Esok harinya, Eloisa kembali datang menjenguk Susan setelah selesai mengajar. Dia berpikir untuk menunggu di rumah sakit saja sebelum waktu bertemu dengan Viktor.Susan tersenyum saat Eloisa datang. Walau ada yang mengganjal di hati mereka masing-masing, tapi mereka tidak menunjukkannya.Kondisi Susan sudah cukup baik dan dia dijaga ketat oleh polisi. Sidang pertama kasus percobaan pembunuhan yang dia lakukan akan digelar satu minggu lagi, dimana menurut estimasi Dokter, kondisi Susan saat itu sudah cukup stabil untuk mengikuti sidang.Andrew sudah mencoba untuk membantu untuk menunda sidang, namun gagal. Dia tidak bisa melawan perintah atasannya, dimana mereka semua ditekan untuk segera membereskan kasus ini.Mereka ngobrol santai dan Eloisa memberitahu kalau dia akan menikah di hari minggu. Susan tersenyum sambil memberikan doanya, karena dia tahu dia tidak akan bisa menghadiri pernikahan Eloisa.“Semoga kau selalu bahagia dan pernikahanmu langgeng hingga maut memisahkan,” kata Susa
Eloisa membuka matanya perlahan saat kesadarannya kembali dan dia merasa kepalanya sangat berat. Perlahan dia berusaha untuk duduk dan saat memperhatikan sekitarnya, dia baru menyadari kalau dia bukan berada di kamarnya. Alisnya berkerut karena dia tidak mengenali tempatnya berada sekarang. Mengapa dia terbangun di tempat asing seperti ini? Dia berada di sebuah kamar yang cukup luas dan terlihat bersih, dan sekarang dia duduk di sebuah ranjang besar.Walau tempat ini terlihat bagus, dia mulai ketakutan, karena dia tidak ingat mengapa dia bisa berada disini?. Dia mencoba untuk memikirkan penyebab dia berada di ruangan ini, tapi bukannya ingat, kepalanya malah semakin sakit.Dia mendengar suara kunci pintu dibuka dan dia semakin ketakutan, dia memundurkan dirinya hingga punggungnya menempel pada dipan ranjang.“Kau sudah sadar?” tanya pria yang masuk.“Da-Darren?” tanya Eloisa saat mengenali pria tampan itu. Dia menghembuskan nafas lega saat melihat orang yang dikenalnya. Namun wajahny
Tiga bulan sebelumnya..Eloisa sedang berdiri di rooftop universitas tempatnya mengajar, kedua sikunya diletakan di pagar pembatas dan jemarinya menopang dagunya. Padangannya mengarah ke arakan awan di atas sana, kacamatanya dia letakan di saku kemejanya dan sepatunya sudah dia lepaskan agar dia bisa merasa lebih rileks. Pikirannya dipenuhi pembicaraannya dengan kedua orang tuanya tadi malam. Mereka berencana menjodohkan dirinya dengan seorang dosen yang juga mengajar di kampusnya ini.Usianya yang sudah menginjak dua puluh tujuh mungkin memang membuat kedua orang tuanya khawatir. Dia tidak pernah membawa seorangpun pria ke rumahnya semenjak putus dari pacar brengseknya lima tahun lalu. Sebenarnya, hal itu dikarenakan dirinya sendiri yang menjaga jarak dari para pria. Dia sudah tidak percaya lagi dengan sikap manis dan rayuan mereka. Itu semua hanya karena ada mereka inginkan. Setelah mereka mendapatkannya apa yang mereka mau, maka mereka akan membuangmu begitu saja!Tiba-tiba sepasan
“Aduh, kenapa lukanya tidak mau berhenti?!” Eloisa semakin panik. Sekarang sapu tangannya sudah penuh darah.“Ku- kurasa kita perlu pergi ke klinik. Takutnya lukanya infeksi,” kata Eloisa lagi saat melepas saputangannya dari pipi Darren, darah segar kembali mengucur. “Aduh, saya sudah tidak ada saputangan lagi!” dia terus mengoceh sendiri, tidak menyadari kalau pria di depannya belum bergerak atau bicara sepatah katapun. Mendengar Eloisa mencari sapu tangan, otomatis tangan Darren mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan memberikannya pada wanita itu. Eloisa langsung mengambil sapu tangan itu dan menekan kembali luka yang sudah kembali mengeluarkan darah lagi. Dia langsung menyuruh Darren menekan sapu tangan itu ke pipinya dan menarik lengan pria itu yang satunya untuk mengikutinya turun dari rooftop menuju klinik kampus. Kedua orang itu tidak memperhatikan kalau ada orang lain yang bersembunyi di belakang pintu menuju rooftop, yang memang menunggu mereka turun dari roofto
“Lukanya jangan sampai terkena air karena nanti bisa infeksi. Plester harus diganti dua kali sehari sehabis mandi. Nanti akan saya berikan resep salep luka dan obat anti nyeri , karena kadang akan timbul nyeri. Jika membengkak atau demam, segera kembali ke rumah sakit.” kata Dokter Albert.“Bagaimana saya mencuci muka kalau lukanya tidak boleh terkena air?” tanya Darren.“Plesternya tahan air. Jadi setelah mandi, plesternya dibuka dan lukanya diberi salep, lalu tutup lagi dengan plester baru.” jawab Dokter Albert.“Apakah lukanya akan meninggalkan bekas, Dok?” tanya Darren lagi. Biar bagaimanapun wajahnya adalah aset untuk pekerjaannya sekarang.“Hm, luka di bagian sini agak dalam. Kemungkinan nanti akan meninggalkan garis putih. Tapi karena kamu pria, kurasa tidak masalah dengan sedikit bekas luka,” kata Dokter Albert sambil menunjuk bagian pipi dekat rahang. Eloisa memucat mendengar perkataan Dokter Albert. Bagaimana ini kalau memang luka itu berbekas? Sedangkan mahasiswanya ini be
Kalimat penuh ancaman itu membuat ketiga orang yang sedang menjadi tontonan disana menoleh. Darren menatap Victor dengan tatapan tajam yang membuat pria itu terkejut dan melepaskan tangan Eloisa.Darren langsung mengambil tangan Eloisa yang baru dilepas itu dan memeriksanya. Sepertinya cengkraman Victor cukup keras hingga meninggalkan memar berwarna kemerahan di pergelangan tangan Eloisa. Hal itu membuat Darren emosi. Tanpa aba-aba dia memukul Victor hingga pria itu terjatuh.“Victor!” seru Susan panik seraya menghampiri suaminya.“Jangan kayak banci, beraninya sama perempuan. Sekali lagi kau mendekati Eloisa, kupatahkan tangan dan kakimu!” ancam Darren. Nada suaranya biasa, namun mata pria itu menunjukkan amarah, api biru disana menyala seakan siap membakar Victor. Dia sangat tidak suka pria yang tidak sopan pada wanita. Ibunya selalu mengajarkan untuk menghargai wanita, karena dari rahim merekalah kita dilahirkan.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Darren lembut pada Eloisa. Matanya menat
Hati-hati, Bu, nanti terantuk kaca lagi. Sayang kalau kacanya sampai pecah!” goda Darren.Eloisa mengerjap, keterpesonaan pada wajah tampan di depannya berubah menjadi kekesalan. Apa maksudnya? Gakpapa gitu kepalanya benjol asal kacanya tidak pecah?Darren yang melihat wajah kesal Eloisa merasa gemas, dia menarik tangannya yang tadi memegangi kepala wanita itu, lalu mencubit hidung wanita itu.“Makanya konsentrasi saat ditanya, Bu. Dimana alamat rumah Ibu?” tanya Darren lagi. Dia melirik gemas wanita di sampingnya yang ternyata sedang mendelik tajam menatapnya. “Lama-lama kita menginap disini, loh, Bu.” gurau Darren sambil tertawa melihat wajah wanita itu. Jika wanita itu bermaksud mengintimidasi dirinya, sudah pasti wanita itu gagal. Ayah dan kakaknya jauh lebih menyeramkan saat sedang marah.“Saya, sih, tidak masalah. Saya bisa tidur dimana saja. Apalagi, ditemani Bu Dosen cantik,” kata Darren terus menggoda Eloisa. Alisnya sekarang dinaik turunkan, senyum jail belum hilang dari bi
Setelah menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya Eloisa keluar dari mobilnya. Dia melirik ke kiri dan kanan, takut mahasiswanya itu masih berkeliaran di dekat rumahnya. Entah apa yang dia takutkan? Kalau takut dicium paksa lagi, sebenarnya lebih mudah saat pria itu berada di mobilnya. Hanya saja, dia merasa tidak aman.Begitu keluar dari mobilnya, Eloisa langsung berlari masuk ke rumahnya dan menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Tidak jauh dari rumahnya, Darren masih memperhatikan rumah Eloisa. Dia melihat wanita itu masuk ke rumahnya dan tidak lama terlihat lampu menyala dari jendela yang memiliki balkon di lantai dua, berarti disanalah kamar wanita itu. Dia harus memastikan kalau wanita itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Seburuk-buruknya sikapnya, ibunya selalu mengajarkannya untuk bertanggung jawab. Jika dia mengantarkan wanita pulang, jadi, dia akan memastikan kalau wanita itu sudah masuk ke dalam rumahnya. Setelahnya, dia baru akan pulang ke rumahnya atau ke tempat
Esok harinya, Eloisa kembali datang menjenguk Susan setelah selesai mengajar. Dia berpikir untuk menunggu di rumah sakit saja sebelum waktu bertemu dengan Viktor.Susan tersenyum saat Eloisa datang. Walau ada yang mengganjal di hati mereka masing-masing, tapi mereka tidak menunjukkannya.Kondisi Susan sudah cukup baik dan dia dijaga ketat oleh polisi. Sidang pertama kasus percobaan pembunuhan yang dia lakukan akan digelar satu minggu lagi, dimana menurut estimasi Dokter, kondisi Susan saat itu sudah cukup stabil untuk mengikuti sidang.Andrew sudah mencoba untuk membantu untuk menunda sidang, namun gagal. Dia tidak bisa melawan perintah atasannya, dimana mereka semua ditekan untuk segera membereskan kasus ini.Mereka ngobrol santai dan Eloisa memberitahu kalau dia akan menikah di hari minggu. Susan tersenyum sambil memberikan doanya, karena dia tahu dia tidak akan bisa menghadiri pernikahan Eloisa.“Semoga kau selalu bahagia dan pernikahanmu langgeng hingga maut memisahkan,” kata Susa
Darius menyadari kalau beberapa hari ini, Darren sering memperhatikan gerak geriknya, tepatnya setelah adiknya itu kembali tinggal di rumah. Namun karena dia tahu kalau psikis Darren sekarang tidak stabil karena patah hati, dia membiarkan adiknya bersikap semaunya.Sebenarnya dalam hati dia masih bingung dengan sikap Darren, mengapa bisa sampai sebegitunya hanya karena patah hati? Bukankah begitu banyak wanita yang ingin menjadi miliknya, mengapa menyusahkan diri dengan hanya mencintai seorang wanita yang baru dikenalnya?Dia bisa mengerti akan cinta kedua orang tuanya, apalagi mereka sudah bersama puluhan tahun, semakin lama cinta mereka semakin kokoh. Tapi kalau baru mencintai seseorang dan orang itu akan menikah dengan pria lain? Baginya itu tidak masuk akal.Saat dia dan Fiona gagal menikah saja, dia tidak bereaksi sampai sepersepuluh dari reaksi patah hati Darren sekarang, padahal mereka sudah enam tahun berpacaran dan hampir menikah.Darius yang tidak pernah menggunakan hati dil
Viktor sedikit merenung saat keluar dari ruang perawatan Susan, teringat masa-masa pernikahannya dengan Susan selama ini. Sebenarnya bisa dibilang Susan telah berusaha menjadi istri yang baik, namun dia yang selalu saja membandingkan Susan dengan Eloisa, yang membuat mereka pada akhirnya bertengkar.Mungkin karena di dalam hatinya selalu ada Eloisa dan dia menyalahkan semua yang terjadi pada Susan, sehingga dia merasa semua yang dilakukan Susan tidak ada yang benar di matanya.Susan memang tidak pernah bisa seperti Eloisa karena kepribadian mereka memang berbeda. Dia menyukai Eloisa yang kalem, menurut, mandiri dan bisa mengurus rumah tangga, sedangkan Susan adalah wanita yang glamour, manja dan agak bawel.Pada awalnya terasa cukup menyenangkan karena dia merasa dibutuhkan, tapi setelah beberapa lama, dia merasa hal itu mengganggunya karena dia menyukai ketenangan yang hanya bisa diberikan Eloisa dan juga penampilan sederhana Eloisa.Kedua hal ini tidak bisa dia dapatkan dari Susan d
Tidak lama kemudian, pintu diketuk dan Andrew masuk ke ruangan itu dengan seragam polisinya, bersama dengan dua polisi lain. Wajah Andrew sangat muram, dia sudah berusaha untuk meminta waktu pada atasannya agar tidak langsung menginterogasi Susan karena wanita itu baru sadar dari koma, tapi atasannya hanya berkenan memberikan waktu dua puluh empat jam, dan karenanya, sekarang dia datang bersama kedua rekannya yang bertugas untuk melakukan interogasi.“Maaf, Bu Susan. Saya harus melaksanakan tugas saya. Kedua rekan saya ingin menanyakan beberapa hal kepada Anda,” kata Andrew dengan tatapan tidak tega. Susan sejak kemarin masih belum diijinkan Dokter untuk turun dari ranjang dan tubuhnya masih lemah.Dia sekarang memanggil Susan dengan sebutan ‘Bu’, tidak sekaku panggilan sebelumnya ‘Nyonya’, karena Susan mengatakan untuk tidak perlu terlalu sopan padanya. Dan Susan bahkan meminta maaf karena telah menggigitnya, padahal dialah yang mendorong wanita itu hingga membuat wanita itu dan bayin
Darren pulang ke rumahnya di sore hari, dan setelah makan malam, dia memberi tahu kedua orang tuanya mengenai keinginannya untuk menemani Nick ke Amerika setelah pernikahan Darius. Darren sengaja berbohong dengan mengatakan kalau dia akan pergi setelah pernikahan Darius.Adianto dan Rosaline tidak melarang keinginan Darren. Bagi mereka, Darren memang membutuhkan healing. Sebelumnya, Darren tidak jadi berangkat ke Jakarta karena masalah Eloisa, jadi sekarang biarkan putranya itu memiliki waktunya sendiri.Namun Rosaline hanya meminta, sampai waktunya putranya itu berangkat ke Amerika, Darren harus sering berada di rumah dan Darren menyanggupinya, Darren mengatakan kalau dia akan sesekali saja menginap di apartemen Nick setelah ini.Darren termenung di kamarnya sambil memikirkan hidupnya yang tiba-tiba begitu bergejolak setelah dia mencium Eloisa beberapa bulan yang lalu, sebuah ciuman yang mengalihkan dunianya.Dengan berat hati, dia harus menerima kenyataan kalau dia tidak akan bisa b
Darius sama sekali tidak memperhatikan sikap Eloisa yang semakin tertutup ataupun gaun yang digunakan Eloisa. Dia hanya memastikan kalau stelan yang dia gunakan pas di tubuhnya dan setelahnya, kembali mengganti pakaian.Saat dia keluar dari kamar ganti, Eloisa masih berada di ruang ganti untuk melepaskan gaunnya. Tidak lama kemudian, Eloisa keluar dari ruang ganti dan mereka berjalan keluar dari butik setelah membuat nota pesanan.“Bu Eloisa mau langsung pulang?” tanya Darius setelah mereka duduk di mobil.“Saya mau menjenguk Susan dulu,” jawab Eloisa.“Baiklah. Kalau begitu saya akan mengantar anda ke rumah sakit,” jawab Darius.“Terima kasih,” jawab Eloisa.“Ya,” jawab Darius. Dan hanya itulah percakapan mereka sampai pada akhirnya mereka tidak di rumah sakit.“Terima kasih, Pak Darius. Nanti saya pulang sendiri saja, saya sudah bilang pada Silvi untuk menjemput saya disini,” kata Eloisa pamit.“Baik. Jika ada masalah atau perlu sesuatu, Ibu bisa mencari saya. Saya pulang dulu,” jaw
Tidur yang cukup dan nyenyak memang bisa membuat pikiran lebih jernih. Karenanya, saat bangun, Darren sudah jauh lebih tenang. Berbeda dengan Nick yang tidak bisa tidur dengan tenang karena khawatir Darren terbangun di tengah malam dan dengan gila mencari Darius atau Eloisa.Begitu bangun, yang dilakukan oleh Nick adalah memeriksa Darren di kamar pria itu dan menjadi panik saat tidak menemukan Darren di atas ranjang. Dia langsung berlari untuk mengecek pintu apartemennya dan melihat kalau kunci pengaman disana tidak terbuka, berarti Darren belum keluar dan dia menghela nafas lega karenanya.Dia lalu menoleh ke ruang nonton yang berada di sebelah balkon dan kali ini jantungnya seakan melompat keluar saat melihat pintu balkon terbuka dan tirai disana tertiup angin ke arah dalam apartemen. Dia berlari lagi ke balkon dengan hati yang sangat panik. Dia takut Darren bunuh diri!Begitu keluar dari balkon, dia semakin panik saat menoleh dan tidak menemukan siapapun. Tadi dia sudah melewati ka
“Tunggu, Darren!” Nick dengan cepat bangun dan mencekal tangan Darren.“Apa lagi?” tanya Darren tidak suka.“Besok saja. Sekarang sudah malam,” bujuk Nick.“Lebih cepat akan lebih baik,” tolak Darren.“Kau tenangkan dirimu dulu, lalu pikirkan apa saja yang akan kau katakan pada Kak Darius. Kau tidak bisa membabi buta tiba-tiba datang seakan ingin mengajak ribut,” saran Nick dan Darren akhirnya tidak berontak, namun dia mengerutkan alisnya. Dia berpikir kalau apa yang dikatakan Nick ada benarnya, dia harus bicara dengan Kak Darius saat tenang. Kak Darius bukan orang yang bisa diprediksi.“Kita pulang ke apartemen, lalu kau makan dan mandi. Setelahnya, kau pikirkan cara yang baik untuk bicara dengan Kak Darius. Kau tahu dia pasti akan terkejut, dan mungkin kau juga harus menyiapkan beberapa jawaban untuk pertanyaan dari Kak Darius,” bujuk Nick cepat tanpa membiarkan Darren menyelanya.Dia benar-benar tidak bisa melepas Darren sekarang, takutnya sahabatnya ini akan berbuat nekat. Cara ya
“Ini yang seharusnya terjadi sejak dulu,” kekeuh Darren.“Tidak, ini tidak benar. Kita adalah Kakak dan Adik Ipar!” bantah Eloisa.“Tidak. Kita akan menikah dan menjadi suami istri!” marah Darren. Diingatkan akan hubungan mereka sebelumnya membuat rasa khawatir di dalam dada langsung mencuat.“Aku adalah Istri Kakakmu, tentu saja kita adalah saudara ipar!” bantah Eloisa.“Jangan bicara seperti itu. Kau belum menikah dengan Kak Darius!” wajah Darren sudah merah karena marah.“Kami akan menikah tidak sampai satu bulan lagi!” balas Eloisa keras kepala.“Kau tidak akan menikah dengan Kak Darius. Kau hanya akan menikah denganku!” bentak Darren. Eloisa yang terkejut karena bentakan Darren, tanpa sadar kembali melangkah mundur karena takut.“Darren, tenangkan pikiranmu. Kita bicarakan ini baik-baik,” kata Eloisa menurunkan intonasi suaranya, matanya menatap Darren waspada.Darren menghembuskan nafas beberapa kali untuk menahan emosinya. Dia tidak tega saat melihat tatapan khawatir Eloisa.“K