Kala mengembuskan napas pelan. Saat ini dirinya mulai melangkah keluar ruangan yang cukup besar itu. Dilirik jam perak yang masih setia menemaninya, sebentar lagi waktunya Sheryl keluar kelas. Ia harus kembali ke ruang tunggu yang sudah biasa disambangi setiap hari. Berjalan sedikit cepat menuruni tangga agar dirinya segera tiba di sana. Ketika tiba di ruang tunggu, sudah banyak yang menunggu kepulangan putra dan putri mereka. Sebagian. Sebagian besar lagi, sama sepertinya. Menunggu anak majikannya pulang sekolah.
Sebagian kecil Kala mengenal mereka. Dua minggu sudah rutinitas Kala mengantar dan menunggu Sheryl sekolah. Sebenarnya anak itu protes besar pada Eyangnya. Katanya, gadis itu sudah besar. Sudah tidak butuh Mbak menemani di sekolah. Akan tetapi, Anna hanya menanggapi protes itu dengan senyuman. Tidak menggubris sama sekali keinginan sang cucu yang ingin diantar dan dijemput saja, tanpa harus ditunggui seperti yang Kala lakukan sekarang.
“Mbak Kala dipanggil Miss Rina, ya?”
Wanita berambut sebahu itu menoleh dan terkejut mendapati Desi—salah satu pengasuh sepertinya—sudah berada di dekatnya. Kala heran sejak kapan gadis itu ada di dekatnya.“Ah, iya.”
“Pasti Sheryl bikin ulah lagi, kan?”
Kala bingung harus merespon apa.
“Mbak pengasuhnya Sheryl tuh gonta ganti terus, Mbak Kala. Anaknya itu, lho! Keras kepala banget. Susah dibilangin. Mana enggak sopan. Anak nakal banget pokoknya, deh. Beruntung Idham enggak satu kelas sama Sheryl.”
Tak ada yang bisa dilakukan Kala kecuali berdoa semoga bel pulang segera berbunyi. Walau benar apa yang Desi katakan mengenai Sheryl, tapi anak itu belum pantas mendapatkan label seperti itu. Kala hanya tersenyum tipis menanggapi.
“Maaf, lho, Mbak. Enggak maksud menyinggung.”
“Iya. Enggak apa.”
Kala memilih duduk di salah satu sudut yang tak jauh dari pintu ruangan. Agar nanti ia bisa segera menghampiri Sheryl kalau anak itu terlihat berjalan ke arah ruang tunggu. Ingatan Kala diseret pada pembicaraan yang baru saja terjadi dengan Miss Rina, wali kelas Sheryl, beberapa menit lalu.
“Dengan Mbak Kala, ya?”
Miss Rina menyambut Kala dengan senyum tipis.
“Iya, Miss. Saya Kala, pengasuh Sheryl. Kebetulan tadi Ibu Anna titip pesan, kalau apa yang Miss mau sampaikan bisa disampaikan dengan saya saja.”
“Sebenarnya saya ingin menyampaikan langsung pada keluarga Sheryl, sih. Tapi apa boleh buat. Mohon disampaikan dengan jelas, ya, Mbak.”
Kala mengangguk patuh. Dirinya menduga ini pasti ada kaitannya dengan kejadian di awal masuk sekolah minggu lalu.
“Saya enggak tau pastinya ada apa antara Sheryl dan Dianka. Rambut Anka ditarik Sheryl hingga anak itu terbentur tembok. Ada sedikit benjolan kecil di dahi, mungkin benturannya sedikit kencang. Kejadiannya baru tadi saat masuk kelas jam pertama. Saya sudah coba tanya Sheryl, anak itu enggak mau menjawab. Hanya diam saja. Mau bertanya pada Anka, dia nangis terus sampai akhirnya saya izinkan pulang. Setelah mendapat pertolongan pertama tentu saja.”
Kala mengerjap. Masih belum memercayai apa yang baru saja ia dengar.
“Yang saya takutkan, masalah ini jadi panjang. Entah mungkin keluarga Anka enggak terima dengan perlakuan Sheryl terhadap putrinya. Atau justru menuntut pihak sekolah yang enggak mengawasi anak didiknya. Pihak sekolah juga nanti akan terseret, Mbak. Saya hanya ingin kalau pun nanti masalah ini sampai membesar, bisa diselesaikan dengan kekeluargaan. Pihak sekolah juga akan memberi sangsi pada Sheryl. Karena tindakan Sheryl ini menurut saya pribadi sudah berlebihan.”
Apa yang dikatakan Rina ada benarnya juga. Tindakan Sheryl sudah berlebihan. Kala masih menimang apa yang akan ia suarakan tapi dirinya sendiri dalam keadaan gamang.
“Saya sudah mencoba membujuk Sheryl untuk bicara. Karena saya yakin setiap tindakan anak pasti ada sebabnya. Enggak mungkin Sheryl seperti itu kalau enggak dipicu hal lain. Tapi anak itu enggak mau bicara sama sekali.”
Gelembung ingatan Kala pecah saat bel dengan nyaringnya berdering. Ia pun bersiap menyambut Sheryl keluar kelas. Cukup lama bagi Kala menunggu anak itu berjalan ke arah ruangan ini. Kala celingukan ke sana ke mari sepanjang koridor. Mulai dari sekumpulan anak-anak, hingga tersisa satu atau dua anak yang berjalan keluar sekolah. Namun Sheryl masih belum muncul juga. Ada kekhawatiran tersendiri bagi Kala karena anak majikannya belum menunjukkan batang hidungnya.
Baru saja Kala ingin berkirim pesan pada Miss Rina, anak itu muncul. Berjalan seolah tak terjadi apa-apa namun Kala tahu, sorot matanya berbeda. Keceriaan yang tadi pagi ada di kedua bola matanya yang indah, sirna sudah.
Di dalam mobil pun, Sheryl tak banyak bicara. Sesekali menanggapi ucapan Kala ketika bertanya mengenai kegiatan di sekolah.
“Pak Ahmad, nanti mampir ke McD, ya. Aku lapar.”
“Tapi Non kemarin habis makan McD. Eyang bilang jangan makan junk food sering-sering,” kata Kala memperingati. “Enggak baik buat perut.”
“Aku lapar.” Sheryl berkata lantang.
“Makan di rumah, ya. Tadi Mbak Sari kasih tau menu makanan siang ini.”
“Enggak!”
“Pasti en—”
“Kalau aku bilang enggak, ya, enggak Mbak!”
Kala bungkam. Gadis kecil di sampingnya ini berada dalam tingkat mood yang sangat buruk. Matanya menatap Kala dengan berani dan amarah jelas ada di sana.
“Oke. Kita ke McD.” Kala bukan menyerah tapi mengulur sebuah kesempatan untuk mengambil lagi hati Sheryl.
Di restoran cepat saji, Sheryl memesan aneka makanan yang ia suka. Kala membiarkannya. Wanita itu mengamati jenis makanan apa saja yang disukai gadis kecil keras kepala itu.
“Mbak enggak makan?”
Kala tersenyum kecil. Setidaknya seporsi es krim dan crispy dari ayam goreng tepung bisa mengembalikan sedikit empati anak itu. ”Ini sudah cukup.”
“Kenyang makan spagheti saja?”
Masih dengan sudut bibir yang ditarik sedikit, Kala menjawab, “Sebelum makan Mbak berdo’a dulu.”
Gadis kecil itu hanya mengedikkan bahu, lalu kembali menikmati hidangan yang ada di depannya. Tanpa peduli bagaimana berantakannya saat ia makan. Sesekali Kala membersihkan sisa remah tepung di sudur bibir sang gadis.
“Mbak bisa buat ayam tepung seperti ini.”
“Aku enggak percaya.” Jemarinya yang berlumuran saus dijilat perlahan. “Ayam McD ini paling enak menurutku.”
“Mbak enggak bohong, kok.”
“Kalau membuat ayam tepung doang, Mbak Nina juga bisa. Yang aku suka, kan, rasanya yang seenak McD ini.” Sheryl mengangkat pandangannya ke arah Kala. Menelisik. “Bisa?”
“Kalau Mbak bisa, Non Sheryl janji mau jawab pertanyaan Mbak?”
Kening gadis kecil itu mengerut. “Pertanyaannya seputar pelajaran, kan?”
“Janji dulu?”
***
Suara ketukan di pintu membuat Kala cepat-cepat melipat mukena-nya. Saat pintu terbuka, Ahmad tampak sungkan berdiri di sana.
“Maaf, Mbak Kala. Bapak panggil Mbak. Katanya mau bicara.”
Sontak, hati Kala kebat kebit. Malam hari seperti ini? Mata Kala sempat melirik ke arah jam yang ada di dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Ada apa, ya? Apa dirinya melakukan kesalahan?
“Bapak sudah pulang dinas, Pak?” tanya Kala bersiap. Memastikan penampilannya cukup sopan untuk bertemu majikannya.
“Iya. Baru banget. Bapak ada di ruangannya, ya, Mbak.”
Semoga enggak ada apa-apa.
Langkah Kala menuju ruang yang disebut oleh Ahmad terbilang cukup cepat. Mungkin karena pikirannya mengembara entah ke mana. Mengingat segala kegiatannya selama di sini bersama Sheryl, ia merasa tidak ada kesalahan. Tanpa sadar, dirinya sudah tiba di depan pintu ruangan yang Kala tandai sebagai ruang kerja seorang Andaru Aria.
Menarik napas panjang sebelum Kala memberanikan diri mengetuk pintu tersebut. Setelah mendapat izin masuk, kenop pintu itu diputar pelan dan didorongnya perlahan. Netra Kala langsung disambut dengan aneka rak berisi tumpukan buku dan tepat di ujung tengah ruangan, majikannya duduk di balik meja besar. Ia melangkah sembari sesekali menahan napas. Ia takut, decit kakinya mengganggu sang majikan yang tampak serius dengan laptop di depannya.
Hampir dua minggu Daru dinas. Sejak pertemuan di kantor tempat pengasuh baru Sheryl bernaung, baru kali ini Daru bertemu kembali. Biasanya, Daru mendapati laporan berkala seputar Sheryl dari pengasuh-pengasuh terdahulu. Akan tetapi kali ini tidak. Pekerjaannya sangat menuntut dirinya untuk hadir pada meeting yang panjang dan melelahkan. Sehingga, ia mendapati laporan mengenai Sheryl dari sang ibu.
Anna bilang, Kala cukup kooperatif dan bisa mengimbangi Sheryl yang manjanya luar biasa. Daru cukup terkesan dengan laporan sang ibu namun, ia tetap harus memastikan sendiri bagaimana seorang Kala bekerja. Baginya, memiliki pengasuh untuk Sheryl hanya sebagai mata pengganti dirinya yang tidak bisa melihat langsung aktifitas anak kesayangannya itu. Jadi ia sendiri yang akan memastikan bagaimana tumbuh kembang sang anak melalui pengasuhnya.
Tanpa terkecuali.
“Bapak panggil saya?”
“Iya. Silakan duduk dulu. Saya selesaikan pekerjaan sebentar lagi.”
Kala memilih duduk di salah satu kursi panjang yang ada di sisi kanan ruangan. Jejeran buku yang sempat Kala perhatikan tadi, mulai jelas dalam pindainya saat ini. Koleksi mengenai buku ekonomi, bisnis, astronomi, pun beberapa novel serta biografi tokoh terkenal di dunia, ada di sana. Penuh hati-hati Kala duduk. Bahkan untuk membuang napas pun dilakukan dengan sangat perlahan, ia takut mengganggu konsentrasi tuannya.
“Gimana kamu di sini? Betah?”
Kala yang tak siap ditanya seperti itu hanya bisa gelagapan. Bingung dengan maksud pertanyaan Daru. Dirinya pun memilih bangkit, bergerak mendekat karena tak sopan rasanya bicaraa dengan jarak yang cukup berjauhan dengan majikannya.
“Saya harus memastikan orang yang bekerja dengan saya kerasan atau tidak. Terutama jika berhubungan dengan Sheryl.” Daru kini menatap wanita itu dengan pandangan lekat-lekat.
“Iya, Pak.” Cukup lama untuk Kala memutuskan menjawab seperti itu. Mengetahui majikannya tak mengurangi intensitas tatapannya, Kala memilih menunduk.
“Bagus, lah.” Daru mengeluarkan selembaran yang sudah dipersiapkan sebelumnya. “Mbak Kala sudah diberitahu apa-apa saja yang boleh dan enggak boleh dilakukan Sheryl, kan? Termasuk makanannya?”
Kala mengangguk sebagai jawaban dalam tunduknya.
“ATM berisi uang jajan Sheryl sudah Mbak pegang? PIN-nya sudah diberitahu Ibu saya, kan?”
Lagi-lagi anggukan yang Kala beri.
“Mbak juga boleh menggunakan uang yang ada di sana kalau semisal Sheryl jajan, Mbak juga ikut jajan. Sheryl makan, Mbak juga ikut makan.”
“Baik, Pak.”
“Nah, ini laporan yang mesti Mbak Kala buat setiap hari.” Daru menyodorkan selembaran tersebut pada wanita yang kini mengangkat matanya. “Mbak cukup isi apa yang sudah Sheryl lakukan, kegiatan apa yang kalian lalukan selama saya enggak ada di samping Sheryl. Mbak Kala paham, kan?”
Kala mengerjap pelan dengan list yang ada di hadapannya. Bukan dirinya tak paham, hanya saja, dirinya harus membuat laporan ini? Sungguh?
“Kalau Mbak diam saya anggap mengerti.”
“Saya berusaha, Pak.”
“Saya hanya ingin tahu semua mengenai Sheryl. Apa pun itu, saya harus tau. Bahkan kalau Sheryl jatuh sekali pun, Mbak info ke saya. Mbak Kala tau, kan? Apa pun. Artinya semuanya. Enggak ada yang boleh disembunyikan dari saya.”
Kala menelan ludahnya bulat-bulat. Sepertinya ini sebuah peringatan keras jikalau terjadi hal yang ingin ditutup rapat-rapat oleh anaknya, tapi sang ayah harus tau. Dan yang menjadi tumpuan adalah dirinya. Bersiaplah untuk menjadi mata-mata, Kala. Batinnya dalam hati.
Cukup lama jeda yang ada di antara mereka. Merasa sudah tak ada lagi yang mau dibicarakan oleh Daru padanya, ia ingin mohon izin kembali ke kamarnya.
“Ah, satu lagi.”
Baru saja ia akan pamit undur diri. “Ya, Pak?”
“Mbak punya media sosial?”
Alis Kala saling tertaut.
“Media sosial. Like I*******m, F******k, Twitter, atau apa lah yang lagi tren sekarang.”
Dirinya memang memiliki akun yang disebutkan tadi. Akan tetapi, apa gunanya bagi Daru menanyakan hal itu?
“Ada.”
“Tolong kamu WA ke saya semua user name akun Mbak Kala.”
Kala makin bingung dengan arah pembicaraan ini.
“Tenang, saya enggak ada maksud apa-apa. Hanya saja, saya mau memastikan satu hal. Saya enggak mau ada foto anak saya tersebar di akun media sosial Mbak Kala tanpa seizin saya. Saya enggak mengizinkan Mbak untuk melanggar privasi itu.”
“Sheryl, sarapannya jangan buru-buru gitu, Nak.” Anna mengusap lembut puncak kepala sang cucu. Gadis kecil itu sedikit menegang dalam duduknya namun, mencoba bersikap biasa saja. Ia yakin banyak pertanyaan yang akan dilontarkan dari Eyang serta ayahnya. Makanya kenapa, ia buru-buru menyantap sereal berkuah manis itu. Sesekali, netranya melirik diam-diam ke arah pengasuhnya dengan gusar. Namun sepertinya, sang pengasuh asyik menyiapkan bekal di meja dapur. “Kemarin, Eyang diberitahu Miss Rina tentang kejadian di sekolah.” “Oh,” jawab Sheryl tanpa berani melihat ke arah Eyangnya. Persis seperti ketakutannya. Pasti nanti dirinya yang banyak mendapat ceramah. Seperti yang sudah-sudah. “Memang kamu ngapain di sekolah, Princess?” “Anka rebut pensil aku, Pa.” Sheryl mulai memelankan kunyahan pada serealnya. “Terus?” tanya Daru tanpa mengalihkan matanya dari sang putri. Pagi ini, sosok kecil yang menjadi sumber semangatnya, sangat cantik dengan kepang dua pada rambutnya. Dengan lugas, g
Embusan angin malam ini membuat Kala mengancingi cardigannya hingga batas teratas. Memeluk dirinya namun tak ingin beranjak dari tempatnya berdiri. Matanya menengadah, enggan memejam, dan memilih memanjakannya dengan hamparan bintang yang ada. Bulan tak lagi malu-malu menampakkan diri.Di sini, tempatnya berada sekarang, adalah tempat yang biasa Sari gunakan untuk menjemur pakaian. Sari salah satu pesuruh di sini, sama seperti dirinya dan Nina. Jika Nina ditugaskan untuk kebersihan rumah besar ini, lain halnya dengan Sari. Wanita yang lebih pendiam dari Nina ini diserahi tanggung jawab untuk masak serta mencuci dan setrika semua penghuni yang ada di rumah ini.Semua pekerjaannya sudah selesai. Mulai dari; memberi majikannya laporan baik lisan maupun tertulis, memastikan Sheryl meminum susu sebelum tidur juga meninggalkan anak itu yang sudah terlelap tidur, mengecek sekali lagi semua buku pelajaran dan PR Sheryl, juga menyediakan seragam agar nona mudanya di pagi hari tidak kelabakan m
Tiap kali Kala masuk ke dalam ruangan yang kini mulai familier dalam hidupnya, hanya ada satu pigura besar yang selalu menyita perhatiannya. Pigura itu memenuhi hampir separuh dinding bagian kanan yang sengaja tidak terhalang rak tinggi. Senyum yang terlukis, begitu menawan ditambah bola matanya yang sungguh indah. Kala mengakui itu sejak kali pertama mereka bersitatap. Anak ini dianugerahi hal yang membuat banyak orang kagum sekaligus iri di saat bersamaan. Dirinya sudah duduk di depan pria yang sudah mengenakan piyama tidurnya. Serius sekali membaca laporan yang ia sodorkan beberapa menit lalu. Kala sesekali menahan napas, masih mencoba menutup gugup takut-takut ada hal yang terlewat dalam laporannya. “Sheryl buat kamu repot, Mbak?” Kala mengerutkan k
"I hate you,"desis Sheryl tepat di sisi Kala saat dirinya turun dari SUV mewah milik sang ayah. Mendengar hal itu, hati Kala seperti dirajam ribuan kerikil tak kasat mata yang membuatnya memundurkan posisi tubuh.Wanita berambut sebahu itu mengambil udara sebanyak yang ia bisa. Mencoba menormalkan semua indera yang baru saja lumpuh sesaat karena kata-kata yang mengudara tadi. Dari sudut matanya, Kala bisa melihat anak itu berjalan anggun dengan tangan yang menggandeng sang ayah. Seolah apa yang baru saja terucap hanya sebuah kata tanpa makna, yang justru ditafsirkan lain oleh diri Kala sendiri."Nak Kala jangan jauh dari Sheryl, ya. Ibu khawatir," kata Anna yang membuat Kala berjengit saking kagetnya. Ketika ia menoleh, wanita paruh baya yang nampak anggun dengan setelan kebayamaroonsudah berada tak jauh dari tempatnya berdiri."Iya, Bu."Kala meyakini dalam hati, ini akan cukup sulit untuk dilakukan. Masih segar
Kala berusaha maksimal menormalkan laju jantungnya. Tiap kali ia entaskan rindu pada kedua orang tuanya—terutama Rianto, sang ayah—ibunya selalu bisa membuat ia kembali kerdil. Rindu yang demikian menyuruk harus susut karena beragam ucapan dari wanita yang mengandung dan melahirkannya itu. Setiap kali ditanya mengenai pekerjaannya, Kala tahu ia berdosa. Akan tetapi ia belum siap untuk mengambil risiko harus dipaksa kembali ke kampung halaman. Bukan karena ia sudah mulai merasa menikmati pekerjaannya. Sama sekali bukan. Kala memilih lebih baik di sini, ketimbang harus kembali mendengar banyak hal yang masih berlarian di kepalanya. Satu hal yang pasti ia rasakan sekarang. Pedih tanpa luka yang tercetak di kulitnya. Ketika di akhir telepon, ibunya berkata, “Bapakmu titip pesan, jaga diri baik-baik. Kamu itu sekarang ke
Dua hari sudah Sheryl bersikap dingin padanya. Emosi sang gadis kecil luar biasa menguji Kala. Seisi rumah bilang, dirinya adalah pengasuh tersabar yang masih bertahan untuk Sheryl. Kala menanggapinya dengan senyuman. Sebenarnya ia tak sesabar itu. Self healing yang ia lakukan menghadapi Sheryl cukup besar. Hanya saja ia tak mengeluh.Baginya, Sheryl seperti sebuah kotak penuh rahasia. Dasar dari kotak itu ingin segera ia temukan. Dulu, Kala pernah bermimpi menjadi seperti apa dengan gelar yang ia punya. Semuanya dilindapkan dengan cinta dan Kala sudah tak ingin menyesalinya. Makanya, ketika dihadapkan dengan seorang Sheryl, ia merasa seperti menemukan oase di padang tandus hidupnya. Mungkin sedikit lagi jika ia bersabar akan membuahkan hasil. Kala berharap sekali akan hal itu. Jiwa Sheryl baginya entah kenapa mendadak penting.Pagi ini Sheryl belum ada di meja makan. Majikannya dinas keluar kota sementara Ibu Anna, kemarin soreflightke Pa
Kala tak mungkin tak bercerita mengenai apa yang terjadi pada nona mudanya. Terutama ini sudah kedua kalinya, hal yang sama terjadi. Beruntungnya Sheryl hari ini, ia tak mengikuti intra renang. Hanya mengisi essai sebagai pengganti seperti yang dikatakan gadis itu pada pengasuhnya. Mungkin karena cerita itu lah, kini Kala berada di sini. Setelah dipersilakan masuk oleh si pemilik ruangan, Kala berjalan perlahan. Ruangan yang menjadi ruang pribadi seorang Anna Susetyo. Sering Kala melewati pintu besar berukir ini namun, baru sekarang ia memasukinya. Kala disuguhi pemandangan surgawi di sini. Taman di dalam ruangan dengan banyak bunga, rak susun sukulen, juga kolam ikan yang gemericik airnya menenangkan jiwa. Mungkin jika Kala berlama-lama di sini, ia bisa terlelap tidur tanpa ada keinginan untuk bangun lagi. Saking menyenangkannya sudut i
"Sebenarnya saya takut, Bu, bertemu Bapak lagi." Kala bicara pada Anna akhirnya. Kejadian malam itu cukup membuatnya gemetar menghadapi sang tuan. Pagi di hari Senin ini, wanita paruh baya itu sudah duduk di meja makan. Sementara sang nona muda serta majikannya belum menampakkan diri.Anna hanya tertawa pelan. "Aria enggak marah, Nak. Toh, kamu sudah beri alasannya. Sekarang justru lebih bagus, Aria pasti enggak tinggal diam dengan kejadian ini." Dilihatnya si pengasuh sang cucu mengangguk pelan."Aria enggak pecat kamu,toh?"Kala mau tidak mau tersenyum. "Kalau saya dipecat, saya sudah enggak di dapur rumah ini lagi, kan, Bu?"Jawaban itu membuat Anna terkekeh. "Kami butuh kamu, Kala."Sudut bibir Kala tertarik sudah. Kali ini bukan jenis senyum canggung ketika berhadapan dengan majikannya, tapi senyum terharu karena penerimaan Anna sebagai nyonya besar yang demikian baik terhadapnya.Akan tetapi, khawatir yang tiba-tiba hadi
Hari berganti, bulan bergulir, tahun juga semakin bertambah angkanya. Namun satu hal yang tak lekang oleh waktu yang ada. Kebersamaan di rumah dua lantai yang kini tak pernah sepi lagi. Kadang suara Anna memenuhi sudut ruang di mana Nika yang terlalu aktif bergerak. Bocah tujuh tahun itu seperti kancil. Tak bisa diam. Entah dari mana asal energinya.Anna bukan takut ada sesuatu yang pecah atau terjatuh karena Nika. Tapi ia khawatir sang cucu terluka karena geraknya yang terlalu lincah ini. Berlarian ke sana ke sini, terkadang juga loncat tak keruan sembari tertawa riang. Untunglah Levant bisa menemani aktifitas Nika meski sang putri bungsu harus menunggu sampai kakak tengahnya pulang sekolah.Sementara Sheryl benar-benar disibukkan dengan kuliahnya. Levant juga mulai banyak kegiatan di sekolah. Kendati begitu, Sheryl tak pernah menyia-nyiakan waktu bersama keluarganya. Pun Levant. Tiap kali ada kesempatan kumpul bersama, pasti mereka lakukan dengan
Kala menatap Nika yang sudah terpejam tidur penuh dengan sayang. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana ia melahirkan putri bungsunya ini. Meski ada banyak drama, tapi rasa syukurnya tak pernah mereda. “Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah.” Dikecupnya lembut kening Nika seraya berdoa, “Ya Allah, lindungi selalu anak-anakku dari mimpi buruk. Dari orang-orang yang berniat jahat. Dari orang munafik di sekitar mereka. Jadikan mereka anak-anak soleh dan solehah.”Membenahi ujung selimut Nika terpasang dengan benar, merapikan buku-buku yang sempat diberantaki Nika, pun memastikan suhu ruang kamar ini nyaman, Kala pun keluar kamar. Yang mana ternyata sudah ditunggu oleh Daru.“Belum tidur?” tanya Kala yang berhati-hati menutup pintu kamar Nika.“Mana bisa tidur kalau Ibu enggak ada.” Daru merajuk persis seperti Levant. Makanya sering sekali Kala berseloroh, kalau suaminya menjelma menjadi sang
Meski di dalam SUV mewah sang ayah suasana ribut dan berisik, tapi masih ada relung senyap yang Sheryl punya. Walau sesekali mulutnya meminta Levant untuk tak meledek adik bungsunya, yang entah dari mana tingkah usil Levant ini makin jadi, tetap saja relung itu terkadang minta perhatian.Kekosongan itu sengaja ia adakan di hati untuk memenjarakan sosok Keana di sana.Sosok yang seharusnya ada saat ia sedih, khawatir, kesepian, bacakan dongeng, siapkan sarapan, serta segala macam aktifitasnya kala kecil dulu. Seperti sosok wanita yang duduk di samping ayahnya; yang tak pernah terlambat menemaninya melakukan apa pun meski kedatangannya saat ia berseragam merah putih. Bukan dengan seragam TK atau malah waktu di mana ingatannya belum terlalu sempurna.Perjalanan menuju salah satu mall di wilayah Jakarta Pusat tak butuh terlalu lama ditempuh. Begitu di area parkir, Daru meminta Levant dan pengasuh Nika untuk masuk terlebih dahulu ke
Dulu demi memancing agar Sheryl bicara, Kala butuh banyak usaha. Kali ini, Sheryl dengan mudahnya mengatakan apa pun terutama apa yang terjadi padanya pada Kala. Mulai dari kegiatannya di sekolah sampai temannya yang menurut gadis beranjak remaja ini menyebalkan. Ada saja bahan cerita yang Sheryl bawa untuk Kala. Baginya bicara dengan sang ibu menyenangkan. Tak seperti sang ayah yang lebih sering meledeknya.Terutama hubungan dengan lawan jenis.“Papa kenapa, sih, Bu?” Sheryl melipat tangannya di dada. Wajahnya cemberut. Sorot matanya menyimpan kejengkelan.“Kenapa lagi sama Papa?” Kala melipat senyumnya. Diulurkan tangannya demi untuk merapikan rambut panjang sang putri yang agak berantakan.“Aku ditanya tentang Noah. Memangnya aku ini temannya? Sejak kapan aku menjadi teman Noah Narendra?”“Susunya diminum dulu, ya?”“Aku bukan
Kehamilan kedua saat itu memang agak riskan bagi Kala. Usianya yang tak lagi muda membuat ia memiliki rasa khawatir meski tak sebesar bahagia yang menyelimutinya. Dokter bilang, “Selama Ibu jaga kandungan, kondisi, dan asupan makanan, insyaAllah akan baik-baik saja.”Bagi Kala, segala hal yang tercurah dalam hidupnya sekarang lebih dari sekadar anugerah. Apa yang ia harap selama ini, jutaan do’a yang ia hatur dalam tiap sujudnya terjadi dengan begitu mudah. Seolah tanpa beban Tuhan beri keinginan itu saat Kala melepas segalanya. Di saat ia merelakan dirinya sebagai seorang wanita yang tidak memiliki anak. Cukuplah Sheryl baginya sebagai ajang pamer.Persis saran Risa padanya kala itu.Maka saat kehamilan pertamanya terjadi, bahagia itu bukan hanya miliknya. Tapi seluruh keluarganya. Nita dan Rianto sering berkunjung ke Jakarta demi melihat pertumbuhan cucu pertama mereka. Selayaknya nama yang Kala beri pada an
Pria itu masih mematung di depan setir mobil. Ada sebongkah ragu sebelum ia memutuskan untuk benar-benar turun dan berjalan menuju tempat diadakannya fare wall party seorang Andaru Aria. Hari ini, rekan kerjanya mengundurkan diri. ia memilih meneruskan usaha yang memang sudah ia rintis ketimbang berjibaku di bawah komando orang lain.Ada segunung penasaran yang mendera hati pria itu. terutama kata-kata yang sangat menggangunya sejak tadi pagi."Saya pasti kehilangan Pak Daru dalam pekerjaan." Ia mengatakan kejujuran. Rekan kerjanya kali ini, sangat berdedikasi dalam pekerjaan."Pak Janu bisa saja. Saya memang sudah berniat mengundurkan diri sejak lama tapi waktunya selalu benturan. Kebetulan istri manjanya enggak ketulungan minta ditemani terus di rumah.""Hormon ibu hamil beda, Bos," celetuk Denny, asisten seorang Andaru Aria. "Mbak Kala segitu independent-nya pas manja tuh lucu banget enggak, sih.""Ja
“Lho, Nak, Kala mana?”Giliran Daru yang kebingungan ditanya seperti itu. Sejak keluar kamar ia memang memilih merapikan berkas di ruang kerjanya dulu baru menuju ruang makan. Biasanya sang istri dibantu Sari sedang menyiapkan sarapan. Tapi pagi ini, sosoknya tidak ada.Ditambah pertanyaan ibunya barusan.“Mungkin di kamar Sheryl.” Hanya itu yang bisa Daru jawab.“Pagi, Eyang. Pagi, Papa.”Sheryl, penuh riang mendekat ke arah ayahnya juga sang nenek. Memberi kecup selamat pagi sebelum memulai sarapan. “Lho, Ibu mana?”Mereka semua saling pandang. Daru tanpa perlu menunggu komando segera naik ke lantai dua, menuju kamarnya.“Kala,” panggil Daru pelan. Pintu kamarnya agak sedikit terbuka. Saat ia mendorongnya, suasana kamarnya masih sama seperti saat ia tinggalkan. Sudah rapi namun tidak ada sosok istrinya
Kala lelah? Pasti. Tapi hatinya senang sekali karena selain pesta pernikahan yang dulu pernah ia impikan, diwujudkan sempurna oleh suaminya. Pun kemauan dirinya mengenai kamar pengantin. Walau sempat mendapat protes, tapi Kala kembali bisa membuat suaminya menuruti.Tak ada kamar pengantin di tempatnya menghabiskan malam pertama setelah sah menjadi suami istri. Padahal pihak hotel sudah menawarkan paket paling lux pada Kala namun, ia menolak. Daru sebenarnya tidak mengerti jalan pikiran Kala. Bukan kah perempuan itu akan takjub melihat betapa cantik kamar pengantin dihias?Ingin sekali Daru bertanya namun, senyum dan raut sedih terpancar di wajah cantik Kala. Ia tak mau bertanya lebih jauh. Mungkin nanti, ketika suasana istrinya sudah lebih baik, ia akan tanyakan mengenai hal ini.“Capek?” tanya Daru ketika sudah memasuki kamar, menoleh sekilas pada istrinya yang kini menunduk sembari melepaskan sepatu tingginya. Membuat
BALIPria itu mengerutkan kening. Undangan pernikahan yang baru saja diberikan resepsionis tadi cukup membuatnya tergelitik namun, ia tetap akan menyampaikan pada majikannya. Tidak mungkin menyembunyikan undangan ini padanya."Keana," panggil Andri cukup lantang begitu memasuki unit apartement wanita berambut panjang itu."Apa, sih, lo! Teriak-teriak enggak jelas!" Keana yang sedang memasang bulu mata merasa terganggu tiba-tiba. Rasanya ingin sekali ia lempar asistennya itu dengan boots yang ada di sebelahnya. Memasang bulu mata itu butuh konsetrasi dan Andri sukses membuyarkannya begitu saja."Gue punya kejutan untuk lo." Andri nyengir tak berdosa. Menyerahkan undangan tadi pada sang wanita.Keana mendengkus tak suka namun tetap saja ia membacanya. Lama sekali ia membaca undangan pernikahan yang datang padanya. "Kapan sampainya?" Ia masih membolak balik undangan berwarna ivory dengan tinta g