Empat belas tahun yang lalu, untuk pertama kalinya Kala bertemu seorang Janu Wirabrata. Itu pun secara tidak sengaja karena ternyata, Janu adalah keponakan dari dosen favorit Kala. Sadewa Winata. Mereka bertemu karena saat itu, Dewa sakit. Tidak bisa mengajar sementara bahan ajarnya dititipkan pada Janu.
Santun, pintar, sopan, dan juga rendah hati. Itu sosok yang digambar Dewa mengenai seorang Kala Mantari, murid kebanggaannya itu. Mungkin itulah yang mendorong Janu terus mendekat ke arah Kala. Dihadiahi banyak perhatian, pengertian, kasih sayang juga cinta kasih, hati perempuan mana yang tidak luluh.
Kala memejamkan mata, menggeleng pelan mengenyahkan memori kelam yang kembali terulang di kepalanya.
“Tari ... kamu nangis?” tanya suara di ujung sana karena hanya mendengar isak kecil sejak telepon itu diterima.
Tak ada tanggapan sama sekali, justru isak itu malah semakin jadi.
“Tari ... kamu kenapa? Kamu dimarahi bos?
“Non ... tunggu,” panggil Kala cukup terengah. Dirinya sedikit kerepotan dengan bekal permintaan nona mudanya itu. Sebelum berangkat, Shery ingin nasi gulung dengan slice daging panggang. Persis seperti saat menu sarapan itu tersaji khusus untuk sang nona.Sementara begitu memasuki area mall yang elite ini, gadis itu setengah berlari. Katanya sudah tidak sabar bertemu Abyan. Padahal sepanjang jalan gadis itu memastikan kalau Abyan bukan anak reseh dan berisik. Karena Sheryl tidak mau berkenalan dengan anak tipe seperti itu. Gemas Kala dibuatnya karena beberapa kali dijelaskan, seolah gadis itu tak percaya.Kini, justru anak itu yang terlihat sangat bersemangat. Sheryl tertawa riang dan menunggu pengasuhnya agar langkahnya sama. “Aku enggak sabar, Mbak.”“Tapi jangan lari. Mbak khawatir kalau Non terjatuh, gimana?”Sheryl mengerjap pelan, seulas senyum ia beri pada Kala. Lalu dalam sekali gerak ia telah me
Pertama kali membaca resume seorang Kala Mantari, ada sebuah pertanyaan besar yang menyapa. Akan tetapi, dijawab dengan lugas dan sepertinya itu memang kejujuran dari pengasuh anaknya. Yang Daru tak sangka, baik Denny dan Kala satu almamater. Lama Daru terpekur menatap lembaran yang ada di hadapannya.Ingatannya diseret paksa pada percakapan di kedai es krim yang ada di mall selepas Sheryl bermain.“Saya benar-benar enggak sangka bisa bertemu Mbak Kala di sini. Eh ... Mbak Risa juga, sih.” Denny tak bisa menyembunyikan antusiasnya berhadapan dengan dua wanita yang duduk di depannya ini.Jangan tanya Daru bagaimana wajah Risa karena sepertinya wanita yang duduk memangku anaknya, sama sekali tak tampak canggung. Beda halnya dengan Kala. Wanita itu seperti hilang suara. Hanya merespon dengan kata-kata singkat dan senyum kecil."Kalian bertiga saling kenal?" Tak tahan memendam tanya, Daru menginterupsi kegembiraan Denny pada akhirnya.
Kala memilih sibuk dengan ponselnya. Mengabaikan seruan kecil berupa ajakan menjadi salah satu fans orang yang ia kenal. Kala menggeleng heran dibuatnya. Bagaimana bisa ada fans club seorang Andaru Aria di sekolah Sheryl?Mungkin kalau Risa mengetahui hal ini, sahabatnya akan mendaftar paling awal. Mengingat saat pertama kali Risa bertemu, pujian ganteng lolos begitu saja dari bibirnya. Belum lagi gosip seputar majikannya itu. Bahkan Kala sampai bosan mendapat pertanyaan, “Istri Pak Daru pernah datang, Mbak?” Atau. “Kan, benar saya bilang juga apa. Pak Daru itu Hot Duda.”Bagi Kala, semua itu tak penting. Yang terpenting baginya adalah Sheryl. Anak asuhnya. Status Daru ia tak mau tahu. Bukan urusannya. Sama sekali. Walau apa yang para penggosip yang kebanyakan adalah pengasuh juga, benar adanya. Wajah Daru memang tampan, diakui sendiri oleh Kala namun, itu semua bukan lantas membuat dirinya terpesona. Sama sekali tidak.Cuk
Menghabiskan sisa waktu sore ini bersama Sheryl, setidaknya bisa sedikit mengurangi rasa bersalahnya. Ia meminta Ahmad dan Kala pulang lebih dulu. Toh, dirinya sudah menyelesaikan urusannya dengan wali kelas Sheryl."Tumben Papa jemput Sheryl."Saat melirik ke arah sang putri, ia sedang asyik menjilati es krim bagiannya. "Enggak suka?"Sheryl justru tertawa girang. "Senang banget malah. Biasanya Papa, kan, pulang malam, lah. Lembur, lah. Tumben aja sekarang jemput."Ada sesal yang mendadak menyelimuti hati Daru kala binar mata polos itu memenuhi kepalanya. "Maafin Papa, ya."Gadis berkuncir kuda itu menggeleng cepat. "Papa kerja untuk Sheryl, kan. Sibuk juga untuk Sheryl. Jadi aku maafkan."Daru terkekeh. "Habis makan es krim mau ke mana lagi?" Usapnya sayang pada puncak kepala sang anak. Namun bukan wajah senang yang ia dapat, justru delikan kesal tanda tak suka akan tindakannya barusan."Rambut aku harus selalu rapi, Pa. Ini disisir
"Apa-apaan, sih, kamu Aria! Enggak sopan banget!"Pria yang masih mengenakan setelan kemeja rapi itu hanya menarik ujung bibirnya kecil. "Sopan? Kamu yakin sama kata-kata kamu, Ta?""Berkas apa yang kamu lempar ke aku, hah?!" teriak wanita itu makin tak terima. Mendapati lawan bicaranya yang terlihat meremehkan, tak seperti biasanya. Hangat, ramah, juga selalu tersenyum untuknya. Iya, hanya untuknya.Si pria bergeming. Matanya lurus menatap sang lawan bicara tanpa menurunkan intensitasnya. Cukup lama ia dalam posisi seperti itu pun sang wanita."Kamu tahu sepenting apa arti Sheryl buat hidup aku, Ta?" Pria itu duduk tanpa menunggu dipersilakan. "Gadis kecil itu dunia aku. Hidup aku. Segalanya bagi aku, Ta. Kamu tahu itu dengan jelas." Mata sang pria enggan beralih ke mana pun selain pada wanita cantik yang masih berdiri memegang amplop cokelat berlogo yang tadi dilemparnya. "Dan kamu mau merusak Sheryl?""Maksud kamu apa, sih?! Bicara yang je
"Kamu memangnya enggak tidur, Sa?" tanya Kala penasaran setelah menjawab salam dari sahabatnya. Di ujung sana, suara kekehan Risa terdengar. Padahal yang diinginkan Kala malam ini adalah sendiri menikmati bintang."Mas Irsyad dinas keluar kota, Abyan sudah tidur. Jadi aku gangguin kamu aja, lah."Kala menggeleng heran dengan jawaban Risa."Gimana tadi interviewnya?"Wanita berambut sebahu itu sudah yakin akan ada sesi lanjutan interogasi mengenai pekerjaan yang baru saja ia lamar tadi siang. Kala menjelaskan dengan nada datar bagaimana proses tadi terlewati. Belum-belum Risa sudah sangat amat bersemangat dengan hasilnya. Kala hanya mengulum senyum mendengar Risa. Menurut sahabatnya itu, ijazah yang Kala punya harus digunakan lebih dari sekadar menjadi pengasuh. Toh, dari awal pekerjaan ini hanya sebatas batu loncatan."Semoga aja kamu bisa diterima di sana, ya. Untuk pengalaman kamu juga."Kala memilih diam,
Sepanjang ingatan Kala selama berada di rumah besar ini, aroma pengharum ruangannya sama. Citrus. Terkadang lavender yang silih berganti. Kecuali satu ruangan, ruang kerja majikannya. Kala menghidu dalam-dalam aroma Ocean Escape karena baginya, aroma ini lebih menenangkan ketimbang yang lain."Jadi ... apa keputusan kamu?" Sang majikan bertanya sembari bertopang dagu. Matanya memandang si lawan bicara tanpa putus."Saya belum tahu." Kala mengerjap pelan, langsung memilih menunduk ketimbang beradu pandang. Tatapan mata milik Andaru Aria terlalu mengintimidasi dirinya. Seolah kata-kata yang ingin ia sampaikan, menguap dengan cepat tanpa disadari."Kamu harus segera memutuskan. Sudah melewati tahappsikotest, kan?"Kala memilih menjawab dengan anggukan."Saya enggak masalah kalau kamu mau berhenti menjadi pengasuh Sheryl. Seperti yang pernah saya bilang sebelumnya."Kala mendengar suara kursi yang terdorong, lalu
Aroma tumis bawang yang harum juga sedikit pedas dari cabai, memenuhi indera penciuman Daru ketika langkahnya mendekati dapur. Perutnya tiba-tiba ingin segera diisi oleh apa pun itu yang sepertinya akan lezat menyapa lidah. Bayangan sosok ramping mengenakan celemek yang cekatan mondar mandir di sana sudah terproyeksi dengan jelas. Dan sosok itu nyata berada di dapur. Lengkap dengan spatula juga satu wadah yang Daru yakini, berisi anekasea food.Jenis makanan kesukaan Daru, pun anaknya.Bicara mengenai sang anak, "Lho, Sheryl mana?" tanya Daru penasaran saat mendapati kursi yang biasa anak itu tempati, kosong. Biasanya sang putri sudah duduk di sana, menatap ke arah dapur penuh minat sembari sesekali bertanya ini dan itu dengan riang. Menambah semarak suasana pagi dan menyuntikkan satu kantung penuh semangat untuk Daru menjalankan aktifitas nantinya.Kala hanya menoleh sekilas, "Selesai buat sarapan saya segera bangunkan, Pak."P
Hari berganti, bulan bergulir, tahun juga semakin bertambah angkanya. Namun satu hal yang tak lekang oleh waktu yang ada. Kebersamaan di rumah dua lantai yang kini tak pernah sepi lagi. Kadang suara Anna memenuhi sudut ruang di mana Nika yang terlalu aktif bergerak. Bocah tujuh tahun itu seperti kancil. Tak bisa diam. Entah dari mana asal energinya.Anna bukan takut ada sesuatu yang pecah atau terjatuh karena Nika. Tapi ia khawatir sang cucu terluka karena geraknya yang terlalu lincah ini. Berlarian ke sana ke sini, terkadang juga loncat tak keruan sembari tertawa riang. Untunglah Levant bisa menemani aktifitas Nika meski sang putri bungsu harus menunggu sampai kakak tengahnya pulang sekolah.Sementara Sheryl benar-benar disibukkan dengan kuliahnya. Levant juga mulai banyak kegiatan di sekolah. Kendati begitu, Sheryl tak pernah menyia-nyiakan waktu bersama keluarganya. Pun Levant. Tiap kali ada kesempatan kumpul bersama, pasti mereka lakukan dengan
Kala menatap Nika yang sudah terpejam tidur penuh dengan sayang. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana ia melahirkan putri bungsunya ini. Meski ada banyak drama, tapi rasa syukurnya tak pernah mereda. “Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah.” Dikecupnya lembut kening Nika seraya berdoa, “Ya Allah, lindungi selalu anak-anakku dari mimpi buruk. Dari orang-orang yang berniat jahat. Dari orang munafik di sekitar mereka. Jadikan mereka anak-anak soleh dan solehah.”Membenahi ujung selimut Nika terpasang dengan benar, merapikan buku-buku yang sempat diberantaki Nika, pun memastikan suhu ruang kamar ini nyaman, Kala pun keluar kamar. Yang mana ternyata sudah ditunggu oleh Daru.“Belum tidur?” tanya Kala yang berhati-hati menutup pintu kamar Nika.“Mana bisa tidur kalau Ibu enggak ada.” Daru merajuk persis seperti Levant. Makanya sering sekali Kala berseloroh, kalau suaminya menjelma menjadi sang
Meski di dalam SUV mewah sang ayah suasana ribut dan berisik, tapi masih ada relung senyap yang Sheryl punya. Walau sesekali mulutnya meminta Levant untuk tak meledek adik bungsunya, yang entah dari mana tingkah usil Levant ini makin jadi, tetap saja relung itu terkadang minta perhatian.Kekosongan itu sengaja ia adakan di hati untuk memenjarakan sosok Keana di sana.Sosok yang seharusnya ada saat ia sedih, khawatir, kesepian, bacakan dongeng, siapkan sarapan, serta segala macam aktifitasnya kala kecil dulu. Seperti sosok wanita yang duduk di samping ayahnya; yang tak pernah terlambat menemaninya melakukan apa pun meski kedatangannya saat ia berseragam merah putih. Bukan dengan seragam TK atau malah waktu di mana ingatannya belum terlalu sempurna.Perjalanan menuju salah satu mall di wilayah Jakarta Pusat tak butuh terlalu lama ditempuh. Begitu di area parkir, Daru meminta Levant dan pengasuh Nika untuk masuk terlebih dahulu ke
Dulu demi memancing agar Sheryl bicara, Kala butuh banyak usaha. Kali ini, Sheryl dengan mudahnya mengatakan apa pun terutama apa yang terjadi padanya pada Kala. Mulai dari kegiatannya di sekolah sampai temannya yang menurut gadis beranjak remaja ini menyebalkan. Ada saja bahan cerita yang Sheryl bawa untuk Kala. Baginya bicara dengan sang ibu menyenangkan. Tak seperti sang ayah yang lebih sering meledeknya.Terutama hubungan dengan lawan jenis.“Papa kenapa, sih, Bu?” Sheryl melipat tangannya di dada. Wajahnya cemberut. Sorot matanya menyimpan kejengkelan.“Kenapa lagi sama Papa?” Kala melipat senyumnya. Diulurkan tangannya demi untuk merapikan rambut panjang sang putri yang agak berantakan.“Aku ditanya tentang Noah. Memangnya aku ini temannya? Sejak kapan aku menjadi teman Noah Narendra?”“Susunya diminum dulu, ya?”“Aku bukan
Kehamilan kedua saat itu memang agak riskan bagi Kala. Usianya yang tak lagi muda membuat ia memiliki rasa khawatir meski tak sebesar bahagia yang menyelimutinya. Dokter bilang, “Selama Ibu jaga kandungan, kondisi, dan asupan makanan, insyaAllah akan baik-baik saja.”Bagi Kala, segala hal yang tercurah dalam hidupnya sekarang lebih dari sekadar anugerah. Apa yang ia harap selama ini, jutaan do’a yang ia hatur dalam tiap sujudnya terjadi dengan begitu mudah. Seolah tanpa beban Tuhan beri keinginan itu saat Kala melepas segalanya. Di saat ia merelakan dirinya sebagai seorang wanita yang tidak memiliki anak. Cukuplah Sheryl baginya sebagai ajang pamer.Persis saran Risa padanya kala itu.Maka saat kehamilan pertamanya terjadi, bahagia itu bukan hanya miliknya. Tapi seluruh keluarganya. Nita dan Rianto sering berkunjung ke Jakarta demi melihat pertumbuhan cucu pertama mereka. Selayaknya nama yang Kala beri pada an
Pria itu masih mematung di depan setir mobil. Ada sebongkah ragu sebelum ia memutuskan untuk benar-benar turun dan berjalan menuju tempat diadakannya fare wall party seorang Andaru Aria. Hari ini, rekan kerjanya mengundurkan diri. ia memilih meneruskan usaha yang memang sudah ia rintis ketimbang berjibaku di bawah komando orang lain.Ada segunung penasaran yang mendera hati pria itu. terutama kata-kata yang sangat menggangunya sejak tadi pagi."Saya pasti kehilangan Pak Daru dalam pekerjaan." Ia mengatakan kejujuran. Rekan kerjanya kali ini, sangat berdedikasi dalam pekerjaan."Pak Janu bisa saja. Saya memang sudah berniat mengundurkan diri sejak lama tapi waktunya selalu benturan. Kebetulan istri manjanya enggak ketulungan minta ditemani terus di rumah.""Hormon ibu hamil beda, Bos," celetuk Denny, asisten seorang Andaru Aria. "Mbak Kala segitu independent-nya pas manja tuh lucu banget enggak, sih.""Ja
“Lho, Nak, Kala mana?”Giliran Daru yang kebingungan ditanya seperti itu. Sejak keluar kamar ia memang memilih merapikan berkas di ruang kerjanya dulu baru menuju ruang makan. Biasanya sang istri dibantu Sari sedang menyiapkan sarapan. Tapi pagi ini, sosoknya tidak ada.Ditambah pertanyaan ibunya barusan.“Mungkin di kamar Sheryl.” Hanya itu yang bisa Daru jawab.“Pagi, Eyang. Pagi, Papa.”Sheryl, penuh riang mendekat ke arah ayahnya juga sang nenek. Memberi kecup selamat pagi sebelum memulai sarapan. “Lho, Ibu mana?”Mereka semua saling pandang. Daru tanpa perlu menunggu komando segera naik ke lantai dua, menuju kamarnya.“Kala,” panggil Daru pelan. Pintu kamarnya agak sedikit terbuka. Saat ia mendorongnya, suasana kamarnya masih sama seperti saat ia tinggalkan. Sudah rapi namun tidak ada sosok istrinya
Kala lelah? Pasti. Tapi hatinya senang sekali karena selain pesta pernikahan yang dulu pernah ia impikan, diwujudkan sempurna oleh suaminya. Pun kemauan dirinya mengenai kamar pengantin. Walau sempat mendapat protes, tapi Kala kembali bisa membuat suaminya menuruti.Tak ada kamar pengantin di tempatnya menghabiskan malam pertama setelah sah menjadi suami istri. Padahal pihak hotel sudah menawarkan paket paling lux pada Kala namun, ia menolak. Daru sebenarnya tidak mengerti jalan pikiran Kala. Bukan kah perempuan itu akan takjub melihat betapa cantik kamar pengantin dihias?Ingin sekali Daru bertanya namun, senyum dan raut sedih terpancar di wajah cantik Kala. Ia tak mau bertanya lebih jauh. Mungkin nanti, ketika suasana istrinya sudah lebih baik, ia akan tanyakan mengenai hal ini.“Capek?” tanya Daru ketika sudah memasuki kamar, menoleh sekilas pada istrinya yang kini menunduk sembari melepaskan sepatu tingginya. Membuat
BALIPria itu mengerutkan kening. Undangan pernikahan yang baru saja diberikan resepsionis tadi cukup membuatnya tergelitik namun, ia tetap akan menyampaikan pada majikannya. Tidak mungkin menyembunyikan undangan ini padanya."Keana," panggil Andri cukup lantang begitu memasuki unit apartement wanita berambut panjang itu."Apa, sih, lo! Teriak-teriak enggak jelas!" Keana yang sedang memasang bulu mata merasa terganggu tiba-tiba. Rasanya ingin sekali ia lempar asistennya itu dengan boots yang ada di sebelahnya. Memasang bulu mata itu butuh konsetrasi dan Andri sukses membuyarkannya begitu saja."Gue punya kejutan untuk lo." Andri nyengir tak berdosa. Menyerahkan undangan tadi pada sang wanita.Keana mendengkus tak suka namun tetap saja ia membacanya. Lama sekali ia membaca undangan pernikahan yang datang padanya. "Kapan sampainya?" Ia masih membolak balik undangan berwarna ivory dengan tinta g