“Apa ini sakit?” Hanya sebuah pertanyaan sederhana yang mudah untuk dijawab. Hanya kata-kata tidak berarti jika itu bukan Axel yang menanyakannya. Terlebih lagi, dia bertanya kepada Permata yang notabennya adalah perempuan yang digosipkan memiliki hubungan dengannya. Di depan mereka, duduk seorang perempuan yang mengaku tunangan Axel. Jelas, situasi ini sedikit membingungkan. Permata yang merasa tangan Axel di pipinya, menoleh dan menatap lelaki itu. Siapa yang sangka kalau tatapan Axel mampu mengingatkan masa lalu yang sudah terkubur di dalam hati Permata yang paling dalam. Tatapan itu adalah tatapan lembut yang selalu Axel berikan kepada Permata saat dulu mereka masih bersama. Jantung Permata terasa semakin bergetar dan kedua tangannya begitu dingin. Beruntung, dia bisa segera tersadar dan dengan cepat menepis tangan Axel yang masih berada di pipinya. “Tolong jangan bersikap kurang ajar, Pak. Anda melakukan ini seolah saya wanita yang mudah dipegang oleh sembarang orang.” Axel
“Anda, pemilik Roque Glacio, bukan? Axel Bimasena?”Ini pertama kalinya dua lelaki itu saling bertemu. Tapi entah kenapa pertemuan itu seolah menunjukkan sesuatu yang berbeda dari keduanya. Atmosfer di antara mereka terasa mengeluarkan permusuhan yang begitu kental. Axel hanya menoleh dan memelankan treadmill-nya tanpa berminat menjawab. Lelaki Itu tak buta siapa lelaki yang berbicara kepadanya adalah Mario, lawan main Permata yang selalu dijodohkan oleh perempuan itu. “Saya membaca kehebohan yang terjadi beberapa hari ini tentang Anda dan Berlian. Sedikit mengejutkan. Tapi, saya percaya kalau Berlian tidak akan sembrono melakukan itu.” Mario berjalan di atas treadmill sambil terus berbicara meskipun tidak mendapatkan sambutan baik dari Axel. “Terkadang, orang-orang selalu membuat berita yang tidak berdasar.” Axel merasa tidak nyaman ketika Mario terus saja berbicara dengannya tentang gosip itu seolah dia tidak menyukainya. Lantas seringaian Axel menguar sebelum membalas ucapan lela
“Semoga Tuhan akan mengutukmu,” imbuh Permata sambil menatap Axel yang masih terlihat kesakitan. Rasa kesal yang ada di dalam hati Permata terasa menggebu-gebu seolah keluar begitu saja dan melampiaskannya pada Axel secara langsung. Tapi, selama lima tahun dia hidup di luar negeri, dia sudah belajar bagaimana mengendalikan emosinya. Bagaimanapun dia adalah public figure yang tidak boleh bertindak sembarangan. Namun ketika mendengar sebuah kenyataan yang dikeluarkan oleh Axel beberapa saat lalu, membuat Permata merasakan sakit luar biasa. “Axel, lo nggak papa?” Bayu berlari menyusul Axel di belakang dan segera memastikan Axel baik-baik saja. Melihat Bayu yang tampak khawatir kepada Axel, Permata memiliki kesempatan untuk pergi dari tempat itu. Tanpa menunggu lagi, dia berlari sekencang yang dia bisa dan tak terasa air matanya keluar begitu saja. Sakit di dalam hatinya kembali menyerangnya bertubi-tubi. Sampai di rumah, dia segera masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya dengan
“Berlian! Aku adalah penggemarmu.” Saat suara itu terdengar di telinga Permata dia segera berhenti dan sedikit terkejut mendengarnya. Dia masih menggandeng Angkasa dan kalau bocah itu sampai memanggilnya ‘mami’ maka sudah bisa dipastikan semua orang akan tahu jika dia sudah memiliki seorang anak. Namun mengejutkan, Angkasa merangsek ke belakang sambil melepaskan tangannya dari tangan Permata dan dia mendekati Denial. Mengangkat tangannya dan meminta lelaki itu menggendongnya. Hanya dengan sedikit pengertian itu saja, membuat Permata merasakan hatinya tercabik-cabik. Seharusnya anak sekecil itu belum mengerti tentang situasi seperti ini. “Hai!” Permata segera berbalik dan menyapa gerombolan perempuan yang mengaku fansnya. “Astaga, benar-benar Kak Berlian. Maaf karena mengganggu, kami benar-benar tidak bermaksud. Kami ingin meminta tanda tangan Kakak.” “Nggak masalah. Kalian nggak mengganggu sama sekali, kok.” Meskipun Permata menunjukkan keramahannya, tapi pikirannya bercabang ke
“Gawat.” Kata-kata itu menunjukkan jika pasti ada sesuatu yang tidak enak untuk didengarkan. Namun Permata mencoba untuk tetap tenang karena Almeda memang sering seperti itu. Melebihkan sesuatu yang biasa. “Ada apa, Al?” tanya Permata tak terpengaruh sama sekali. Permata dengan santai duduk di sofa sambil membuka-buka majalah di mana dia menjadi model cover majalahnya. “Kamu lihat!” Tab Almeda segera terlempar di pangkuan Permata dan sebuah social media heboh dengan kabar jika Permata memiliki seorang putra. Beberapa saat lalu, Permata merasa dia tak perlu mengkhawatirkan apa pun, tapi kali ini dirinya merasa terjebak dalam sebuah lubang hitam yang menyeramkan. Meskipun begitu, dia tidak menunjukkan kepanikannya. Dia menjaga dirinya agar tidak gugup. Tapi, siapa pun yang menyebarkan berita itu, pastilah sudah tahu banyak tentang dirinya. “Apa mungkin itu cewek-cewek tadi?” tanya Permata setelahnya. “Bukan. Karena berita itu bahkan sudah menyebar di dalam web berita. Aku dapet t
“Kamu bukan tandinganku. Kamu hanya perempuan murahan yang bahkan tak pantas membawakan sepatuku.”Sekali lagi, tawa Leona menggema di dalam ruangannya dengan perasaan puas, seolah dia sudah berada di titik tertinggi dalam hidupnya. Segera, dia beranjak dari duduknya, menenteng tasnya, kemudian pergi dari ruangan tersebut. Dia akan pergi ke rumah Axel untuk membicarakan kelanjutan ‘pernikahan’ yang dijanjikan oleh ibu Axel. Sedangkan Leona yang penuh dengan kebahagiaan, Axel sedang menunggu kabar dari seseorang yang menyelidiki kabar yang sedang beredar. Di berita jelas tertulis jika putra Permata berusia sekitar empat atau lima tahun. Sedangkan Pertama melakukannya untuk pertama dengan dirinya. “Pak!” Asisten pribadi Axel masuk dan memberikan laporan yang sudah ditunggu. “Katakan!” Axel duduk di kursinya dengan tatapan mengarah lurus pada Alvan. Asisten Axel itu berdehem sebelum bersuara. “Permata Berlian tidak pernah memiliki akta nikah. Dia pergi ke luar negeri lima tahun yang
“Katakan, siapa ayah anak itu.” Kejadiannya begitu cepat saat Permata merasa tangannya ditarik oleh seseorang sampai dia berdiri dari duduknya. Perempuan itu terkejut luar biasa untuk beberapa saat tapi raut wajahnya seketika berubah saat melihat Axel di depannya. Almeda bahkan berdiri, pun dengan Denial yang siap menghantamkan kepalan tangannya di wajah tampan Axel.Permata memberikan kode agar tidak ada yang membantunya. Dia tahu apa yang harus dilakukan untuk menghadapi Axel. Ada senyum mencela yang dikeluarkan Permata untuk Axel. Dengan lembut dia melepaskan tangan Axel dari tangannya sebelum suaranya keluar dengan lembut. “Anak siapa yang Anda maksud, Pak Axel?” Axel tidak dalam mode bercanda atau memang dia tidak pernah bercanda. Mendengar pertanyaan Permata yang terdengar menyepelekan dirinya, membuat Axel mengeratkan rahangnya. Yang ada di dalam pikiran Axel hanya satu, dia harus memastikan siapa ayah putra Permata meskipun perasaannya mengatakan anak itu adalah anaknya. “
“Kamu ini bicara apa, Axel?” Senyum kecut keluar dari bibir Leona yang merasa tersakiti karena pertanyaan tersebut. “Kenapa aku harus melakukan itu? Itu sama sekali nggak ada urusannya denganku. Berlian, dia pasti juga punya banyak musuh mengingat dia suka sekali menggoda lelaki.” Meskipun hubungan Axel dengan Permata tidak baik, tapi Axel tidak suka dengan perkataan Leona tentang Permata. Dulu dia juga pernah berpikiran buruk tentang Permata, tapi setelah dia mengetahui bagaimana kehidupan perempuan itu selama ini, tiba-tiba saja penyesalan itu terasa di dalam hati. Mungkin ini kutukan yang selalu dikatakan oleh Permata selama ini. Uangnya tidak bisa mengobati penyesalannya. “Kamu pikir aku mengatakan ini tanpa menyelidikinya terlebih dulu?” Axel mengeratkan rahangnya ketika mengatakan itu. Dia benci saat orang lain menganggapnya bodoh. Dan Leona sudah melakukan itu sekarang. “Kamu yang mencari tahu tentang Berlian dan mengungkapkannya di internet. Tujuanmu jelas karena kamu mer
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C