Hari-hari berlalu tanpa memberikan sedikit rasa lega bagi Lukman dan Andin. Meskipun mereka berusaha menjelaskan kepada teman-teman dan keluarga bahwa kabar tentang Andin adalah bohong belaka, namun berita itu masih terus beredar dengan cepat seperti virus yang tidak bisa dikendalikan. Seolah ada yang memegang kendali atas penyebaran berita palsu tersebut. Andin, yang terjebak dalam pusaran fitnah, dia semakin terperangkap dalam ketakutan yang melingkupi dirinya. Setiap hari yang berlalu membawa gelombang ketidakpastian yang semakin memuncak, mengoyak kedamaian dan kepercayaannya pada dirinya sendiri. Rasa takut akan masa depan yang tidak pasti membuatnya merasa terkurung dalam labirin pikiran yang gelap, di mana setiap langkah yang diambilnya terasa seperti langkah menuju kehancuran. Meskipun berusaha keras untuk tetap kuat, Andin merasa seperti tenggelam dalam keputusasaan yang tak terkendali, terjebak dalam jeratan keadaan yang tak terduga. Dalam kegelapan yang menyelimuti, sat
Udara di ruang kerja Lukman terasa kaku saat ia dan sang detektif duduk berhadapan, hening yang menggantung di antara mereka mengisyaratkan ketegangan yang tak terucap. Kertas-kertas berserakan di atas meja, mencerminkan kekacauan dalam pikiran Lukman yang tidak bisa dibendung.Detektif berdeham, memecah keheningan yang terjadi di antara mereka. Suaranya terdengar lembut, seolah-olah mencoba meredakan gelombang tak pasti yang menghantui ruangan itu. Dalam situasi yang tegang ini, detektif bertindak sebagai pemandu, membuka jalur komunikasi yang penting dalam upaya mereka untuk mengungkap kebenaran di balik semua kejadian yang menimpa mereka."Kami belum mendapatkan kemajuan dalam memburu Dewi," akunya, suaranya terdengar frustrasi.Lukman bersandar di kursinya, mengusap-usap rambutnya dengan jengkel, gerakan itu mencerminkan frustrasi yang melingkupi pikirannya. Dalam keadaan yang tegang seperti ini, ia merasa seperti terjebak dalam labirin masalah yang tak kunjung selesai. Usaha-usa
Matahari pagi menerobos masuk melalui celah-celah gorden, memancarkan cahaya hangat yang menyebar di ruang tamu rumah Lukman saat ia melangkah dengan langkah-hati menuju kamar Andin. Cahaya pagi itu memberikan sentuhan kehangatan pada ruangan yang sebelumnya terasa hening dan sepi, menciptakan suasana yang menyambut di setiap sudutnya.Langkah Lukman terdengar tenang di lantai kayu yang bersih, langit-langit yang tinggi menyoroti kecantikan rumah yang sederhana namun penuh kehangatan. Di tengah cahaya pagi yang bersemi, Lukman memperhatikan setiap detail rumahnya, merasakan ketenangan sejenak. Dalam keindahan yang mengelilinginya, ia menyusuri lorong yang tenang menuju kamar Andin. Langkah kakinya bergema pelan di lorong, energi gugup berdenyut dalam dirinya saat ia mendekati pintu kamar Andin.Andin mendongak dari tempat ia duduk di meja kerjanya, alisnya berkerut kebingungan saat Lukman memasuki ruangan. "Apa semuanya baik-baik saja?"Lukman ragu-ragu, kata-katanya tersangkut di t
Sinar lembut matahari pagi menyusup di sela-sela gorden jendela kamar Andin. Menerangi ruangan yang temaram tanpa cahaya lampu. Di tempat duduknya di dekat jendela, dia berdiri. Andin menyingkap gorden menyaksikan kehidupan kota berkecamuk seperti koloni semut, bergerak dengan ritme yang berdenyut seperti nadi bumi. Dengung lalu lintas di kejauhan seperti orkestra kendaraan yang tak pernah berhenti, menari-nari di jalanan yang tak pernah tidur, sementara kicauan burung yang sesekali terdengar seperti melodi lembut, mengiringi setiap pikirannya yang melayang jauh. Di tengah gemuruh itu, Andin merasa seperti pelaut yang terhanyut gelombang ombak. Namun tetap merasa terlindungi oleh pelukan hangat alam semesta, memeluknya dalam ketenangan yang mengalir seperti sungai yang tak pernah kering.Hati Andin berdegup kencang tak terkendali, mengingat kembali saat-saat sebelum Lukman berangkat kerja. Seperti bayangan yang tak pernah pudar. Lukman telah menawarinya sebuah pernikahan kontrak, s
Hari telah berlalu begitu cepat bagi Lukman. Dari pagi hingga senja, ia terperangkap dalam rutinitas kantor yang melelahkan. Namun, yang lebih menguras tenaganya adalah ketegangan yang dirasakannya sepanjang hari ini. Setiap langkahnya terasa berat, setiap nafasnya terasa terengah-engah di tengah tekanan yang terus menerus menekan dari segala arah. Meski ia mencoba menyembunyikan kelelahannya di balik senyumannya, namun batinnya menjadi medan perang yang penuh gejolak."Aku harap Andin tidak berpikir buruk dengan lamaranku yang tiba-tiba itu," gumam Lukman. Melepas dasi dan jasnya dengan gerakan lambat, Lukman merasakan beban berat dari hari yang panjang dan penuh tantangan mengendap di pundaknya. "Apa dia masih mengurung diri di dalam kamarnya?" tanyanya entah pada siapa. Sejak pagi Lukman belum bertemu dengan Andin. Perempuan yang biasanya menyambut dirinya dengan senyum itu, tidak menampakan batang hidungnya bahkan sampai dia pulang dari kantor. Dia menghela nafas dalam-dalam,
Andin merasakan getaran kecil pada ponselnya yang terletak di meja samping tempat tidurnya. Meskipun matanya masih tertutup, dia merasakan kehadiran sambutan pagi yang lembut, memenuhi ruangan dengan aroma harum yang menyegarkan. Dengan gerakan yang pelan, matanya perlahan-lahan terbuka. Andin menyapu pandangannya ke sekitar kamar yang terang benderang oleh sinar mentari yang memancar melalui jendela. Udara segar pagi itu meresap ke dalam napasnya. Dia menatap layar ponselnya, melihat angka di jam digital menunjukkan pukul 4:30 pagi. Senyum tipis menghiasi bibirnya ketika dia menyadari bahwa dia telah bangun lebih awal dari biasanya.Tanpa berpikir panjang, Andin bangkit dari tempat tidurnya dan mengenakan piyama yang nyaman. Dia merasa dorongan yang kuat untuk memasak pagi ini, sesuatu yang jarang dia lakukan belakangan ini. Dengan langkah ringan, dia melangkah menuju dapur, membiarkan aroma kopi hangat memimpin jalannya.Saat dia tiba di dapur, dia menemukan Bibik yang sibuk memper
Suasana pagi di kantor Lukman terasa berbeda dari biasanya. Udara terasa tegang, terisi dengan ketegangan. Langit yang biasanya cerah dan menyegarkan, sekarang terlihat berawan. Di luar pintu kantor, sejumlah media berkumpul dengan sabar. Menunggu dengan penuh antisipasi. Kamera-kamera siap merekam setiap gerak dan kata yang akan keluar dari mulut Lukman, sementara mikrofon-mikrofon berdiri kokoh, siap untuk menangkap setiap kata yang diucapkannya.Kehadiran para wartawan itu menambah beban di kantor. Setiap langkah yang diambil terasa diawasi, setiap kata yang diucapkan menjadi potensi bahan berita. Lukman menyadari bahwa hari ini adalah hari yang akan menentukan banyak hal dalam hidupnya. Di dalam kantor, Lukman duduk di depan meja kerjanya, memikirkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Setiap detik terasa seperti berjalan dalam lautan pikiran yang berombak-ombak, di mana setiap kata memiliki bobot yang besar dan konsekuensi yang mungkin akan berdampak jauh ke masa depannya. D
Dewi duduk di tempat persembunyiannya, di sebuah apartemen yang tersembunyi dari pandangan polisi. Dalam kegelapan ruangannya yang sepi, dia menatap layar televisi dengan tatapan kosong. Seolah-olah sedang mencoba memecahkan teka-teki yang rumit dalam labirin pikirannya, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar seakan dunia yang dulu ia kendalikan terbalik oleh sebuah pernyataan yang tidak dia harapkan sama sekali.Wawancara Lukman yang mengungkapkan niatnya untuk menikahi Andin membuatnya terdiam seketika. Seolah dia sedang dihantam oleh gelombang badai yang menggulung batinnya. Raut wajahnya yang biasanya penuh dengan kesombongan dan kecongkakkan, kini bermuram durja. Selama ini, Dewi telah menghabiskan waktu dan energinya untuk menjatuhkan Andin. Dia telah merencanakan berbagai cara licik dan jahat untuk menghancurkan reputasi wanita itu, termasuk menyebarkan rumor dan melakukan sabotase. Namun, semua usahanya telah gagal, dan sekarang Lukman malah ingin menikahi Andin. "
Andin yang malu atas sikap suaminya hanya bisa merona sembari memalingkan wajahnya. Bahkan, pertanyaan Lukman barusan tidak dia jawab karena rasanya malu sekali menjawabnya. Lukman yang sudah tak tahan langsung mencium bibir sang istri, akan tetapi Andin malah kembali memalingkan wajahnya membuat Lukman semakin penasaran dibuatnya."Kamu sengaja menggodaku ya, Andin?" tanya Lukman mencium leher sang istri yang seketika melenguh, menikmati sensasi yang sudah beberapa hari ini tidak dia rasakan karena banyaknya kesibukan."Kamu suka, 'kan?" bisik Lukman dengan suara lirih.Andin hanya mengangguk. "Maaf karena akhir-akhir ini aku belum sempat melayanimu, kamu tahu kalau si kembar ingin selalu tidur dengan kita, jadi sulit sekali mencuri waktu untuk kita bersama," ucap Andin."Ya ... itulah mengapa aku ingin meminta jatahku har ini selagi Daniel dan Dania menginap di rumah kakekmu, aku mau kita melewati malam bersama, sepuasnya," kata Lukman."Namun, sesungguhnya tak ada kata puas untuk b
Berbeda dengan dulu, kini Andin dan Lukman harus mempersiapkan segala keperluan bayi jika hendak jalan-jalan meskipun hanya jalan-jalan ke komplek dekat rumah. Selain membawa beberapa botol susu, Andin juga membawa dua stroller untuk membuat Daniel dan Dania.Kebetulan cuaca sore ini sangat bagus, tidak panas dan tidak mendung sehingga sangat cocok untuk membawa bayi keluar rumah. Sebab, bayi juga perlu keluar rumah untuk menstimulasi penglihatan dan pendengarannya, dan yang paling penting adalah untuk mengusir rasa bosan ibunya.Keduanya berjalan beriringan, masing-masing mendorong satu stroller dengan wajah yang tak luput memberi senyuman bahagia. Hingga sampai di taman, Lukman membawa istrinya duduk sementara si kembar dibiarkan melihat indahnya langit yang biru cerah nan memesona."Mereka kelihatan senang," ujar Lukman mengamati raut wajah Daniel dan Dania yang sumeringah."Iya, aku juga senang karena sudah lama ga keluar rumah. Rasanya nikmat bisa menghirup udara segar, apalagi c
Andin dan Lukman berada di Swiss selama lima hari. Mereka berjalan-jalan dan membeli berbagai benda-benda khas di negara tersebut untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh seperti keju, cokelat susu, lonceng, kotak musik, dan masih banyak lagi.Setelah puas berbelanja dan jalan-jalan, mereka akhirnya pulang karena masa cuti Lukman juga sudah habis hingga esok. Kalau ditambah, dia merasa kasihan kepada sekretaris dan asistennya yang menghandle semua pekerjaan Lukman sebagain pimpinan perusahaan.Keesokan harinya, mereka sudah sampai di Indonesia dan pulang ke rumah Bambang untuk membuka semua yang telah mereka beli. Andin memberikan semuanya kepada sang nenek dan juga paman-pamannya yang menyambut Andin dengan suka cita dan penuh kerinduan setelah satu minggu mereka tidak berjumpa"Kamu senang liburan di sana?" tanya sang nenek kepada Andin."Senang sekali, kalau ada kesempatan liburan lagi aku ingin ke sana lagi, di sana suasananya tenang dan sejuk, aku suka sekali. Lain kali kita pergi k
Hubungan Andin dan kakeknya, Bambang serta keluarganya semakin membaik. Mereka sudah tidak sungkan lagi dan menganggap Andin adalah anak kecil yang sangat dimanja. Semua keinginan Andin dipenuhi, bahkan paman-pamannya datang setiap hari untuk memberikan hadiah apa saja kepadanya.Tak jarang, Andin diajak keluar untuk makan siang bahkan bermain di timezone karena Bambang pernah mengatakan kalau Andin masih suka bermain di wahana permainan seperti itu meskipun usianya sudah dewasa. Andin sangat bahagia, dia tidak bisa memiliki anak, dan kini dialah yang menjadi seorang anak bagi kakek dan paman-pamannya.Hubungan yang membaik itu juga berimbas pada perusahaan Lukman, Bambang menggelontorkan banyak dana untuk memperbesar perusahaan itu sebagai wujud rasa terima kasih atas karena Lukman telah tulus menerima Andin dengan segala masa lalu dan juga kekurangannya.Lukman menerimanya dengan senang hati, sebab dengan kemajuan perusahaan, itu berarti dia juga bisa membahagiakan Andin lebih dari
"Mau sarapan apa?" Suara Andin membuat Lukman terperangah ketika lelaki itu duduk di meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor.Suasana rumah Andin mulai mengalami sedikit perubahan karena Andin sudah kembali berbicara kepada suaminya setelah beberapa hari mogok bicara. Lukman merasa lega, dia bisa berangkat ke kantor dengan tenang. Namun meski begitu, masalah yang sebenarnya belumlah selesai dan Lukman tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya."Apa saja asalkan dimasak oleh istriku," jawab Lukman.Andin dengan cekatan memanggang roti tawar di dalam pemanggang lalu menggoreng telur setengah matang. Sambil menunggu telur yang berada di dalam penggorengan, wanita itu mengiris bawang bombai yang dia masak sebentar di samping telur, lalu mengiris beberapa sayuran mentah untuk dibuat sandwich.Andin sendiri tidak membicarakan masalah yang tengah dia hadapi, bahkan setelah melihat konferensi pers kemarin, Andin sama sekali tidak membicarakan kakeknya seolah konferensi pers itu
Bambang Sukseno adalah pengusaha paling sukses hingga dinobatkan menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia. Dia memiliki banyak relasi dan jangkauan yang luas naik di dalam maupun luar negeri, sehingga namanya sangat tersohor dan dikenal semua lapisan masyarakat di Indonesia.Bahkan, Bambang seringkali masuk pemberitaan acara atau akun gossip yang suka sekali meliput kegiatan keluarganya, baik di rumah maupun saat liburan bersama, sebab keluarga Bambang adalah keluarga yang harmonis, keluarga cemara yang sempurna. Lelaki itu bahkan dijuluki family man karena dianggap sangat romantis tanpa adanya pemberitaan miring yang menimpa keluarganya.Namun, konferensi pers yang dilakukannya di hadapan awak media hari ini seakan mematahkan semua persepsi tersebut. Bambang mengakui semua dosa-dosanya, dia mengumumkannya kepada dunia bahwa dia bukanlah manusia yang sempurna. Bambang tidak sebaik yang oranng-orang kira.“Saya melakukan konferesni pers ini untuk mengatakan bahwa saya memiliki ist
"Andin, Sayang ... sudah, ya, maafkan aku. Ayo kita pulang!" ajak Lukman.Lukman merangkul Andin dengan penuh kesabaran, lalu memeluknya berharap wanita itu bisa lebih tenang. Dengan wajah cemas sekaligus panik, lelaki itu mengajak Andin pulang sebab kalau sudah begini, nasehat, saran, dan penjelasan apa pun takkan bisa masuk ke dalam perenungan.Lukman sendiri tidak menyangka kalau reaksi Andin akan seperti ini. Pikirannya hanya membayangkan kalau Andin akan bahagia karena ternyata masih memiliki kakek yang masih hidup dan memiliki ikatan darah yang kuat, sebab Bambang adalah ayah kandung dari Rendi Irawan.Namun, ternyata reaksi Andin sungguh tak terduga. Andin marah, tidak terima, bahkan menangis histeris menyalahkan Bambang."Pak Bambang, saya sangat terkejut dengan apa yang telah terjadi, mohon maaf atas kekacauan ini. Saya akan mencoba membicarakan ini kepada istri di rumah ketika dia sudah tenang. Kami pamit ya, Pak!" ucap Lukman masih sambil memeluk Andin yang kini menangis da
"Jadi, kamu adalah anak Rendi? Kamu adalah cucuku ...." ucap Bambang dengan suara lirih.Pertanyaan sekaligus ungkapan itu membuat Andin tercengang, antara percaya dan tidak percaya, semua itu sulit untuk dipercaya. Bambang sendiri terisak sementara Andin merasakan tubuhnya seperti membeku, tidak bisa bergerak sama sekali. Wanita itu syok atas apa yang telah didengarnya barusan."Pantas kamu mirip sekali dengan anakku, bahkan aku sampai mengira kalau kalian adalah orang yang sama meskipun tidak mungkin juga rasanya. Aku ... aku minta maaf, cucuku, aku sudah menelantarkanmu hingga kamu mengalami banyak hal yang berat semasa kamu ditinggalkan ayah dan ibumu," papar Bambang masih terisak.Dada Andin kini kembang kempis, tangannya mengepal kuat dengan tatapan mata yang tertuju pada sosok lelaki tua yang mengaku sebagai kakeknya. "Selama ini, saya hidup sebatang kara. Jadi, saya tidak bisa percaya begitu saja atas apa yang Bapak katakan," sahut Andin tegas dengan tatapan tajam.Sahutan it
Andin, Lukman, Bambang, dan juga sekretarisnya telah selesai dengan hidangan utama mereka dan mulai menikmati dessert berupa puding serta buah yang segar, lalu ditutup kembali dengan teh yang kembali diisi oleh pelayan karena Bambang mengatakan bahwa mereka akan di sana untuk beberapa lama lagi.Ya, Andin baru ingat kalau Bambang tadi berkata ingin mengobrol dengannya dan juga Lukman sehingga dia tidak bisa pergi cepat-cepat dari sana. Entah apa yang akan Bambang bicarakan, yang pasti Andin hanya berpikir kalau lelaki tua itu mungkin ingin membicarakan masalah kerja samanya bersama Lukman.Andin tidak banyak bicara apalagi membantah, dia manut dan duduk mendampingi suaminya. Ada secercah senang dalam hatinya, juga perasaan dihargai karena dilibatkan dalam pekerjaan sang suami.Dan benar saja, sekretaris Bambang mengeluarkan sebuah berkas yang harus Lukman tandatangani. Dia menyimpannya di atas meja yang sudah dibereskan dan dibersihkan oleh pelayan beberapa saat yang lalu, setelah itu