Terlihat Tuan Putra dan Nyonya Reni berdebat sejenak."Mbak gak habis pikir, kok bisa-bisanya kamu mau nganterin pembantu pulang kampung. Dia itu digaji buat bekerja sama kita, bukan malah sebaliknya. Kamu sudah gak punya otak ya, Putra?!""Sudahlah, Mbak, jangan ikut campur dengan urusanku.""Tapi dia kan cuma pembantu, kita itu tidak boleh seperti ini nanti lama-lama pembantu itu ngelunjak.""Mbak, jangan nilai seseorang hanya dengan strata sosialnya. Sudah cukup, saya tidak ingin mendengar sanggahan apapun lagi!" Tuan Putra menoleh ke arahku yang tak sengaja mencuri dengar perdebatan dengan Nyonya Reni."Hana, cepat masuk mobil."Aku mengangguk ragu. "Maaf, permisi dulu, Nyonya.""Oh ya, Mbak, bilang ke ayah, aku gak pulang tiga hari. Tidak usah dicari," ujar Tuan Putra penuh penekanan."Hah? Kamu?"Aku masuk ke dalam mobil, duduk memangku Alvaro. Secepat kilat kaca jendela mobil ditutup oleh Tuan Putra. Nyonya Reni tampak kesal sekali, terutama mungkin padaku. Ia pun segera mela
Part 15"Haha maaf Bu, ini Tuan Putra. Dia majikan Hana di kota, Bu."Aku terkejut, benar-benar tidak menyangka Tuan Putra bergurau sampai sebegininya. Debaran jantung jadi tak karuan dibuatnya. Gara-gara kata-kata itu saja membuatku gugup tak menentu.Astaghfirullah, ada-ada aja ini Tuan Putra. "Oh, ya ampun, majikan Hana. Maaf ya Tuan ganteng, ibu teh gak tahu, silakan masuk."Aku melirik ke arah lelaki itu yang tampak santai seolah tak terjadi apa-apa, membuatku makin salting saja. Lelaki itu masuk mengekori ibu lalu berdiri di sebelah ranjang pasien. Akupun menghampiri bapak yang tengah tertidur, wajah keriputnya tampak pucat. Kuciumi pipi bapak. "Pak, Neng pulang. Bapak cepat sehat ya, Pak. Cepat sembuh biar bisa beraktivitas seperti sedia kala," bisikku lirih di telinganya. Bapak bergeming, tak ada respon apapun darinya. Beliau tertidur nyenyak.Kamar rawat inap bapak adalah kelas dua, jadi satu ruangan ada dua kamar, cuma yang di sebelah kosong tidak ada pasien."Kalian dar
Part 16Aku terdiam. Suasana jadi begitu canggung sepanjang perjalanan. Ah, apa-apaan ini?Sesampainya di rumah ...Lampu ruang tamu sudah gelap, Husna mungkin sudah tertidur.Kuketuk pintu beberapa kali. "Assalamu'alaikum. Husna, ini teteh. Tolong bukain pintu ya!"Aku berteriak sekali lagi, hingga terdengar suara kunci diputar. Daun pintu mengayun terbuka. Adikku dengan mata menahan kantuk membuka pintu. Aku segera masuk dan menyalakan saklar lampu."Teteh udah pulang? Gimana bapak?"Aku tersenyum. "Alhamdulillah, kata ibu, bapak udah sadar. Pas di sana bapak sedang tidur.""Syukurlah kalau begitu.""Gimana, Alvaro bangun gak?""Enggak, Teh. Tidurnya nyenyak banget. Itu majikan teteh gak disuruh masuk?" tanya Husna. Aku menggarukkan kepala yang tidak gatal. "Mau lapor Pak RT tapi sepertinya Pak RT udah tidur ya? Malah takutnya ganggu.""Biarin aja sih, Teh. Suruh masuk aja kasihan."Aku keluar melongokkan wajah, menoleh ke kanan dan kiri tapi tak melihat sosok Tuan Putra dimanapun.
Part 17"Ehm ... Teteh lagi ngapain?" Spontanitas kami menoleh, aku terkesiap begitu juga dengan Tuan Putra, ia menurunkan tangannya saat melihat Arga yang sudah siap dan rapi memakai seragam putih merahnya. Seketika suasana menjadi canggung."Jadi ini majikan teteh ya? Yang teteh ceritain itu?" tanyanya lagi.Aku tersenyum. "Iya, sini Arga, salim dulu sama majikan kakak, ini namanya Tuan Putra, ayahnya Dek Alvaro."Adik laki-lakiku itu datang mendekat. Lalu menatap Tuan Putra dengan lekat dan menyalami tangannya."Sudah, ayo kita sarapan bareng. Teh Husna panggil juga ya, Dek Alvaro belum bangun kan?""Iya, belum, Teh."Arga mengangguk kemudian berlalu menuju kamarku."Maaf Tuan, tadi Tuan mau bilang apa?""Tidak jadi.""Ya sudah, kita makan dulu ya, Tuan. Maaf menunya sangat sederhana gak ada ikan maupun daging-dagingan.""Hmmm ..."Dia mengekor di belakangku lalu duduk di kursi kayu. Tak lama kedua adikku datang mendekat.Aku menyiapkan makanan untuknya dan kedua adikku. Mengambi
Part 18Setelah Pak RT pergi, aku beranikan diri menatap manik mata Tuan Putra yang kecoklatan penuh pesona."Maaf Tuan, kenapa jawabnya seperti tadi? Apa maksudnya? Bikin orang jadi salah paham aja!" gerutuku. Dia tampak santai, tapi tak kunjung menjawab perkataanku."Tuan?" panggilku dengan nada pelan."Ya?""Tuan tahu gak maksud ucapannya Pak RT tadi? Tuan kan majikan saya bukan calon suami saya. Saya tidak enak sama omongan orang-orang kampung yang kadang suka dilebih-lebihkan.""Kalau begitu sesuai ucapan Pak RT, saya akan menghalalkanmu," jawabnya terkesan mantap."Hah?" Aku terperanjat kaget dengan ucapannya. Sungguh tak habis pikir dengan ucapan pria tampan di sebelahku ini. Kok bisa? Apa yang dia suka dariku?"Kenapa terkejut? Saya merasa nyaman sama kamu. Terlebih Alvaro, dia sudah sangat cocok denganmu," jawabnya lagi. Jantungku makin bertalu dibuatnya."Hah? Tapi itu--"Jantungku berpacu dua kali lebih cepat dari biasanya. Apa ini artinya dia sedang melamarku? Rasanya ti
Part 19Tuan Putra sudah berada di belakang kemudi. Bapak dan ibupun sudah berada di jok belakang. Tadi dibantu oleh perawat yang bertugas. Perihal pembayaran Rumah Sakit tadi, akan saya tanyakan di rumah saja ketika sudah sampai."Sudah siap?" tanya Tuan Putra."Sudah, Tuan," sahut ibu sambil tersenyum.Mobil melaju dengan pelan. Sesekali Alvaro berceloteh riang. Dia menunjuk sesuatu yang dinilainya takjub. "Mommy, itu apa?""Mommy, itu apa?""Mommy, itu apa?"Dan pertanyaan lain yang serupa. Aku tersenyum.dan menjelaskan semua yang dia tanyakan. Meski memakan waktu lebih lama, akhirnya sampai juga di rumah. "Makasih ya, Nak," ujar bapak pada Tuan Putra saat ia membantunya masuk ke dalam rumah."Iya, bapak istirahat biar cepat sembuh," sahutnya.Ibu tersenyum, raut wajahnya pun terlihat sangat lelah. Ia masih menemani bapak agar bisa beristirahat.Gegas aku ke dapur, membuatkan teh manis hangat untuk mereka. Bapak, ibu dan Tuan Putra, agar badan mereka segar.Aku segera ke warung
Part 20Tetiba Alvaro mendorong wajah sang ayah dengan tangan mungilnya. "Daddy, jangan mayahin mommy! Kasihan Mommy," pungkasnya."Kamu belain mommy-mu ini?" tanya Tuan Putra, kini ia menatap sang anaknya yang lucu menggemaskan."Iya. Aku sayang mommy!" ungkap Alvaro lagi seraya menyandarkan kepalanya di bahuku."Jangan mayahin mommy, Vayo yang salah," ungkapnya lirih. Sepertinya dia sudah hampir menangis, karena gerak bibirnya yang cemberut dengan mata yang berkaca-kaca. Aku langsung mengecup pipinya dengan lembut. "Enggak sayang, daddymu gak marah kok. Tadi dia hanya bercanda saja," sahutku menenangkan Alvaro yang rupanya salah paham.Tuan Putra tampak menahan senyumannya lalu membelai kepala anaknya. "Maafin daddy ya!"Alvaro justru makin menyembunyikan wajahnya. "Mommy, ayo pulang!""Iya, ayo pulang," sahutku."Ayo sama daddy, Varo!" ujar Tuan Putra."Gak mau! Daddy mayah-mayah teyus! Nanti cepat tua loh!" tukas Alvaro, membuatku tertawa lirih karena kepolosan anak kecil ini.
Part 21"Neng ...!" panggil ibu.Aku menoleh ke arahnya begitu pula dengan Tuan Putra. "Neng, jadi selama ini Tuan Putra tidur di luar?""Iya, Bu.""Ya Allah, kasihan banget atuh, Neng. Kenapa gak disuruh tidur aja di--""Gak apa-apa, Bu. Saya malah menikmatinya, karena tak perlu pakai pendingin ruangan," jawab Tuan Putra."Jangan atuh ah, nanti sakit, masuk angin kalau tidur di teras terus. Kasihan Tuan, Neng.""Tapi itu atas kemauan Tuan sendi--""Sudah, mulai malam ini biar Tuan Putra tidur sama Alvaro di kamar kamu. Terus kamu tidur sama Husna. Jangan begini, kasihan. Angin malam itu gak baik untuk kesehatan."Aku mengangguk mengiyakan ucapan ibu. "Jangan begini lagi atuh, Neng. Tuan adalah tamu di rumah kita, harusnya kita menyambutnya dengan baik.""Sudah, Bu, jangan salahkan Hana. Saya tidur di luar karena saya cuma ingin menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, Bu.""Sudah, sekarang ada ibu. Ibu percaya Tuan teh gak akan melakukan sesuatu yang buruk. Maafin kami ya, Tuan.
Part 115 "Bagaimana aku melanjutkan hidup, Tante? Aku kehilangan semuanya! Aku kehilangan semuanya!!" teriak Mariana saat Reni masuk ke kamarnya. Ia berusaha menenangkan sang keponakannya itu."Tenang sayang, kamu gak sendirian. Kamu masih punya Tante di sini."Mariana masih menangis histeris. "Tapi, aku merasa dunia ini gak adil buat aku, Tante. Ini gak adil! Bukankah lebih baik aku mati saja, Tante? Hiks hiks!"Reni memeluk Mariana penuh kasih, mengusap punggungnya dengan lembut."Tante tau, ini pasti berat bagi kamu. Tapi kamu harus kuat, hidup akan terus berjalan. Kamu masih muda, Sayang. Perjalanan hidupmu masih panjang. Semua yang berlalu biarlah berlalu, semua yang pergi takkan mungkin kembali. Ayo kita perbaiki semuanya. Ayo kita mulai lembaran baru lagi! Jangan menyerah, Nak. Tante yakin, akan ada kebahagiaan setelah ujian bertubi-tubi ini."Mariana terdiam, pikirannya terus berkecamuk. Sedih, marah, rasa sesak dan ingin menyerah semua bercampur padu jadi satu. Sementara it
Part 114Mariana duduk di kamarnya dengan di bawah cahaya lampu temaram, menatap televisi tanpa benar-benar memperhatikannya. Malam itu terasa sepi, lebih sepi dari biasanya. Ia merasa khawatir saat menerima pesan sang suami bahwa ia tak bisa pulang, situasinya sedang gawat. Memangnya apa yang sedang terjadi?Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika ponselnya berdering.Mariana melirik jam dinding, menunjukkan pukul sebelas malam. "Siapa yang menelepon malam-malam begini?" gumamnya. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat gagang telepon."Halo?" suaranya terdengar lemah dan penuh kecemasan."Apakah ini dengan Ibu Mariana?" suara di seberang terdengar serius dan resmi."Ya, saya sendiri. Siapa ini?""Ibu Mariana, ini dari Kepolisian. Saya harus memberitahukan sesuatu yang sangat penting. Suami Anda, Bapak Wijaya, mengalami kecelakaan. Mobilnya jatuh dan terbakar."Deg! Jantung Mariana berdebar dengan kencang. Sejenak, dunia terasa seperti berhenti berputar. Suara dari telepon seperti
Part 113"Aaarrghh! SIAAALL!"'Hari apesku sepertinya mulai datang, ck!' gumam Wijaya. Belum sempat turun dari mobil, Wijaya segera berputar arah sebelum petugas polisi menyadarinya. Tapi sayang, salah seorang polisi memergoki mobilnya. "Ada mobil lain yang datang, tapi dia langsung pergi lagi!" "Kejar dia! Itu pasti komplotannya!"Di bawah langit yang gelap dan sebentar lagi turun huhan, pohon-pohon di samping kiri dan kanan jalan menjadi satu-satunya saksi dari kecepatan mobil hitam yang melaju dengan cepat di jalan raya yang sepi. Di dalam mobil itu, Wijaya duduk dengan tegang di kursi pengemudi. Tatapan cemasnya terpaku pada cermin belakang saat ia menyadari bahwa mobil polisi sedang mengejarnya.Saat ini, ia benar-benar terjerat dalam situasi yang sulit. "Yolanda kabur, lalu Om Heri tertangkap?! Astaga, lalu apa yang akan terjadi padaku?! Ini benar-benar di luar dugaan!" rutuknya sendiri.Wijaya mengambil ponseknya di dashboard lalu mengirimkan pesan suara pada sang istri.
Part 112"Tu-tuan Putra?""Ya, ini aku," sahut Putra singkat, padat dan jelas. Ia menatap tajam perempuan muda di hadapannya.Yolanda mendekat dan bersimpuh di hadapan pria tampan itu. "Tuan, tolong saya. Lepaskan saya dari sini, Tuan. Saya ingin pulang," rengeknya sambil menangis."Saya ingin pulang, Tuan.""Tidak semudah itu. Apa kau tahu kenapa aku membawamu kesini?"Yolanda menggeleng pelan."Apa kau tidak tahu apa kesalahan yang sudah kamu perbuat?"Seketika perempuan muda itu terdiam. Ia menyeka butiran air matanya sekilas dan tertunduk, tak berani menatap pria di hadapannya.Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu tutup mulut." tanya Putra penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud Anda?" Dia bertanya dengan nada gemetar.Pria itu tersenyum sinis, melihat kelakuan Yolanda. Apakah dia memang b0doh, tak tahu kesalahannya sendiri?"Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bah
Part 111"Tuan, kami sudah menemukan keberadaan Yolanda!" ucap sebuah suara di seberang telepon."Oh ya? Dimana dia sekarang?" "Dia tinggal di rumah kerabatnya Tuan Wijaya, Tuan.""Hmmm ...""Tapi sepertinya dia di sini cuma dijadikan pembantu, Tuan. Kami liat dia tengah melakukan pekerjaan rumah tangga," jelasnya lagi."Bawa dia ke tempat biasa, aku ingin dia menghadapku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tau, bawa dia saat mereka semua lengah!" tukas Putra di ujung telepon."Baik, Tuan, kami mengerti.""Pastikan juga orang-orang yang terlibat dengan Herry untuk segera ditangkap! Aku tidak mau masalah ini makin berlarut-larut!""Baik, Tuan."Putra mematikan panggilan teleponnya. Pria itu menghela napas dalam-dalam sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.Masalah-masalah besar yang membelitnya sungguh hal itu membuatnya sangat penat. Banyak sekali kejadian rumit, yang tak bisa dicerna oleh akal pikiran.Kenapa musuhnya harus orang-orang terdekatnya sendiri. Untuk apa? Ap
Part 110Putra keluar dari ruangan dan mencoba menghubungi orang rumah."Hallo, dengan kediaman keluarga Mahesa, ada yang bisa saya bantu?" ucap sebuah suara di seberang telepon."Hallo, Bi, ini Putra.""Oh, Tuan Putra. Ada apa, Tuan?""Bi, Mbak Reni apakah ada di rumah? Tolong panggilkan saya ingin bicara sebentar dengannya.""Maaf Tuan, tadi pagi Nyonya Reni pergi sama Tuan Heri. Nyonya Mariana sama Tuan Wijaya juga pergi.""Pergi? Kemana?""Saya kurang tau, Tuan. Nyonya Reni diam saja saat pergi. Kalau Nyonya Mariana pergi ke dokter, katanya mau check-up.""Ya sudah, baiklah. Tolong nanti kabari kalau Mbak Reni sudah pulang.""Baik, Tuan."Panggilan itupun berakhir. Pria itu tak kembali masuk ke dalam ruang perawatan ayahnya. Ia justru pergi dan menghubungi Derry.***Sementara itu, sejak pagi ... Mariana dan Wijaya bersiap-siap, akan check up ke dokter. Semalam, Mariana mengalami flek, maka dari itu, ia merasa sangat khawatir."Sayang, sudah tenang saja, aku akan antar kamu ke dok
Part 109"Aku senang sekali, sebenarnya aku masih belum percaya kau bisa hamil anakku. Mulai sekarang, jaga kandunganmu baik-baik, semoga lancar sampai persalinan nanti," jawab Wijaya.Mendapatkan kabar gembira ini, Bambang Wijaya pun segera memerintah para pembantu untuk memasak membuat kue dan hidangan lain untuk dimakan bersama-sama sebagai bentuk rasa syukur. "Aku akan jadi ayah, benarkan?" tanya Wijaya pada sang istri. Mariana mengangguk."Untuk lebih pastinya, besok kamu periksa ke dokter.""Iya, Mas."Mereka pun menikmati waktu minum teh dan memakan kudapan bersama. ***Di dalam kamar ...Usai menikmati waktu minum teh, Reni dan Heri berlalu ke kamarnya. Ia merasa senang akan kedatangan keluarga baru. Ia bahkan banyak berbicara pada sang suami dan melupakan insiden yang pernah terjadi.Lagi pula, Reni merasa aman karena sikap Heri sekarang baik-baik saja dan tak mengintimidasinya lagi."Aku mandi dulu ya, Sayang," ujar Heri. Ia meletakkan dompet, handphone dan jaketnya di na
Part 108Beberapa waktu sebelumnya ... "Hahaha.... " Suara tawa menggema memenuhi seisi ruangan. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sambil membayangkan kejadian yang telah terjadi beberapa waktu terakhir. Tak henti-hentinya, ia terus tertawa seolah baru saja mendapatkan kemenangan."Sebentar lagi kemenangan ada di tanganku. Aku bisa membalaskan dendammu, Ayah. Mahesa sekarang sudah tak berdaya tinggal tunggu waktu saja dan aku akan menguasai semua hartanya."Heri tersenyum simpul saat bermonolog dalam hati."Dia dan keluarganya akan membalas semua sakit hati yang kurasakan selama ini. Ayah, aku akan mengembalikan semuanya dan membersihkan namamu. Ya, meskipun engkau tidak bisa merasakannya, tapi sesuai janji dan tekadku padamu, mereka juga akan hancur pada titik yang terdalam." Batin Heri penuh dengan keyakinan.Tok tok tok terdengar suara ketukan pintu membuyarkannya. Tak lama seorang pria memasuki ruangan. Mereka duduk saling berhadapan saling memberi tahu perkembangan pekerjaan
Part 107"Keadaan rumah tidak baik-baik saja, Tuan!" ujar sebuah suara di seberang telepon. Setelah mengatakan hal itu, panggilan terputus begitu saja.'Siapa tadi yang meneleponku? Kenapa suaranya begitu asing? Apakah ada penjaga baru di rumah? Bukankah seharusnya mereka pakai telepon rumah?'' Putra berpikir keras karena ia tak mengenali suaranya."A, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Hana.Putra terhenyak dan menoleh menatap istrinya, ia mengusap pelan punggung tangan sang istri. "Tidak apa-apa," sahut Putra seraya tersenyum tipis. Putra menghela nafas dalam-dalam. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan pulang dulu untuk cek keadaan di rumah."Kali kali ini Hana mengerutkan keningnya, mencoba menangkap maksud ucapan sang suami."Katanya ada masalah di rumah, kau tunggu di sini saja ya, tungguin ayah dan juga Alvaro."Hana mengangguk ragu. "Apa aku tidak perlu ikut?""Tidak perlu, Sayang. Di Rumah Sakit ini lebih aman untuk kalian.""Kamu berkata seperti ini membuatku ja