"Harus banget?"
Daru mengernyit heran dengan kabar yang Denny bawa. Sepanjang berangkat dari rumah, mood-nya jika dibuat dalam skala persen, ada di nilai seribu. Lalu dihancurkan dengan informasi yang baru saja dibagitahu Denny. Dirinya harus mengikuti sesi perkenalan calon ambassador baru perusahaan mereka. Kontraknya tidak main-main, selama satu semester. Biasanya pemilihan wajah baru hanya untuk satu kuartal.
"Dia masuk jajaran top model terkenal, sih."
Gerak Daru yang sedang membubuhkan tinta pada salah satu kontrak terhenti.
"Model? Biasanya artis."
"Big boss kalau punya mau beda, Aria."
Daru mengedikkan bahu. "Jam berapa? Kita ada jadwal apa saja seharian ini?"
Padahal ia ingin menetap di ruangannya. Sembari nanti saat senggang, membuat panggilan video pada sang putri kesayangan adalah cara terlicik yang ia punya untuk sekadar mendengar suara Kala.
Dirinya masih mengingat dengan jelas obr
"Nduk, kamu enggak kepengin pulang?"Suara ibunya sedikit bergetar di ujung sana. Kala menahan laju air mata yang dalam sekali kedip, sudah membasahi pipi. Jangan tanya betapa rindu ia pada ibunya. Namun semuanya lenyap saat perlahan ia mengingat bagaimana wanita paruh baya itu menghadapi dirinya."Tari belum dapat cuti, Bu."Ada desah kecewa yang terdengar di telinganya."Jangan terlalu lama di Jakarta,Nduk. Bantu Ibu di sini lebih baik,Nduk."Ia bukan tak ingin bersama ibunya di toko. Dua tahun ia di rumah dengan keseharian membantu sang ibu di toko, tak membuat hatinya merasa lebih baik. Banyak pertanyaan singgah, tak secuil rasa iba diberi, belum lagi nasihat berujung penyudutan atas apa yang terjadi padanya. Kala kenyang menghadapi hal itu. Ibunya? Bukan membela atau sekadar memberi bahu, ia justru sering termakan bicara. Kalau bukan ayahnya yang sesekali memperingati, mungkin sa
Daru memperhatikan layar kerjanya cukup serius. Sesekali ia menggeser pada lembar lainnya dan membuat perbandingan. Marketing design bilang, ini sudah konsep final. Namun Daru merasa ada yang kurang di beberapa bagian."Bos, lo enggak makan?"Daru mendongak. Diliriknya Tag Heuer, sudah menunjuk angka dua belas kurang lima menit. Ia mendesah pelan."Lo hubungi Pak Janu dulu, dong. Selepas makan siang, gue mau diskusi dengan beliau. Takutnya dia maumeetingkeluar."Denny hanya mengangguk dan segera menjalankan perintah Daru."Kebetulan banget, Pak Janu memang baru diskusi sama lo habis makan siang."Saat Daru akan bersiap dan menyalakan modesleeppada layar laptopnya, ponsel yang masih ada di atas meja berdering. Sebuah panggilan video masuk yang membuat senyum Daru terkembang."Hallo,PrincessPapa.""Hai, Papa." Layar ponselnya langsung menampilkan wajah le
Sudah seminggu berlalu sejak kali terakhir Kala ke kantor majikannya. Kini, ia harus kembali ke sana, mengantar sang nona muda menjemput ayahnya. Dirinya menghitung banyak sekali kemungkinan bertemu sosok pria itu. Sangat besar. Apalagi lingkup pekerjaan majikannya, menurut keyakinan Kala pasti dekat. Kali ini, Daru mengizinkan Kala untuk menunggunya di mobil. Entah mengapa izin yang diberi Daru tadi membuatnya lega. Malam harinya, ia akan berterima kasih secara tulus karena hal tersebut.Ia tak mau ada kebetulan yang tidak sanggup ditolerir lagi. Walau pernah majikannya bertanya, Kala merasa bukan hal yang patut untuk dikemukakan. Itu sudah zona privasi miliknya. Ia bukan sembarang orang yang akan bercerita hanya karena ditarik rasa simpatinya. Bukan.Kendati demikian, Kala tak berhenti untuk memantapkan hati kalau akan tiba hari di mana ia harus bertemu Janu. Mantan suaminya. Dan ia sudah memutuskan di malam ini. Kala sudah menghitung berbagai kemungkinan yang
Kala mengembuskan napas panjang. Ia mengeratkan pegangan pada talitote bagmiliknya. Dirinya keluar mobil perlahan, memantapkan diri kalau ini adalah inginnya terakhir kali. Setelah mengucapkan banyak terima kasih karena pria paruh baya itu mau meluangkan waktu untuknya."Bapak khawatir sama Mbak Kala. Saya juga enggak repot, kok," katanya yang semakin membuat Kala tak enak hati. Seharusnya minggu adalah waktu liburnya. Pak Ahmad diminta mengantar dan menunggu Kala, sesuai dengan perintah sang majikan. Tadinya ia menolak, namun Daru selalu punya cara agar Kala bungkam.Daru bilang, "Jakarta luas. Nanti Mbak Kala nyasar. Lebih baik diantar dan ditunggu. Enggak lama, kan, bertemu Pak Janu?"Belum lagi ia harus membujuk Sheryl agar tidak ikut. Bukan hal yang mudah mengingat hampir setiap hari Kala bersamanya. Persis seperti perangko, lengket tak bisa dipisahkan. Ia berjanji setelah selesai dengan urusannya, ia akan menemani Sheryl berenang. Juga
“Saya lapar, Mbak.”Kala sudah tak tahu rona wajahnya seperti apa. Kalau bisa bertukar pasti sudah ia lakukan sejak memastikan majikannya yang kini mengambil alih kemudi. Sungguh, Kala tidak mengerti kapan Pak Ahmad berganti dengan Daru?“Mbak enggak lapar?” tanya Daru sesekali menoleh ke arah Kala yang kini menunduk. Berusaha sekali wanita itu menutup wajahnya dengan rambut pun telapak tangannya.Saat tadi sedan yang dibawa Ahmad meluncur keluar dari garasi, hati Daru sudah tak keruan berdetak. Sambil menghitung segala kemungkinan terburuk juga entah akan ditanggapi seperti apa nantinya, ia sudah tak peduli. Selang dua puluh menit dalam selimut ragu, Daru menyusul.“Saya mau pulang saja,” tolak Kala. Ia masih belum berani mengangkat kepalanya sekadar memastikan Daru tidak menatapnya dengan pandangan iba.“Padahal saya sedang berusaha menghibur Mbak dengan makanan.” Daru terkekeh pelan. Matanya masih
“Ibu, aku lapar," keluh Sheryl yang langsung menubruk Kala ketika bertemu sosok yang berdiri di ruang tunggu sekolah. Hidupnya kembali dengan ritme yang sama; bangun pagi, membuatkan Sheryl sarapan, mengantarnya sekolah hingga gadis kecil itu pulang. Seperti saat ini.Kala membeku sesaat. Dirinya masih belum terbiasa dengan semat yang diberi sang anak padanya. Ini memang rahasia. Rahasia yang benar-benar juara membuatmoodKala berada dalam tingkat seratus persen."Memang Non—" Kala langsung membekap bibirnya saat bola mata kecil itu mendelik marah ke arahnya. "Memang Sheryl mau tunggu Ibu masak? Kan, laparnya sekarang." Diusapnya lembut puncak kepala sang anak."Sekarang nyamil donat aja, deh."Tangannya sengaja ia ayunkan dengan riang di udara. Tangan itu saling terkait dengan sang pengasuh. Mereka berjalan keluar gerbang sekolah menuju mobil jemputannya.Kala tertawa. "Pipinya nanti makin bulat mirip donat."
"Pak, ini sudah kali ketiga lho saya minta direvisi."Daru bicara dengan nada enteng namun tidak lah se-simpleitu. Kepalanya ikut pusing membaca laporan yang Janu beri dua jam lalu. Bahkan Denny mendapat ekstra tugas untuk menganalisa pada bagian individual strategi yang menurut Daru tidak pas. Sama sekali.Di hadapannya, pria jelang empat puluh tahun itu mendesah frustrasi. Ia memijat pelipisnya pelan."Maaf.""Saya bukan maksud menggurui atau apa. Saya selaku yang muda meminta maaf terlebih dahulu, tapi kondisinya—" Jeda sejenak untuk Daru mengambil napasnya kembali, "Kita ini diburu waktu.Wasting timedalam dunia marketing itu enggak berlaku. Profit perusahaan ada di tangan kita, Pak. Pak Janu tahu pasti hal tersebut. Saya harap, singkirkan dulu apa yang memenuhi kepala Bapak."Daru berdiri dari kursi yang ada di depan meja pria itu. "Saya tunggu setengah jam lagi. Bisa, kan, Pak?"Janu memej
Pada akhirnya Kala terbiasa duduk di depan deretan buku di ruang kerja Daru. Mengamati tiap jejer yang ada di sana. Mengambil mana yang ia suka dan larut di dalamnya. Sembari membunuh waktu karena di ujung sana, sang majikan masih tampak bekerja penuh konsentrasi.Kali ini pilihannya jatuh pada buku autobiografi mantan presiden yang cukup lama berkuasa.Sementara di balik meja besarnya, Daru tak kuasa untuk tidak mencuri pandang ke arah Kala. Dari mimik wajahnya, jelas jika wanita itu sudah menyelam pada buku tebal pilihannya. Sesekali alisnya berkerut, sudut bibirnya kadang mengerucut—Daru sedikit yakin kalau bibir itu terpoles lipstik dengan sapuan tipis berwarna merah muda. Memberi warna pada wajahnya yang memang cantik.Tunggu. Tunggu sebentar.Ia bukan sedang memuji seorang Kala Mantari, kan? Sudahlah, ia menyerah. Tak bisa lagi dipungkiri kalau wanita itu cantik. Cantik dengan caranya.Daru menghela napas pelan, memejamka
Hari berganti, bulan bergulir, tahun juga semakin bertambah angkanya. Namun satu hal yang tak lekang oleh waktu yang ada. Kebersamaan di rumah dua lantai yang kini tak pernah sepi lagi. Kadang suara Anna memenuhi sudut ruang di mana Nika yang terlalu aktif bergerak. Bocah tujuh tahun itu seperti kancil. Tak bisa diam. Entah dari mana asal energinya.Anna bukan takut ada sesuatu yang pecah atau terjatuh karena Nika. Tapi ia khawatir sang cucu terluka karena geraknya yang terlalu lincah ini. Berlarian ke sana ke sini, terkadang juga loncat tak keruan sembari tertawa riang. Untunglah Levant bisa menemani aktifitas Nika meski sang putri bungsu harus menunggu sampai kakak tengahnya pulang sekolah.Sementara Sheryl benar-benar disibukkan dengan kuliahnya. Levant juga mulai banyak kegiatan di sekolah. Kendati begitu, Sheryl tak pernah menyia-nyiakan waktu bersama keluarganya. Pun Levant. Tiap kali ada kesempatan kumpul bersama, pasti mereka lakukan dengan
Kala menatap Nika yang sudah terpejam tidur penuh dengan sayang. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana ia melahirkan putri bungsunya ini. Meski ada banyak drama, tapi rasa syukurnya tak pernah mereda. “Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah.” Dikecupnya lembut kening Nika seraya berdoa, “Ya Allah, lindungi selalu anak-anakku dari mimpi buruk. Dari orang-orang yang berniat jahat. Dari orang munafik di sekitar mereka. Jadikan mereka anak-anak soleh dan solehah.”Membenahi ujung selimut Nika terpasang dengan benar, merapikan buku-buku yang sempat diberantaki Nika, pun memastikan suhu ruang kamar ini nyaman, Kala pun keluar kamar. Yang mana ternyata sudah ditunggu oleh Daru.“Belum tidur?” tanya Kala yang berhati-hati menutup pintu kamar Nika.“Mana bisa tidur kalau Ibu enggak ada.” Daru merajuk persis seperti Levant. Makanya sering sekali Kala berseloroh, kalau suaminya menjelma menjadi sang
Meski di dalam SUV mewah sang ayah suasana ribut dan berisik, tapi masih ada relung senyap yang Sheryl punya. Walau sesekali mulutnya meminta Levant untuk tak meledek adik bungsunya, yang entah dari mana tingkah usil Levant ini makin jadi, tetap saja relung itu terkadang minta perhatian.Kekosongan itu sengaja ia adakan di hati untuk memenjarakan sosok Keana di sana.Sosok yang seharusnya ada saat ia sedih, khawatir, kesepian, bacakan dongeng, siapkan sarapan, serta segala macam aktifitasnya kala kecil dulu. Seperti sosok wanita yang duduk di samping ayahnya; yang tak pernah terlambat menemaninya melakukan apa pun meski kedatangannya saat ia berseragam merah putih. Bukan dengan seragam TK atau malah waktu di mana ingatannya belum terlalu sempurna.Perjalanan menuju salah satu mall di wilayah Jakarta Pusat tak butuh terlalu lama ditempuh. Begitu di area parkir, Daru meminta Levant dan pengasuh Nika untuk masuk terlebih dahulu ke
Dulu demi memancing agar Sheryl bicara, Kala butuh banyak usaha. Kali ini, Sheryl dengan mudahnya mengatakan apa pun terutama apa yang terjadi padanya pada Kala. Mulai dari kegiatannya di sekolah sampai temannya yang menurut gadis beranjak remaja ini menyebalkan. Ada saja bahan cerita yang Sheryl bawa untuk Kala. Baginya bicara dengan sang ibu menyenangkan. Tak seperti sang ayah yang lebih sering meledeknya.Terutama hubungan dengan lawan jenis.“Papa kenapa, sih, Bu?” Sheryl melipat tangannya di dada. Wajahnya cemberut. Sorot matanya menyimpan kejengkelan.“Kenapa lagi sama Papa?” Kala melipat senyumnya. Diulurkan tangannya demi untuk merapikan rambut panjang sang putri yang agak berantakan.“Aku ditanya tentang Noah. Memangnya aku ini temannya? Sejak kapan aku menjadi teman Noah Narendra?”“Susunya diminum dulu, ya?”“Aku bukan
Kehamilan kedua saat itu memang agak riskan bagi Kala. Usianya yang tak lagi muda membuat ia memiliki rasa khawatir meski tak sebesar bahagia yang menyelimutinya. Dokter bilang, “Selama Ibu jaga kandungan, kondisi, dan asupan makanan, insyaAllah akan baik-baik saja.”Bagi Kala, segala hal yang tercurah dalam hidupnya sekarang lebih dari sekadar anugerah. Apa yang ia harap selama ini, jutaan do’a yang ia hatur dalam tiap sujudnya terjadi dengan begitu mudah. Seolah tanpa beban Tuhan beri keinginan itu saat Kala melepas segalanya. Di saat ia merelakan dirinya sebagai seorang wanita yang tidak memiliki anak. Cukuplah Sheryl baginya sebagai ajang pamer.Persis saran Risa padanya kala itu.Maka saat kehamilan pertamanya terjadi, bahagia itu bukan hanya miliknya. Tapi seluruh keluarganya. Nita dan Rianto sering berkunjung ke Jakarta demi melihat pertumbuhan cucu pertama mereka. Selayaknya nama yang Kala beri pada an
Pria itu masih mematung di depan setir mobil. Ada sebongkah ragu sebelum ia memutuskan untuk benar-benar turun dan berjalan menuju tempat diadakannya fare wall party seorang Andaru Aria. Hari ini, rekan kerjanya mengundurkan diri. ia memilih meneruskan usaha yang memang sudah ia rintis ketimbang berjibaku di bawah komando orang lain.Ada segunung penasaran yang mendera hati pria itu. terutama kata-kata yang sangat menggangunya sejak tadi pagi."Saya pasti kehilangan Pak Daru dalam pekerjaan." Ia mengatakan kejujuran. Rekan kerjanya kali ini, sangat berdedikasi dalam pekerjaan."Pak Janu bisa saja. Saya memang sudah berniat mengundurkan diri sejak lama tapi waktunya selalu benturan. Kebetulan istri manjanya enggak ketulungan minta ditemani terus di rumah.""Hormon ibu hamil beda, Bos," celetuk Denny, asisten seorang Andaru Aria. "Mbak Kala segitu independent-nya pas manja tuh lucu banget enggak, sih.""Ja
“Lho, Nak, Kala mana?”Giliran Daru yang kebingungan ditanya seperti itu. Sejak keluar kamar ia memang memilih merapikan berkas di ruang kerjanya dulu baru menuju ruang makan. Biasanya sang istri dibantu Sari sedang menyiapkan sarapan. Tapi pagi ini, sosoknya tidak ada.Ditambah pertanyaan ibunya barusan.“Mungkin di kamar Sheryl.” Hanya itu yang bisa Daru jawab.“Pagi, Eyang. Pagi, Papa.”Sheryl, penuh riang mendekat ke arah ayahnya juga sang nenek. Memberi kecup selamat pagi sebelum memulai sarapan. “Lho, Ibu mana?”Mereka semua saling pandang. Daru tanpa perlu menunggu komando segera naik ke lantai dua, menuju kamarnya.“Kala,” panggil Daru pelan. Pintu kamarnya agak sedikit terbuka. Saat ia mendorongnya, suasana kamarnya masih sama seperti saat ia tinggalkan. Sudah rapi namun tidak ada sosok istrinya
Kala lelah? Pasti. Tapi hatinya senang sekali karena selain pesta pernikahan yang dulu pernah ia impikan, diwujudkan sempurna oleh suaminya. Pun kemauan dirinya mengenai kamar pengantin. Walau sempat mendapat protes, tapi Kala kembali bisa membuat suaminya menuruti.Tak ada kamar pengantin di tempatnya menghabiskan malam pertama setelah sah menjadi suami istri. Padahal pihak hotel sudah menawarkan paket paling lux pada Kala namun, ia menolak. Daru sebenarnya tidak mengerti jalan pikiran Kala. Bukan kah perempuan itu akan takjub melihat betapa cantik kamar pengantin dihias?Ingin sekali Daru bertanya namun, senyum dan raut sedih terpancar di wajah cantik Kala. Ia tak mau bertanya lebih jauh. Mungkin nanti, ketika suasana istrinya sudah lebih baik, ia akan tanyakan mengenai hal ini.“Capek?” tanya Daru ketika sudah memasuki kamar, menoleh sekilas pada istrinya yang kini menunduk sembari melepaskan sepatu tingginya. Membuat
BALIPria itu mengerutkan kening. Undangan pernikahan yang baru saja diberikan resepsionis tadi cukup membuatnya tergelitik namun, ia tetap akan menyampaikan pada majikannya. Tidak mungkin menyembunyikan undangan ini padanya."Keana," panggil Andri cukup lantang begitu memasuki unit apartement wanita berambut panjang itu."Apa, sih, lo! Teriak-teriak enggak jelas!" Keana yang sedang memasang bulu mata merasa terganggu tiba-tiba. Rasanya ingin sekali ia lempar asistennya itu dengan boots yang ada di sebelahnya. Memasang bulu mata itu butuh konsetrasi dan Andri sukses membuyarkannya begitu saja."Gue punya kejutan untuk lo." Andri nyengir tak berdosa. Menyerahkan undangan tadi pada sang wanita.Keana mendengkus tak suka namun tetap saja ia membacanya. Lama sekali ia membaca undangan pernikahan yang datang padanya. "Kapan sampainya?" Ia masih membolak balik undangan berwarna ivory dengan tinta g