Have a great day my lov
“Jeena!”Manggala terpekik kaget saat ia tidak menemukan Jeena di dalam ruangannya. Tatapannya menyisir sudut ruangan itu dengan tajam. “Mas Gala, ada apa?”Jeena tampak keluar dari toilet di ruangannya. Ia juga terkejut saat mendengar suara Manggala yang nyaring.Manggala menghela nafas panjang ternyata Jeena ada di ruangannya. Pikirannya sudah berkelana ke sana kemari. Ia takut jika kekasihnya diculik. Ia mengusap dadanya beberapa kali. “Maaf, aku meninggalkanmu. Tadi aku berbincang dengan perawat soal Alex,”Manggala menahan diri untuk tidak menceritakan kondisi Alex yang cukup kritis. Ia tidak ingin membuat Jeena khawatir. “Mas, bagaimana kondisi Bang Alex?” tanya Jeena dilanda penasaran. Hingga detik itu, Jeena masih merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Bang Alex. Ia selalu menyalahkan dirinya.“Jeena, Alex masih harus dirawat. Kamu gak usah khawatir ya! Yang terpenting Alex sudah ditangani. Kamu harus percaya Tim dokter,” imbuh Manggala setelah berusaha menormalkan perasa
Malam itu di sebuah restoran Timur tengah yang terletak di dekat rumah sakit di mana Hanum dirawat, dua orang wanita dewasa terlihat sedang duduk mengobrol dengan serius. Di tangan mereka, ada secangkir teh khas Arab. Mereka meneguknya dengan perlahan. Mereka adalah Ana dan Sulis.Beberapa kali Ana terlihat menghela nafas panjang kemudian meneguk teh favoritnya supaya menenangkan perasaannya yang tak karuan. Menaruh cangkir teh Adeni yang sudah kosong, wanita berhidung bangir itu pun mulai menceritakan kronologis apa yang terjadi pada putrinya. Sementara itu Sulis memasang wajah serius menyimak penjelasan Ana.Setelah penjelasan selesai, Sulis pun berkomnetar. “Ana, kita harus segera kirim Jeena keluar negeri kalau begitu. Lebih aman! Di sana dia juga pasti senang karena bisa kuliah. Bukankah dia ingin segera kuliah?” imbuh Sulis berusaha berbicara tenang. Namun dalam hati ia merasa sangat gelisah. Barusaja Manggala mengirim sebuah pesan yang menceritakan soal sniper yang berusaha menc
“Jadi siapa pelakunya?”Manggala bertanya pada Kombes Hasan tentang perkara insiden kejadian penembakan yang tertuju pada Jeena.“Yang pasti bukan pihak Satria dan Paramita. Dari kaliber yang digunakan biasanya dipakai oleh mafia. Jujur, saya mencurigai seorang mafia sekaligus pengusaha. Dia bukan orang sembarangan. Sniper itu orang suruhannya yang sudah terlatih. Dia juga bukan gagal menembak. Atau istilahnya meleset. Dia seorang profesional. Namun sepertinya dia mengalihkan tembakannya karena sesuatu hal.”Kombes Hasan menghisap cerutunya dengan begitu nikmat. Secangkir kopi dan sebatang cerutu menemani pertemuannya dengan Manggala malam itu di sebuah kedai kopi bergaya vintage.Manggala mengerutkan keningnya mendengar penjelasan Kombes Hasan. Ia sedang berusaha mencerna situasi. Asumsinya juga sama. Namun ia tak lantas menarik kesimpulan sebelum data yang ditemukan valid.“Laporan sudah masuk. Tapi pelaku sniper belum ada tanda-tanda ditemukan?” imbuh Manggala mempertanyakan soal sn
“Mas?” imbuh Jeena mendekati pria yang tak asing itu. Manggala terlihat tampan dalam balutan casual. Sehelai kaos putih dan celana panjang berwarna light blue. Jauh dari kesan penampilannya yang mirip eksekutif.Saat menyadari ada tamu, Rosa langsung menyingkir dari hadapan mereka. Jeena menyongsong Sagara kemudian memangkunya. “Anak Mama, lagi main sama siapa nih?” tanya Jeena seraya mencium pipi tembem putranya. Sagara yang dicium namun Manggala yang tertangkap basàh tersenyum mesem.“Papa Gala,” jawab Sagara yang terlihat jujur dan menggemaskan. Tatapan Jeena kini terpacak pada Manggala. “Kita ngobrol di taman aja ya Mas,”Manggala mengangguk pelan. Jeena pun menyerahkan putra tampannya pada babysitter Linda. Kini mereka berdua duduk di taman dan mulai berbincang.“Ada apa Mas tumben ke sini?” tanya Jeena penasaran melihat Manggala yang bertamu tiba-tiba ke rumahnya.Manggala menghela nafas panjang kemudian bersuara. “Jeena, kamu yakin mau pergi ke Manhattan lusa?”Jeena terdiam. M
Ana mematut di depan cermin, memperhatikan penampilannya. Malam itu ia akan makan malam bersama dengan putrinya di sebuah restoran western. Jeena dan Manggala memiliki sebuah rencana untuk menyatukan dua keluarga besar yang sempat bersitegang. Mungkin dengan adanya pertemuan secara langsung, mereka bisa mengatasi masalah mereka yang sudah berlalu. Bahkan Jeena sudah memberitahu ibunya soal rencana makan malam itu. Ia tahu jika ibunya tidak akan keberatan. Namun ia tidak memberitahu ayahnya soal pertemuan itu. Ia hanya mengatakan pada ayahnya makan malam bersamanya.Jeena merasa tegang tak seperti ibunya yang merasa tenang. Beberapa kali ia buang air kecil karena dilanda gugup. Menyadari mimik wajah putrinya yang terlihat tegang, Ana terkekeh pelan.“Sayang, kamu kenapa? Menurut Mama ini ide bagus. Kalian memang bersikap bijak. Mami salut pada kalian.”Jeena tidak terlalu menyimak perkataan ibunya, ia sedang mencari seribu alasan untuk ayahnya nanti. Dr Zain pasti akan terkejut saat a
“Jadi guru tidak sabar! Jadi ustazah apalagi! Kerja kantoran apalagi tidak sesuai dengan ijazah,” omel seorang wanita berkerudung lavender pada putrinya yang sedang asik membaca koran dan mencari pekerjaan yang sesuai dengan skill dan ijazah yang dimilikinya. Ia sedang asik melingkari baris iklan tentang lowongan pekerjaan dengan spidol berwarna merah. “Ibu, jangan ceramah terus! Apa Ibu gak cape gitu ngomel-ngomel terus? Seret Buk tenggorokan. Masih mending Ibu ngisi seminar. Capek-capek cuap-cuap juga dapat audiens dan dibayar. Lah, ini cuap-cuap bising iya. Dibayar juga kagak,” jawab gadis muda itu dengan helaan nafas pelan.Sudah dua jam lamanya, ia hanya menghabiskan waktunya dengan tengkurap di atas sofa bed mencari lowongan pekerjaan.“Sok-sokan pake nolak perjodohan coba. Kamu tahu, kamu sudah menyia-nyiakan kesempatan emas. Seharusnya kamu beruntung. Ayahmu punya sahabat orang kaya. Anaknya ganteng, baik, sholeh. Oh, ya, satu lagi, anaknya bahkan sudah punya usaha hotel. Kur
“Mas, apa kamu setuju?” tanya Putri Melati pada pria tampan di sampingnya. Jujur, dalam lubuk hati terdalam, ia takut mendengar jawaban suaminya yang tak diharapkan. Ia hanya ingin putranya mendapatkan cintanya. Kebahagiaan Manggala adalah segalanya.Saat istri tercinta menyentuh lengannya dengan lembut, Aldino menoleh ke arah istrinya dengan tatapan yang sukar diartikan. Seperti sebuah tatapan yang mengandung emosi. Aldino terlihat menyelami hatinya melalui tatapan itu.Semua orang yang berada di sana sangat penasaran menunggu detik demi detik Aldino mengiyakan permintàan Manggala dan Jeena. Detik-detik yang sangat berharga. Siapapun orang tahu jika pria itu memiliki sifat yang keras kepala dan temperamen. Sekali ia mengambil keputusan, maka ia tidak akan mengubah lagi keputusannya.Aldino hanya menatap wajah istrinya dengan perasaan yang campur aduk. Wanita yang dinikahinya itu begitu berhati lembut dan baik. Bagaimana bisa ia memaafkan Ana yang sudah menyakitinya. Karena Ana patah
“Tidak Ayah! Kita tidak boleh menyerah.”Danar merespon ayahnya dengan penuh amarah. Sang ayah tiba-tiba datang ke rumahnya tanpa mengabarinya terlebih dahulu.Begitupula dengan Diajeng yang menatap tajam suaminya. “Tidak Mas! Yang benar saja! Kita tidak akan pernah menjual perusahaan yang sudah lama kita rintis. Pasti ada jalan keluar lain!” “Bu, semua sudah terlambat. Coba tanyakan pada anakmu? Pengusaha mana yang mau membeli perusahaan yang nyaris kolaps. Kita pulang saja ke Jogja. Di sana kita masih punya aset. Daripada perusahaan kita jatuh pada Miguel Eduardo. Perusahaan Waluyo masih memberikan harga yang masuk akal.”Adi Yudistira menjelaskan dengan apa adanya. Tentu saja, seperti anaknya, ia juga merasakan sebuah kekecewaan yang berat. Namun setidaknya mereka masih memiliki aset. Bagaimanapun, mereka juga sudah berbuat semaksimal mungkin untuk mempertahankan perusahaan. Ada banyak faktor yang menyebabkan perusahaan Yudistira gulung tikar. Posisi Danar yang bermasalah dalam se
“Udah kenyang?” tanya Alby sambil menyandarkan punggung ke kursi mobil, menatap Levina yang sedang menatap layar ponselnya. Levina mengangguk pelan, enggan membalas tatapan lelaki itu. “Iya.”“Tadi kamu makan banyak juga ternyata,” gumam Alby, menggodanya setengah serius. “Aku kira kamu tipe sarapan angin,”Levina menyipitkan mata, menahan senyum. “Saya masih manusia, By,” “Sayang, kamu belum ketemu dengan Daddy,” ujar Alby tiba-tiba, masih menatap Levina dari samping, mengamati gerak-geriknya yang membuatnya penasaran.“Memang Daddymu kemana?” tanya Levina memasukan ponselnya ke balik saku jaketnya.“Daddy lagi di rumah Nena Hanum. Biasa, Nena udah tua jadi sering sakit-sakitan,” jawab Alby kemudian memanaskan mesin mobilnya.Hari itu Alby ingin menghabiskan waktu berdua dengan Levina setelah mengajaknya sarapan pagi dengan keluarganya.“Eh, aku mau ajak kamu ke suatu tempat, boleh?” pinta Alby mencoba-coba. Karena ia tahu jika Levina susah sekali diajak pergi berduaan.“Ke mana?” t
Pagi itu, aroma ayam kecap menyeruak dari dapur hingga ke ruang makan. Meja sudah ditata rapi dengan piring-piring putih dan nasi hangat mengepul. Di sudut ruang, suara bayi kecil terdengar pelan, Mariyam sedang mengoceh di pelukan neneknya, Mommy Sulis. Levina duduk di meja dengan punggung sedikit kaku. Matanya melirik Alby yang sibuk menuangkan teh ke gelas-gelas.“Jangan duduk kayak kamu lagi disidang, Lev,” bisik Alby sambil menyenggol pelan sikunya.Levina menoleh cepat. “Aku gak terbiasa... sarapan keluarga kayak gini.”Mungkin lebih tepatnya. Ia selalu sarapan seorang diri.“Berarti kamu harus mulai biasain. Soalnya ini... bakal jadi rutinitas kamu nanti,” balas Alby setengah menggoda, setengah serius.Levina hanya mendengus pelan, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit.Sisi lain, Beryl dan Laila sudah duduk lebih dulu di ruang makan.Beryl menatap istrinya yang terlihat pucat. “Bisa makan ayam kecap?”Laila diam namun dengan sedikit meringis. “Aku coba, Kak. Moga aja gak mual,
Parkiran itu masih basah sisa hujan semalam. Lampu-lampu jalan menerangi aspal dengan cahaya kuning pucat. Alby sedang duduk di atas motornya, memainkan nada-nada pelan dengan jemari di pahanya, seolah ada piano tak kasat mata di sana.Levina berdiri di depannya. Dingin, seperti biasa. Jaket hitamnya masih basah di pundak, tapi wajahnya tak menunjukkan rasa dingin sedikit pun.Levina menatap Alby dengan tatapan rumit. “Menikahlah denganku.”Hening.Lalu Alby menjatuhkan jaket yang tadi disampirkan di bahunya. “Aku mimpi, kan?”“Tidak.”Levina mengeluarkan map cokelat dari tasnya. “Ini kontrak pernikahan. Setahun. Aku butuh ini untuk memenuhi syarat warisan. Ayah ngotot aku harus menikah dulu sebelum bisa dapat akses ke sebagian aset dan warisan almarhum Kakek.”Alby menatap map itu seolah sedang menatap alat musik rusak. “Jadi... bukan karena kamu nerima cintaku?”“Tidak,” jawab Levina cepat. Lalu menambahkan, “Tapi karena kamu bisa diandalkan.”Alby mengerjapkan mata. “Itu pujian ata
“Gue punya Mariyam sekarang,” ucap Beryl pelan. “Anak perempuan mungil yang matanya selalu nyariin bapaknya kalau bangun. Lo tahu perasaan itu? Lo gak bisa bayangin jadi seorang papa,”Alby tidak menjawab. Ia juga ingin merasakan menjadi seorang ayah. Namun, naasnya, ia belum mendapat jodohnya.“Laila pasti kecewa banget kalau tahu gue balik ke jalanan, meskipun cuman jadi penonton. Buat Laila, gue udah selesai sama kegiatan unfaedah. Gak ada balapan, minum dan nongkrong yang gak jelas. Gue … udah tobat.”Alby menunduk, menyembunyikan ekspresi kecewa yang mulai muncul. Tapi ia tidak marah. Ia mengerti. Hanya saja, hatinya terasa hampa malam itu, dan ia berharap kebersamaan mereka bisa mengisi ruang kosong itu meski sebentar.“Aku bukan ayah. Bukan suami. Dan satu-satunya hal yang kurasa aku bisa lakukan dengan benar adalah menaklukkan aspal dan tikungan,” gumam Alby.“Lo lebih dari itu,” potong Beryl lembut. “Lo adalah saudara kembar gue. Dan gue lebih kenal lo daripada lo sendiri, By,
Pukul satu dini hari. Salah satu kamar di kediaman Sulis yang sunyi kini terdengar berisik karena suara cucunya. Laila melahirkan seorang bayi perempuan untuk keluarga Basalamah. Kini bayi cantik yang mirip sekali sang ayah sudah berusia lima bulan.Malam itu buah hati hasil pernikahan Laila dan Beryl sedang sakit setelah menempuh perjalanan udara dari Malaysia, menemui kakeknya.Beryl membuka mata dengan satu kelopak, pelan-pelan, berharap itu cuma mimpi. Tapi tangisan itu nyata dan makin keras. Tangisan Mariyam memantul di dinding kamar.“Sayang… giliran kamu…” gumamnya sambil menepuk sisi ranjang yang kosong.Sayang, Laila tidak ada di sisinya.Beryl langsung terduduk, panik. “Laila?”Dari kamar mandi terdengar suara orang muntah. Beryl menghela napas. “Lagi?”Beryl pun berinisiatif langsung memangku bayi cantiknya yang berada di dalam box bayi ke dalam pelukannya. “Sayang, mau minum susu ya? Tunggu Ummi ya,”Naasnya, Mariyam tidak mau diam. Ia terus menangis dan meronta hingga memb
Suara sendok dan garpu beradu pelan di ruang makan besar yang dingin. Levina menatap kosong piring di depannya, sementara Mahesa, mantan jenderal yang kini lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerjanya, duduk tegak seperti sedang memimpin rapat penting. Agatha, ibu tiri Levina, menyajikan sup dengan senyum dipaksakan, seakan tak ingin suasana makan malam itu berubah menjadi perang dingin seperti sebelumnya.Setelah sekian lama, akhirnya Levina bersedia datang ke rumah sang ayah malam itu. Ia berusaha berdamai dengan keadaan. Ia pulang ke rumah Mahesa.“Bagaimana pekerjaanmu sekarang, Levina?” tanya Agatha, berusaha mencairkan suasana.Levina hanya mengangguk. “Baik.”Mahesa menaruh garpunya. “Kamu kerja sebagai pengawal di keluarga Basalamah!”Deg,Dari mana ayahnya tahu soal pekerjaan yang dilakukannya? Oh, Levina lupa jika ayahnya masih punya kekuasan. Dengan mudah ia menyuruh seseorang untuk membuntutinya.Levina diam tidak berkomentar. Ia sàdar, jika ia salah ucap, bisa terjadi
“Wah, topimu keren banget, Levina. Tapi sepertinya... terlalu besar buat kamu.” Dengan cepat, Alby meraih topi itu dan menaruhnya di kepalanya dengan senyum tengilnya.Bisa-bisanya pemuda berhidung mancung itu menggoda Levina di depan ayah Levina. Bahkan mereka masih berada di lingkungan kantor polisi.Levina sontak terkejut, mencoba meraih topi itu. “By, itu topiku! Apaan sih kamu,” protes Levina dengan wajah serius seperti biasa. Naasnya, topi itu sudah ada di kepala Alby yang tersenyum lebar. Alby memasang wajah sok serius, “Hmm, topi ini lebih cocok di aku, Levina. Coba lihat, kan aku terlihat keren!” Dia mulai berjalan beberapa langkah menjauh, pura-pura seperti seorang model.Sulis yang sedang mengobrol dengan Mahesa hanya mendengus pelan melihat kelakuan mereka. Levina menyipitkan mata dan bersiap-siap mengejar. “Kamu pikir topi itu cocok di kamu? Kalau begitu, aku harus ambil kembali!” Dengan cepat, Levina berlari ke arah Alby.Mereka sudah berada di tempat parkir kantor po
Di kediaman Sulis, suasana menjadi tegang. Sulis hampir saja menjatuhkan gelas tehnya saat seorang polisi mengetuk pintu rumahnya. Dengan wajah cemas, ia buru-buru membuka pintu dan mendapati dua petugas kepolisian berdiri tegap.“Bu Sulis? Kami dari kepolisian ingin berbicara dengan putra Anda, Alby. Ada laporan insiden perkelahian yang melibatkan dirinya.”Sulis merasakan jantungnya hampir berhenti. “Perkelahian? Alby? Tidak mungkin. Dia pianis, bukan petarung jalanan!”Salah satu polisi menunjukkan dokumen laporan. “Kami hanya menjalankan tugas, Bu. Menurut laporan, putra Anda terlibat dalam baku hantam dengan seorang pria bernama Roger, di sebuah pantai di Bali.”Sulis memijit pelipisnya, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba meledak ini. “Ini pasti ada kesalahpahaman. Alby tidak mungkin mencari gara-gara.”Semalam Alby baru pulang namun ia langsung masuk ke dalam kamarnya dan tidak menceritakan apapun soal kejadian di Bali.“Kami akan tetap membutuhkan keterangannya. Bisa kami t
Setelah konser selesai, Levina berpikir mereka akan langsung pulang. Namun, Alby malah berbelok ke arah pantai. Tentu saja, pemuda itu tidak akan menyia-nyiakan waktu bersamanya. Ia tahu, sangat sulit mengajak Levina pergi berdua. Dan, ini adalah kesempatan emas baginya. “Aku mau pulang ke hotel,” kata Levina dengan ekspresi datarnya.Alby menoleh sambil tersenyum. “Kau serius? Setelah menghabiskan tiga jam mendengarkan konser tanpa ekspresi, aku yakin kau butuh udara segar.”Levina mendengus. “Konsernya bagus, hanya saja terlalu lama.”Alby terkekeh. “Oh? Lalu kenapa kau ketiduran?”Levina mendelik. “Aku tidak ketiduran.”“Aku harus menyenggolmu supaya kau tidak jatuh dari kursi,” balas Alby sambil menggoda.Levina mendecak, malas berdebat. Mereka berjalan menyusuri pasir pantai yang dingin, diterangi cahaya bulan yang memantul di permukaan laut. Suara deburan ombak menemani langkah mereka.Dari kejauhan, mereka seperti sepasang kekasih yang sedang menghabiskan waktu berduaan.Alby