Enjoy reading🤍
Levina merasa ingin menghilang dari muka bumi.“Sepupu,” Fahmi menoleh ke Alby, tersenyum. “Senang melihatmu di sini.”Alby membalas senyum itu dengan sedikit canggung. “Sama-sama. Tidak menyangka kau… mengenal Levina.”Fahmi tertawa kecil. “Tentu saja. Aku sudah lama ingin mengenalnya lebih jauh.” Ia lalu menatap Levina dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku harap kita bisa berbicara sebentar.”Levina tahu ini bukan permintaan. Ini lebih seperti perintah terselubung. Fahmi sosok yang dominan dan penuh determinasi.Namun, sebelum Levina bisa merespons, Alby tiba-tiba mengulurkan tangannya, meraih pinggang Levina, dan menariknya lebih dekat kepadanya. Bahkan wajah Levina sudah mendarat di dada bidangnya.“Maaf, sepupu,” katanya dengan nada ringan. “Tapi malam ini, Levina bersamaku.”Jantung Levina berdegup lebih kencang.Fahmi menyipitkan mata, lalu tertawa pelan dan tampak canggung. “Oh? Aku tidak tahu kalau kalian… seperti ini.”Levina ingin menyangkal, tapi Alby lebih cepat. “Ya,
“Wah, wah, wah… lihat siapa yang sekarang harus jadi babysitter,” Alby menyeringai pada Levina.Levina melotot. “Kau pikir aku menikmati ini?”“Tentu saja tidak, tapi lihat dirimu. Kau kelihatan lebih tegang daripada saat menghadapi musuh bersenjata.”Levina mendesah panjang, lalu mencoba mengubah posisi menggendong bayi itu agar lebih nyaman. Namun, bayi itu malah mulai merengek pelan.“Hei, hei, jangan nangis,” gumam Levina panik.“Ah, sepertinya dia tidak suka pengawal galak,” ledek Alby.“Tutup mulutmu, Alby!” geram Levina.Namun, Alby tidak lebih baik. Bayi dalam pelukannya mulai menggeliat, lalu tiba-tiba… hap!“Aduh!” seru Alby. “Dia mencengkram rambutku!”Levina yang melihat itu tidak bisa menahan tawa. “Sepertinya dia suka padamu.”Alby mencoba melepaskan cengkeraman mungil itu dengan hati-hati. “Astaga, bayi ini punya cengkeraman lebih kuat daripada aku saat main piano!”Levina memutar mata, lalu kembali fokus pada bayi di pelukannya. “Kita harus membuat mereka tidur sebelum
Pasha terdiam sejenak, seakan tak percaya. “Apa? Selina? Itu bukan urusanku lagi, Mami.”Ana menggeleng kuat. “Pasha, tolonglah… Mami gak peduli lagi soal dia, tapi keluarga besar menekan Mami untuk melakukan sesuatu. Mami sudah bilang gak mau ikut campur, tapi mereka terus mendesak.”Ana menghela nafas berat. Lalu ia melanjutkan kalimatnya lagi.“Tante Dasha sampai menghubungi nenekmu,”Mata Pasha menggelap, rahangnya menegang. Ia mendengus kesal. Drama apalagi yang dibuat oleh Selina. Seharusnya ia menikmati malam pengantinnya dengan tenang, tanpa ada gangguan.Pasha menoleh ke belakang. Ia tak ingin menyinggung perasaan Rosa sebagai istrinya. Seolah mengerti perasaan suaminya, Rosa menghampirinya. “Pergilah! Aku gak keberatan kok,”Bertolak belakang dengan hatinya yang sebenarnya keberatan. Namun apalah daya. Daripada terjadi apa-apa pada Selina, mungkin kemungkinan terburuk keluarganya akan menyeret Pasha. Ia tak mau kehilangan Pasha. “Sayang, aku pergi dulu ya. Baik-baik di rumah
Setelah Selina berhasil ditenangkan, Pasha, Dasha, Ana dan Sulis membawanya turun ke apartemen untuk beristirahat. Beryl pun ikut menemani, meninggalkan Alby dan Levina yang masih berdiri di rooftop, dikelilingi angin malam yang dingin.Alby akhirnya melangkah mendekat, berdiri di belakang Levina. Levina sedang memandang kerlap kerlip lampu kota yang begitu indah saat malam. Alby menatapnya dari belakang dan tanpa sadar bergumam, “Aku semakin kagum padamu, Lev.”Levina menoleh sekilas. Rambutnya yang tergerai berkibar diterpa angin malam membuatnya tampak cantik bahkan masih memakai piyama tidur yang dibalut jaket kulitnya. “Apa?”Alby tersenyum kecil. “Tidak ada. Kau luar biasa, itu saja.”Levina mengerutkan kening. “Jangan cari gara-gara di saat begini, Al.”Alby hanya terkekeh pelan. Tapi dalam hati, ia tahu satu hal.Ia baru saja melihat sisi lain dari Levina—dan semakin sulit baginya untuk mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di hatinya.Alby menatap Levina dengan senyum menyeb
Pasha memasuki kamar dengan langkah perlahan. Malam yang panjang baru saja ia lalui, mencoba menenangkan Selina yang nyaris mengakhiri hidupnya karena patah hati. Pikirannya masih kalut, rasa bersalah menggumpal di dadanya. Namun, saat matanya menangkap sosok Rosa yang tertidur di sofa, rasa bersalah itu semakin menyesakkan.Rambut panjang istrinya tergerai di atas bantal kecil. Napasnya terdengar teratur, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Tapi Pasha tahu, Rosa pasti sudah lama menunggunya. Bahkan mungkin ia tertidur dalam kekhawatiran. Sejenak, ia hanya berdiri di ambang pintu, menatap wanita yang kini menjadi istrinya. Hatinya bergetar.Dengan hati-hati, ia melangkah mendekat, berlutut di samping sofa. Jarinya terulur, menyelipkan anak rambut Rosa yang jatuh ke wajahnya. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya berbisik, “Rosa…”Kelopak mata Rosa bergerak perlahan. Sejenak, ia tampak bingung sebelum akhirnya kesadarannya pulih. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan. Tak a
Setahun berlaluBandara Internasional Soekarno-HattaJeena menghela napas lega saat pesawat mendarat dengan mulus di landasan. Setelah setahun di Manhattan, akhirnya ia pulang ke Indonesia. Selama ini ia hanya pulang beberapa kali ke Indo, selebihnya keluarganya yang rutin menjenguknya. Di sebelahnya, Levina tampak sibuk mengecek ponselnya, memastikan tidak ada pesan penting yang terlewat.“Akhirnya, pulang juga,” gumam Jeena sambil meregangkan tubuhnya. “Aku sudah kangen makanan Indonesia.”Levina hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Sebenarnya, hatinya sedang sedikit gelisah, meski ia sendiri enggan mengakuinya. Kenapa? Karena orang yang menjemput mereka bukan sembarang orang.Alby.Pria itu sudah menunggu mereka di pintu kedatangan, bersandar santai di mobilnya dengan kacamata hitam bertengger di hidungnya. Dari kejauhan, ia terlihat seperti tokoh dalam film, menunggu dengan ekspresi tenang namun penuh keyakinan.Saat Jeena melihatnya, ia langsung tersenyum penuh arti. “Wah, wah…
Levina menundukkan wajahnya, merasakan telapak tangannya yang mulai berkeringat. Ia tidak menyangka Alby akan mengatakannya secara gamblang seperti ini. Hatinya bergetar, tetapi pikirannya menolak. Ia tidak boleh percaya pada pria seperti Alby. Tidak boleh.Makan siang itu berakhir dalam keheningan. Jeena yang kembali dari toilet hanya mengangkat alis melihat atmosfer yang berbeda antara Levina dan Alby. Namun, ia memilih diam. Tidak mau mengusik apa yang sedang terjadi di antara mereka.Saat mereka kembali ke mobil, Levina tetap menjaga jarak dari Alby. Namun, pria itu tidak menyerah. Bahkan ketika mereka sudah tiba di depan rumah Ana, Alby masih bersikeras ingin berbicara.“Lev, aku serius dengan perasaanku,” ujarnya pelan, tetapi tegas.Levina menatapnya tajam. “Jangan buang waktumu, Alby. Aku tidak akan berubah pikiran.”“Aku tidak meminta jawaban sekarang. Aku akan menunggumu,” Alby tersenyum tipis. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku akan tetap ada. Sampai kapan pun.”Levina mena
Ana mulai mencurigai sesuatu. Beberapa kali ia melihat Alby dan Levina berbincang diam-diam. Tidak seperti biasanya. Mata Ana mengerut curiga, tetapi ia memilih diam. Hanya mengamati dari jauh.Pertama Alby mau menjemput Jeena di bandara. Tunggu, bukan pertama kali. Tapi setahun yang lalu, Alby juga mengantar Jeena ke bandara! Tentu saja, bukan karena tidak ada supir. Alby memang tengah melakukan pendekatan pada Levina. Seperti saat ini, saat yang lain sibuk mengobrol dengan Jeena di ruang tamu, di taman belakang, Alby dan Levina tengah berdiri berhadapan. Seperti biasa, perdebatan kecil pun terjadi di antara mereka.“Kau terlalu keras kepala,” ucap Alby sambil menyilangkan tangan.“Dan kau terlalu sok tahu,” balas Levina, menghela napas panjang.Alby mengangkat dagunya. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Kau tidak bisa terus bersembunyi di balik sikap dinginmu.”Levina terdiam. Tatapan matanya lebih lembut dari biasanya. “Alby, kenapa kau selalu ingin mengorek isi kepalaku?”“Kar
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby
Di kediaman Mahesa“Levina…” suara Roger terdengar pelan dan penuh simpati saat ia masuk ke dalam ruang tamu di mana Levina sedang duduk, membaca buku.Levina menatapnya, keningnya berkerut. “Roger? Ada apa?”Hubungannya dengan Roger mulai membaik. Keluarga Roger datang dan meminta maaf pada Mahesa atas apa yang telah Roger lakukan.Roger tersenyum lalu duduk bergabung dengan Levina, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku mendengar kabar yang cukup mengejutkan.” Ia mencoba menatap Levina dengan ekspresi prihatin, namun dalam hatinya, ada kepuasan yang terselip. “Aku... aku dengar kalau Alby terlibat hubungan dengan seorang penyanyi pendatang baru. Mereka... kedapatan di beberapa tempat bersama. Selingkuh, mungkin.”Levina hanya mengangkat alis. “Oh,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi lebih lanjut. “Kapan kamu mendengarnya?”Roger sedikit terkejut dengan respons Levina yang begitu datar. “Baru beberapa hari yang lalu. Sepertinya mereka terlihat sangat dekat. Aku h
Di sebuah lounge hotel mewah, Roger duduk menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang duduk dengan senyum menggoda—Bella, penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.“Jadi... lo cuma mau gue foto bareng dia?” tanya Bella dengan alis terangkat. “That’s it? Gue pikir bakal lebih ekstrem.”Roger tertawa pelan, suaranya tenang namun licik. “Nggak perlu ekstrem. Cukup satu foto. Waktu yang pas, tempat yang pas. Publik akan percaya kalau Alby ternyata sama aja kayak pria lainnya. Dan Levina... perempuan dengan prinsip seperti dia? Dia akan mundur sendiri.”Bella mengangkat bahu. “Easy. Asal bayarannya sepadan.”Roger menyerahkan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya. “Lihat sendiri.”Bella tersenyum licik. “Deal.”Roger bersandar, lalu menyesap kopinya. Matanya menatap kosong ke depan. “Sorry, Alby... Aku lebih dulu kenal Levina. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil Levina,” Roger sudah mendengar kabar tentang Levina yang sudah di
Rumah besar keluarga Ana Basalamah sore itu lebih sunyi dari biasanya. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin, dan cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuat ruangan terlihat hangat—meski hati sebagian penghuninya masih membeku.Di ruang keluarga, Sagara duduk di atas karpet bulu berwarna krem. Bocah empat tahun itu memeluk boneka dinosaurus hijau miliknya. Matanya masih sembab, dan tak ada satu pun senyum terukir di wajah kecilnya.Pasha duduk tak jauh darinya, memangku salah satu putra kembarnya—Rayyan—yang tengah bermain mobil-mobilan sambil tertawa sendiri. Di sisi lain, Rosa menggendong Rafael yang baru saja tertidur di pangkuannya. “Gara,” panggil Pasha dengan suara pelan.Sagara menoleh perlahan. Ia belum sepenuhnya nyaman, belum juga paham sepenuhnya apa yang terjadi dengan ayahnya.Pasha mencoba tersenyum. “Papa Pasha bawa mainan, mau lihat?”Bocah itu hanya mengangguk kecil. Pasha mengeluarkan satu set puzzle binatang dari dalam tasnya.“Coba tebak ini apa?” Ia mengang