Happy reading 💫🤍
Laila hanya menatap Beryl dengan tatapan yang rumit. Pada awalnya, ia mengira jika Beryl itu hanya merasa kasihan dan iba padanya. Namun saat ini, ia melihat wajah pria tampan di dekatnya berwajah penuh keringat, rambut berantakan dan terutama raut wajah penuh kerutan cemas. Ia menempuh perjalanan jauh dari Jakarta ke Bandung hanya demi dirinya.Hati Laila merasa hangat melihatnya. Beryl memang menaruh perasaan padanya. Bukan karena kasihan atau iba. Namun Laila memejamkan matanya, merasa ia tidak pantas mendapat perhatian apalagi kasih sayang dari pria itu. Kini, ia bukan wanita normal, lumpuh dan ringkih. Sementara pria di depannya sosok yang tampan dan mapan. Beryl berhak mendapat wanita yang sepadan dengannya. Alih-alih menjawab pertanyaan Beryl, Laila menatap Sulis lalu bibirnya bergetar pelan. “Tante, aku haus,”“Tante ambilkan minum, Sayang,” imbuh Sulis lalu mengambil botol minum dengan sedotan. Ia membantu Laila minum. Sementara itu Beryl merasa dadanya terasa sesak, mengapa
Dua minggu berlalu, Laila sudah mulai membaik. Ia masih dirawat di rumah sakit kota Bandung dengan penjagaan ketat dan perawat profesional. Sulis memberikan perawatan terbaik untuk gadis itu, terlepas dari gadis itu adalah gadis yang ditaksir putranya. Satu yang pasti, keluarga Basalamah berhutang nyawa padanya. Itulah alasan kuat Yuda tidak menolak bantuan Sulis.Sore itu, Beryl membesuk Laila setelah beberapa hari ia tidak ke sana. Kesibukan dalam dunia kerja membuatnya tidak punya waktu banyak untuk mengambil cuti atau liburan. Namun demi gadis kecilnya, ia rela menempuh perjalanan panjang demi dirinya.Dengan antusias Beryl membawa satu buket bunga mawar putih untuk Laila. Pun, ia membawa novel romance religi yang dibelinya di Gramedia yang dilewatinya, karena ingat jika Laila suka membaca buku.Saat kakinya tiba di ambang pintu ruangan di mana Laila dirawat, Beryl menatap Laila dengan campuran iba dan kagum. Perempuan itu, meskipun tubuhnya lemah, semangatnya tetap menyala bagai a
Beryl terduduk lesu di sofa, menatap kosong ke layar ponsel yang sudah lebih dari dua hari tidak menampilkan notifikasi dari Laila. Ia menyimpan nomor Laila namun tidak berani meneleponnya secara langsung. Sebenarnya, ia tahu betul bahwa Laila sudah terbang ke Malaysia, tapi hatinya tetap berharap ada pesan masuk, mungkin semacam, “Aku kangen kamu, Kakak.” Tapi nihil. Sayang, semua itu hanyalah khayalan Beryl semata.Pasha dan Alby duduk di sebelahnya, masing-masing membawa sekantong cemilan. Mereka sengaja ingin menghiburnya karena tahu Beryl pasti sedang galau ditinggal oleh Laila.“Aku nggak habis pikir, kenapa Laila tega ninggalin aku?” keluh Beryl, masih dengan ekspresi dramatis khasnya. Pasha mengunyah keripik sambil menatapnya dengan sok prihatin. “Kayaknya sekarang Laila udah sembuh. Dia udah kerja di kantor ayahnya. Wuih, keren CEO Laila! Laila pantas cerdas karena turunan dari ayahnya. Eh, pasti banyak pengusaha mendekati CEO wanita!”“Atau mungkin dia ikut audisi film Upi
Sulis duduk di kursi ruang tamu, menyilangkan tangan di dada sambil menatap suaminya, Ali, yang mondar-mandir dengan ekspresi tak karuan. Lelaki itu tampak gelisah, sesekali menghela napas panjang seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan. Ali sedang kesal pada istrinya. “Honey Sweety, kalau kamu mau ngelamar kerja sebagai penjaga pos ronda, aku yakin kamu sudah diterima dengan cara mondar-mandir kayak gitu,” sindir Sulis, mencoba mencairkan suasana. Sulis seorang yang mudah marah, namun amarahnya cepat pula surut. Berbeda dengan suaminya ketika marah akan lebih awet alias lama.Ali berhenti, menatap istrinya dengan mata menyipit. “Jadi, Rahes Pramudya itu, mantan kekasihmu? Pantes,” Sulis mengembuskan napas, sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. “Ya.” Ali terdiam sejenak, lalu tertawa sinis. “Oh, bagus. Aku baru tahu fakta kecil ini setelah dia hampir bikin perusahaan Basalamah bangkrut, lalu tiba-tiba berubah jadi pahlawan kesiangan.” Sulis menatap Ali tajam. “Kamu m
Pada suatu sore, saat Laila sedang duduk di ruang tamu menikmati udara segar yang masuk lewat jendela, seorang gadis muda menghampirinya. Gadis itu mengenakan balutan setelan kasual, kemeja dan celana jeans berwarna biru senada dengan senyum yang ramah. “Halo, sepupu! Aku Nadia,” kata gadis itu, memperkenalkan dirinya. Laila pikir, gadis yang datang ialah kakak seayahnya, Serina. Menurut Rahes, Serina tinggal di Indonesia untuk sementara. Namun ia akan pergi menjenguknya nanti. “Kamu pasti Laila, kan? Aku sepupumu. Anak dari kakaknya Om Rahes.”Nadia memperlihatkan dua lesung pipi di wajahnya. Gadis itu terlihat memiliki pembawaan yang dewasa, cerdas dan tenang.Laila terkejut mendengar kata 'sepupu', namun dengan cepat ia tersenyum. “Iya, aku Laila,” jawabnya dengan suara lembut. Di dalam rumah Laila tidak mengenakan cadarnya. Hanya ada pelayan perempuan wara wiri di sana. Para pelayan pria berada di luar rumah.Nadia duduk di samping Laila, menawarkan secangkir teh hangat yang suda
Saat Laila tengah menikmati helaian buku yang diberikan oleh kakak penyelamatnya, suara Serina menyambarnya seperti cambuk. “Wow, akhirnya si anak hilang datang juga.” Laila menoleh dan menemukan Serina berada di ambang pintu, mengenakan maxi dress sutra berwarna merah darah yang kontras dengan kulitnya yang pucat. Rambut brunettenya tergerai sempurna, dan bibirnya melengkung dalam senyum penuh ejekan. Sesuai pikirannya, Serina tidak akan pernah berubah, ia datang bukan untuk melihat kondisinya. Namun ia ingin berusaha menyingkirkannya dari kehidupan ayah mereka. Namun kini Laila tidak akan terprovokasi oleh perkataannya yang toxic.Hari-hari berikutnya Laila mulai merasa ketenangannya diusik oleh Serina. Gadis itu benar-benar mengujinya. Apalagi Rahes sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ia selalu pulang malam, bahkan kadang tidak pulang.Setiap kali Laila mulai membuka diri, berbicara dengan Rahes, Serina selalu muncul di antara mereka, mengalihkan perhatian ayah mereka dengan kel
Di sebuah pagi yang cerah, Beryl duduk di kantor dengan wajah muram. Sejak Laila ikut ayahnya ke Malaysia, hidupnya terasa hampa. Kangen berat. Rasa rindu itu sampai menyelinap ke alam bawah sadarnya.“Pak, ini dokumen yang harus Anda tanda—”Juna membawa berkas dokumen ke atas meja Beryl untuk ditandatangani olehnya.“Laila, tolong taruh di meja saja,” potong Beryl tanpa melihat ke arah sekretarisnya.Juna, sekretaris baru Beryl, berhenti di tempat dengan wajah yang mengernyit. “Pak Beryl, saya Juna.”Beryl menatap Juna, seolah baru sadar. “Oh, iya. Maaf, Jun— eh, Laila!”Juna menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya Beryl salah panggil. Sejak beberapa hari lalu, nama Laila seakan jadi mantra yang keluar dari mulut bosnya. Ingin tertawa takut kualat, eh, dipecat.Entah mengapa Beryl tak bisa mengontrol dirinya. Nama yang keluar dari bibirnya Laila dan Laila.Tak cukup di kantor, masalah ini berlanjut ke acara kumpul keluarga. Saat semua sedang menikmati hidangan makan malam,
Jeena melangkah ringan memasuki kampusnya, sesekali menoleh ke belakang dan tersenyum pada Manggala yang masih berdiri di dekat mobil. Suaminya yang tampan dan penuh perhatian itu tidak hanya mengantarnya, tetapi juga berjanji akan menunggunya hingga kuliah selesai. Di kejauhan, Dion memperhatikan pemandangan itu dengan ekspresi datar. Ada sedikit rasa sesak di dadanya, tapi kali ini ia tidak lagi berusaha menutupi perasaannya dengan pura-pura santai atau bercanda dengan teman-temannya. Ia sadar, Jeena bukan lagi seseorang yang bisa ia dekati seperti dulu. Jeena kini adalah istri orang lain. Ia sudah menikah.Ia melihat bagaimana Manggala menunggu di sana, matanya terus mengikuti Jeena hingga ia menghilang di balik pintu gedung kampus. Itu bukan sekadar pengantaran biasa. Itu adalah bentuk cinta, sesuatu yang Dion tak mungkin bisa berikan kepada Jeena karena selama ini ia hanya berdiri di pinggir tanpa berani melangkah lebih jauh. Hati Jeena sudah lebih dulu dimiliki oleh pemuda be
Beryl turun dari mobil dengan hati berdebar. Sudah sekian lama ia menunggu saat ini—bertemu Laila lagi, setelah semua kejadian yang menimpa mereka. Sengaja, ia tidak memberikan kabar padanya. Ia ingin memberikan kejutan.Meninggalkan Alby yang masih berada di luar, Beryl melangkah masuk ke rumah mewah itu dengan napas yang sedikit tertahan, seperti anak kecil yang hendak membuka hadiah ulang tahun.Pintu rumah mewah itu terbuka, matanya langsung tertuju pada sosok yang begitu dirindukannya. Laila, dalam balutan gamis berwarna merah muda sedang berjuang berdiri tegak di ruang tamu yang luas. Perawat Febi dengan sabar menopangnya, sementara Laila berkali-kali menggerutu, “Aku bisa sendiri! Jangan perlakukan aku seperti anak kecil!”Laila kembali cerewet, pertanda ia mulai sembuh. Namun, belum sampai tiga detik, tubuhnya oleng ke samping.“Ya Allah, Nona! Jangan maksa!” pekik Febi panik, buru-buru menangkapnya agar tidak jatuh.Namun Laila yang gigih tidak akan menyerah begitu saja. Ia
Hujan turun deras malam itu, menambah suasana kelam di kediaman Rahes. Serina duduk di ruang tamu dengan wajah tegang, masih tidak percaya bahwa ayahnya benar-benar akan menghukumnya. Di depannya, Rahes berdiri tegap, matanya dingin menatap putrinya yang selama ini begitu ia manja. Rahes bukan menutup mata dengan apa yang terjadi. Selama ini ia mengamati putrinya dari Laura itu diam-diam. Laporan dari Sulis, bukti-bukti kejahatan yang sudah dilakukannya, laporan dari para art dan perawat Febi sudah cukup menjadikan sebuah pertimbangan di mana ia harus segera bertindak. Ternyata, semakin dibiarkan Serina semakin menjadi. “Kamu akan pulang ke Indonesia,” kata Rahes tanpa basa-basi. Serina menatapnya dengan mata melebar. “Apa?”Rahes menekan pelipisnya, mencoba meredam amarah yang masih tersisa. “Kamu akan tinggal bersama Rosalinda. Dia akan mengajarkanmu bagaimana menjadi manusia yang lebih baik.”Serina bangkit dari sofa, tangannya mengepal. “Ayah tidak bisa melakukan ini padaku! A
Serina mendekat, menarik lengan Laila yang kurus, dan membuka tutup jarum suntik dengan jari-jari gemetar. Ini adalah usaha yang sudah kelewat batas! Tak peduli, amarah dan dendamnya berhasil merobohkan nuraninya. Malam itu ia berniat akan menghukum Laila dengan hukuman yang takkan pernah terlupakan olehnya.Laila pasti akan menyerah setelah ini!Obat-obatan akan meninggalkan jejak seperti waktu itu. Oleh karena itu, kini Serina menggunakan jarum suntik untuk membuat Laila semakin menderita. Setelah itu, Laila pasti akan minta pulang kembali ke keluarganya dulu.Namun, tepat saat jarum hampir menyentuh kulit Laila …“Angel!”Suara menggelegar membuat Serina tersentak kaget, tangannya gemetar hingga jarum suntik jatuh ke lantai. Ia menoleh cepat dengan mata yang membelalak saat melihat sosok pria berjas berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam. Rahes, sang ayah sudah pulang ke rumah. Ia menyalakan lampu dan bisa melihat apa yang dilakukan oleh Serina secara jelas. Jarum suntik
Kursi roda Laila berdecit pelan saat ia mendorong dirinya ke halaman belakang rumah. Kecelakaan itu memang telah merenggut kemampuannya untuk berjalan, tapi ia tidak akan membiarkan hal itu merenggut martabatnya juga. Laila tetap berusaha keras untuk sembuh dan menjalani kehidupan seperti orang normal pada umumnya.Di teras, Serina duduk santai dengan secangkir kopi, senyum liciknya tidak pernah berubah sejak hari pertama Laila datang ke rumah ini. Gadis itu menatap Laila seolah dirinya masih menjadi penguasa rumah ini yang tak tergoyahkan. “Bagaimana kabarmu, adik kecil?” Serina menyapa dengan nada pura-pura ramah. Ia menatap Laila dengan tatapan cemooh.Dari sini Laila bisa melihat jika selama ini Serina pandai menyembunyikan sifat aslinya. Dulu ia tampak seperti gadis yang rapuh dan patut dikasihani. Laila merasa iba padanya hingga menjalin persahabatan dengannya.Waktu terasa begitu cepat berlalu, hingga menampakan sisi lain dari dirinya. Ternyata, Serina memiliki kepribadian g
Pasha menatap layar monitor di ruang konsultasi dengan mata setengah merem. Sudah hampir delapan jam ia berjaga di rumah sakit, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Bukan ke pasien, bukan ke laporan medis, tapi ke seseorang yang sudah lama menghilang dari hidupnya—Rosa. Meskipun mereka tinggal satu kota, namun mereka kini seperti orang asing.Seperti halnya Beryl yang merindukan Laila, Pasha pun merindukan kehadiran Rosa di sisinya. Sayangnya, mereka saling menyukai namun Rosa menolaknya hanya karena perbedaan status sosial. “Dok, pasiennya dari tadi nunggu, loh.”Perawat Dini menepuk bahunya pelan, membuat Pasha tersentak. Dia segera berdehem, merapikan jas dokternya yang sudah kusut, dan menatap pasien di depannya—seorang pria paruh baya yang mengeluhkan sakit perut. “Baik, Pak. Mari kita periksa.”Tapi alih-alih bertanya tentang keluhan pasien, Pasha malah tanpa sadar bergumam, “Rosa... kamu di mana sekarang?”Belakangan ia sering mampir ke kosan Rosa, namun sialnya, menurut p
Jeena melangkah ringan memasuki kampusnya, sesekali menoleh ke belakang dan tersenyum pada Manggala yang masih berdiri di dekat mobil. Suaminya yang tampan dan penuh perhatian itu tidak hanya mengantarnya, tetapi juga berjanji akan menunggunya hingga kuliah selesai. Di kejauhan, Dion memperhatikan pemandangan itu dengan ekspresi datar. Ada sedikit rasa sesak di dadanya, tapi kali ini ia tidak lagi berusaha menutupi perasaannya dengan pura-pura santai atau bercanda dengan teman-temannya. Ia sadar, Jeena bukan lagi seseorang yang bisa ia dekati seperti dulu. Jeena kini adalah istri orang lain. Ia sudah menikah.Ia melihat bagaimana Manggala menunggu di sana, matanya terus mengikuti Jeena hingga ia menghilang di balik pintu gedung kampus. Itu bukan sekadar pengantaran biasa. Itu adalah bentuk cinta, sesuatu yang Dion tak mungkin bisa berikan kepada Jeena karena selama ini ia hanya berdiri di pinggir tanpa berani melangkah lebih jauh. Hati Jeena sudah lebih dulu dimiliki oleh pemuda be
Di sebuah pagi yang cerah, Beryl duduk di kantor dengan wajah muram. Sejak Laila ikut ayahnya ke Malaysia, hidupnya terasa hampa. Kangen berat. Rasa rindu itu sampai menyelinap ke alam bawah sadarnya.“Pak, ini dokumen yang harus Anda tanda—”Juna membawa berkas dokumen ke atas meja Beryl untuk ditandatangani olehnya.“Laila, tolong taruh di meja saja,” potong Beryl tanpa melihat ke arah sekretarisnya.Juna, sekretaris baru Beryl, berhenti di tempat dengan wajah yang mengernyit. “Pak Beryl, saya Juna.”Beryl menatap Juna, seolah baru sadar. “Oh, iya. Maaf, Jun— eh, Laila!”Juna menghela napas panjang. Ini bukan pertama kalinya Beryl salah panggil. Sejak beberapa hari lalu, nama Laila seakan jadi mantra yang keluar dari mulut bosnya. Ingin tertawa takut kualat, eh, dipecat.Entah mengapa Beryl tak bisa mengontrol dirinya. Nama yang keluar dari bibirnya Laila dan Laila.Tak cukup di kantor, masalah ini berlanjut ke acara kumpul keluarga. Saat semua sedang menikmati hidangan makan malam,
Saat Laila tengah menikmati helaian buku yang diberikan oleh kakak penyelamatnya, suara Serina menyambarnya seperti cambuk. “Wow, akhirnya si anak hilang datang juga.” Laila menoleh dan menemukan Serina berada di ambang pintu, mengenakan maxi dress sutra berwarna merah darah yang kontras dengan kulitnya yang pucat. Rambut brunettenya tergerai sempurna, dan bibirnya melengkung dalam senyum penuh ejekan. Sesuai pikirannya, Serina tidak akan pernah berubah, ia datang bukan untuk melihat kondisinya. Namun ia ingin berusaha menyingkirkannya dari kehidupan ayah mereka. Namun kini Laila tidak akan terprovokasi oleh perkataannya yang toxic.Hari-hari berikutnya Laila mulai merasa ketenangannya diusik oleh Serina. Gadis itu benar-benar mengujinya. Apalagi Rahes sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ia selalu pulang malam, bahkan kadang tidak pulang.Setiap kali Laila mulai membuka diri, berbicara dengan Rahes, Serina selalu muncul di antara mereka, mengalihkan perhatian ayah mereka dengan kel
Pada suatu sore, saat Laila sedang duduk di ruang tamu menikmati udara segar yang masuk lewat jendela, seorang gadis muda menghampirinya. Gadis itu mengenakan balutan setelan kasual, kemeja dan celana jeans berwarna biru senada dengan senyum yang ramah. “Halo, sepupu! Aku Nadia,” kata gadis itu, memperkenalkan dirinya. Laila pikir, gadis yang datang ialah kakak seayahnya, Serina. Menurut Rahes, Serina tinggal di Indonesia untuk sementara. Namun ia akan pergi menjenguknya nanti. “Kamu pasti Laila, kan? Aku sepupumu. Anak dari kakaknya Om Rahes.”Nadia memperlihatkan dua lesung pipi di wajahnya. Gadis itu terlihat memiliki pembawaan yang dewasa, cerdas dan tenang.Laila terkejut mendengar kata 'sepupu', namun dengan cepat ia tersenyum. “Iya, aku Laila,” jawabnya dengan suara lembut. Di dalam rumah Laila tidak mengenakan cadarnya. Hanya ada pelayan perempuan wara wiri di sana. Para pelayan pria berada di luar rumah.Nadia duduk di samping Laila, menawarkan secangkir teh hangat yang suda