Mobil mewah berwarna hitam melaju memasuki halaman luas rumah keluarga Mahendra. Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga. Arfan duduk di kursi pengemudi dengan rahang mengeras, sementara di sebelahnya, Nadin tersenyum tipis. “Kau yakin ingin melakukan ini?” tanya Nadin, suaranya lembut, tapi ada nada mengejek yang terselubung. Arfan menatap lurus ke depan. “Aku tidak punya pilihan.” Nadin mengangkat bahu, “Kalau begitu, ayo masuk. Aku tidak sabar melihat reaksi mereka.” Arfan mengepalkan tangannya, tapi tak berkata apa-apa. Ia keluar dari mobil, lalu berjalan ke sisi lain untuk membuka pintu bagi Nadin. Wanita itu turun dengan anggun, mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda. Matanya berbinar penuh kemenangan. Ketika pintu rumah terbuka, mereka langsung disambut oleh seorang pelayan yang terkejut melihat siapa yang datang. “Tuan Arfan…?” Namun, sebelum pelayan itu bisa mengatakan lebih jauh, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari dalam rum
“Sudah berapa tahun kalian menikah, tapi, kenapa sampai sekarang kamu belum juga hamil? Apa gunanya kamu jadi istri?” ucap Farida dengan suara dingin dan ketus. Matanya menyipit, menatap tajam perut Rina seolah menunggu jawaban yang sudah lama diinginkannya. Mendengar ucapan sang mertua membuat wajah Rina mendadak tegang. Meskipun di hadapannya tersedia berbagai makanan lezat, namun tak ada sedikit pun rasa lapar dalam dirinya. Sementara, Arya, suaminya, duduk dengan tenang tanpa peduli ocehan sang mama. Malam ini adalah malam yang selalu dihindari oleh Rina—makan malam di rumah mertua, di bawah tatapan tajam Farida, ibu Arya. "Jawab Rina! Jangan hanya diam dan menundukkan kepala saja!" Kali ini, Farida kembali menekannya Rina menelan ludahnya kasar, merasakan tenggorokannya kering. Di sudut matanya, dia bisa melihat Arya hanya diam, tak berniat sedikit pun untuk membela. “Maaf, Ma, aku dan Mas Arya sudah berusaha, tapi mungkin memang belum diberi,” jawab Rina dengan suara pelan, me
Adzan subuh sudah berkumandang, seperti biasa, Rina bangun lebih dulu. Saat dia membuka mata, suami tampannya sudah ada disebelahnya. "Jam berapa kamu pulang, Mas? Aku menunggumu hingga pukul 12, tapi kamu masih belum datang," gumam Rina sambil menatap wajah tampan suaminya. Wajah yang dulu menenangkan, tetapi sekarang, entah kemana semua itu?Sejak beberapa bulan yang lalu, sikap Arya mulai berubah. Meski Arya jarang memperhatikannya, tapi Arya tidak pernah bersikap dingin dan acuh. Namun kini, semua berbeda. Setiap pulang, lelaki itu pasti akan selalu sibuk dengan handphone-nya. Pernah Rina melirik, pesan dari seseorang berinisial 'M' sering terlihat olehnya. Hal ini membuat Rina curiga.Saat Arya bangun, Rina mencoba menata dirinya agar tidak tampak mencurigakan. Namun pikiran-pikiran tentang pesan misterius itu terus menghantui. "Dimana sarapannya, Rina?" Sentak Arya membuat Rina melonjak kaget."Ada di meja," balas Rina singkat, mencoba tersenyum, meski ada beban di hatinya. Ia
Rina memandang dirinya di cermin kamar, wajahnya tampak pucat dengan mata sembap karena kurang tidur. Sudah berhari-hari ia dihantui perasaan tidak tenang karena memikirkan pesan misterius yang ada di handphone sang suami, Namun pagi ini, firasat buruk itu terasa lebih kuat karena kedatangan Farida, ibu mertuanya yang dengan tiba-tiba mengajaknya pergi. Rina memoleskan bedak tipis di wajahnya kemudian lipstik berwarna nude di bibirnya. Setelah melihat dia sudah tampil rapi, wanita itu pun keluar dari kamarnya sebelum sang mertua mengomel tidak jelas padanya. Begitu keluar dari kamar, ia sudah melihat Farida duduk di ruang tamu, wajahnya keras seperti biasa. Tanpa basa-basi, Farida melontarkan sindiran, "Kenapa lama sekali? Mau dandan setebal apa juga mukamu gitu-gitu aja! Sudah tidak bisa bikin anak, malah bikin kesel aja!" Rina menahan rasa sakit yang menyusup di hatinya. Perkataan seperti itu bukan hal baru baginya, tapi pagi ini, setiap kata terasa lebih tajam, lebih menyakitka
Rina berjalan menuju mobilnya dengan langkah gemetar. Tangannya seolah tak memiliki tenaga untuk membuka pintu mobil. Dia pun menjatuhkan tubuhnya di kursi mobil dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Dia teringat kata-kata Arya yang begitu dingin. Seolah tak ada beban saat mengucapkan kalimat talak itu. Dia mencoba menyeka air matanya, tetapi tak kuasa menghentikan tangisannya. "Semoga kamu tidak menyesali keputusanmu, Arya. Dan jika saat itu tiba, aku tidak akan mau memberikan maafku!" lirihnya. Setelah menghela napas panjang, Rina menyalakan mesin mobil. Namun, isak tangisnya tak kunjung reda, yang ada hatinya semakin perih mengingat semua perlakuan Arya tadi. Jalanan di depannya terlihat kabur akibat air mata yang terus mengalir. Berulang kali, dia hampir menabrak pengendara motor di depannya. "Hei, kalau tidak bisa menyetir jangan bawa mobil!" teriak pengendara motor yang hampir dia tabrak. "Maaf-maaf, lain kali saya akan hati-hati." ucap Rina sambil menakupkan t
"Baiklah, Nona. Kartu namamu aku pegang. Nanti malam, aku tunggu di hotel X. Jika kamu tidak datang, jangan salahkan aku jika besok aku akan datang di kantormu dan membuat kamu membayar ganti rugi ini dengan caraku. Selamat tinggal, Nona." Senyum smirk terbit di bibir lelaki tampan itu.' Rina menutup pintu mobilnya dengan penuh kekesalan. Setelah kejadian yang menyakitkan dengan Arya, dia berusaha mengumpulkan kembali hidupnya. Naas, dia justru malah menabrak mobil orang. "Sial, kenapa aku harus bertemu dengan pemuda slengean dan mesum seperti dia!” gerutu Rina sambil mengendarai mobilnya.Namun, pikirannya tak bisa lepas dari wajah pria tersebut. Di balik sifatnya yang begitu ia benci, Rina tak dapat memungkiri kalau wajah pria itu jauh lebih tampan dari Arya.Selang beberapa menit kemudian, Rina sudah sampai di rumah orang tua angkatnya. Selama ini, Arya tidak pernah tahu, jika Rina adalah anak angkat dari pengusaha kaya bernama Claudia. Rina pun merebahkan tubuhnya di kamar
Pandangan Arya tak bisa beralih dari wajah Rina. Wanita yang menemaninya hampir tiga tahun ini. Namun tak pernah sedikitpun dia lihat. Dan kini, wanita itu ada di hadapannya. Rina seolah menjelma menjadi cinderella saat ini.Selama ini, Rina memang selalu berpenampilan sederhana. Jika di rumah, wanita itu selalu memakai daster seperti ibu-ibu yang beranak lima. Namun sekarang, tubuhnya dibalut dengan gaun hitam dan hijab pasmina membuat kecantikan wanita itu meningkat berkali-kali lipat. "Rina?" suara Arya terdengar parau, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Arya memegang dadanya yang tiba-tiba saja bergetar hebat. Tak hanya Arya yang kaget, Hana pun sama kagetnya melihat mantan istri suaminya ada di acara sebesar ini. Namun, untuk bicara, wanita itu tidak berani. Rina tersenyum tipis, senyum yang penuh rahasia. Arya ingin bertanya lebih banyak, tapi Rian sudah mendahuluinya dengan mengulurkan tangannya. "Rian, teman dekat Rina. Senang bisa bertemu denganmu, Arya." Rian
Hana yang tidak tahan melihat perhatian Arya yang terus tertuju pada Rina langsung menarik lengan Arya. "Arya, sampai kapan kamu terus terpaku pada wanita itu? Dia sudah tidak ada hubungannya denganmu. Apa kamu tidak ingat kenapa kamu meninggalkannya?" Arya hanya diam, matanya tetap terarah pada punggung Rina yang semakin menjauh. "Kamu tidak usah ikut campur urusanku," jawabnya dengan nada dingin. Hana pun tersulut emosinya. "Apa maksudmu, Arya? Apa hanya karena sekarang dia tampak berbeda, kamu jadi lupa semua yang sudah kamu lakukan padanya? Kamu sudah menceraikannya dan memilihku! Dan sekarang, kamu berdiri di sini seolah kamu menyesali keputusanmu?" "Aku tidak butuh ceramah darimu, Hana," potong Arya, matanya tajam menatap wanita itu. "Kamu tidak pernah mengerti apapun tentang Rina. Kamu hanya tahu apa yang ingin kamu lihat." Hana merasa terhina dan marah. "Jadi ini semua salahku, ya? Setelah semua yang aku lakukan untukmu, kamu malah mengabaikanku begitu saja?" Arya me
Mobil mewah berwarna hitam melaju memasuki halaman luas rumah keluarga Mahendra. Matahari mulai tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga. Arfan duduk di kursi pengemudi dengan rahang mengeras, sementara di sebelahnya, Nadin tersenyum tipis. “Kau yakin ingin melakukan ini?” tanya Nadin, suaranya lembut, tapi ada nada mengejek yang terselubung. Arfan menatap lurus ke depan. “Aku tidak punya pilihan.” Nadin mengangkat bahu, “Kalau begitu, ayo masuk. Aku tidak sabar melihat reaksi mereka.” Arfan mengepalkan tangannya, tapi tak berkata apa-apa. Ia keluar dari mobil, lalu berjalan ke sisi lain untuk membuka pintu bagi Nadin. Wanita itu turun dengan anggun, mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda. Matanya berbinar penuh kemenangan. Ketika pintu rumah terbuka, mereka langsung disambut oleh seorang pelayan yang terkejut melihat siapa yang datang. “Tuan Arfan…?” Namun, sebelum pelayan itu bisa mengatakan lebih jauh, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari dalam rum
"Ugghh, dimana aku?"Arfan merasa kepalanya berat. Penglihatannya masih buram saat matanya terbuka perlahan. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Aroma parfum lembut menyengat hidungnya, bercampur dengan bau alkohol.Arfan melihat ke samping, tubuhnya menegang seketika saat melihat wanita yang polos tanla sehelai benang pun ada di sampingnya. Wanita itu sedang tertidur lelap dengan selimut yang membalut tubuhnya.Jantung Arfan berdegup kencang. Apa yang terjadi semalam?Ia mencoba mengingat, tapi kepalanya berdenyut nyeri.Lalu, ingatan samar-samar mulai muncul...Nadin mengajaknya makan malam di rumahnya. Ia menolak awalnya, tapi melihat ketulusan Nadin yang ingin meminta maaf, Arfan akhirnya setuju.Namun, setelah beberapa gigitan makanan, tubuhnya tiba-tiba terasa panas. Dadanya berdebar lebih cepat dari biasanya. Suhu tubuhnya meningkat dan pikirannya mulai kacau.Arfan memegang kepalanya yang terasa berat. Astaga… ada sesuatu dalam maka
"Kamu dimana, Arfan?" gumam Keisha saat teleponnya tidak diangkat oleh sang adik. Keisha khawatir, karena adiknya itu tiba-tiba menghilang sejak peristiwa di restoran malam itu. Apalagi, tak satupun pesan dan teleponnya dijawab oleh Arfan membuat wanita semakin merasa cemas. Keisha duduk di ruangannya dengan wajah masam. “Arfan benar-benar bertingkah sekarang.” Rina masuk ke kantor putrinya dengan membawa dua cangkir kopi. “Berilah dia waktu, Keisha. Luka karena kebohongan itu tidak mudah disembuhkan.” Keisha menghela napas berat. “Aku tidak suka ini, Mom. Aku takut Arfan akan kembali ke Nadin dan itu akan menjadi bencana buat kita. Apalagi, jika Nadin benar-benar menuruti kemauan ibunya untuk menghancurkan kita.” Rina menatap putrinya dengan lembut. “Cinta tidak bisa dipaksakan Keisha. Jika Arfan memang mencintai Nadin, maka kita harus mempercayainya.” Keisha menatap ibunya dengan ragu. “Tapi bagaimana kalau ini jebakan Karina?” Rina menghela napas. “Itulah yang harus
Malam ini, Arfan mengajak Nadin makan malam romantis di sebuah restoran mewah. Ia berencana melamar wanita yang dicintainya itu. “Nadin, aku ingin membangun masa depan bersamamu. Aku ingin kita menikah.” Kata Arfan sambil menatap Nadin penuh harap. Nadin terdiam. Wajahnya pucat, tangannya gemetar. Namun, sebisa mungkin, dia merubah wajahnya kembali seperti semula."Aku akan bilang sama Mama, dulu," ucapnya gugup.Arfan pun mengangguk. "Sabtu besok, kita akan bicarakan masalah ini dengan kedua orang tuamu dan ibumu. Kita bertemu di resto Gama."Malam itu, di restoran mewah di pusat kota, pertemuan dua buah keluarga telah digelar. Mereka akan membahas tentang pertunangan Arfan dan Nadin.Rina dan Arya duduk berdampingan, menatap calon menantu mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Keisha, yang masih sedikit curiga pada Nadin, duduk dengan sikap waspada."Jadi, Nadin," Arya membuka percakapan, "bisakah kau ceritakan sedikit tentang keluargamu?"Nadin tersenyum tipis, tetapi tangannya ter
20 Tahun Kemudian"Kak, bagaimana Mahendra?" tanya Arya pada sang putri saat mereka sedang sarapan.Sebelum memjawab, wanita berusia 28 tahun itu melirik adiknya. "Sejauh ini aman sih, Pa. Hanya saja, Arfan selalu santai dalam mengerjakan apapun. Entah bagaimana proyek Arkana di tangannnya."Arya memang sangat memanjakan Arfan. Lelaki itu selalu meminta bantuam sang ayab saat melakukan kesalahan."Bagaimana, Dek? Apa proyek Arkana berjalan dengan lancar? Ingat, jangan sampai kamu melakukan kesalahan," Arya mengingatkan putra semata wayangnya."Beres, Pa. Papa tenang saja, proyek ini pasti berhasil," sahut pemuda berusia 24 tahun itu.Meski ada rasa iri di hatinya karena sang kakak yang hanya menaruhnya di perusahaan cabang, tetapi, Arfan tidak berani protes. Karena baik sang ayah maupun sang ibu tak pernah mengizinkan dia memegang kantor pusat.---Di Kantor Mahendra Corp.Keisha duduk di ruangannya, menatap laporan keuangan sambil menghela napas panjang. Ia lalu menekan tombol interk
"Sayang, kata dokter, supaya kamu cepat melahirkan, kamu harus sering-sering colek aku. Nih coba lihat video-nya dokter yang viral itu!" kata Arya sambil menunjukkan salah satu video di tok tok.Rina mengerutkan dahinya. "Bilang aja kamu lagi pengen. Pake kata dokter segala," sindir Rina.Arya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hehehe, kamu tahu aja."Rina pun tersenyum. Lalu masuk ke dalam kamar. Dia memang sudah mempersiapkan diri, ingin memberikan suaminya servis terbaik sebelum lelaki itu harus berpuasa lama setelah dia melahirkan.Tak lama, Rina pun keluar dengan gaun satin tanpa lengan yang pendek dengan pose yang begitu menantang. "Baby, wanna play?"Arya pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Lelaki itu langsung menggendong istrinya ke kamar kemudian menaruhnya di ranjang."Mencoba menggodaku? Hhhmm?"Rina hanya tersenyum. Kemudian menarik Arya dan menyatukan bibir mereka. Tak lama, suara erangan dan desahan menggema di seluruh ruangan.Saat di tengah permainan, Rina sudah
"Mas, kamu belum mandi ya?" tanya Rina sambil menutup hidungnya."Sudah sayang, bahkan Mas udah dua kali loh, mandinya," protes Arya sedikit kesal saat dirinya dibilang bau oleh sang istri."Kalau gitu, aku makan di kamar saja. Aku mual kalau deket-deket kamu, Mas," kesal Rina lalu membawa makanannya ke kamar.Arya kembali duduk di ruang makan dengan wajah lesu. Sudah beberapa hari ini, Rina selalu mengeluh bau tubuhnya. Padahal, Arya selalu mandi dan memakai parfum agar Rina tidak mual. Namun, tetap saja sama. Rina tetap mual jika berdekatan dengannya. "Papa, Mama kenapa sih? Kok Mama nggak mau ketemu Papa?" tanya Keisha dengan polos.Arya menggeleng, mencoba tersenyum walau hatinya gelisah. "Mama kamu mungkin lagi butuh waktu, Sayang. Papa juga nggak tahu kenapa Mama begitu."Keisha memiringkan kepala, lalu menepuk tangan ayahnya. "Papa jangan sedih, ya. Keisha akan coba tanya Mama lagi."---Di kamar, Rina duduk di tepi ranjang sambil memegang perutnya. Air matanya mengalir tanpa
"Keisha sudah tidur?" tanya Arya saat lelaki itu masuk ke dalam kamar.Rina mengangguk. Arya menatap istrinya dengan mata berbinar. Bathrobe yang Rina kenakan sedikit tersingkap membuat dadanya sedikit terlihat. Namun, sepertinya, Rina tak menyadari hal itu.Pria iru pun merangkak naik ke ranjang dan mengungkung istrinya. "Mas, kamu mau apa?" tanya Rina yang mendadak tegang malam ini. Padahal, sebelumnya, mereka pernah melakukannya."Bolehkah aku meminta hakku malam ini, Sayang?" bisik Arya yang tanpa menunggu jawaban langsung mencium bibir merah sang istri yang sedari tadi menggodanya. Ciuman itu pun turun ke leher memberikan gelanyar aneh di tubuh Rina."Mas ...." desahnya.Arya tak bisa lagi menahan hasratnya. Lelaki itu terus menyentuh titik sensitif Rina membuat wanita itu mencengkeram sprei kamar hotel itu dengan kuat menahan hasrat.Arya yang terus menyerang setiap titik tubuh Rina membuat rasa takut seolah menghilang berganti dengan kenikmatan yang membuat Rina mendesah manja
"Kalau anak itu memang anakmu, apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu akan membiarkan Karina membesarkannya sendirian?"Arya menggeleng dengan mantap. "Aku nggak akan lepas tanggung jawab, Rina. Kalau memang anak itu anakku, aku akan menafkahinya. Aku akan memastikan dia mendapatkan apa pun yang dia butuhkan. Tapi aku nggak akan menikahi Karina."Rina mengerutkan kening, hatinya terasa berat. "Arya, aku nggak tahu apa aku bisa menerima ini. Bagaimana dengan status anak itu? Dia punya hak untuk memiliki keluarga yang utuh."Arya menatap Rina, wajahnya penuh kesungguhan. "Dengar, Rina. Kalau Karina ingin status untuk anak itu, maka aku punya solusi. Anak itu akan menjadi anak kita. Kamu dan aku akan mengadopsinya."Rina terkejut mendengar pernyataan Arya. "Adopsi? Kamu serius, Arya? Bagaimana kalau Karina tidak setuju?"Arya menghela napas panjang, tangannya meremas-remas lututnya. "Hanya ini satu-satunya cara untuk menghadapi drama gila Karina. Aku tidak akan membiarKn dia selalu memgaca