“Sheryl, sarapannya jangan buru-buru gitu, Nak.” Anna mengusap lembut puncak kepala sang cucu.
Gadis kecil itu sedikit menegang dalam duduknya namun, mencoba bersikap biasa saja. Ia yakin banyak pertanyaan yang akan dilontarkan dari Eyang serta ayahnya. Makanya kenapa, ia buru-buru menyantap sereal berkuah manis itu. Sesekali, netranya melirik diam-diam ke arah pengasuhnya dengan gusar. Namun sepertinya, sang pengasuh asyik menyiapkan bekal di meja dapur.
“Kemarin, Eyang diberitahu Miss Rina tentang kejadian di sekolah.”
“Oh,” jawab Sheryl tanpa berani melihat ke arah Eyangnya. Persis seperti ketakutannya. Pasti nanti dirinya yang banyak mendapat ceramah. Seperti yang sudah-sudah.
“Memang kamu ngapain di sekolah, Princess?”
“Anka rebut pensil aku, Pa.” Sheryl mulai memelankan kunyahan pada serealnya.
“Terus?” tanya Daru tanpa mengalihkan matanya dari sang putri. Pagi ini, sosok kecil yang menjadi sumber semangatnya, sangat cantik dengan kepang dua pada rambutnya.
Dengan lugas, gadis kecil itu menjawab, “Aku tarik rambut Anka. Dia aja berlebihan, nangis terus.” Diletakkannya sendok yang sedari tadi menemaninya makan. Sebuah tisu yang ada di tengah meja makan, ia raih. Perlahan, Sheryl pun mengusap sisa susu yang menempel di bibirnya. “Sheryl mau berangkat sekarang.”
“Papa belum selesai bicara, Princess.”
Gadis kecil itu merengut.
“Kalau Sheryl ditarik rambutnya, pasti Sheryl kesakitan, kan? Pasti nangis.” Anna mencoba bicara mengenai sebab akibat yang cucunya perbuat. Entah sudah berapa puluh kali ia menasihati sang cucu mengenai perilakunya ini namun, semuanya dirasa sia-sia.
“Itu pensil kesukaan aku, Eyang.” Sheryl menatap eyangnya dengan sorot mata berkaca-kaca. “Aku enggak mau jahat, tapi Anka lebih jahat.”
Daru menghela napas panjang.”Memang Princess enggak bisa minta baik-baik?”
Dengkus tak suka diberikan Sheryl untuk Daru. “Sudah. Tapi Anka malah bilang ke teman-teman, kalau Sheryl yang ngambil pensil dia. Itu, kan, bohong.”
“Tapi bukan berarti kamu bisa melukai Anka seperti itu, Nak.” Anna kembali mengusap puncak kepala Sheryl dengan lembut.
Sheryl memilih beranjak dari kursinya. “Mbak, sudah belum? Ayo berangkat. Nanti aku telat.”
Sejak tadi, Kala bukan tidak memperhatikan interaksi ketiga orang ini di meja makan. Indera pendengarannya masih sangat jelas merekam segala percakapan tadi. Dirinya memang yang memberitahu Anna mengenai apa yang terjadi di sekolah. Bagi Kala, ini bukan masalah sepele. Harus ada penyelesaiannya namun, bukan seperti ini yang Kala harapkan. Ah, memang Kala siapa?
“Princess harus minta maaf sama Anka. Princess salah.” Ini kata-kata Daru. Mutlak.
Untuk pertama kali sejak beberapa minggu Kala di sini, sorot mata seindah boneka itu terluka. Dengan hentakan kaki, ia melangkah pergi keluar tanpa pamit. Tak ada yang bisa dilakukan Kala selain segera menyusul nona mudanya, setelah ia berpamitan secara singkat pada majikannya itu.
Daru menghela napas frustrasi. Saat Daru pulang sore kemarin, hal pertama yang ia lakukan adalah bertanya pada sang ibu mengenai Sheryl. Apa yang ia dapatkan pun sebenarnya bukan kali ini saja. Entah sudah berapa kali, Sheryl dan Anka ini bersiteru. Masalahnya sepele. Tapi Sheryl selalu mengakhirinya dengan kekerasan.
“Jangan buat ini berlarut-larut, Aria.” Anna menepuk bahu sang putra pelan. “Enggak baik untuk Sheryl nantinya. Dia masih kelas dua, lho.”
Daru hanya bisa mengangguk pasrah.
***
“Mbak bicara apa sama Papa dan Eyang?”
Kala yang baru saja menaruh bokongnya di kursi penumpang berjengit kaget dengan pertanyaan yang baru saja lolos dari bibir Sheryl.
“Mbak, aku tanya beneran. Mbak ngadu ke Papa dan Eyang tentang cerita aku kemarin?” Sheryl sudah menunjukkan sikap antipatinya. Tangannya bersidekap dan matanya menuntut untuk segera Kala jawab.
“Enggak, Non.”
“Aku pernah dengar dari Eyang kalau janji itu hutang. Mbak sudah janji ke aku enggak akan cerita artinya Mbak punya hutang ke aku.”
Kala mengangguk. “Kalau Mbak yang ngadu ke Papa dan Eyang, seharusnya tadi Eyang bilang bukan dari Miss Rina, kan?” Wanita itu memilih menatap lekat-lekat anak asuhnya. “Dan pasti, Eyang akan bertanya sama Non siapa yang bikin Non basah kuyup pas pertama masuk sekolah.”
Merasa yang dikatakan pengasuhnya itu benar, kening Sheryl berkerut seolah sedang berpikir keras. Perlahan ia menurunkan tingkat waspadanya.
“Awas aja ngadu,” katanya.
Sisa perjalanan mereka ke sekolah diisi dengan hening. Kala sibuk berpikir mengenai semua yang terjadi pada Sheryl, pun respon yang anak itu dapat dari orang tuanya. Terutama Daru. Akan berat rasanya untuk Sheryl meminta maaf pada Anka. Kala bisa pastikan itu.
“Jadi, Non enggak tahu siapa yang siram Non di kamar mandi?” tanya Kala memastikan sekali lagi. Getar suara Sheryl berbeda. Ada nada kebohongan di sana, Kala bisa merasakan hal itu. Pun kedua bola matanya yang sibuk mencari pengalih. Bukan terfokus pada satu titik.
“Tahu, sih. Tapi udah, lah.” Sheryl mengibaskan tangan. Rambutnya yang basah sudah cukup mengering. Seragamnya juga sudah diganti dengan kaus biasa yang selalu ada di mobil.
Kala pun memilih tak melanjutkan sesi interogasinya. Kepalanya masih jelas mengingat semua kejadian itu, dua minggu lalu. Entah kenapa ia merasa, semua yang terjadi pada Sheryl memiliki benang yang tertahut meski samar. Apa perbuatan Sheryl pada Anka, buah dari keadaan sang anak yang pulang dalam keadaan basah di hari pertama sekolah? Kala masih belum bisa merangkai benang merah yang mendadak kusut di depan matanya.
“Non masih marah?” tanya Kala sembari melirik ke arah nona muda yang kini asyik melihat channel kesayangannya. Disney Channel.
“Marah sama siapa?”
“Anka, mungkin.”
Kala dengan jelas mendengar suara musik itu terhenti, yang artinya Sheryl mem-pause apa yang sedang ia tonton. “Aku benci dia, Mbak.”
Saat Kala melirik ke arah Sheryl, gadis itu hanya menatap lurus ke depan. Tak terpengaruh oleh hal apa pun. Sorot matanya terlihat kecewa dan tak suka secara bersamaan. Kala yakin, pasti terjadi sesuatu antara gadis kecil ini dengan temannya; Anka.
“Dan aku juga enggak akan mau minta maaf ke Anka. Jangan paksa aku seperti Papa atau Eyang, Mbak.”
Mata mereka bersitatap. Kecewa, sedih, kalut, marah, dan benci ada di sana. Kuat sekali. Hingga besar rasa ingin Kala untuk menarik sang nona muda dalam peluknya. Sekadar berbagi, semua yang dirasa jangan ditanggung sendiri. Dirinya masih terlalu dini untuk merasakan hal itu.
“Iya. Mbak enggak akan minta Non untuk minta maaf.”
Tiba di gerbang sekolah, lagi-lagi Sheryl langsung berlalu begitu saja tanpa pamit. Kala sudah tak heran lagi. Ia hanya memperhatikan betul-betul, anak majikannya hingga menghilang di balik ujung koridor.
Wanita itu memilih duduk di salah satu sudut yang cukup jauh dari kerumunan banyak orang. Selama menunggu Sheryl di sekolah, Kala manfaatkan masa tersebut untuk mencari pekerjaan di laman pencarian kerja yang tersedia secara online. Berkas-berkasnya pun sudah disimpan dalam memori ponselnya. Ia hanya tinggal upload sesuai dengan kriteria yang diminta.
Ini hari Rabu, hari intra Sheryl berenang di sekolah. Yang artinya, jam kepulangannya lebih lambat dari hari biasa. Kala jadi teringat mengenai selembaran yang semalam Daru beri. Ada-ada saja memang majikannya ini. Padahal Kala sudah mulai terbiasa dengan do's and dont's seorang Sheryl dalam keseharian. Beberapa yang krusial ia buat notes tersendiri di ponselnya. Terutama dalam hal makanan.
Tanpa ia sadari, jam pulang Sheryl tiba. Baru akan menunggunya di depan pintu runag tunggu, anak itu sudah ada di sana. Wajahnya tertekuk. Kepang rambutnya sudah tak lagi beraturan, mencuat sana sini.
“Non Sheryl,” panggil Kala hati-hati.
“Temani aku beli baju renang, Mbak.”
Tanpa banyak kata, Kala segera mengambil tas dan juga tote bag kecil berisi bekal yang tadi ia siapkan. Sebelah tangannya yang bebas ia gunakan untuk menggenggam gadis kecil itu. Tangan mungilnya begitu dingin dan gemetar.
Di mobil, Kala segera mengoleskan minyak kayu putih pada tangan yang hanya memenuhi genggaman Kala separuhnya. Mengusapnya pelan agar dingin yang tadi sempat menyapa, bisa segera mereda. Dirasa cukup, Kala menghentikan kegiatannya. Matanya penasaran atas apa yang dialami gadis yang kini duduk diam dengan wajah yang menatap jalan di depan.
“Non Sheryl ada apa?”
“Aku cuma mau beli baju renang.”
“Iya, Mbak tahu. Bukannya semalam Mbak sudah siapkan di tas, ya?”
“Mbak, aku cuma mau beli baru renang baru. Bisa, kan, enggak tanya terus. Sheryl enggak suka!”
Hallo semuanya, aku kembali di Goodnovel. semoga rumah baru Kala Mantari aman dan bisa buat aku kembali menulis lagi. Muahahahhaha. Aniwey, follow akun aku ya. Tengkyu Cinta.
Embusan angin malam ini membuat Kala mengancingi cardigannya hingga batas teratas. Memeluk dirinya namun tak ingin beranjak dari tempatnya berdiri. Matanya menengadah, enggan memejam, dan memilih memanjakannya dengan hamparan bintang yang ada. Bulan tak lagi malu-malu menampakkan diri.Di sini, tempatnya berada sekarang, adalah tempat yang biasa Sari gunakan untuk menjemur pakaian. Sari salah satu pesuruh di sini, sama seperti dirinya dan Nina. Jika Nina ditugaskan untuk kebersihan rumah besar ini, lain halnya dengan Sari. Wanita yang lebih pendiam dari Nina ini diserahi tanggung jawab untuk masak serta mencuci dan setrika semua penghuni yang ada di rumah ini.Semua pekerjaannya sudah selesai. Mulai dari; memberi majikannya laporan baik lisan maupun tertulis, memastikan Sheryl meminum susu sebelum tidur juga meninggalkan anak itu yang sudah terlelap tidur, mengecek sekali lagi semua buku pelajaran dan PR Sheryl, juga menyediakan seragam agar nona mudanya di pagi hari tidak kelabakan m
Tiap kali Kala masuk ke dalam ruangan yang kini mulai familier dalam hidupnya, hanya ada satu pigura besar yang selalu menyita perhatiannya. Pigura itu memenuhi hampir separuh dinding bagian kanan yang sengaja tidak terhalang rak tinggi. Senyum yang terlukis, begitu menawan ditambah bola matanya yang sungguh indah. Kala mengakui itu sejak kali pertama mereka bersitatap. Anak ini dianugerahi hal yang membuat banyak orang kagum sekaligus iri di saat bersamaan. Dirinya sudah duduk di depan pria yang sudah mengenakan piyama tidurnya. Serius sekali membaca laporan yang ia sodorkan beberapa menit lalu. Kala sesekali menahan napas, masih mencoba menutup gugup takut-takut ada hal yang terlewat dalam laporannya. “Sheryl buat kamu repot, Mbak?” Kala mengerutkan k
"I hate you,"desis Sheryl tepat di sisi Kala saat dirinya turun dari SUV mewah milik sang ayah. Mendengar hal itu, hati Kala seperti dirajam ribuan kerikil tak kasat mata yang membuatnya memundurkan posisi tubuh.Wanita berambut sebahu itu mengambil udara sebanyak yang ia bisa. Mencoba menormalkan semua indera yang baru saja lumpuh sesaat karena kata-kata yang mengudara tadi. Dari sudut matanya, Kala bisa melihat anak itu berjalan anggun dengan tangan yang menggandeng sang ayah. Seolah apa yang baru saja terucap hanya sebuah kata tanpa makna, yang justru ditafsirkan lain oleh diri Kala sendiri."Nak Kala jangan jauh dari Sheryl, ya. Ibu khawatir," kata Anna yang membuat Kala berjengit saking kagetnya. Ketika ia menoleh, wanita paruh baya yang nampak anggun dengan setelan kebayamaroonsudah berada tak jauh dari tempatnya berdiri."Iya, Bu."Kala meyakini dalam hati, ini akan cukup sulit untuk dilakukan. Masih segar
Kala berusaha maksimal menormalkan laju jantungnya. Tiap kali ia entaskan rindu pada kedua orang tuanya—terutama Rianto, sang ayah—ibunya selalu bisa membuat ia kembali kerdil. Rindu yang demikian menyuruk harus susut karena beragam ucapan dari wanita yang mengandung dan melahirkannya itu. Setiap kali ditanya mengenai pekerjaannya, Kala tahu ia berdosa. Akan tetapi ia belum siap untuk mengambil risiko harus dipaksa kembali ke kampung halaman. Bukan karena ia sudah mulai merasa menikmati pekerjaannya. Sama sekali bukan. Kala memilih lebih baik di sini, ketimbang harus kembali mendengar banyak hal yang masih berlarian di kepalanya. Satu hal yang pasti ia rasakan sekarang. Pedih tanpa luka yang tercetak di kulitnya. Ketika di akhir telepon, ibunya berkata, “Bapakmu titip pesan, jaga diri baik-baik. Kamu itu sekarang ke
Dua hari sudah Sheryl bersikap dingin padanya. Emosi sang gadis kecil luar biasa menguji Kala. Seisi rumah bilang, dirinya adalah pengasuh tersabar yang masih bertahan untuk Sheryl. Kala menanggapinya dengan senyuman. Sebenarnya ia tak sesabar itu. Self healing yang ia lakukan menghadapi Sheryl cukup besar. Hanya saja ia tak mengeluh.Baginya, Sheryl seperti sebuah kotak penuh rahasia. Dasar dari kotak itu ingin segera ia temukan. Dulu, Kala pernah bermimpi menjadi seperti apa dengan gelar yang ia punya. Semuanya dilindapkan dengan cinta dan Kala sudah tak ingin menyesalinya. Makanya, ketika dihadapkan dengan seorang Sheryl, ia merasa seperti menemukan oase di padang tandus hidupnya. Mungkin sedikit lagi jika ia bersabar akan membuahkan hasil. Kala berharap sekali akan hal itu. Jiwa Sheryl baginya entah kenapa mendadak penting.Pagi ini Sheryl belum ada di meja makan. Majikannya dinas keluar kota sementara Ibu Anna, kemarin soreflightke Pa
Kala tak mungkin tak bercerita mengenai apa yang terjadi pada nona mudanya. Terutama ini sudah kedua kalinya, hal yang sama terjadi. Beruntungnya Sheryl hari ini, ia tak mengikuti intra renang. Hanya mengisi essai sebagai pengganti seperti yang dikatakan gadis itu pada pengasuhnya. Mungkin karena cerita itu lah, kini Kala berada di sini. Setelah dipersilakan masuk oleh si pemilik ruangan, Kala berjalan perlahan. Ruangan yang menjadi ruang pribadi seorang Anna Susetyo. Sering Kala melewati pintu besar berukir ini namun, baru sekarang ia memasukinya. Kala disuguhi pemandangan surgawi di sini. Taman di dalam ruangan dengan banyak bunga, rak susun sukulen, juga kolam ikan yang gemericik airnya menenangkan jiwa. Mungkin jika Kala berlama-lama di sini, ia bisa terlelap tidur tanpa ada keinginan untuk bangun lagi. Saking menyenangkannya sudut i
"Sebenarnya saya takut, Bu, bertemu Bapak lagi." Kala bicara pada Anna akhirnya. Kejadian malam itu cukup membuatnya gemetar menghadapi sang tuan. Pagi di hari Senin ini, wanita paruh baya itu sudah duduk di meja makan. Sementara sang nona muda serta majikannya belum menampakkan diri.Anna hanya tertawa pelan. "Aria enggak marah, Nak. Toh, kamu sudah beri alasannya. Sekarang justru lebih bagus, Aria pasti enggak tinggal diam dengan kejadian ini." Dilihatnya si pengasuh sang cucu mengangguk pelan."Aria enggak pecat kamu,toh?"Kala mau tidak mau tersenyum. "Kalau saya dipecat, saya sudah enggak di dapur rumah ini lagi, kan, Bu?"Jawaban itu membuat Anna terkekeh. "Kami butuh kamu, Kala."Sudut bibir Kala tertarik sudah. Kali ini bukan jenis senyum canggung ketika berhadapan dengan majikannya, tapi senyum terharu karena penerimaan Anna sebagai nyonya besar yang demikian baik terhadapnya.Akan tetapi, khawatir yang tiba-tiba hadi
Empat belas tahun yang lalu, untuk pertama kalinya Kala bertemu seorang Janu Wirabrata. Itu pun secara tidak sengaja karena ternyata, Janu adalah keponakan dari dosen favorit Kala. Sadewa Winata. Mereka bertemu karena saat itu, Dewa sakit. Tidak bisa mengajar sementara bahan ajarnya dititipkan pada Janu.Santun, pintar, sopan, dan juga rendah hati. Itu sosok yang digambar Dewa mengenai seorang Kala Mantari, murid kebanggaannya itu. Mungkin itulah yang mendorong Janu terus mendekat ke arah Kala. Dihadiahi banyak perhatian, pengertian, kasih sayang juga cinta kasih, hati perempuan mana yang tidak luluh.Kala memejamkan mata, menggeleng pelan mengenyahkan memori kelam yang kembali terulang di kepalanya.“Tari ... kamu nangis?” tanya suara di ujung sana karena hanya mendengar isak kecil sejak telepon itu diterima.Tak ada tanggapan sama sekali, justru isak itu malah semakin jadi.“Tari ... kamu kenapa? Kamu dimarahi bos?
Hari berganti, bulan bergulir, tahun juga semakin bertambah angkanya. Namun satu hal yang tak lekang oleh waktu yang ada. Kebersamaan di rumah dua lantai yang kini tak pernah sepi lagi. Kadang suara Anna memenuhi sudut ruang di mana Nika yang terlalu aktif bergerak. Bocah tujuh tahun itu seperti kancil. Tak bisa diam. Entah dari mana asal energinya.Anna bukan takut ada sesuatu yang pecah atau terjatuh karena Nika. Tapi ia khawatir sang cucu terluka karena geraknya yang terlalu lincah ini. Berlarian ke sana ke sini, terkadang juga loncat tak keruan sembari tertawa riang. Untunglah Levant bisa menemani aktifitas Nika meski sang putri bungsu harus menunggu sampai kakak tengahnya pulang sekolah.Sementara Sheryl benar-benar disibukkan dengan kuliahnya. Levant juga mulai banyak kegiatan di sekolah. Kendati begitu, Sheryl tak pernah menyia-nyiakan waktu bersama keluarganya. Pun Levant. Tiap kali ada kesempatan kumpul bersama, pasti mereka lakukan dengan
Kala menatap Nika yang sudah terpejam tidur penuh dengan sayang. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana ia melahirkan putri bungsunya ini. Meski ada banyak drama, tapi rasa syukurnya tak pernah mereda. “Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah.” Dikecupnya lembut kening Nika seraya berdoa, “Ya Allah, lindungi selalu anak-anakku dari mimpi buruk. Dari orang-orang yang berniat jahat. Dari orang munafik di sekitar mereka. Jadikan mereka anak-anak soleh dan solehah.”Membenahi ujung selimut Nika terpasang dengan benar, merapikan buku-buku yang sempat diberantaki Nika, pun memastikan suhu ruang kamar ini nyaman, Kala pun keluar kamar. Yang mana ternyata sudah ditunggu oleh Daru.“Belum tidur?” tanya Kala yang berhati-hati menutup pintu kamar Nika.“Mana bisa tidur kalau Ibu enggak ada.” Daru merajuk persis seperti Levant. Makanya sering sekali Kala berseloroh, kalau suaminya menjelma menjadi sang
Meski di dalam SUV mewah sang ayah suasana ribut dan berisik, tapi masih ada relung senyap yang Sheryl punya. Walau sesekali mulutnya meminta Levant untuk tak meledek adik bungsunya, yang entah dari mana tingkah usil Levant ini makin jadi, tetap saja relung itu terkadang minta perhatian.Kekosongan itu sengaja ia adakan di hati untuk memenjarakan sosok Keana di sana.Sosok yang seharusnya ada saat ia sedih, khawatir, kesepian, bacakan dongeng, siapkan sarapan, serta segala macam aktifitasnya kala kecil dulu. Seperti sosok wanita yang duduk di samping ayahnya; yang tak pernah terlambat menemaninya melakukan apa pun meski kedatangannya saat ia berseragam merah putih. Bukan dengan seragam TK atau malah waktu di mana ingatannya belum terlalu sempurna.Perjalanan menuju salah satu mall di wilayah Jakarta Pusat tak butuh terlalu lama ditempuh. Begitu di area parkir, Daru meminta Levant dan pengasuh Nika untuk masuk terlebih dahulu ke
Dulu demi memancing agar Sheryl bicara, Kala butuh banyak usaha. Kali ini, Sheryl dengan mudahnya mengatakan apa pun terutama apa yang terjadi padanya pada Kala. Mulai dari kegiatannya di sekolah sampai temannya yang menurut gadis beranjak remaja ini menyebalkan. Ada saja bahan cerita yang Sheryl bawa untuk Kala. Baginya bicara dengan sang ibu menyenangkan. Tak seperti sang ayah yang lebih sering meledeknya.Terutama hubungan dengan lawan jenis.“Papa kenapa, sih, Bu?” Sheryl melipat tangannya di dada. Wajahnya cemberut. Sorot matanya menyimpan kejengkelan.“Kenapa lagi sama Papa?” Kala melipat senyumnya. Diulurkan tangannya demi untuk merapikan rambut panjang sang putri yang agak berantakan.“Aku ditanya tentang Noah. Memangnya aku ini temannya? Sejak kapan aku menjadi teman Noah Narendra?”“Susunya diminum dulu, ya?”“Aku bukan
Kehamilan kedua saat itu memang agak riskan bagi Kala. Usianya yang tak lagi muda membuat ia memiliki rasa khawatir meski tak sebesar bahagia yang menyelimutinya. Dokter bilang, “Selama Ibu jaga kandungan, kondisi, dan asupan makanan, insyaAllah akan baik-baik saja.”Bagi Kala, segala hal yang tercurah dalam hidupnya sekarang lebih dari sekadar anugerah. Apa yang ia harap selama ini, jutaan do’a yang ia hatur dalam tiap sujudnya terjadi dengan begitu mudah. Seolah tanpa beban Tuhan beri keinginan itu saat Kala melepas segalanya. Di saat ia merelakan dirinya sebagai seorang wanita yang tidak memiliki anak. Cukuplah Sheryl baginya sebagai ajang pamer.Persis saran Risa padanya kala itu.Maka saat kehamilan pertamanya terjadi, bahagia itu bukan hanya miliknya. Tapi seluruh keluarganya. Nita dan Rianto sering berkunjung ke Jakarta demi melihat pertumbuhan cucu pertama mereka. Selayaknya nama yang Kala beri pada an
Pria itu masih mematung di depan setir mobil. Ada sebongkah ragu sebelum ia memutuskan untuk benar-benar turun dan berjalan menuju tempat diadakannya fare wall party seorang Andaru Aria. Hari ini, rekan kerjanya mengundurkan diri. ia memilih meneruskan usaha yang memang sudah ia rintis ketimbang berjibaku di bawah komando orang lain.Ada segunung penasaran yang mendera hati pria itu. terutama kata-kata yang sangat menggangunya sejak tadi pagi."Saya pasti kehilangan Pak Daru dalam pekerjaan." Ia mengatakan kejujuran. Rekan kerjanya kali ini, sangat berdedikasi dalam pekerjaan."Pak Janu bisa saja. Saya memang sudah berniat mengundurkan diri sejak lama tapi waktunya selalu benturan. Kebetulan istri manjanya enggak ketulungan minta ditemani terus di rumah.""Hormon ibu hamil beda, Bos," celetuk Denny, asisten seorang Andaru Aria. "Mbak Kala segitu independent-nya pas manja tuh lucu banget enggak, sih.""Ja
“Lho, Nak, Kala mana?”Giliran Daru yang kebingungan ditanya seperti itu. Sejak keluar kamar ia memang memilih merapikan berkas di ruang kerjanya dulu baru menuju ruang makan. Biasanya sang istri dibantu Sari sedang menyiapkan sarapan. Tapi pagi ini, sosoknya tidak ada.Ditambah pertanyaan ibunya barusan.“Mungkin di kamar Sheryl.” Hanya itu yang bisa Daru jawab.“Pagi, Eyang. Pagi, Papa.”Sheryl, penuh riang mendekat ke arah ayahnya juga sang nenek. Memberi kecup selamat pagi sebelum memulai sarapan. “Lho, Ibu mana?”Mereka semua saling pandang. Daru tanpa perlu menunggu komando segera naik ke lantai dua, menuju kamarnya.“Kala,” panggil Daru pelan. Pintu kamarnya agak sedikit terbuka. Saat ia mendorongnya, suasana kamarnya masih sama seperti saat ia tinggalkan. Sudah rapi namun tidak ada sosok istrinya
Kala lelah? Pasti. Tapi hatinya senang sekali karena selain pesta pernikahan yang dulu pernah ia impikan, diwujudkan sempurna oleh suaminya. Pun kemauan dirinya mengenai kamar pengantin. Walau sempat mendapat protes, tapi Kala kembali bisa membuat suaminya menuruti.Tak ada kamar pengantin di tempatnya menghabiskan malam pertama setelah sah menjadi suami istri. Padahal pihak hotel sudah menawarkan paket paling lux pada Kala namun, ia menolak. Daru sebenarnya tidak mengerti jalan pikiran Kala. Bukan kah perempuan itu akan takjub melihat betapa cantik kamar pengantin dihias?Ingin sekali Daru bertanya namun, senyum dan raut sedih terpancar di wajah cantik Kala. Ia tak mau bertanya lebih jauh. Mungkin nanti, ketika suasana istrinya sudah lebih baik, ia akan tanyakan mengenai hal ini.“Capek?” tanya Daru ketika sudah memasuki kamar, menoleh sekilas pada istrinya yang kini menunduk sembari melepaskan sepatu tingginya. Membuat
BALIPria itu mengerutkan kening. Undangan pernikahan yang baru saja diberikan resepsionis tadi cukup membuatnya tergelitik namun, ia tetap akan menyampaikan pada majikannya. Tidak mungkin menyembunyikan undangan ini padanya."Keana," panggil Andri cukup lantang begitu memasuki unit apartement wanita berambut panjang itu."Apa, sih, lo! Teriak-teriak enggak jelas!" Keana yang sedang memasang bulu mata merasa terganggu tiba-tiba. Rasanya ingin sekali ia lempar asistennya itu dengan boots yang ada di sebelahnya. Memasang bulu mata itu butuh konsetrasi dan Andri sukses membuyarkannya begitu saja."Gue punya kejutan untuk lo." Andri nyengir tak berdosa. Menyerahkan undangan tadi pada sang wanita.Keana mendengkus tak suka namun tetap saja ia membacanya. Lama sekali ia membaca undangan pernikahan yang datang padanya. "Kapan sampainya?" Ia masih membolak balik undangan berwarna ivory dengan tinta g