna dengan kebingungan.

“Iya, Hanna. Saya diminta langsung bekerja,” jawab Sagara dengan singkat.

“Oh begitu. Saya kira Papa hanya memberikanmu pekerjaan sementara. Apa pekerjaan yang kamu lakukan?” tanya Hanna, mencoba menggali informasi lebih lanjut.

Sagara terdiam sejenak, merenung, kemudian menghela napasnya. “Saya ditugaskan sebagai office boy, Hanna.”

“APA?!” teriak Hanna dengan kaget. “Kenapa, Sagara? Mengapa Papa begitu kejam memberikanmu pekerjaan seperti itu?”

“Hanna, jangan panik dulu, baiklah. Saya baik-baik saja. Kita akan membahasnya lebih lanjut ketika saya pulang. Tunggulah saya pulang,” kata Sagara mencoba menenangkan istrinya.

“Tapi saya tidak bisa menerima kamu menjadi office boy, Sagara!” protes Hanna dengan suara penuh ketakutan.

“Hanna, ini tidak apa-apa. Papa memberi saya dua pilihan. Saya tidak bisa memilih pilihan pertama,” ujar Sagara dengan hati-hati.

“Apa pilihan pertama itu?” tanya Hanna dengan penuh kekhawatiran.

Sagara menelan ludah dengan perlahan. “Diberi uang dua puluh miliar jika saya menceraikan kamu.”

Tidak ada suara yang terdengar dari Hanna. Sagara tahu bahwa Hanna pasti panik mendengar pengakuan dari suaminya itu.

“Hanna, aku sudah katakan bahwa aku baik-baik saja. Kita akan bicara lebih lanjut ketika aku pulang, baik?” ucap Sagara dengan lembut, mencoba menenangkan istrinya yang hening.

“Tapi, Sagara…” isak tangis Hanna terdengar di seberang sana, membuat Sagara merasa hampa.

“Tidak apa-apa. Aku akan melanjutkan kerjaku sekarang. Kamu pasti baik-baik saja di sana. Jika ada yang kamu butuhkan, beri tahu aku. Ketika pulang kerja, aku akan membelikannya,” kata Sagara dengan penuh perhatian.

Sagara mengakhiri panggilan tersebut karena tidak ingin mendengar isakan tangis Hanna yang hanya akan menambah rasa bersalahnya. "Maafkan aku, Hanna. Entahlah, aku tidak tahu apakah ini kebodohan atau tidak. Tetapi, situasi ini cukup sulit bagi hidupmu. Aku meminta maaf." Sagara meneteskan air mata tanpa tahu harus berbuat apa lagi. Ia mengusapnya dengan hati-hati, tidak ingin terlihat lemah hanya karena kesulitan hidup.

"Semuanya akan baik-baik saja. Manusia tidak selalu berada di atas. Si tua Bangka itu pasti akan kembali pada posisinya," ucap Sagara dalam hati, menyumpahi ayah tirinya yang telah membuatnya miskin.

“Sagara?” panggil Udin kemudian.

Pria itu lantas menoleh. “Iya, Pak?”

“Dipanggil Pak Krisna. Pemilik perusahaan ini.”

‘Aku sudah tahu, Pak. Dan sebenarnya dia adalah mertuaku.’ Sagara hanya bisa berucap dalam hati, kemudian menganggukkan kepalanya. “Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi.”

Sagara melangkahkan kakinya menuju ruangan Krisna yang lumayan jauh dari toilet yang baru saja akan ia bersihkan.

‘Ada apa lagi, Pak Krisna memanggilku.’ Sagara kembali berucap dalam hatinya.

Tok tok tok!

Sagara pun masuk ke dalam setelah mendengar perintah masuk dari orang yang ada di dalam ruangan tersebut.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak Krisna?” tanya Sagara dengan sopan.

Krisna menatap datar menantunya itu kemudian menghela napasnya dengan panjang. “Duduk!”

“Baik, Pak!” Sagara pun duduk di depan Krisna.

“Kenapa kamu menolak uang yang saya berikan tadi?” tanya Krisna dengan tegas.

Sagara mengulas senyumnya dengan tulus. “Saya mencintai anak Bapak. Di dalam tubuh Hanna ada makhluk hidup yang membutuhkan sosok ayah, bukan sosok kakek. Kakek atau nenek hanya sekadar saja. Saya tidak bisa melepaskan Hanna begitu saja, sedangkan dia membutuhkan seorang suami di sampingnya.”

Sagara menatap wajah Krisna dengan penuh tekad. “Bapak tidak perlu merestui hubungan kami jika memang sulit memberikannya. Biarkan saya membuktikan bahwa Hanna akan bahagia berada di samping saya. Uang dua puluh miliar tidak memiliki arti baginya. Saya tegaskan sekali lagi: saya tidak akan menceraikan Hanna! Jika Bapak masih bersikeras, itu hanya membuang waktu Bapak. Saya tetap pada pendirian saya. Jika Bapak tidak ingin saya bekerja di sini, saya bisa mengundurkan diri sekarang juga!”

Krisna menggeleng. “Tidak perlu!”

“Baik!” Sagara mengulas senyumnya.

‘Kalau kamu tidak bekerja di sini, bagaimana saya bisa mengenal kamu lebih baik lagi? Juga, saya ragu kamu bisa mendapat pekerjaan di kantor lain,’ pikir Krisna.

Krisna menatap Sagara yang tampak santai, meskipun situasinya jauh dari damai. “Masih ingat apa yang saya ucapkan di malam pernikahan kalian?” tanya Krisna mengingatkan Sagara.

Sagara mengangguk mantap. “Saya masih ingat, Pak Krisna. Dan saya akan membuktikannya. Walau bukan dengan materi, saya memiliki banyak cara untuk membuat Hanna selalu tersenyum. Bapak tidak perlu khawatir.”

Krisna mengusir Sagara dengan mengibas tangannya. Dia tidak mau mendengar lagi ucapan Sagara yang hanya membuatnya bingung dan tidak bisa memberikan tanggapan.

Meski banyak yang dia karang, Sagara berhasil membuat Krisna percaya. Semua itu dilakukannya sebagai balasan atas kebaikan Hanna, dengan harapan tidak mengalami penderitaan seperti sebelumnya, dan untuk menjadi suami yang baik bagi Hanna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status