Happy reading everyone🤍
Beryl sudah menghadapi banyak tantangan dalam hidup. Mulai dari rival bisnis, pelanggan rewel, bahkan saudara kembarnya sendiri yang suka mengolok-oloknya. Tapi tidak ada yang bisa menandingi satu hal lagi yakni istrinya yang sedang hamil muda.Laila kini sedang hamil lima minggu. Setelah Laila sembuh Beryl tak ingin menunda waktu lagi untuk melakukan honeymoon dengan istrinya di luar negeri, tepatnya di Mesir. Kabar baik pun muncul, kepulangan dari honeymoon, Laila pun akhirnya hamil.Naasnya, kehamilannya membuat Laila berubah total. Wanita ceria itu kini menjadi monster kecil yang sulit diprediksi. Satu detik ia tertawa bahagia, detik berikutnya ia menangis dengan melankolis. Satu menit ia bilang ingin dekat dengan suaminya, ingin dimanja. Lalu menit berikutnya ia mengusirnya sejauh mungkin.Dan yang paling menyiksa? Laila yang sedang ngidam namun Beryl yang kena getahnya.“Kakak,” panggil Laila yang baru saja bangun dari tidurnya. Semenjak hamil, sebagian waktunya digunakan untuk t
Pasha melangkah masuk ke rumah besar ke dua orang tuanya dengan hati yang berdebar. Sejak kecil, rumah ini selalu menjadi tempatnya berlindung, tetapi hari ini, ia tahu akan ada badai besar yang menantinya. Ia tidak lagi pulang sebagai anak yang patuh pada kehendak keluarga, tetapi sebagai pria yang telah mengambil keputusan besar dalam hidupnya.Di ruang tamu yang megah, Ana duduk dengan anggun di sofa panjang berwarna gading. Wajahnya masih setenang biasanya, tetapi tatapan matanya tajam begitu melihat Pasha berdiri di hadapannya.“Baru pulang?” sapa Ana menaruh majalah yang dibacanya di atas meja kaca di depannya.“Mami,” suara Pasha terdengar sedikit berat. “Aku mau bicara.”Pemuda bermanik almond itu mengambil tempat duduk kosong di sisinya. Ia tak bisa menutupi kegugupannya saat ini. Ia berdehem pelan.Ana menatap putranya penuh selidik. “Ada apa, Pasha? Kenapa wajahmu seperti itu?”Sebagai seorang ibu, Ana bisa merasakan aura yang tak biasa terpancar dari wajah putranya. Pasha
Pasha membuka pintu apartemennya dengan langkah lelah. Udara dingin dari pendingin ruangan langsung menyambutnya, kontras dengan hawa panas di luar. Rosa, yang duduk di sofa dengan bantal di pangkuannya, menoleh begitu mendengar derit pintu. Matanya yang semula berbinar penuh harap segera menangkap kelelahan di wajah Pasha.Pikirannya sudah melanglang buana, namun saat ini ia benar-benar pasrah. Andaikata, Ana memang tidak merestui mereka, ia akan memilih rencana semula. Ia akan pergi dengan membawa ke dua janinnya. Ia juga tidak mau memberatkan Pasha. Ia tahu, Pasha pria yang baik dan bertanggung jawab. Kendati usianya jauh lebih muda darinya, ia selalu bersikap dewasa. Bahkan ia selalu ada saat dirinya berada dalam masalah. “Kamu sudah pulang,” suara Rosa lirih, penuh perhatian. “Maaf, tadi aku telepon. Kepencet,” katanya dengan berdusta. Pasha mengangguk pelan, lalu berjalan mendekat, duduk di sampingnya. Dia mengulurkan tangan, membelai lembut perut Rosa yang membulat, tempat ana
Malam itu, rumah Ana dan dr. Zain diselimuti keheningan yang berat. Ana mengurung diri di kamar, duduk di tepi ranjang dengan kepala tertunduk, bahunya bergetar pelan. Air matanya terus mengalir, jatuh ke tangannya yang menggenggam erat ujung piyamanya.Di dalam dadanya, ada sesak yang sulit diungkapkan. Bukan hanya kemarahan, tapi juga rasa kehilangan yang begitu dalam. Pasha, putranya yang selama ini ia besarkan dengan penuh cinta, kini seakan memilih wanita lain ketimbang dirinya.“Pasha lebih memilih Rosa daripada aku ibunya,” suara hatinya berbisik, menyayat perasaannya lebih dalam.Ia mengingat bagaimana Pasha berdiri di depannya, wajahnya penuh ketegangan, matanya memohon pengertian. Tapi Ana tak bisa menerimanya. Lalu ia pergi begitu saja.“Bagaimana mungkin dia membiarkan ini terjadi? Kenapa dia begitu ceroboh?”Ana menarik napas dalam, tapi isakannya semakin pecah. Di sudut kamar, dr. Zain memperhatikannya dengan mata sendu. Ia sudah lama mengenal istrinya—keras kepala, tetap
Malam semakin larut, namun Rosa baru menyadari sesuatu. Pasha enggan pulang. Atau, ia memang tidak berniat pulang karena pertengkaran yang terjadi dengan ke dua orang tuanya. Ia merasa iba pada Pasha yang harus tidur di sofa sementara ia tidur di kamarnya.Rosa merasa gelisah. Apalagi ketika ia hamil, suasana hatinya cepat sekali berubah. Terkadang ia melankolis dan gelisah tanpa alasan. Ia berbaring dengan menatap langit-langit dengan perasaan hampa. Malam itu terasa berat, ia tidak bisa memejamkan matanya cepat.“Bapak, maafin Rosa,” gumamnya ketika teringat sang ayah. Sudah lama ia tidak mengunjungi ayahnya. Terakhir kali ia membesuknya saat kehamilannya belum terlihat. Ia hanya mengiriminya uang.Ia pun terbangun lalu berjalan keluar kamar itu. Tatapannya terpaku pada Pasha yang terlihat meringkuk di sofa. Pemuda tampan itu tampak lugu saat tidur. Helaan nafas halus lolos di bibirnya. Ia merasa bersalah melihat kondisi Pasha saat ini. Ia merutuki insiden malam itu. Andai ia bisa m
Selina menatap Rosa dengan penuh kebencian. Napasnya memburu, dada naik turun seiring emosinya yang memuncak. Tanpa pikir panjang, tangannya melayang ke wajah Rosa.Plak!Tamparan itu keras, meninggalkan jejak merah di pipi Rosa. Tubuh wanita hamil itu terdorong ke belakang, kehilangan keseimbangan, lalu jatuh.Bruk!Rosa mendarat dengan punggung menabrak ujung meja, rasa sakit menjalar cepat. Seketika, sesuatu yang hangat mengalir di antara pahanya. Matanya melebar. Darah.Rosa mengalami pendarahan.Selina ikut panik melihat Rosa yang meringis kesakitan.“Nona, t-olong! Aku mau melahirkan,” kata Rosa merasakan perutnya seperti diremas. Bahkan ia tidak mampu berdiri karena sesuatu terasa berdesak-desakan dalam perutnya. Selina menatap Rosa dengan tatapan tega. Meskipun ia seorang dokter, namun baginya Rosa telah merebut Pasha darinya. Ia tidak berniat membantunya. Sisi lain, keringat dingin mengucur deras di pelipis Rosa. Ia mulai tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Cairan bening pun
Namun tiba-tiba, sesuatu yang sangat tipis terdengar—napas. Pelan. Hampir tak terdengar.Pasha tersentak. Dengan cepat ia menempelkan telinganya ke dada Rosa.Masih ada detak jantung. Rosa masih hidup! Pasha juga segera mengecek nadinya yang ternyata masih berdenyut. Ia harus menjaga kesadaran Rosa.“Rosa, Sayang, bangun! Aku di sini! Bertahanlah!” ucap Pasha dengan suara yang bergetar dan begitu takut. Ia sangat takut kehilangan Rosa.Kejadian Maria Lubis tempo lalu setidaknya membuatnya trauma dalam menangani pasien dalam kondisi yang kritis.“Sayang, bangun!” Pasha buru-buru mengusap wajah Rosa, panik. Ia langsung meraih ponselnya, tangan bergetar saat menekan nomor darurat.Sambil menunggu sambungan telepon terhubung, ia menatap Rosa dan bayi mereka dengan mata penuh harapan. Ia belum kehilangan mereka. Tidak sekarang. Tidak akan pernah.“Bertahanlah, Rosa… Aku tidak akan membiarkanmu pergi…”“Pa…” Rosa mencoba berbicara, tapi suaranya hampir tak keluar.Pasha merasakan dadanya se
Selina terduduk di tepi ranjangnya, kedua tangannya menggenggam erat kain rok yang ia kenakan. Napasnya tersengal, jantungnya berdebar kencang. Bayangan Rosa yang kesakitan, wajahnya yang memucat saat ia merintih meminta bantuan, terus berputar di pikirannya.Tapi apa yang telah ia lakukan? Ia justru pergi. Ia meninggalkan Rosa sendirian.“Ya Tuhan…” gumamnya, suara seraknya hampir tak terdengar. Namun ia merasa apa yang dilakukannya tidak apa-apa dibanding dengan kebohongan yang Pasha dan Rosa lakukan padanya. Ia merasa dikhianati.Selina menggelengkan kepalanya dengan rahang yang mengetat, “Kau pantas mendapatkannya.”Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan ibunya berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan sorot mata tajam. “Selina, ada apa denganmu?” suara ibunya terdengar curiga. “Kenapa kau pulang sendiri? Di mana Pasha? Bukankah kalian akan membeli cincin tunangan?”Selina menelan ludah. Ia mencoba tersenyum, tetapi bibirnya gemetar. “Aku… aku hanya lelah, Ma. Kami menundanya dulu. Pa
“Udah kenyang?” tanya Alby sambil menyandarkan punggung ke kursi mobil, menatap Levina yang sedang menatap layar ponselnya. Levina mengangguk pelan, enggan membalas tatapan lelaki itu. “Iya.”“Tadi kamu makan banyak juga ternyata,” gumam Alby, menggodanya setengah serius. “Aku kira kamu tipe sarapan angin,”Levina menyipitkan mata, menahan senyum. “Saya masih manusia, By,” “Sayang, kamu belum ketemu dengan Daddy,” ujar Alby tiba-tiba, masih menatap Levina dari samping, mengamati gerak-geriknya yang membuatnya penasaran.“Memang Daddymu kemana?” tanya Levina memasukan ponselnya ke balik saku jaketnya.“Daddy lagi di rumah Nena Hanum. Biasa, Nena udah tua jadi sering sakit-sakitan,” jawab Alby kemudian memanaskan mesin mobilnya.Hari itu Alby ingin menghabiskan waktu berdua dengan Levina setelah mengajaknya sarapan pagi dengan keluarganya.“Eh, aku mau ajak kamu ke suatu tempat, boleh?” pinta Alby mencoba-coba. Karena ia tahu jika Levina susah sekali diajak pergi berduaan.“Ke mana?” t
Pagi itu, aroma ayam kecap menyeruak dari dapur hingga ke ruang makan. Meja sudah ditata rapi dengan piring-piring putih dan nasi hangat mengepul. Di sudut ruang, suara bayi kecil terdengar pelan, Mariyam sedang mengoceh di pelukan neneknya, Mommy Sulis. Levina duduk di meja dengan punggung sedikit kaku. Matanya melirik Alby yang sibuk menuangkan teh ke gelas-gelas.“Jangan duduk kayak kamu lagi disidang, Lev,” bisik Alby sambil menyenggol pelan sikunya.Levina menoleh cepat. “Aku gak terbiasa... sarapan keluarga kayak gini.”Mungkin lebih tepatnya. Ia selalu sarapan seorang diri.“Berarti kamu harus mulai biasain. Soalnya ini... bakal jadi rutinitas kamu nanti,” balas Alby setengah menggoda, setengah serius.Levina hanya mendengus pelan, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit.Sisi lain, Beryl dan Laila sudah duduk lebih dulu di ruang makan.Beryl menatap istrinya yang terlihat pucat. “Bisa makan ayam kecap?”Laila diam namun dengan sedikit meringis. “Aku coba, Kak. Moga aja gak mual,
Parkiran itu masih basah sisa hujan semalam. Lampu-lampu jalan menerangi aspal dengan cahaya kuning pucat. Alby sedang duduk di atas motornya, memainkan nada-nada pelan dengan jemari di pahanya, seolah ada piano tak kasat mata di sana.Levina berdiri di depannya. Dingin, seperti biasa. Jaket hitamnya masih basah di pundak, tapi wajahnya tak menunjukkan rasa dingin sedikit pun.Levina menatap Alby dengan tatapan rumit. “Menikahlah denganku.”Hening.Lalu Alby menjatuhkan jaket yang tadi disampirkan di bahunya. “Aku mimpi, kan?”“Tidak.”Levina mengeluarkan map cokelat dari tasnya. “Ini kontrak pernikahan. Setahun. Aku butuh ini untuk memenuhi syarat warisan. Ayah ngotot aku harus menikah dulu sebelum bisa dapat akses ke sebagian aset dan warisan almarhum Kakek.”Alby menatap map itu seolah sedang menatap alat musik rusak. “Jadi... bukan karena kamu nerima cintaku?”“Tidak,” jawab Levina cepat. Lalu menambahkan, “Tapi karena kamu bisa diandalkan.”Alby mengerjapkan mata. “Itu pujian ata
“Gue punya Mariyam sekarang,” ucap Beryl pelan. “Anak perempuan mungil yang matanya selalu nyariin bapaknya kalau bangun. Lo tahu perasaan itu? Lo gak bisa bayangin jadi seorang papa,”Alby tidak menjawab. Ia juga ingin merasakan menjadi seorang ayah. Namun, naasnya, ia belum mendapat jodohnya.“Laila pasti kecewa banget kalau tahu gue balik ke jalanan, meskipun cuman jadi penonton. Buat Laila, gue udah selesai sama kegiatan unfaedah. Gak ada balapan, minum dan nongkrong yang gak jelas. Gue … udah tobat.”Alby menunduk, menyembunyikan ekspresi kecewa yang mulai muncul. Tapi ia tidak marah. Ia mengerti. Hanya saja, hatinya terasa hampa malam itu, dan ia berharap kebersamaan mereka bisa mengisi ruang kosong itu meski sebentar.“Aku bukan ayah. Bukan suami. Dan satu-satunya hal yang kurasa aku bisa lakukan dengan benar adalah menaklukkan aspal dan tikungan,” gumam Alby.“Lo lebih dari itu,” potong Beryl lembut. “Lo adalah saudara kembar gue. Dan gue lebih kenal lo daripada lo sendiri, By,
Pukul satu dini hari. Salah satu kamar di kediaman Sulis yang sunyi kini terdengar berisik karena suara cucunya. Laila melahirkan seorang bayi perempuan untuk keluarga Basalamah. Kini bayi cantik yang mirip sekali sang ayah sudah berusia lima bulan.Malam itu buah hati hasil pernikahan Laila dan Beryl sedang sakit setelah menempuh perjalanan udara dari Malaysia, menemui kakeknya.Beryl membuka mata dengan satu kelopak, pelan-pelan, berharap itu cuma mimpi. Tapi tangisan itu nyata dan makin keras. Tangisan Mariyam memantul di dinding kamar.“Sayang… giliran kamu…” gumamnya sambil menepuk sisi ranjang yang kosong.Sayang, Laila tidak ada di sisinya.Beryl langsung terduduk, panik. “Laila?”Dari kamar mandi terdengar suara orang muntah. Beryl menghela napas. “Lagi?”Beryl pun berinisiatif langsung memangku bayi cantiknya yang berada di dalam box bayi ke dalam pelukannya. “Sayang, mau minum susu ya? Tunggu Ummi ya,”Naasnya, Mariyam tidak mau diam. Ia terus menangis dan meronta hingga memb
Suara sendok dan garpu beradu pelan di ruang makan besar yang dingin. Levina menatap kosong piring di depannya, sementara Mahesa, mantan jenderal yang kini lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerjanya, duduk tegak seperti sedang memimpin rapat penting. Agatha, ibu tiri Levina, menyajikan sup dengan senyum dipaksakan, seakan tak ingin suasana makan malam itu berubah menjadi perang dingin seperti sebelumnya.Setelah sekian lama, akhirnya Levina bersedia datang ke rumah sang ayah malam itu. Ia berusaha berdamai dengan keadaan. Ia pulang ke rumah Mahesa.“Bagaimana pekerjaanmu sekarang, Levina?” tanya Agatha, berusaha mencairkan suasana.Levina hanya mengangguk. “Baik.”Mahesa menaruh garpunya. “Kamu kerja sebagai pengawal di keluarga Basalamah!”Deg,Dari mana ayahnya tahu soal pekerjaan yang dilakukannya? Oh, Levina lupa jika ayahnya masih punya kekuasan. Dengan mudah ia menyuruh seseorang untuk membuntutinya.Levina diam tidak berkomentar. Ia sàdar, jika ia salah ucap, bisa terjadi
“Wah, topimu keren banget, Levina. Tapi sepertinya... terlalu besar buat kamu.” Dengan cepat, Alby meraih topi itu dan menaruhnya di kepalanya dengan senyum tengilnya.Bisa-bisanya pemuda berhidung mancung itu menggoda Levina di depan ayah Levina. Bahkan mereka masih berada di lingkungan kantor polisi.Levina sontak terkejut, mencoba meraih topi itu. “By, itu topiku! Apaan sih kamu,” protes Levina dengan wajah serius seperti biasa. Naasnya, topi itu sudah ada di kepala Alby yang tersenyum lebar. Alby memasang wajah sok serius, “Hmm, topi ini lebih cocok di aku, Levina. Coba lihat, kan aku terlihat keren!” Dia mulai berjalan beberapa langkah menjauh, pura-pura seperti seorang model.Sulis yang sedang mengobrol dengan Mahesa hanya mendengus pelan melihat kelakuan mereka. Levina menyipitkan mata dan bersiap-siap mengejar. “Kamu pikir topi itu cocok di kamu? Kalau begitu, aku harus ambil kembali!” Dengan cepat, Levina berlari ke arah Alby.Mereka sudah berada di tempat parkir kantor po
Di kediaman Sulis, suasana menjadi tegang. Sulis hampir saja menjatuhkan gelas tehnya saat seorang polisi mengetuk pintu rumahnya. Dengan wajah cemas, ia buru-buru membuka pintu dan mendapati dua petugas kepolisian berdiri tegap.“Bu Sulis? Kami dari kepolisian ingin berbicara dengan putra Anda, Alby. Ada laporan insiden perkelahian yang melibatkan dirinya.”Sulis merasakan jantungnya hampir berhenti. “Perkelahian? Alby? Tidak mungkin. Dia pianis, bukan petarung jalanan!”Salah satu polisi menunjukkan dokumen laporan. “Kami hanya menjalankan tugas, Bu. Menurut laporan, putra Anda terlibat dalam baku hantam dengan seorang pria bernama Roger, di sebuah pantai di Bali.”Sulis memijit pelipisnya, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba meledak ini. “Ini pasti ada kesalahpahaman. Alby tidak mungkin mencari gara-gara.”Semalam Alby baru pulang namun ia langsung masuk ke dalam kamarnya dan tidak menceritakan apapun soal kejadian di Bali.“Kami akan tetap membutuhkan keterangannya. Bisa kami t
Setelah konser selesai, Levina berpikir mereka akan langsung pulang. Namun, Alby malah berbelok ke arah pantai. Tentu saja, pemuda itu tidak akan menyia-nyiakan waktu bersamanya. Ia tahu, sangat sulit mengajak Levina pergi berdua. Dan, ini adalah kesempatan emas baginya. “Aku mau pulang ke hotel,” kata Levina dengan ekspresi datarnya.Alby menoleh sambil tersenyum. “Kau serius? Setelah menghabiskan tiga jam mendengarkan konser tanpa ekspresi, aku yakin kau butuh udara segar.”Levina mendengus. “Konsernya bagus, hanya saja terlalu lama.”Alby terkekeh. “Oh? Lalu kenapa kau ketiduran?”Levina mendelik. “Aku tidak ketiduran.”“Aku harus menyenggolmu supaya kau tidak jatuh dari kursi,” balas Alby sambil menggoda.Levina mendecak, malas berdebat. Mereka berjalan menyusuri pasir pantai yang dingin, diterangi cahaya bulan yang memantul di permukaan laut. Suara deburan ombak menemani langkah mereka.Dari kejauhan, mereka seperti sepasang kekasih yang sedang menghabiskan waktu berduaan.Alby