Happy morning, maaf telat🤍🙏
Di tengah pesta pernikahan Jeena dan Manggala yang meriah, semua orang tampak berbahagia. Tawa dan musik memenuhi ruangan, para tamu menikmati hidangan lezat, dan pasangan pengantin tersenyum bahagia di pelaminan. Namun, di sudut ruangan yang lebih sepi, Beryl duduk diam, matanya kosong menatap gelas di tangannya. Alby, yang memperhatikan saudara kembarnya itu sejak tadi, akhirnya mendekat. “Beryl, lo kenapa? Harusnya kita ikut senang buat Jeena dan Manggala.”Beryl menghela napas panjang, lalu tertawa hambar. “Senang? Lo pikir semua orang bisa ikut bahagia?” Ia mendesis pelan. Tatapannya bertemu dengan Yuda yang melewatinya. Pria itu berjalan terburu-buru diikuti oleh istrinya menuju tempat parkir. Sementara itu di belakang mereka, Dania bergandengan tangan dengan tunangannya. Menyadari tatapan Beryl ke arah Yuda, Alby menatap saudara kembarnya. Ia mengernyit. “Lo masih kepikiran Laila?”Seketika rahang Beryl mengeras. Ia meneguk minumannya, lalu bangkit berdiri. “Gue butuh udara.
Setelah pesta pernikahan mereka berakhir, Manggala dan Jeena duduk berdua di balkon kamar hotel tempat mereka menginap. Malam itu seharusnya menjadi malam penuh kebahagiaan bagi mereka, tapi pikiran Manggala dipenuhi kegelisahan.Sebagai seorang sahabat, ia masih memikirkan Beryl yang terlihat frustrasi. Ia juga merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Yuda tentang Laila. Mengapa Yuda tidak merayakan pernikahan Laila andai berita yang berembus itu benar adanya. Malam pertama itu datang dengan keheningan yang nyaman, tetapi penuh kecanggungan. Di dalam kamar yang diterangi cahaya lampu temaram, sepasang pengantin baru duduk di tepi ranjang, saling mencuri pandang lalu buru-buru mengalihkan tatapan dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Di luar, angin malam berembus lembut, menggoyangkan tirai putih yang membingkai jendela yang dibiarkan terbuka. Denting jam terdengar begitu jelas, seolah menjadi satu-satunya suara di antara mereka. Jeena menundukkan wajahnya, jemarinya meremas ujun
Serina benar-benar menikmati kehidupannya yang kini serba mewah. Setelah bertahun-tahun hidup susah, kini ia bisa mendapatkan apa pun yang diinginkannya hanya dengan menjentikkan jarinya.Bersama Nadia, sepupu dari ayahnya yang tengah menempuh pendidikan kedokteran di semester akhir, Serina menjelajahi berbagai kota di Eropa—Paris, Milan, London, hingga Santorini setelah sebelumnya ia menjelajahi Asia. Ia seperti menang loterai. Rahes memberinya kartu hitam di mana ia bisa gunakan untuk bersenang-senang.Di Paris, mereka menghabiskan waktu di butik-butik eksklusif. Laila memborong tas dan pakaian dari merek-merek ternama. Serina sangat menikmati perhatian yang ia dapatkan dari para pegawai butik yang melayaninya dengan penuh hormat. Secara ia memperlihatkan kartu platinum yang tidak bisa digunakan oleh orang biasa. Hanya orang-orang tertentu yang memilikinya.“Akhirnya aku bisa merasakan hidup seperti seorang putri,” katanya sambil menatap pantulan dirinya dalam cermin, mengenakan gaun
Sulis menarik nafas dalam saat baru saja mendengar kabar dari Alby jika ia sedang berada di rumah sakit. Ia mengirim pesan singkat padanya. Beryl dilarikan ke rumah sakit akibat jatuh dari motor sport yang dikendarainya secara ugal-ugalan.Dengan tenang, wanita itu menggapai kimono tidur yang berada di lantai. Namun tangan suaminya begitu erat memeluknya hingga membuatnya kesulitan untuk menegakkan tubuhnya.Sulis tidak berani mengatakan kabar soal Beryl pada suaminya. Ia begitu takut jika Ali malah menghukumnya dan semakin membuatnya tertekan. Ia memiliki cara tersendiri dalam mendidik putranya yang satu itu.“Aa, Neng mau ke kamar mandi,” imbuh Sulis mengusap pelan pipi suaminya yang berkeringat.Ali tidak menjawab, ia hanya bergumam dan tersenyum. “Bentar, jangan pergi dulu!”Ali semakin mengeratkan pelukannya dan mendusel di ceruk leher istrinya, membangkitkan gairah yang sudah padam tadi. Tidak hanya pengà ntin baru yang sedang menikmati indahnya malam panas, namun pengà ntin lama
Semalam keadaan Laila semakin memburuk hingga dilarikan ke rumah sakit ibukota. Rumah sakit sebelumnya tidak bisa menangani Laila dan memberinya surat rujukan untuk pindah ke rumah sakit di ibukota yang lebih lengkap.Napas Laila tersengal, wajahnya pucat, dan tubuhnya semakin lemah. Ia sudah pasrah dengan kondisinya, tapi hari ini rasa sakitnya lebih hebat dari biasanya. Kakinya yang lumpuh terasa dingin dan nyeri luar biasa. Bik Nur, yang selalu merawatnya, panik melihat Laila berkeringat dingin. Wanita paruh baya itu pun segera menghubungi Yuda. Pagi itu Yuda memutuskan untuk pulang terlebih dahulu ke rumah, karena ingin mengabari orang rumah jika kondisi Laila memburuk. Ia menitipkan Laila pada perawat di sana dan Bik Nur yang setia menunggunya.Menempelkan ponsel ke telinganya, Bik Nur bicara dengan dada yang sesak.[Pak Yuda, Teh Laila keadaannya makin buruk!]Yuda masih berada di dalam kendaraannya sampai mengerem mendadak akibat mendengar kabar buruk Laila. Beruntung ia tidak
Laila terbaring di ranjang rumah sakit dengan tubuh yang semakin lemah. Selang infus terpasang di tangannya, sementara oksigen nasal tetap menempel di hidungnya, membantu pernapasannya yang semakin berat. Cahaya lampu rumah sakit yang putih redup membuat wajahnya tampak semakin pucat, matanya sayu, dan bibirnya kering. Rasa sakit yang mendera tubuhnya seperti tak ada habisnya. Setiap gerakan ringan membuatnya meringis. Kakinya yang lumpuh terasa semakin kaku dan dingin, sementara dadanya sesak setiap kali ia mencoba menarik napas lebih dalam. Kadang-kadang, tubuhnya menggigil tanpa alasan, seakan-akan ada sesuatu di dalam dirinya yang perlahan-lahan melemahkan seluruh sistem tubuhnya. Di sudut ruangan, Yuda baru saja selesai konsul dengan dokter, duduk dengan wajah cemas, menggenggam tangan Laila yang dingin. Ia berusaha tersenyum meskipun hatinya hancur melihat penderitaan anak angkatnya. “Laila, bertahanlah... Ayah di sini,” bisik Yuda dengan suara bergetar. Ia berusaha mati-mat
Rahes menatap laporan di tangannya dengan rahang mengeras. Tangannya yang kuat mengepal, menahan gejolak emosi yang meluap-luap di dalam dadanya. Kepalanya seakan meledak detik itu juga!“Putriku meninggal?” gumamnya, nyaris tak percaya. Ia melayangkan tatapan tajam pada detektif swasta yang disewanya.Detektif di hadapannya mengangguk dengan raut serius. "Ya, Pak Rahes. Berdasarkan data yang kami temukan, Nyonya Melani dan Putri satu-satunya mengalami kecelakaan mobil beberapa tahun silam. Tidak ada yang selamat. Mobil itu masuk ke jurang dan meledak."Rahes membanting laporan itu ke meja. “Omong kosong!” suaranya menggema di ruangan. “Aku tidak percaya begitu saja dengan laporan ini. Pasti ini keliru!”Rahes sosok pria yang cerdas, bukan pria yang mudah dibodohi. Ia selalu memegang prinsip bahwa kebenaran harus diuji dengan berbagai cara. Maka, tanpa membuang waktu, ia segera menghubungi detektif lain yang sebelumnya sudah ia pekerjakan secara diam-diam. “Aku ingin laporan terbaru
Jeena merasa dunianya berubah terlalu cepat dan ia sedikit risau, takut tidak bisa mengimbanginya. Ia sedikit menyesal mengapa tidak menikah lebih awal dengan suaminya. Manggala adalah suami yang perhatian. Ia sangat bersyukur.Awalnya, ia begitu takut jika setelah menikah Manggala akan berubah menjadi suami kebanyakan yang bersikap otoriter dan posesif pada istrinya. Namun nyatanya, perkataannya bisa dipegang sama seperti sebelum menikah. Pemuda itu benar-benar bersikap dewasa dan bijaksana.Manggala tidak membatasi kegiatan Jeena. Jeena masih bisa melanjutkan kuliahnya namun ia akan ikut di sana untuk beberapa bulan pertama. Ia masih ingin menikmati indahnya sebagai pengĂ ntin baru. Pagi itu Jeena hanya duduk di ruang makan menunggu Manggala menyiapkan sarapan untuknya. Mereka kini tinggal di rumah Ana sebelum mereka memutuskan untuk pergi ke Manhattan. Semua orang sudah sarapan dan beraktifitas. Kecuali pengĂ ntin baru yang baru saja keluar dari kamar mereka dalam kondisi yang cerah
Sepuluh Tahun KemudianLangit pagi itu cerah di kawasan perbukitan tempat kediaman keluarga Manggala berdiri megah. Rumah bergaya modern tropis dengan sentuhan klasik itu dikelilingi taman bunga dan pepohonan rindang, dibangun oleh Aldino, sang kakek yang visioner. Di halaman belakang, terdengar suara tawa anak-anak dan langkah kaki berlarian.Kini Manggala mengambil alih perusahaan sang ayah, sedangkan Jeena menjadi seorang pianis seperti ibunya. Ia juga bahagia menjadi seorang ibu dari empat orang anak. “Mas Sagara! Tunggu aku dong!” seru Bintang, bocah sepuluh tahun yang berusaha mengejar kakaknya.Sagara menoleh sambil tertawa. “Cepat dong, Bintang! Katanya mau lomba lari?”Dari balik pintu kaca, dua gadis kembar berambut panjang hitam–berusia tujuh tahun, Savana dan Aurora, berseru bersamaan, “Mamaaa! Mas Sagara gak mau ajak kita main!”Jeena, yang tengah menyiram bunga, menoleh sambil tersenyum. “Kalian gak usah ikut main lari-larian. Kalian bisa kan main yang lain,”Savana dan
Tiga minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu.Alby akhirnya pulang ke Jakarta. Ia masih lemah, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi kesadarannya sudah kembali. Dan itu saja sudah cukup membuat seluruh keluarga menghela napas lega.Di kamar yang tenang, Alby perlahan duduk di sisi ranjang. Levina sigap menopangnya.“Kamu yakin udah kuat buat berdiri?” tanyanya pelan, seolah takut suaranya akan membuat Alby goyah.Alby tersenyum tipis. “Aku nggak selemah itu, Lev… Tapi kalau kamu tetap mau di sini, aku nggak keberatan.”Senyum itu begitu lemah, tapi cukup untuk menggetarkan hati Levina. Ia membalas tatapan itu dengan lembut, menyembunyikan guncangan di dadanya. Sejak hari pertama Alby tak sadarkan diri, Levina tidak pernah meninggalkan sisinya.Ia bertahan, bahkan ketika dokter kehilangan harapan. Dan, keluarga Basalamah mengabaikannya. “Lev,” suara Alby pelan.Levina menoleh cepat. “Hmm?”“Makasih ya… sudah rawat aku.”Alby menatap Levina dengan senyum tipis.Levina diam kemudian m
RS Bali International Cahaya lampu rumah sakit memantul di lantai keramik yang licin, menciptakan suasana dingin dan sepi. Di balik pintu ICU yang tertutup rapat, Alby tengah berjuang mempertahankan hidupnya. Tubuhnya penuh luka, sebagian tulangnya retak, dan kepalanya mengalami trauma berat akibat benturan keras dalam kecelakaan.Di ruang tunggu ICU, suasana dipenuhi ketegangan.Dokter Bagas, ahli bedah saraf yang menangani Alby, keluar dengan wajah serius langsung mengabari kondisi Alby saat ini pada keluarga; Sulis-Ali, Beryl, Ana-dr Zain, dan Manggala-Jeena yang langsung terbang ke Bali setelah mendapat kabar buruk mengenai kecelakaan yang menimpa Alby.Dokter Bagas berkata. “Kami sudah melakukan tindakan penyelamatan secepat mungkin. Alby mengalami pendarahan hebat di otak serta beberapa patah tulang rusuk yang melukai paru-paru kirinya. Kami telah memasang ventilator dan melakukan dekompresi kranial untuk mengurangi tekanan pada otaknya.”Tak ada yang berbicara. Wajah Ali pucat,
“Hari ini mendadak sepi, ya?”Levina menoleh. Alby ada di sampingnya, berjalan santai di antara deretan pohon mahoni yang mulai meranggas. Cahaya senja memantulkan rona keemasan di wajah mereka, menciptakan siluet yang tenang namun menyimpan gelombang perasaan yang tak terucap.Alby menatap tunangannya dengan lembut. Banyak hal ingin ia katakan, tapi belum waktunya. Ia hanya meraih jemari Levina dan menggenggamnya erat. Namun, kali ini Levina tidak menolak. Ia tahu harus berpura-pura menjadi kekasih Alby dengan sebaik mungkin.“Besok kita menikah. Tapi hari ini… izinkan aku jujur.”Alby menatap Levina dari samping. Meskipun Levina selalu menampilkan wajah dengan minim ekspresi, di matanya gadis itu terlihat cantik. Mungkin wanita tercantik yang pernah ia sukai. Ia menyukai segala hal tentang dirinya. Entah sejak kapan, Ia mulai merasakannya. Alih-alih merespon perkataan Alby, Levina menatapnya dalam. “Aku dengar kau sudah melaporkan Bella dan Roger.”Alby mengangguk pelan. “Aku rekam
“Lihat nih! Komennya udah tembus sepuluh ribu. Gila, Bella, kamu viral!”Manager Bella, seorang wanita berkacamata bernama Fara, tertawa kecil sambil menyodorkan ponsel ke arah kliennya. Di layar, unggahan Bella sedang dibanjiri komentar dan likes. Foto-foto kontroversial dengan Alby—yang sengaja diposting ulang oleh akun fanbase-nya, membuat namanya melejit dalam semalam.Bella tersenyum tipis, membolak-balik notifikasi dengan santai.“Ya... kalau skandal bisa bikin aku trending, kenapa nggak?” ujarnya ringan.Fara menyikut lengannya. “Kamu jahat juga, ya.”Bella menjawab dengan anggukan percaya diri. “Dunia hiburan bukan tempat buat yang terlalu baik.”Namun sebelum mereka bisa tertawa lagi, pintu studio tempat mereka santai tiba-tiba terbuka keras.BRAK!Keduanya terlonjak kaget. Di ambang pintu, berdiri Alby dengan sorot mata yang tak pernah Bella lihat sebelumnya—dingin, tajam, dan penuh kemarahan yang ditekan.“Untuk apa kamu lakukan ini, Bella?”Nada suaranya rendah, tapi mengge
“Astaga, Bella, sialan!” gumam Alby saat melihat layar ponselnya. Foto-foto itu terpampang jelas. Ia dan Bella terlihat terlalu dekat. Mereka seperti sepasang kekasih.Skandal itu tersebar begitu cepat. Akun-akun gosip di X dan I*******m berebut menaikkannya, sementara bot-bot anonim memperkeruh suasana dengan komentar tajam dan spekulasi kejam. Nama Alby mendadak trending, bukan karena prestasi, tapi karena ciuman yang tak pernah benar-benar terjadi.Dengan geram, Alby melemparkan ponselnya ke meja. Ia ingin menyangkal semua ini, tapi bagaimana? Mata kamera tidak pernah peduli pada kebenaran—hanya pada apa yang terlihat.Ponselnya bergetar. Nama “Mommy” tertera di layar.Sulis tidak pernah menelepon tanpa alasan. Dan kali ini, Alby tahu persis apa yang membuat ibunya menelepon di tengah malam, saat hujan mengguyur kota seperti murka langit yang tak tertahan.Sulis duduk anggun di sofa ruang tamu. Ruangan itu sepi, tapi hawa di dalamnya menggigit seperti salju saat musim dingin. Alby
Di kediaman Mahesa“Levina…” suara Roger terdengar pelan dan penuh simpati saat ia masuk ke dalam ruang tamu di mana Levina sedang duduk, membaca buku.Levina menatapnya, keningnya berkerut. “Roger? Ada apa?”Hubungannya dengan Roger mulai membaik. Keluarga Roger datang dan meminta maaf pada Mahesa atas apa yang telah Roger lakukan.Roger tersenyum lalu duduk bergabung dengan Levina, seolah menimbang-nimbang kata-kata yang ingin ia ucapkan. “Aku mendengar kabar yang cukup mengejutkan.” Ia mencoba menatap Levina dengan ekspresi prihatin, namun dalam hatinya, ada kepuasan yang terselip. “Aku... aku dengar kalau Alby terlibat hubungan dengan seorang penyanyi pendatang baru. Mereka... kedapatan di beberapa tempat bersama. Selingkuh, mungkin.”Levina hanya mengangkat alis. “Oh,” jawabnya singkat, tanpa ekspresi lebih lanjut. “Kapan kamu mendengarnya?”Roger sedikit terkejut dengan respons Levina yang begitu datar. “Baru beberapa hari yang lalu. Sepertinya mereka terlihat sangat dekat. Aku h
Di sebuah lounge hotel mewah, Roger duduk menyilangkan kaki sambil menatap layar ponsel. Di sampingnya, seorang wanita berambut panjang duduk dengan senyum menggoda—Bella, penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun.“Jadi... lo cuma mau gue foto bareng dia?” tanya Bella dengan alis terangkat. “That’s it? Gue pikir bakal lebih ekstrem.”Roger tertawa pelan, suaranya tenang namun licik. “Nggak perlu ekstrem. Cukup satu foto. Waktu yang pas, tempat yang pas. Publik akan percaya kalau Alby ternyata sama aja kayak pria lainnya. Dan Levina... perempuan dengan prinsip seperti dia? Dia akan mundur sendiri.”Bella mengangkat bahu. “Easy. Asal bayarannya sepadan.”Roger menyerahkan sebuah cek yang sudah ditandatangani olehnya. “Lihat sendiri.”Bella tersenyum licik. “Deal.”Roger bersandar, lalu menyesap kopinya. Matanya menatap kosong ke depan. “Sorry, Alby... Aku lebih dulu kenal Levina. Dan aku nggak akan biarin kamu ambil Levina,” Roger sudah mendengar kabar tentang Levina yang sudah di
Rumah besar keluarga Ana Basalamah sore itu lebih sunyi dari biasanya. Dedaunan bergerak pelan ditiup angin, dan cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuat ruangan terlihat hangat—meski hati sebagian penghuninya masih membeku.Di ruang keluarga, Sagara duduk di atas karpet bulu berwarna krem. Bocah empat tahun itu memeluk boneka dinosaurus hijau miliknya. Matanya masih sembab, dan tak ada satu pun senyum terukir di wajah kecilnya.Pasha duduk tak jauh darinya, memangku salah satu putra kembarnya—Rayyan—yang tengah bermain mobil-mobilan sambil tertawa sendiri. Di sisi lain, Rosa menggendong Rafael yang baru saja tertidur di pangkuannya. “Gara,” panggil Pasha dengan suara pelan.Sagara menoleh perlahan. Ia belum sepenuhnya nyaman, belum juga paham sepenuhnya apa yang terjadi dengan ayahnya.Pasha mencoba tersenyum. “Papa Pasha bawa mainan, mau lihat?”Bocah itu hanya mengangguk kecil. Pasha mengeluarkan satu set puzzle binatang dari dalam tasnya.“Coba tebak ini apa?” Ia mengang