Happy reading fellas🤍🤍
Pasha menyandarkan kepalanya ke kursi di apartemen Jeena yang terletak di Manhattan. Lampu-lampu kota berpendar di balik kaca jendelanya yang besar, tetapi sinar gemerlap itu tak mampu menghapus kerinduannya. Ia menghela napas panjang, lalu menatap layar ponselnya. Seperti biasa, ia menelepon Rosa setiap malam. Dan seperti biasa pula, detik-detik sebelum panggilannya tersambung selalu membuat jantungnya berdebar. Ia rindu sekali pada kekasih dan ke dua putra kembarnya. Video call tersambung. Wajah Rosa yang terlihat letih muncul di layar, membuat seluruh kepenatan Pasha seolah mencair. Rambut panjangnya diikat asal, dengan piyama rumah yang sederhana. Meski begitu, baginya Rosa tetap perempuan tercantik di dunia.[Papa Pasha!] suara lembut Rosa terdengar, senyumnya hangat seperti biasa. [Lihat nih, Rayyan dan Rafael kita udah bobo.]Rosa mengarahkan kameranya pada ke dua box bayi yang berada di kamar yang ia tempati.Pasha memajukan wajahnya ke layar, berharap bisa melihat kedua bay
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun bukan musim hujan. Di balkon apartemen Nadia, Alby berdiri dengan kedua tangan yang bertumpu pada pagar besi, matanya menatap kosong pada gemerlap lampu kota yang berpendar di kejauhan. Namun, pikirannya sama sekali tidak sedang menikmati pemandangan. Sejak tadi, hatinya terasa sesak.Nadia, yang berdiri di dekat pintu balkon, melipat tangan di depan dada. Ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berlanjut. Sorot mata Alby yang penuh kekecewaan dan cemburu itu terlalu kentara untuk diabaikan.“Aku ingin penjelasan, Nad.” Suara Alby terdengar datar, tetapi tegang. “Soal Ethan.”Nadia menghela napas panjang, mencoba menahan rasa lelah yang merayapi hatinya. Ia berjalan mendekat, menyesap teh hangat yang sejak tadi ia genggam. “Apa yang harus kujelaskan?” tanyanya pelan, tetapi jelas.Alby menoleh padanya, matanya menyiratkan emosi yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku melihat kalian bersama kemarin di kafe. Aku pikir kalian
Beberapa hari telah berlalu semenjak pertengkaran yang terjadi di antara Alby dan Nadia. Alby memutuskan untuk menepikan egonya. Ia akan pergi ke rumah Nadia, menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka.Alby tidak pemarah seperti Beryl, saudara kembarnya. Bahkan saat ia marah, ia mudah memaafkan. Sehari setelah pertengkaran itu, Alby bahkan menghubungi Nadia. Hanya saja, sebaliknya, Alby baru tahu kalau Nadia marah itu cukup lama. Bahkan Nadia memblokir nomornya.Karena merasa digantung, Alby pun tak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia mengunjungi Nadia untuk menyelesaikan masalah mereka. Ia mendengar dari Laila, jika Nadia kini tinggal di rumah ke dua orang tuanya, tidak di apartemen lagi.Alby melangkah ke beranda rumah Rosalinda dengan napas sedikit tertahan. Ini bukan pertama kalinya ia ke sana, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang membuat dadanya berdebar, meski ia tidak bisa menjelaskannya. Ia datang untuk menemui Nadia, seperti biasa, tapi insti
Sebulan kemudianPagi itu, suasana kediaman keluarga Raisa Silvana Basalamah dipenuhi kehangatan. Hari yang telah lama dinanti akhirnya tiba—pernikahan Rosa dan Pasha. Setelah melewati berbagai cobaan, takdir akhirnya menyatukan mereka dalam ikatan suci yang tak tergoyahkan.Pernikahan ini diadakan secara sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga dan sahabat terdekat. Namun, kesederhanaan itu justru menambah kesakralan acara. Di bawah langit cerah dan angin sepoi-sepoi, akad nikah dilangsungkan di halaman belakang rumah keluarga Basalamah yang luas, di antara pohon-pohon rindang yang menjadi saksi bisu perjalanan mereka.Rosa tampil anggun dalam balutan gaun berwarna putih lembut, wajahnya berseri-seri meskipun ada jejak haru di matanya. Di sampingnya, Pasha mengenakan setelan putih gading, tampak lebih berwibawa dari sebelumnya. Tatapan matanya penuh cinta saat ia menggenggam tangan Rosa dengan erat.Ketika ijab kabul diucapkan, semua yang hadir menahan napas. Suara Pasha mantap, tanpa
Alby diam mematung saat melihat kepergian Levina. Ia pun bergabung dengan sepupunya yang lain dan masih lajang. Meskipun tidak dipungkiri matanya masih menyisir area taman yang luas itu demi mencari sosok Levina yang sudah menghilang begitu saja.“By, jadi gimana hubunganmu dengan Nadia?”Salah satu sepupu Alby bertanya setelah mendengar kabar tentang hubungan yang terjalin di antara mereka.Alby terdiam lalu terkekeh pelan. “Kayaknya gak cocok! Dia kan dokter sibuk banget,” jawab Alby seperlunya.Sepupunya menepuk pundaknya dengan pelan, “Santai aja kali! Kita jangan terburu-buru, nikmati dulu masa muda kita. Lagian, kamu itu seleb, pianis berbakat, kamu hanya perlu tunjuk satu wanita saja. Tapi … jangan tipikal yang terlalu mandiri.”Lanjutnya lalu melambaikan tangannya pada sepupunya yang lain.Alby hanya mengedikkan pundaknya acuh tak acuh. Perkataan sepupunya memang benar adanya. Ia mending menikmati masa lajangnya dengan hal positif. Bukan memikirkan melulu urusan jodoh.“Alby, b
Levina merasa ingin menghilang dari muka bumi.“Sepupu,” Fahmi menoleh ke Alby, tersenyum. “Senang melihatmu di sini.”Alby membalas senyum itu dengan sedikit canggung. “Sama-sama. Tidak menyangka kau… mengenal Levina.”Fahmi tertawa kecil. “Tentu saja. Aku sudah lama ingin mengenalnya lebih jauh.” Ia lalu menatap Levina dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku harap kita bisa berbicara sebentar.”Levina tahu ini bukan permintaan. Ini lebih seperti perintah terselubung. Fahmi sosok yang dominan dan penuh determinasi.Namun, sebelum Levina bisa merespons, Alby tiba-tiba mengulurkan tangannya, meraih pinggang Levina, dan menariknya lebih dekat kepadanya. Bahkan wajah Levina sudah mendarat di dada bidangnya.“Maaf, sepupu,” katanya dengan nada ringan. “Tapi malam ini, Levina bersamaku.”Jantung Levina berdegup lebih kencang.Fahmi menyipitkan mata, lalu tertawa pelan dan tampak canggung. “Oh? Aku tidak tahu kalau kalian… seperti ini.”Levina ingin menyangkal, tapi Alby lebih cepat. “Ya,
“Wah, wah, wah… lihat siapa yang sekarang harus jadi babysitter,” Alby menyeringai pada Levina.Levina melotot. “Kau pikir aku menikmati ini?”“Tentu saja tidak, tapi lihat dirimu. Kau kelihatan lebih tegang daripada saat menghadapi musuh bersenjata.”Levina mendesah panjang, lalu mencoba mengubah posisi menggendong bayi itu agar lebih nyaman. Namun, bayi itu malah mulai merengek pelan.“Hei, hei, jangan nangis,” gumam Levina panik.“Ah, sepertinya dia tidak suka pengawal galak,” ledek Alby.“Tutup mulutmu, Alby!” geram Levina.Namun, Alby tidak lebih baik. Bayi dalam pelukannya mulai menggeliat, lalu tiba-tiba… hap!“Aduh!” seru Alby. “Dia mencengkram rambutku!”Levina yang melihat itu tidak bisa menahan tawa. “Sepertinya dia suka padamu.”Alby mencoba melepaskan cengkeraman mungil itu dengan hati-hati. “Astaga, bayi ini punya cengkeraman lebih kuat daripada aku saat main piano!”Levina memutar mata, lalu kembali fokus pada bayi di pelukannya. “Kita harus membuat mereka tidur sebelum
Pasha terdiam sejenak, seakan tak percaya. “Apa? Selina? Itu bukan urusanku lagi, Mami.”Ana menggeleng kuat. “Pasha, tolonglah… Mami gak peduli lagi soal dia, tapi keluarga besar menekan Mami untuk melakukan sesuatu. Mami sudah bilang gak mau ikut campur, tapi mereka terus mendesak.”Ana menghela nafas berat. Lalu ia melanjutkan kalimatnya lagi.“Tante Dasha sampai menghubungi nenekmu,”Mata Pasha menggelap, rahangnya menegang. Ia mendengus kesal. Drama apalagi yang dibuat oleh Selina. Seharusnya ia menikmati malam pengantinnya dengan tenang, tanpa ada gangguan.Pasha menoleh ke belakang. Ia tak ingin menyinggung perasaan Rosa sebagai istrinya. Seolah mengerti perasaan suaminya, Rosa menghampirinya. “Pergilah! Aku gak keberatan kok,”Bertolak belakang dengan hatinya yang sebenarnya keberatan. Namun apalah daya. Daripada terjadi apa-apa pada Selina, mungkin kemungkinan terburuk keluarganya akan menyeret Pasha. Ia tak mau kehilangan Pasha. “Sayang, aku pergi dulu ya. Baik-baik di rumah
Suara sendok dan garpu beradu pelan di ruang makan besar yang dingin. Levina menatap kosong piring di depannya, sementara Mahesa, mantan jenderal yang kini lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerjanya, duduk tegak seperti sedang memimpin rapat penting. Agatha, ibu tiri Levina, menyajikan sup dengan senyum dipaksakan, seakan tak ingin suasana makan malam itu berubah menjadi perang dingin seperti sebelumnya.Setelah sekian lama, akhirnya Levina bersedia datang ke rumah sang ayah malam itu. Ia berusaha berdamai dengan keadaan. Ia pulang ke rumah Mahesa.“Bagaimana pekerjaanmu sekarang, Levina?” tanya Agatha, berusaha mencairkan suasana.Levina hanya mengangguk. “Baik.”Mahesa menaruh garpunya. “Kamu kerja sebagai pengawal di keluarga Basalamah!”Deg,Dari mana ayahnya tahu soal pekerjaan yang dilakukannya? Oh, Levina lupa jika ayahnya masih punya kekuasan. Dengan mudah ia menyuruh seseorang untuk membuntutinya.Levina diam tidak berkomentar. Ia sàdar, jika ia salah ucap, bisa terjadi
“Wah, topimu keren banget, Levina. Tapi sepertinya... terlalu besar buat kamu.” Dengan cepat, Alby meraih topi itu dan menaruhnya di kepalanya dengan senyum tengilnya.Bisa-bisanya pemuda berhidung mancung itu menggoda Levina di depan ayah Levina. Bahkan mereka masih berada di lingkungan kantor polisi.Levina sontak terkejut, mencoba meraih topi itu. “By, itu topiku! Apaan sih kamu,” protes Levina dengan wajah serius seperti biasa. Naasnya, topi itu sudah ada di kepala Alby yang tersenyum lebar. Alby memasang wajah sok serius, “Hmm, topi ini lebih cocok di aku, Levina. Coba lihat, kan aku terlihat keren!” Dia mulai berjalan beberapa langkah menjauh, pura-pura seperti seorang model.Sulis yang sedang mengobrol dengan Mahesa hanya mendengus pelan melihat kelakuan mereka. Levina menyipitkan mata dan bersiap-siap mengejar. “Kamu pikir topi itu cocok di kamu? Kalau begitu, aku harus ambil kembali!” Dengan cepat, Levina berlari ke arah Alby.Mereka sudah berada di tempat parkir kantor po
Di kediaman Sulis, suasana menjadi tegang. Sulis hampir saja menjatuhkan gelas tehnya saat seorang polisi mengetuk pintu rumahnya. Dengan wajah cemas, ia buru-buru membuka pintu dan mendapati dua petugas kepolisian berdiri tegap.“Bu Sulis? Kami dari kepolisian ingin berbicara dengan putra Anda, Alby. Ada laporan insiden perkelahian yang melibatkan dirinya.”Sulis merasakan jantungnya hampir berhenti. “Perkelahian? Alby? Tidak mungkin. Dia pianis, bukan petarung jalanan!”Salah satu polisi menunjukkan dokumen laporan. “Kami hanya menjalankan tugas, Bu. Menurut laporan, putra Anda terlibat dalam baku hantam dengan seorang pria bernama Roger, di sebuah pantai di Bali.”Sulis memijit pelipisnya, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba meledak ini. “Ini pasti ada kesalahpahaman. Alby tidak mungkin mencari gara-gara.”Semalam Alby baru pulang namun ia langsung masuk ke dalam kamarnya dan tidak menceritakan apapun soal kejadian di Bali.“Kami akan tetap membutuhkan keterangannya. Bisa kami t
Setelah konser selesai, Levina berpikir mereka akan langsung pulang. Namun, Alby malah berbelok ke arah pantai. Tentu saja, pemuda itu tidak akan menyia-nyiakan waktu bersamanya. Ia tahu, sangat sulit mengajak Levina pergi berdua. Dan, ini adalah kesempatan emas baginya. “Aku mau pulang ke hotel,” kata Levina dengan ekspresi datarnya.Alby menoleh sambil tersenyum. “Kau serius? Setelah menghabiskan tiga jam mendengarkan konser tanpa ekspresi, aku yakin kau butuh udara segar.”Levina mendengus. “Konsernya bagus, hanya saja terlalu lama.”Alby terkekeh. “Oh? Lalu kenapa kau ketiduran?”Levina mendelik. “Aku tidak ketiduran.”“Aku harus menyenggolmu supaya kau tidak jatuh dari kursi,” balas Alby sambil menggoda.Levina mendecak, malas berdebat. Mereka berjalan menyusuri pasir pantai yang dingin, diterangi cahaya bulan yang memantul di permukaan laut. Suara deburan ombak menemani langkah mereka.Dari kejauhan, mereka seperti sepasang kekasih yang sedang menghabiskan waktu berduaan.Alby
Levina baru saja selesai minum obat ketika pintu kamar klinik terbuka. Ia mengangkat kepalanya dan terkejut melihat Roger berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh penyesalan.“Levina…” suara Roger terdengar berat. “Aku minta maaf.”Levina terdiam. Perasaannya bercampur aduk. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana Roger, dalam keadaan mabuk, mencoba melecehkannya di pantai. Jantungnya berdegup lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena amarah yang masih mengendap.Sebelum Levina sempat merespons, sebuah bayangan melesat di hadapannya.BUGH!Alby, yang tadinya duduk santai di kursi dekat tempat tidur, kini telah menerjang Roger dengan tinjunya.Roger terhuyung ke belakang, terkejut. “Apa-apaan kau?!”Alby, yang biasanya penuh candaan, kini tampak berbeda. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap Roger dengan penuh kebencian. “Kau masih punya muka buat datang ke sini setelah apa yang kau lakukan pada Levina?”Levina terkesiap. Ia tidak menyangka Alby akan bereaksi seperti ini.Roger meng
Tiba-tiba, seseorang menangkap tangan Levina.Levina refleks ingin menyerang, tapi pandangannya berputar. Dunia seolah bergoyang, napasnya pendek dan berat. Matanya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Alby.“Levina!” suara Alby penuh kepanikan.Levina mencoba mengatakan sesuatu, tapi suaranya tersendat di tenggorokan. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak bicara. Namun ini untuk pertama kalinya, Levina yang terkenal kuat, dingin dan misterius itu merasa ketakutan dan kepanikan. Jantungnya masih berdegup kencang, tapi kali ini bukan karena takut—melainkan karena keterkejutan yang luar biasa. Ia tidak menyangka jika Roger akan melecehkannya. Ia sangat syok. Insiden yang baru saja terjadi mengingatkannya pada memori tempo dulu yang pernah ia alami.Saat Levina masih duduk di bangku sekolah dasar, ia dilecehkan oleh gurunya di sekolah. Sejak saat itu ia berusaha mati-matian belajar bela diri.“Alby...?”Dalam hitungan detik, tubuh Levina ambruk ke tanah. Alby pun merasa panik. “Levina!” p
Levina menikmati suasana pantai di balkon kamar hotelnya. Ombak berderu pelan, langit keemasan mencerminkan kehangatan yang seharusnya ia rasakan di dalam hatinya. Namun, kenyataannya ia justru merasa gelisah. Sejak pertemuan pertamanya dengan Roger, putra teman ayahnya, ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.Roger memang tampan, berpakaian necis, dan memiliki senyum yang bisa membuat wanita jatuh hati dalam hitungan detik. Tapi Levina tahu, di balik pesona itu ada sesuatu yang tidak beres. Dari cara Roger berbicara, dari tatapan matanya yang terlalu tajam dan gerakan tangannya yang selalu berusaha menyentuhnya, Levina merasa ia harus tetap waspada.Hari itu, Roger mengundangnya untuk makan malam di restoran seafood mewah di tepi pantai. Awalnya, Levina ingin menolak, tapi Roger terlalu gigih. “Hanya makan malam santai, Levina. Kau bisa anggap ini sebagai pertemanan,” ujarnya dengan nada santai.Levina akhirnya mengiyakan, namun tetap membatasi diri. Ia mengenakan dress biru sederha
Langit sore berpendar jingga ketika Alby memarkirkan mobilnya di halaman rumah Ana. Ia keluar dengan langkah ringan, meski ada kegelisahan yang bersembunyi di balik tatapan matanya. Rindu dalam dadanya tak bisa lagi ia bendung. Sejak pertemuan terakhirnya dengan Levina, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan wanita itu. Ia ingin mengajaknya pergi, mungkin sekadar mengobrol sambil menikmati kopi di kafe favoritnya.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Ana akhirnya membukakan pintu dengan senyum ramah. Namun, ekspresi wajahnya sedikit berubah ketika melihat Alby berdiri di ambang pintu.“Alby? Ada apa?” tanya Ana, meski sudah bisa menebak alasan kedatangannya.Alby mengusap tengkuknya, sedikit canggung. “Aku mau ketemu Levina, Tante. Dia ada?”Ana tersenyum tipis, lalu menghela napas pelan. “Levina sedang pulang kampung. Dia izin libur beberapa hari untuk mengunjungi keluarganya.”Alby tertegun. Matanya berkedip beberapa kali, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Ana mulai mencurigai sesuatu. Beberapa kali ia melihat Alby dan Levina berbincang diam-diam. Tidak seperti biasanya. Mata Ana mengerut curiga, tetapi ia memilih diam. Hanya mengamati dari jauh.Pertama Alby mau menjemput Jeena di bandara. Tunggu, bukan pertama kali. Tapi setahun yang lalu, Alby juga mengantar Jeena ke bandara! Tentu saja, bukan karena tidak ada supir. Alby memang tengah melakukan pendekatan pada Levina. Seperti saat ini, saat yang lain sibuk mengobrol dengan Jeena di ruang tamu, di taman belakang, Alby dan Levina tengah berdiri berhadapan. Seperti biasa, perdebatan kecil pun terjadi di antara mereka.“Kau terlalu keras kepala,” ucap Alby sambil menyilangkan tangan.“Dan kau terlalu sok tahu,” balas Levina, menghela napas panjang.Alby mengangkat dagunya. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kau tidak bisa terus bersembunyi di balik sikap dinginmu.”Levina terdiam. Tatapan matanya lebih lembut dari biasanya. “Alby, kenapa kau selalu ingin mengorek isi kepalaku?”“Kar