Saat ini Laila seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Ia tidak bisa maju maupun mundur. Jika ia mengundurkan diri dari pekerjaan, maka ia akan mendapatkan penalti karena gadis itu sudah menandatangani surat perjanjian kontrak kerja. Ia tidak bisa mengundurkan diri dari pekerjaan apapun yang terjadi dalam kurung waktu satu tahun jabatannya.Sebaliknya, jika ia terus bekerja, ia akan terus merasa menderita. Karena kesalahan yang tidak dilakukannya akhirnya jabatannya di kantor diturunkan menjadi seorang staf. Otomatis gaji yang diperolehnya tiap bulan lebih kecil dari sebelumnya. Namun gadis bercadar itu tidak punya pilihan. Ia pasrah sampai ia bisa bekerja di sana selama setahun sesuai perjanjian kontrak.“Laila, aku turut prihatin. Aku gak tahu kenapa Pak Beryl sampai marah besar padamu gara-gara Pak Surya. Tapi kamu masih beruntung lo. Soalnya waktu itu Pak Beryl pernah pecat manajer SDM dan gak ada drama jabatannya turun. Padahal kesalahannya kecil banget.”Serina menepuk-nep
Jam terasa merangkak lama. Setelah mengakhiri panggilan dari Manggala, Jeena pasrah untuk tidak menelepon yang lain. Ia sudah keburu ngantuk dan kesal.Nada bicara Manggala terdengar marah dan cemburu. Ia selalu memperingati Jeena untuk menjauhi Dion. Namun ia juga tidak memberikan alasannya. Jeena merasa pikiran Manggala itu terlalu dibuat-buat. Padahal Jeena hanya berurusan dengan Dion terkait dengan persiapan debut. Selebihnya ia tidak pernah berhubungan secara langsung. Mungkin satu-satunya alasan Manggala menyuruhnya menjauhi Dion hanyalah karena cemburu buta.“Mas Gala berlebihan,” gumam Jeena yang mulai menguap. Sebetulnya Jeena ingin mengadu soal ia menemukan sebuah surat misterius dari seseorang pada Manggala. Namun pasti Manggala akan semakin cemas padanya. Semua akan semakin rumit bagi wanita bermanik almond itu. Terlebih ia merasa sangat lelah. Biarlah besok ia akan membahasnya dengan Rosa.Jeena pun pergi ke kamar tidur setelah mematikan lampu seluruh ruangan apartemen.
Jeena mulai latihan kembali di kampus. Sore itu ia berlatih piano dengan Dion. Hampir dua jam lamanya mereka berlatih dengan keras di bawah bimbingan Laura.Clap, clap, clap,Beberapa anak mahasiswa yang ikut masuk untuk melihat latihan bertepuk tangan. Mereka menatap pertunjukan Jeena dan Dion dengan penuh takjub.Tak lama kemudian Laura mengangkat ke dua tangannya dan meminta Jeena dan Dion berhenti.“Cukup untuk hari ini!” pekik Laura dengan mengusap keningnya dengan yang basah karena keringat. Wanita yang sudah tidak lagi muda itu harus segera pulang. Sore sudah menjelang dan ia tidak ingin pulang kemalaman karena jarak rumah dan kampus sangat jauh, berbeda dengan Jeena dan Dion.Jeena dan Dion saling tatap dan melempar senyum. Mereka cukup puas latihan hari itu. Mereka merasa sudah berusaha menampilkan Performa yang maksimal. Selanjutnya, mereka akan mencari dress code untuk dipakai saat acara nanti. Mereka harus berpenampilan sempurna dengan pakaian yang senada.“Makasih buat har
[Pak, pengawal Nona Jeena pulang. Tapi sepertinya, Nona Jeena tidak mengatakan pada siapapun. Terbukti ibunya juga tidak tahu kalau pengawalnya pulang.][Apa? Jadi dia sendirian di apartemen?][Iya, Pak.]Manggala mengepalkan ke dua tangannya erat. Mengapa Jeena berdusta padanya? Mungkin Jeena tidak ingin membuatnya khawatir. Namun sikapnya seperti itu justru semakin membuat Manggala khawatir. [Pak, satu lagi, hari ini mobil Nona ada yang mencorat coret. Maaf, saya tidak menyaksikan langsung. Soalnya saya tidak bisa masuk ke kampus begitu saja. Saya hanya mengamati Nona Jeena dari kejauhan. Nona Jeena naik mobil seorang pria bernama Dion. Mobilnya dibawa ke bengkel oleh orang suruhannya.]Manggala semakin geram mendengar laporan dari anak buahnya. Pasti ada orang yang berusaha mengganggu Jeena atau bahkan mencelakainya. [Kamu lihat siapa pelakunya?]Manggala mulai menginterogasi anak buahnya.[Maaf, Pak. Saya tadi sempat buang air kecil. Jadi, saya buru-buru cari toilet. Kejadiannya
Akhirnya, terpaksa, Laila ikut bersedia menumpang mobil milik Beryl. Daya ponsel miliknya mati oleh karena itu ia tidak bisa memesan ojek online. Jika ia menunggu angkutan umum akan lama dan ia bisa terlambat pulang ke rumah.Sisi lain, Serina sebetulnya keberatan Laila ikut. Namun salah sendiri ia mencoba membujuk Beryl–yang ternyata di luar dugaan bersedia mengantar Laila pulang. Sungguh, tidak sesuai rencana.Sial, Serina harus lebih dulu turun di kontrakan elit yang disewa oleh Hanum untuknya. Oleh karena itu pasti Beryl akan berduaan dengan Laila. Gadis bermata biru itu merasa menyesal telah mengajak Laila.Selama perjalanan pulang, Serina begitu berisik. Ia bercerita banyak hal pada Beryl. Padahal Beryl hanya menanggapinya dengan gumaman dan anggukan kecil. Gadis itu tampak seperti gadis lugu yang polos.“Dulu waktu di Jogja, aku dan Laila berteman. Kami diam-diam suka pergi jalan-jalan untuk makan bakso. Laila suka diam-diam keluar pondok. Masih ingat gak Laila?”Serina mulai me
Tak terasa hari demi hari telah dilewati oleh Jeena dengan latihan persiapan debut. Ia senang sekali karena ia dan Dion mulai mendapatkan chemistry. Mereka bisa menunjukan penampilan perdana untuk debut sebentar lagi.Tak hanya itu, Jeena juga merasa senang karena semenjak ia melapor pada pihak kampus, mobilnya kini tidak ada lagi yang merusak. Jeena tidak tahu jika di balik semua itu ada campur tangan Manggala. Manggala telah menemukan orang yang berusaha mengganggu Jeena. Meskipun mereka menjalani hubungan LDR, Manggala menempatkan beberapa pengawal untuk menjaganya dari jarak jauh. “Sekarang kita akan pergi ke butik! Ayo semangat! Kita akan cari kostum untuk tampil,” seru Laura di depan para mahasiswa calon peserta debut acara Amal.Jeena ikut rombongan Laura pergi ke butik langganannya. Mereka akan memilih kostum untuk tampil. Mobil-mobil mewah dari area kampus itu pun keluar dan merangkak membelah jalan di kota NY menuju sebuah butik milik desainer ternama."Jeena dan Dion kema
“Jangan! Please! Aku gak tau siapa dia!” seru pria bertato dengan perasaan takut. Cairan bening sudah menggenang di sudut matanya. Rian tidak main-main dengan ancamannya. Cengkraman tangannya sangat kuat. Pria itu nyaris kehilangan pasokan oksigen.Mata Rian nyaris loncat dari tempatnya saat mendengar pengakuan pria itu. Pria bajingan itu ingin lepas begitu saja namun ia tidak mau membeberkan Bos yang menyuruh mereka.“Lempar saja dari rooftop!” pekik Rian kemudian menendang perut pria itu.Pria itu terbatuk-batuk. Ia terlihat sangat ketakutan. Dua orang pria yang tak lain rekan Rian langsung menarik lengan pria yang diikat dengan tambang. Mereka menyeret pria itu dan segera membawanya ke lantai atas. Pria itu sontak berkata kembali.“Jangan! Aku benar gak tau! Wajahnya pake masker. Dia cuma ngasih perintah dan bayar kami. Udah gitu dia pergi!”“Benar, emang dia gak lihatin wajahnya,” timpal pria asing lainnya.Rian mendengus pelan. Benar-benar tidak masuk akal!Namun dari tatapan mer
“Sulis, kemana calon cucu menantu? Mama pengen ketemu. Sudah lama dia gak datang. Apa hubungan mereka baik-baik aja?”Hanum bertanya pada Sulis soal Serina. Dengan berjalan tertatih, Hanum menghampiri Sulis yang tengah berdiri di depan kompor. Sulis sedang memasak puding untuk mertua kesayangannya. Ia sedang menginap di rumah Hanum.Mendengar suara Hanum, Sulis buru-buru mematikan kompor dan menghampirinya. “Mama, mau apa? Nanti Sulis ambilin. Mama kan lagi kurang sehat. Mama diam aja di kamar.”Hanum terlihat berwajah masam mendengar nasehat menantunya. Ia tidak mau diperlakukan seperti orang sakit dan orang jompo meskipun kenyataannya demikian.Alih-alih merespon menantunya, Hanum kembali berkata dan menanyakan Serina. “Kenapa kamu gak ajak Serina? Mama kepikiran dia terus. Bagaimana kabarnya?”Sulis terdiam mendengar rentetan kalimat yang mama mertuanya sampaikan. Ia malas membahas soal gadis itu. Sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan jika Serina sepertinya bukan gadis yang cocok
Rosa menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu perlahan. Saat wajahnya muncul di balik pintu, suara-suara langsung berhenti sejenak. Namun, tatapan penuh kebencian dan curiga segera menghujaninya. Arum melangkah maju dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya.“Akhirnya kau berani keluar,” katanya dengan nada mengejek. “Sekarang, beri kami jawaban. Apa yang sebenarnya kau sembunyikan?”Malam itu, Rosa sadar bahwa hidupnya di tempat ini mungkin tak akan pernah sama lagi.“Aku tidak menyembunyikan apapun,” jawab Rosa dengan tegas.Rosa berdiri di tengah kerumunan warga yang berteriak penuh amarah. Mata mereka menyala dalam kebencian, jari-jari mereka menunjuk tajam ke arahnya. Hujan turun rintik-rintik, membasahi wajahnya yang telah lebih dulu dibasahi air mata.“Kamu wanita murahan! Pergi dari sini!” seru seorang lelaki tua, wajahnya memerah karena emosi. Ia juga terprovokasi oleh para wanita di sana.Seorang wanita lain, yang pernah bersikap baik pada Rosa sebelumnya, kini ikut be
“Sayang, mau mandi? Ayo Kakak bantu,” ujar Beryl berniat membantu istrinya. “Jangan mikir macam-macam! Kamu pasti lengket badannya,”Beryl sudah berjanji pada dirinya sendiri, akan merawat istrinya sebaik mungkin.Laila terperangah. Beryl memang serius ingin merawatnya. Namun, ia menahan diri. Sebetulnya ia sudah bisa berjalan meskipun belum bisa seperti orang normal. Hanya saja, ia ingin memberikan kejutan padanya. “Bantu aku aja ke kamar mandi,” imbuh Laila dengan tersenyum lembut.Beryl berjongkok lalu mengangkat tubuh Laila ke kamar mandi. Bahkan membawakan pakaian untuknya. Seharian di pelaminan membuat mereka merasa gerah dan berkeringat. Mereka mandi bergantian. Laila keluar dari kamar mandi sudah berganti pakaian dengan piyama lengan panjang. Beryl menyambutnya dengan senyuman yang hangat. Saat Laila mendekat, Beryl menatapnya sejenak. Selain Laila, Beryl juga belum terbiasa melihat penampilannya tanpa hijabnya. Laila tampak seperti seorang gadis muda berusia tujuh belas ta
Langit Jakarta bertabur cahaya keemasan ketika malam mulai merayap perlahan. Gedung hotel mewah bintang lima itu berdiri megah di antara gedung-gedung pencakar langit lainnya, menjadi saksi sebuah pernikahan yang begitu dinanti. Di dalam aula yang luas, dekorasi bernuansa putih dan emas menyelimuti setiap sudut. Lampu kristal bergemerlapan di atas, sementara lantunan ayat suci Al-Qur’an mengalun syahdu, mengiringi kebahagiaan dua insan yang kini telah sah menjadi suami istri.Laila, dalam balutan gaun syar’i berwarna putih gading, tampak begitu anggun. Wajahnya yang selalu teduh kini berseri lebih dari biasanya. Sementara Beryl, dalam setelan khas pria Timur Tengah, tak bisa menyembunyikan binar bahagianya. Lelaki itu menatap istrinya dengan mata penuh takjub, seolah masih tak percaya bahwa gadis kecil yang dulu pernah ditolongnya kini telah menjadi pendamping hidupnya.Saat itu, keduanya duduk bersisian di pelaminan, menerima tamu yang datang silih berganti. Laila tersenyum lembut,
Laila duduk di ruang tamu rumahnya yang luas. Seorang perancang kondang dari Paris, Madam Coett, tengah sibuk menata beberapa gaun pengantin mewah di hadapannya. Meski masih duduk di kursi roda, Laila kini sudah bisa berjalan meskipun beberapa langkah. Itulah sebabnya, ia sangat bersemangat mencoba satu per satu gaun yang akan dikenakannya saat pesta pernikahannya di Indonesia.“Mademoiselle Laila, saya rasa yang ini akan sangat cocok untuk Anda!” kata Madame Coett sambil mengangkat gaun berlapis renda dengan ekor panjang.Laila tersenyum dan menyentuh lembut kain sutra itu. “Sus, bantu aku berjalan,” perawat Febi, pintanya pada pengasuh setianya. Ia harus berjalan sedikit untuk menatap cermin di depannya. Perawat Febi dengan sigap membantu Laila berdiri. Meski masih harus berpegangan pada kursinya, ia merasa lebih kuat dari sebelumnya. Gaun itu segera dikenakan, dan begitu ia melihat bayangannya di cermin, matanya berbinar.“Cantik sekali,” gumam Laila penuh kagum. Ia memang bukan g
Rosa menatap dua garis merah di test pack dan foto USG yang digenggamnya. Tangannya gemetar. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia merasa bisa mendengarnya sendiri. “Tidak mungkin,” bisiknya, suaranya bergetar. Tapi kenyataan sudah terpampang jelas di hadapannya. Dua garis itu nyata. Ia hamil. Rosa merosot ke lantai kamar mandi, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang hendak pecah. Ini semua gara-gara malam itu. Malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Rosa merutuki kebodohannya sendiri. Tapi yang sudah terjadi tak bisa diubah. Ia berpikir semuanya akan berlalu begitu saja. Rosa wanita yang cerdas. Ia bahkan meminum obat kontrasepsi setelah melakukan hubungan terlarang itu. Ia juga tidak mau hamil di luar nikah. Namun ternyata takdir berkata lain. Sekalipun, ia berusaha menolak, takdir memiliki cara sendiri untuk datang.Rosa menutup matanya rapat-rapat. Napasnya tersengal. “Apa
Senyum Rahes perlahan muncul. Ia mengangguk dan kembali menatap Ali. “Jika ini yang terbaik untuk Laila, aku merestui.”Sulis yang sejak tadi menunggu momen ini, segera membuka kotak beludru yang dibawanya. Di dalamnya, terdapat cincin emas putih bertatahkan berlian kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Dengan penuh kelembutan, Sulis mengambil cincin itu dan berlutut di depan Laila.“Laila, izinkan aku mewakili Beryl untuk menyematkan cincin ini di jarimu sebagai tanda bahwa kau telah menjadi calon menantuku,” kata Sulis dengan suara bergetar penuh haru.Laila menatap cincin itu dengan mata berbinar, lalu perlahan mengulurkan tangannya. Dengan hati-hati, Sulis menyematkan cincin itu di jari manisnya. Suasana dipenuhi rasa haru, terutama bagi Yuda yang tanpa sadar menitikkan air mata bahagia.Yuda merasa bermimpi jika gadis kecil yang dibesarkan olehnya ternyata sudah ada yang melamar. Namun ia merasa senang sekali. Ia berpikir jika Laila menikah dengan Beryl maka ia juga akan mud
Rosa menghela nafas, lalu melangkah mundur, membiarkan Pasha masuk ke dalam kamar sempitnya. Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti mereka berdua. Pasha berdiri canggung di tengah ruangan, sementara Rosa berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil segelas air, lalu meneguknya tanpa tergesa-gesa.Kemudian ia pun membawakan air minum untuk Pasha.“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Rosa akhirnya setelah menaruh nampan berisi segelas air minum.Pasha mengembuskan napas panjang menatap Rosa yang duduk di sebelahnya. “Rosa, aku... aku ingin minta maaf.”Rosa menoleh padanya, mata gelapnya menelisik. “Untuk apa?”Pasha mengatupkan rahangnya, merasa semakin bersalah. “Untuk tadi malam. Aku seharusnya... aku seharusnya lebih kuat menahan diri. Aku merasa bersalah. Aku ingin bertanggung jawab.”Rosa tersenyum kecil, tapi senyumnya tidak sampai ke matanya. Ia meletakkan gelasnya kembali ke meja, lalu berjalan mendekat. “Kenapa kamu merasa bersalah?” tanyanya pelan. “Karena kamu pikir
Pasha terbangun dengan kepala berat. Pandangannya masih kabur, tubuhnya terasa lelah. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi ingatannya seperti kepingan puzzle yang tidak bisa tersusun dengan benar. Ia menoleh ke samping. Kosong.Pasha mengangkat tubuhnya perlahan, menyandarkan kepala ke sandaran tempat tidur. Kamar ini bukan kamarnya. Ia menatap langit-langit, mencoba mengingat sesuatu. Samar-samar, ia mengingat seseorang bersamanya tadi malam. Sosok seorang wanita. Tapi siapa?Tangannya meraba ke meja di samping tempat tidur, mengambil ponselnya. Saat ia membuka layar, sebuah pesan masuk dari salah satu temannya.[Pasha, lo aman? Semalam gue lihat Rosa yang anter lo ke hotel. Lo mabuk berat.]Jantungnya berdetak lebih cepat. Rosa? Pasha buru-buru membuka riwayat panggilannya. Ada beberapa panggilan tidak terjawab dan satu panggilan dari Rosa sekitar tengah malam. Ia menelan ludah.“Tidak mungkin…” gumamnya dengan perasaan yang gelisah.
Beryl duduk dengan gelisah di ruang tamu, menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin sejak tadi. Berhadapan dengannya, Rahes duduk dengan sikap yang sedikit terlalu santai untuk seorang pria yang sedang diuji kesabarannya. Rahes baru saja tiba di rumah. Ia langsung menemani pemuda itu di sana. Sementara itu, Laila duduk di sebelah sang ayah dengan perasaan yang tak kalah gugup. “Pak Rahes, aku ingin melamar Laila,” imbuh Beryl akhirnya, dengan nada penuh keyakinan dan percaya diri. Ia sangat yakin jika Laila akan menerima cintanya. Jika tidak, ia akan sedikit memaksa. Lama kelamaan Laila akan jatuh cinta padanya. Begitulah isi kepala pria berhidung bangir itu.Rahes menaikkan sebelah alis, menatap Beryl dengan ekspresi setengah geli, setengah skeptis. “Oh? Langsung ke inti, ya? Aku suka anak muda yang to the point. Sayangnya, aku gak suka anak muda yang gak bisa membaca situasi.”Beryl mengerutkan dahi. “Maksudnya?”Rahes meletakkan cangkirnya dengan bunyi kecil di meja. “Aku baru s