Part 63"Aku juga sangat bersyukur karena bisa menikah dengan Aa."Mereka berpandangan sejenak. Meski dari tatapan mata, tersirat jelas kalau keduanya menyimpan perasaan cinta yang begitu besar, hangat dan juga dalam.Putra hendak mencium istrinya. "Daddy! Mommy!" seru Alvaro mengagetkan mereka. Mereka tersenyum salah tingkah menyadari masih ada si kecil tampan yang berada di sana."Ya, ada apa, Sayang?" tanya Hana. Alvaro langsung meraih uluran tangan Hana. "Mommy, ayo kita tiduy, Vayo ngantuk.""Varo, jangan manja, coba belajar tidur sendiri!" pungkas Putra."Gak mau, Vayo mau ditemenin sama mommy!" Alvaro cemberut."Iya, ayo mommy temani.""Bacain dongeng ya, Mommy.""Dongeng apa, Sayang?""Si Kancil yang ceydik.""Iya, ayo, Nak. Kita tidur. Sebelum baca dongeng, inget gosok gigi dulu ya!"Alvaro mengangguk cepat. Dan segerq berlari menuju kamarnya."A, aku temani Alvaro dulu.""Hmm, iya, buatlah dia tidur cepat. Biar aku bisa bersamamu lebih lama."Hana tersenyum simpul mendenga
Part 64Wijaya mengirimkan pesan pada orang suruhannya. [Awasi terus dan laporkan semuanya padaku] [Baik, pak bos]Wijaya berpikir sejenak. Apa yang harus dilakukannya saat ini. Karena ia tak mungkin berdiam diri setelah Mariana menginjak-injak harga dirinya.Wanita yang dulu begitu agresif menggodanya, kini justru dingin. Mobil berwarna hitam itu melesat pergi meninggalkan area perkantoran. Mobil berbelok ke kompleks perumahan dimana ayah dan ibunya tinggal. Di halaman, tampak sang ibunda tengah menyapu. Bu Samira langsung tersenyum kala melihat putranya datang."Wijaya, kau datang lagi ke sini? Apa kau sedang ada masalah?"Bambang Wijaya langsung menghela napas berat. Lalu menunjukkan video Mariana bersama seorang lelaki."Inilah perangai menantu pilihan Mama. Hanya karena aku tidak bisa memberi keturunan dia bermain api di belakangku, Ma! Apa yang harus kulakukan?"Bu Samira tampak shock melihat itu semua. "Mama tak menyangka Mariana tega seperti itu.""Ratu tega. Kalau begini
Part 65Sasya tersenyum lega karena pada akhirnya, ia kembali menghirup udara bebas. Perempuan itu langsung meninju lengan Farish. "Rish, thank you banget ya udah bantu gue! Thank you lu udah cariin pengacara handal untuk gue! Ya meskipun gue jadi punya utang budi sama lu! Pokoknya terima kasih Farish ganteng!"Farish tertawa lirih mendengar ucapan Sasya. "Iya, gue lakukan itu demi ...""Demi-kian!" celetuk Sasya, hingga akhirnya mereka tertawa bersama.Keduanya kini berada dalam satu mobil yang sama hendak pulang ke rumah Sasya. Sepanjang perjalanan diwarnai oleh obrolan ringan. Hingga Sasya menepuk-nepuk lengan Farish. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Rish, berhenti Rish, sebentar!" tukasnya."Ada apa?""Rish, itu kan yang lagi jalan anak gue!" cetusnya lagi seraya menunjuk ke tempat dimana Alvaro berada.Farish mengikuti arah tunjuknya. Ia pun melihat bocah lelaki tampan berjalan, diikuti seorang wanita cantik berjalan terburu-buru."Kurang ajar banget istrinya Putra!
Part 66"Tunggu, Hana!" Seorang lelaki datang mendekat. Ia tersenyum ramah pada mereka."Pak Farish? Ada apa?""Haha, tadi aku gak sengaja lihat kalian, makanya turun dan memastikan venar atay tidak.""Ya, memangnya ada?" "Halo jagoan! Masih ingat sama Om?" sapa lalaki itu dengan senyum sumringah.Iya pun langsung mengangkat tangannya, Alvaro menyambut tangan lelaki itu dengan menepuknya."Om Fayis?""Ahaha, ganteng, masih ingat ya! Kok kalian mau naik taksi? Sopir kalian gakqq jemput?""Enggak Om, soalnya lagi sibuk anter daddy.""Emang daddy kemana, Jagoan?""Lagi keluay kota," sahut bocah lelaki itu dengan polos.Hana jadi tak enak sendiri mendengarnya."Alvaro, sudah yuk kita pulang, udah siang nih! Maaf ya, Pak Farish kami harus pulang dulu, kami permisi," sahut Hana menyela obrolan mereka."Its oke, gak masalah. Jadi kalian tetap mau naik taksi? Atau mau kuantar?" Farish sengaja menawarkan diri meski tahu jawaban Hana seperti apa."Tidak perlu, Pak Farish, kami naik taksi saj
Part 67"Hana, aku hanya ingin bertemu anakku. Bagaimana kalau posisinya diubah, kau seorang ibu yang dilarang bertemu dengan anakmu sendiri? Bagaimana perasaanmu? Sakit bukan?"Hana masih terdiam. Hingga sebuah panggilan menghenyakkannya."Mommy!" panggil Alvaro yang berlari ke arahnya.Sasya tersenyum dan hendak meraih bocah tampan itu. Tapi Alvaro langsung bersembunyi dibalik tubuh Hana."Tante jahat mau ngapain?" tanyanya takut-takut."Sayang, Alvaro ... ini mommy, bukan tante.""Tante jahat peygi! Jangan datang kesini!" teriak Alvaro lagi.Menyadari anak sambungnya tidak nyaman dengan situasi ini, Hana pun segera mengambil sikap. "Maaf ya, Mbak Sasya, mbak dengar sendiri kan Alvaro bilang apa? Tolong tinggalkan kami."Sasya seolah tak peduli dengan perkataan Hana. Ia masih berusaha membujuk Alvaro."Alvaro, Sayang ... mommy punya mainan nih untukmu, ayo main sama mommy!" tandasnya lagi.Alvaro makin mengeratkan pelukannya di tubuh Hana. "Gak mau! Aku gak mau!"Hana menghela napas
Part 68"Habis dari mana saja kau, Mariana? Jam segini baru pulang?"Mariana hanya tersenyum masam. "Cari kesenangan.""Apa maksudmu?""Sudahlah, Mas, jangan mempermasalahkan hal ini, aku juga tak pernah mempermasalahkanmu.""Mariana, tapi ini tidak benar. Kamu tak boleh seperti ini, kau masih punya suami, harusnya kamu menghormatiku!""Ya sudah kalau begitu kita bercerai!"Bambang Wijaya makin emosi dibuatnya. "Kamu enteng sekali berkata cerai?""Memangnya kenapa? Bukankah itu yang kamu mau?"Hampir saja Wijaya melayangkan tamparan di pipi Mariana. Hingga sebuah ketukan pintu menyadarkannya.Wijaya mendengus kesal. Sangat kesal. Ia segera berlalu menuju pintu dan membukanya. Rupanya Mahesa, sang kakek yang mengetuk pintu."Kakek? A-da apa?" tanya Wijaya kaget. Tumben sekali pria itu belum tidur dan malah datang ke kamarnya."Kakek yang harusnya tanya pada kalian, kenapa malam-malam ribut? Kalian bertengkar?""Ah, itu, anu Kek, kami--"Mariana datang mendekat, lalu berdiri di samping
Part 69"Jangan seenaknya sendiri dong, Pak, masa sisa tagihan kami tidak dibayar? Dan kalian datang ke sini untuk apa? Cuma jadi penonton saja?""Iya, iya, harap tenang, bapak-bapak, ibu-ibu, kami sedang mengupayakannya. Kami usahakan agar hak bapak dan ibu sekalian dibayarkan secepatnya. Tapi semua ini butuh proses, jadi jangan memperkeruh suasana dulu."Putra terpaksa setuju dengan persyaratan dari mereka, demi membebaskan Lian dan kepala proyek.Sementara itu, masalah lain muncul saat bapak dari seorang gadis yang dibawa kabur menuntut."Tunggu dulu, Pak, apa benar putri bapak diculik oleh Bama? Atau keduanya suka sama suka dan tak ada paksaan dari pihak Bama?""Tidak, itu bohong! Putriku gadis yang baik-baik, dia tidak akan melakukan hal rendahan seperti itu!""Kami minta ganti ruginya! Jangan mentang-mentang kalian orang kaya dan kami ini orang miskin maka kalian berlaku seenakmya.""Iya, Pak, iya, tenang, tenang, kami juga masih berupaya untuk solusi yang terbaik. Mohon jangan
Part 70Bama melenggang pergi dari gerai ATM link. Perasaannya benar-bemar kesal.Lelaki paruh baya itu masuk ke dalam mobilnya lalu berteriak. "Aaarrggh, sialan!" Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan amarah. Berkali-kali, ia memukul stir bundar itu. Frustasi."Ini pasti gara-gara Putra! Ini pasti ulahnya! Ayaah, kenapa kau tega membekukan kartu ATM dan kartu kreditku! BRENGSEK!!"Seketika kepalanya terasa berdenyut. Apa yang harus dia katakan pada sang kekasih hati, kalau sekarang dia tak punya modal uang lagi? Sekali lagi, Bama mengambil napas dalam-dalam."Hah, apa yang harus kukatakan pada Yolanda? Dia pasti akan marah bila tau aku sudah tak punya apa-apa lagi. Ia mengambil dompetnya lalu memeriksa uang cashnya yang hanya tersisa beberapa lembar uanh warna pink itu. "Hah! Sial! Kalau cuma segini sih, cuma cukup untuk beberapa hari doang!" gerutunya seraya mengurut keningnya yang terasa penat."Yolanda pasti marah, bisa-bisa dia kabur dan aku yang ditangkap sama warga!"
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja