“Mami, aku sudah selesai mewarnainya.” Suara kecil itu terdengar semangat tapi ada nada sedikit lemah di dalamnya. Gambar itu diberikan kepada Permata dan Permata melihatnya sebelum bersuara.“Ini bagus sekali. Angkasa udah ngantuk sekarang?” Permata mengelus kepala bocah itu dengan lembut dan anggukan kecil terlihat. “Iya, Mami.” Namun meskipun kantuk itu sudah menggelayut di matanya, bocah itu masih menyempatkan diri untuk membereskan barang miliknya. Memasukkan pensil warna ke dalam kotaknya, pensil dan penghapus ke dalam kotak pensil, dan menumpuk buku-buku tipis menjadi satu. Namun, pergerakannya terhenti ketika sebuah suara terdengar memanggilnya.“Angkasa.” Dan seketika, bukan hanya Angkasa yang mendongak untuk menatap ke sumber suara, tapi tiga orang lainnya melakukan hal sama. Kebekuan seketika tercipta, dan Denial seketika melompat dari tempat duduknya. Berjalan cepat ke arah Axel dengan rahang menguat dan kepalan tangannya membulat.“Pergi dari sini!” usirnya. “Jangan s
“Kita selesaikan masalah kita malam ini sampai tuntas.” Permata melanjutkan. Di dalam pikiran perempuan itu, dia harus memutus hubungan apa pun yang ada di antara mereka. Masa bodoh dengan keinginannya untuk balas dendam atas masa lalu yang terjadi. Sekarang, dia hanya perlu fokus pada kehidupannya dan putranya. Jujur saja, ada ketakutan yang menggelayut di dalam hati Permata jika Axel bersikeras mengambil putranya. Bagaimanapun Axel adalah lelaki berpengaruh. Dia bisa melakukan hal-hal keji untuk mendapatkan apa yang diinginkan. “Jadi, Angkasa adalah putraku?” Axel mengeluarkan suaranya tidak seperti biasanya. Suara itu tak terdengar seperti biasanya yang tegas dan berwibawa. Jika Permata tidak salah mengartikan, maka suara itu mengandung rasa sakit dan penyesalan. Tapi, Permata menepis semua pikiran itu karena dia tahu, Axel tidak akan merasakan perasaan seperti itu. Lelaki berhati dingin itu hanya bisa melakukan kekejaman. “Benar. Dia adalah putramu secara harfiah. Tapi kamu t
“Kamu ini bicara apa, Axel?” Akhirnya, ibu Axel menanggapi lebih dulu. Perempuan itu tersenyum, tapi senyum itu hanya sebuah senyuman kaku yang tampak tidak tulus. Jelas, jika perempuan itu merasa sedikit terkejut. Mungkin saja, dia juga sedang menolak pikiran buruk tentang putranya. “Aku serius, Ma.” Dan saat kalimat itu keluar dari mulut Axel, sebuah tamparan keras bersarang di wajah lelaki itu. Sudut bibir Axel segera mengeluarkan darah dan panas di pipinya menyeruak keluar. Benar, kan, ayahnya tidak akan membiarkannya begitu. Pekikan ibu Axel terdengar.“Papa, jangan pukul lagi … jangan pukul lagi.” Perempuan itu menarik tangan sang suami dan menjauhkan dari putranya. “Papa, kita bicarakan baik-baik.” “Bicarakan baik-baik seperti apa?” Lelaki paruh baya itu dipenuhi emosi saat mengatakan itu. Matanya bahkan melotot menatap Axel yang ada di depannya.“Katakan, bedebah mana yang mengajarimu berperilaku menjijikkan seperti itu! Kami bahkan tidak pernah mengajari hal-hal buruk!”
“Jam berapa biasanya Berlian datang?” tanya ibu Axel. Seumur hidupnya, orang tua Axel tidak pernah mendapatkan penolakan. Mereka adalah orang-orang terhormat yang akan disambut hangat di mana pun mereka berada. Sekarang, karena Axel, mereka justru mendapatkan perlakuan kurang baik. Berbeda dengan ibu Axel yang tampak sabar, ayah Axel justru tidak mengatakan apa pun. Tapi auranya menggelap bak awan mendung yang ingin segera menumpahkan hujan. “Tidak tentu, Bu. Bisa sangat malam, bisa juga sore sudah pulang.” Penjaga rumah menjawab dengan sopan meskipun raut wajahnya dingin. Kini Nyonya Rita menatap ke arah suaminya yang sejak tadi hanya diam membisu. Entah apa yang sedang di pikiran lelaki itu, namun sudah jelas, dia sedang memendam kemarahan. Denial yang ada di balik jendela kaca besar di ruang tamu, menatap adegan di luar pagar rumahnya dengan tenang. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana dan ekspresinya tampak sedingin salju. Dia pernah melihat pasangan paruh baya itu
“Kalian benar-benar memiliki hubungan di masa lalu?” Permata mungkin tidak pernah menyangka jika Axel akan mengatakan yang sesungguhnya kepada Gema. Tapi, bagaimanapun, Gema memang harus tahu. Katakanlah itu bukan karena Gema adalah bos Permata, tapi dia adalah sahabat Axel. Menjadi hal yang wajar ketika seorang sahabat mengetahui masalah sahabatnya. Jika sudah seperti ini, maka tidak ada lagi alasan Permata untuk menyembunyikannya. Tanpa berpikir pun dia tahu jawaban yang harus diberikan kepada Gema.Mengangguk. “Itu benar. Kami memiliki hubungan di masa lalu.”“Dan, putramu adalah putra Axel?”“Ya.” Gema dibuat sakit kepala untuk kesekian kalinya menghadapi permasalahan Permata yang seperti kejutan ulang tahun. Tidak pernah disangka sama sekali. Lelaki itu bahkan tidak mengatakan apa pun untuk melanjutkan. Semua kata hilang begitu saja. Ruangan Gema yang dingin semakin dingin karena informasi yang sudah dikonfirmasi langsung oleh yang bersangkutan. “Kalau begitu, saya tidak akan
“Axel tidak mengatakan tentang itu?” Axel yang sejak tadi hanya diam menutup mulutnya, kini memberikan tatapan tajam kepada Permata. Ada sebuah peringatan yang ditunjukkan lewat tatapan tersebut. Tapi, apakah itu berpengaruh terhadap Permata? Tentu saja tidak. Larangan adalah perintah. Jadi saat Permata melihat orang tua Axel penuh dengan kebingungan, maka dia segera menjelaskan detailnya. Menceritakan semuanya tentang perlakuan Axel yang brengsek di masa lalu dan latar belakang Axel melakukan itu. Cerita itu didengarkan dengan baik oleh kedua orang tua Axel tanpa ada sepatah kata pun yang terlewatkan. “Ibu dan Bapak mungkin pernah berpikir jika bisa saja putra saya bukanlah putra Axel. Tapi, saya tidak pernah tidur dengan lelaki mana pun kecuali dengan Axel.” Sebelum orang lain menduganya yang tidak-tidak, dia lebih dulu menjelaskan. Dengan begitu, tidak ada yang berani menuduhnya yang macam-macam. Dia tak butuh pengakuan dan tak butuh diakui. “Itu benar, Axel?” tanya sang ayah.
“Apa yang perlu kamu pikirkan, Permata? Angkasa adalah bagian dari kami. Dia juga berhak mengetahui siapa ayahnya.” Axel menjawab dengan nada tak terima. Dia lupa jika hanya dengan dia membawa orang tuanya menemui Permata dan Angkasa, lantas Permata akan memberikan akses kepada dia dan keluarganya untuk bisa bersama dengan Angkasa sesukanya? Itu hanya ada dalam pikiran konyol Axel. Alih-alih menjawab ucapan Axel, Permata melanjutkan ucapannya kepada dua orang tua yang ada di depannya. “Saya minta maaf kalau ini menyinggung perasaan Ibu dan Bapak. Tapi, selama ini Angkasa selalu dalam pengawasan saya. Jadi, saya tidak mengizinkan dia bertemu dengan sembarang orang.”“Tapi kami bukan sembarang orang, Berlian. Kami adalah kakek neneknya.” Ibu Axel masih berusaha.“Saya tahu, tapi itu tak lantas membuat saya memberikan kemudahan kepada Ibu dan Bapak. Ini sudah menjadi keputusan saya.” “Kalau begitu kami tidak akan menyerah,” lanjut ayah Axel. Permata tidak menjawab. Membiarkan Axel d
“Om Axel suka?” Pertanyaan itu terngiang di dalam pikiran Axel sampai dia kembali ke kantornya. Meskipun kebersamaan dengan Angkasa tidaklah lama, tapi setidaknya bisa mengobati kerinduannya. Meskipun begitu, dia tak bisa sering-sering melakukannya. Miss Windy mengatakan jika dia tidak ingin mengambil resiko dengan membiarkan Angkasa bertemu dengan orang asing tanpa sepengetahuan orang tuanya.Ya, andai saja orang tahu kalau Axel adalah ayah Angkasa, maka bertemu diam-diam tidak akan pernah dilakukan. Tapi itulah hasil dari perbuatannya yang dilakukan di masa lalu. Dia melakukan hal buruk, maka tentu balasannya juga akan lebih buruk. Inilah yang dinamakan karma. “Pak.” Tiba-tiba saja asisten Axel masuk ke dalam ruangan Axel dan sedikit mengejutkan lelaki itu. “Ada apa?” tanya Axel dengan ekspresi datar seperti biasa.“Ada kabar yang sedikit mengejutkan, Pak,” lapor Alvan. “Ibu Berlian sekarang menjadi pemegang saham tertinggi di Larena melampaui Ibu Leona. Saya baru saja mendapatk
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C