"Wa'alaikum salam, Bu," jawab Kala dengan segera setelah mengangkat ponsel yang berdering, menampilkan ID caller ibunya di layar.
"Nduk, kamu sehat?"
Kala tersenyum kecil. Kegiatannya duduk di bangku kayu tempat Daru menunjukkan betapa indah hamparan langit jika disaksikan dari tempat itu, akhirnya menjadi favoritnya juga. Sejak sang majikan pamit dinas ke Pontianak, Kala secara kontinyu memilih ruang ini sebagai pelepas penat. Kadang, ia masuk ke ruang kerja Daru. Itu pun setelah izin dengan Anna tentunya. Tanpa mengurangi rasa hormat akan siapa pemilik rumah sebenarnya. Kala masih sadar diri, ia hanya lah sebatas pengasuh.
"Alhamdulillah. Ibu dan Bapak?"
"Kami baik."
Senyum Kala belum ingin luntur. "Alhamdulillah, Tari senang dengarnya."
"Kamu kapan pulang, Nduk?"
Segunung rindu memang sudah merayap ke sanubari jikalau mendengar kata-kata itu bergaung. Namun sesaat ia mengingat semua pan
Kala menghela napas panjang. Dirinya berdiri tepat di tengah dua orang yang luar biasa menjengkelkan sepanjang siang menjelang sore ini."Sheryl belum selesai bikin PR. Papa kenapa, sih, sakit reseh banget!”Sang anak langsung mendekap kaki wanita yang memijat pelipisnya. Kala pening menghadapi mereka berdua. Mereka semua berada di ruang kerja Daru yang disulap sedemikian rupa agar bisa bagi si pria yang katanya sakit, katanya lho, tapi masih bekerja.Luar biasa sekali, kan? Kala sampai menggeleng heran menghadapinya.Sheryl tadinya duduk lesehan di atas karpet berbulu tebal berikut dengan meja kecil yang ia pergunakan untuk menyelesaikan tugasnya. Kini sang anak cemberut lantaran ayahnya selalu mengganggu. Menggelayuti kaki pengasuhnya agar tidak beranjak. Sekadar mengambilkan minum bagi mereka berdua."Papa haus,Princess. Mbak Kala mau ambil minum, kan, ya? Sebentar. Nanti Papa enggak bisa nelan obat.""Papa!"D
Tak ada yang bisa Kala lakukan selain duduk di kursi penumpang Mazda merah milik Daru. Memang, ini bukan pertama kalinya Kala duduk di sini. Namun rasa canggung itu masih ada. Bukan perkara mudah mengingat hati dan pikirannya sudha tak lagi di tempat"Kok, saya merasa Mbak enggak akan kembali, ya."Kala akhirnya tertawa pelan. "Kalau enggak jalan sekarang, saya bisa ketinggalan pesawat."Daru menghela napas pelan, lalu menyalakan mobil sembari mengerucutkan bibir. Persis seperti Sheryl yang merajuk.Di rumah, Kala harus membujuk Sheryl yang tiba-tiba histeris karena tahu ia akan pulang ke Surabaya. Sampai Kala kebingungan sendiri merayu juga meredakan tangisnya."Sheryl, dengar Ibu." Kala akhirnya membuat ketegasan. Menatap gadis kecil itu dengan tatapan cukup tajam. Tadinya Sheryl sama sekali tidak mau menatap mata Kala, namun karena dipaksa, akhirnya dengan mata berkaca-kaca Sheryl beradu pandang dengan pengasuhnya.Sebenarnya Kala sedih bukan main harus pulang sementara namun apa d
"Kita mau ke mana?" Akhirnya Kala bersuara setelah membisu di samping Erwin sebagai pengemudi."Sarapan.""Saya tau dengan jelas hal itu. Lokasinya?"Erwin mengulum senyum. "Kamu terlihat enggak ikhlas keluar bersama saya." Sembari melirik wanita yang ada di sampingnya itu. Benar tebakannya, wajah cantik yang dipoles make up tipis itu kembali bergeming. Tidak merespon sama sekali ucapannya."Saya mau ajak makan lontong balap." Erwin kembali menoleh, berharap wanita itu mau sedikit berbagi senyum padanya. Namun nihil. Kala masih tetap setia memperhatikan jalan di depannya, bahkan melirik ke arah Erwin saja tidak."Kamu mau? Atau ada yang ingin kamu makan sebagai sarapan?"Belum-belum menjawab, dering ponsel Kala memecah kaku di antara mereka. "Saya angkat telepon dulu." Dan ternyata itu sebuah panggilan video dari Sheryl. Mendadak ia merasa sangat besalah. Semalam, karena kelelahan ia lupa untuk sekadar mengabari kalau sudah tiba di rumah dengan se
Dulu, Kala benci rumah sakit. Baginya, bangunan itu sarat akan umur yang sudah tua. Bau. Lapuk dan juga menyeramkan. Entah kenapa hal itu selalu terpatri kuat dalam benaknya hingga kini. Namun ketika sang ayah berada di salah satu ruang rawat, ketakutannya lenyap. Seperti sekarang.Dirinya sudah berada di dalam ruangan tempat semalam ia kunjungi. Duduk sembari mengupas apel untuk sang ayah. Ibunya cemberut mengetahui berita yang Kala bawa tadi. Baru saja membuka pintu ruang rawat, wanita berambut sebahu itu sudah diberondong pertanyaan mengenai pertemuannya dengan Erwin. Kala ingin sekali menampilkan wajah jengah namun tak mampu.Ia hanya tersenyum kecil lalu menjelaskan tentang sarapan prakarsa ibunya itu. Hasilnya? Sang ibu menceramahinya panjang lebar. Katanya, Kala tidak mampu bersyukur. Pun menyalahkan dirinya kalau nanti Erwin tiba-tiba mundur menjadi calon menantu."Bu, perasaan enggak bisa dipaksa. Toh, Tari yang menjalani. Tari harap, Ibu mengerti."
Daru Aria : Saya benci bilang ini. Saya take off ke Pontianak sore ini. Bisa tiga hari saya di sana. Begitu landing, saya telepon Kala, ya. Jangan tidur dulu. Serius, saya rindu. Nanti saat saya take off dari sana menuju Jakarta, saya ingin teh lemon. Akhir-akhir ini saya enggak bisa tertidur pulas, Salah satunya karena Kala. Saya takut, Kala enggak pulang ke rumah lagi.Sudut bibir Kala tertarik penuh. Ia membenahi posisi duduknya agar gadis kecil di sampingnya bisa nyaman dalam tidur. Saat bertemu dirinya di pintu terminal kedatangan, tak ada yang diinginkan Kala sebesar keinginan memeluk Sheryl. Anak itu menjemputnya di sana, bersama Ahmad. Dengan wajah setengah cemberut anak itu mengadu, "Papa pergi sama Om Denny. Buru-buru. Katanya dinas-dinas itu. Sheryl kesel. Padahal sudah janji mau jemput Ibu Kala.""Ibu sudah sangat senang kalau Sheryl yang jemput. Papa, kan, kerja bukan mau main. Sheryl harus ngerti, ya."Wajah cantik itu perlahan mengulum senyum. "Sheryl
Kala membawa setumpuk pupuk pada Didi yang sudah menunggu di sudut area tempat bibit sawi mulai disemai. Sudah dua hari sejak ia tiba di rumahnya, Kala menyibukkan diri di sini. Mungkin, area ini akan menjadi favoritnya menghabiskan waktu.Sejak tahu mobil Civic milik Erwin masuk garasi, Kala menyingkir. Masa bodo dengan kedatangannya.Sementara di ruang tamu, Erwin disambut senyum ramah milik Nita. Rianto yang duduk sembari membaca koran lama, menyapanya hangat. Seperti kawan lama."Gimana Nak Erwin, bisnisnya lancar?" Rianto berbasa basi sejenak.Erwin mengulum senyum manis dengan sedikit bangga. "Minggu lalu baru deal. Akhirnya setelah negosiasi alot, bos besarnya mau juga untuk realisasi.""Proyek apa kalau boleh tau, Nak?""Franchise kafe kopi yang terkenal itu, Pak. Soalnya pemilik nama enggak mau design kafenya dimodif. Susah sekali negonya."Rianto menepuk bahunya sekilas. "Bagus berarti kamu kerja sama dengan orang seperti itu.
“Aria, ini serius?” tanya Kala tak percaya. Matanya bolak balik menatap banyaknya list yang baru Daru serahkan padanya.“Kenapa enggak serius?”Wanita yang tampak cantik mengenakan blouse peach mengerang frustrasi. Bukan sekali dua kali Daru mengubah keinginannya dalam to do list yang ada di tangannya itu. List tersebut akan mereka gunakan sebagai acuan untuk melangsungkan pernikahan yang kurang dari sebulan lagi.Mulai dari; penyewaan hall di salah satu hotel ternama di Jakarta, undangan yang akan dicetak sebanyak 1000 lembar, biaya catering yang tidak main-main, pemilihan kebaya serta tata rias yang membuat Kala melotot tak percaya, juga dekorasi pesta yang membuat dirinya sudah bernapas.“Ini terlalu mewah, Aria.”Daru hanya terkekeh. Sejak wanita itu menerima sosoknya masuk dalam lingkar kehidupannya, Daru tak pernah mengendurkan geraknya. Bahkan untuk sekada
BALIPria itu mengerutkan kening. Undangan pernikahan yang baru saja diberikan resepsionis tadi cukup membuatnya tergelitik namun, ia tetap akan menyampaikan pada majikannya. Tidak mungkin menyembunyikan undangan ini padanya."Keana," panggil Andri cukup lantang begitu memasuki unit apartement wanita berambut panjang itu."Apa, sih, lo! Teriak-teriak enggak jelas!" Keana yang sedang memasang bulu mata merasa terganggu tiba-tiba. Rasanya ingin sekali ia lempar asistennya itu dengan boots yang ada di sebelahnya. Memasang bulu mata itu butuh konsetrasi dan Andri sukses membuyarkannya begitu saja."Gue punya kejutan untuk lo." Andri nyengir tak berdosa. Menyerahkan undangan tadi pada sang wanita.Keana mendengkus tak suka namun tetap saja ia membacanya. Lama sekali ia membaca undangan pernikahan yang datang padanya. "Kapan sampainya?" Ia masih membolak balik undangan berwarna ivory dengan tinta g
Hari berganti, bulan bergulir, tahun juga semakin bertambah angkanya. Namun satu hal yang tak lekang oleh waktu yang ada. Kebersamaan di rumah dua lantai yang kini tak pernah sepi lagi. Kadang suara Anna memenuhi sudut ruang di mana Nika yang terlalu aktif bergerak. Bocah tujuh tahun itu seperti kancil. Tak bisa diam. Entah dari mana asal energinya.Anna bukan takut ada sesuatu yang pecah atau terjatuh karena Nika. Tapi ia khawatir sang cucu terluka karena geraknya yang terlalu lincah ini. Berlarian ke sana ke sini, terkadang juga loncat tak keruan sembari tertawa riang. Untunglah Levant bisa menemani aktifitas Nika meski sang putri bungsu harus menunggu sampai kakak tengahnya pulang sekolah.Sementara Sheryl benar-benar disibukkan dengan kuliahnya. Levant juga mulai banyak kegiatan di sekolah. Kendati begitu, Sheryl tak pernah menyia-nyiakan waktu bersama keluarganya. Pun Levant. Tiap kali ada kesempatan kumpul bersama, pasti mereka lakukan dengan
Kala menatap Nika yang sudah terpejam tidur penuh dengan sayang. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana ia melahirkan putri bungsunya ini. Meski ada banyak drama, tapi rasa syukurnya tak pernah mereda. “Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah.” Dikecupnya lembut kening Nika seraya berdoa, “Ya Allah, lindungi selalu anak-anakku dari mimpi buruk. Dari orang-orang yang berniat jahat. Dari orang munafik di sekitar mereka. Jadikan mereka anak-anak soleh dan solehah.”Membenahi ujung selimut Nika terpasang dengan benar, merapikan buku-buku yang sempat diberantaki Nika, pun memastikan suhu ruang kamar ini nyaman, Kala pun keluar kamar. Yang mana ternyata sudah ditunggu oleh Daru.“Belum tidur?” tanya Kala yang berhati-hati menutup pintu kamar Nika.“Mana bisa tidur kalau Ibu enggak ada.” Daru merajuk persis seperti Levant. Makanya sering sekali Kala berseloroh, kalau suaminya menjelma menjadi sang
Meski di dalam SUV mewah sang ayah suasana ribut dan berisik, tapi masih ada relung senyap yang Sheryl punya. Walau sesekali mulutnya meminta Levant untuk tak meledek adik bungsunya, yang entah dari mana tingkah usil Levant ini makin jadi, tetap saja relung itu terkadang minta perhatian.Kekosongan itu sengaja ia adakan di hati untuk memenjarakan sosok Keana di sana.Sosok yang seharusnya ada saat ia sedih, khawatir, kesepian, bacakan dongeng, siapkan sarapan, serta segala macam aktifitasnya kala kecil dulu. Seperti sosok wanita yang duduk di samping ayahnya; yang tak pernah terlambat menemaninya melakukan apa pun meski kedatangannya saat ia berseragam merah putih. Bukan dengan seragam TK atau malah waktu di mana ingatannya belum terlalu sempurna.Perjalanan menuju salah satu mall di wilayah Jakarta Pusat tak butuh terlalu lama ditempuh. Begitu di area parkir, Daru meminta Levant dan pengasuh Nika untuk masuk terlebih dahulu ke
Dulu demi memancing agar Sheryl bicara, Kala butuh banyak usaha. Kali ini, Sheryl dengan mudahnya mengatakan apa pun terutama apa yang terjadi padanya pada Kala. Mulai dari kegiatannya di sekolah sampai temannya yang menurut gadis beranjak remaja ini menyebalkan. Ada saja bahan cerita yang Sheryl bawa untuk Kala. Baginya bicara dengan sang ibu menyenangkan. Tak seperti sang ayah yang lebih sering meledeknya.Terutama hubungan dengan lawan jenis.“Papa kenapa, sih, Bu?” Sheryl melipat tangannya di dada. Wajahnya cemberut. Sorot matanya menyimpan kejengkelan.“Kenapa lagi sama Papa?” Kala melipat senyumnya. Diulurkan tangannya demi untuk merapikan rambut panjang sang putri yang agak berantakan.“Aku ditanya tentang Noah. Memangnya aku ini temannya? Sejak kapan aku menjadi teman Noah Narendra?”“Susunya diminum dulu, ya?”“Aku bukan
Kehamilan kedua saat itu memang agak riskan bagi Kala. Usianya yang tak lagi muda membuat ia memiliki rasa khawatir meski tak sebesar bahagia yang menyelimutinya. Dokter bilang, “Selama Ibu jaga kandungan, kondisi, dan asupan makanan, insyaAllah akan baik-baik saja.”Bagi Kala, segala hal yang tercurah dalam hidupnya sekarang lebih dari sekadar anugerah. Apa yang ia harap selama ini, jutaan do’a yang ia hatur dalam tiap sujudnya terjadi dengan begitu mudah. Seolah tanpa beban Tuhan beri keinginan itu saat Kala melepas segalanya. Di saat ia merelakan dirinya sebagai seorang wanita yang tidak memiliki anak. Cukuplah Sheryl baginya sebagai ajang pamer.Persis saran Risa padanya kala itu.Maka saat kehamilan pertamanya terjadi, bahagia itu bukan hanya miliknya. Tapi seluruh keluarganya. Nita dan Rianto sering berkunjung ke Jakarta demi melihat pertumbuhan cucu pertama mereka. Selayaknya nama yang Kala beri pada an
Pria itu masih mematung di depan setir mobil. Ada sebongkah ragu sebelum ia memutuskan untuk benar-benar turun dan berjalan menuju tempat diadakannya fare wall party seorang Andaru Aria. Hari ini, rekan kerjanya mengundurkan diri. ia memilih meneruskan usaha yang memang sudah ia rintis ketimbang berjibaku di bawah komando orang lain.Ada segunung penasaran yang mendera hati pria itu. terutama kata-kata yang sangat menggangunya sejak tadi pagi."Saya pasti kehilangan Pak Daru dalam pekerjaan." Ia mengatakan kejujuran. Rekan kerjanya kali ini, sangat berdedikasi dalam pekerjaan."Pak Janu bisa saja. Saya memang sudah berniat mengundurkan diri sejak lama tapi waktunya selalu benturan. Kebetulan istri manjanya enggak ketulungan minta ditemani terus di rumah.""Hormon ibu hamil beda, Bos," celetuk Denny, asisten seorang Andaru Aria. "Mbak Kala segitu independent-nya pas manja tuh lucu banget enggak, sih.""Ja
“Lho, Nak, Kala mana?”Giliran Daru yang kebingungan ditanya seperti itu. Sejak keluar kamar ia memang memilih merapikan berkas di ruang kerjanya dulu baru menuju ruang makan. Biasanya sang istri dibantu Sari sedang menyiapkan sarapan. Tapi pagi ini, sosoknya tidak ada.Ditambah pertanyaan ibunya barusan.“Mungkin di kamar Sheryl.” Hanya itu yang bisa Daru jawab.“Pagi, Eyang. Pagi, Papa.”Sheryl, penuh riang mendekat ke arah ayahnya juga sang nenek. Memberi kecup selamat pagi sebelum memulai sarapan. “Lho, Ibu mana?”Mereka semua saling pandang. Daru tanpa perlu menunggu komando segera naik ke lantai dua, menuju kamarnya.“Kala,” panggil Daru pelan. Pintu kamarnya agak sedikit terbuka. Saat ia mendorongnya, suasana kamarnya masih sama seperti saat ia tinggalkan. Sudah rapi namun tidak ada sosok istrinya
Kala lelah? Pasti. Tapi hatinya senang sekali karena selain pesta pernikahan yang dulu pernah ia impikan, diwujudkan sempurna oleh suaminya. Pun kemauan dirinya mengenai kamar pengantin. Walau sempat mendapat protes, tapi Kala kembali bisa membuat suaminya menuruti.Tak ada kamar pengantin di tempatnya menghabiskan malam pertama setelah sah menjadi suami istri. Padahal pihak hotel sudah menawarkan paket paling lux pada Kala namun, ia menolak. Daru sebenarnya tidak mengerti jalan pikiran Kala. Bukan kah perempuan itu akan takjub melihat betapa cantik kamar pengantin dihias?Ingin sekali Daru bertanya namun, senyum dan raut sedih terpancar di wajah cantik Kala. Ia tak mau bertanya lebih jauh. Mungkin nanti, ketika suasana istrinya sudah lebih baik, ia akan tanyakan mengenai hal ini.“Capek?” tanya Daru ketika sudah memasuki kamar, menoleh sekilas pada istrinya yang kini menunduk sembari melepaskan sepatu tingginya. Membuat
BALIPria itu mengerutkan kening. Undangan pernikahan yang baru saja diberikan resepsionis tadi cukup membuatnya tergelitik namun, ia tetap akan menyampaikan pada majikannya. Tidak mungkin menyembunyikan undangan ini padanya."Keana," panggil Andri cukup lantang begitu memasuki unit apartement wanita berambut panjang itu."Apa, sih, lo! Teriak-teriak enggak jelas!" Keana yang sedang memasang bulu mata merasa terganggu tiba-tiba. Rasanya ingin sekali ia lempar asistennya itu dengan boots yang ada di sebelahnya. Memasang bulu mata itu butuh konsetrasi dan Andri sukses membuyarkannya begitu saja."Gue punya kejutan untuk lo." Andri nyengir tak berdosa. Menyerahkan undangan tadi pada sang wanita.Keana mendengkus tak suka namun tetap saja ia membacanya. Lama sekali ia membaca undangan pernikahan yang datang padanya. "Kapan sampainya?" Ia masih membolak balik undangan berwarna ivory dengan tinta g