Penyesalan selalu datang belakangan. Itulah kenapa manusia harus berpikir lebih bijak sebelum mengambil keputusan dalam hidup dan tidak boleh gegabah. Dan itulah yang dilakukan oleh Denial selama ini. Tindakan apa pun yang dilakukan selalu dalam proses pemikiran yang panjang. Terlebih jika itu tentang kehidupannya. “Semua sudah berlalu, Ma.” Denial mencoba menenangkan sang ibu. “Sekarang kesedihan Mama sudah berakhir. Kita sudah bertemu dan kita sudah kembali bersama. Jadi, jangan pikirkan hal-hal buruk.” Sisa-sisa tangis bu Cintya masih terdengar di dalam mobil. Denial membiarkan sampai perasaan perempuan paruh baya itu membaik. Denial tidak ingin mengganggu ibunya yang tengah meratapi nasibnya. “Kamu yakin tidak perlu merenovasi kamar kamu?” Sampai di rumah, bu Cintya segera mengajukan pertanyaan lagi kepada Denial. Kamar yang bu Cintya maksud adalah kamar yang berada di rumah tersebut yang sudah menjadi hak milik Denial. Kamar itu sudah luas dan mewah. Balkon kamarnya menghadap
Pesta pernikahan diadakan malam hari dan akad dilakukan siang hari ini. Suasana haru benar-benar terasa kental di dalam ruangan. Terlebih lagi, Crystal tidak memiliki siapa pun di dunia ini, sehingga tangisnya tak bisa dibendung ketika di hari pernikahannya tidak disaksikan oleh orang tuanya.Adalah Permata dan Almeda yang terus mendampingi Crystal dan berperan sebagai dua kakak yang selalu ada di sisi adiknya.“Sekarang kita sudah menjadi satu keluarga, Crystal. Kami adalah kakak-kakakmu. Kamu bisa mengadukan apa pun kepada kami tentang apa pun.” Begitu Permata memberitahu Crystal.Tentu saja, Permata juga tahu bagaimana rasanya menjadi Crystal. Tidak memiliki orang tua di sisinya. Dan Crystal hanya bisa mengatakan terima kasih kepada dua sosok perempuan baik yang menemaninya. Sekarang hari masih sore. Karena akad nikah diadakan di rumah bu Cintya, mereka juga masih berada di sana sampai pergi ke tempat acara nanti bersama-sama.Permata dan Almeda juga akhirnya bertemu dengan bu Cint
Kecuali bu Cintya, semua orang menoleh ke arah yang sama. Om Rudy datang dengan setelan jas berwarna hitam. Lelaki itu tampak tampan di usianya yang sudah tidak muda lagi. Mereka pun tersenyum melihat kedatangan lelaki paruh baya tersebut. Denial menerima uluran tangan om Rudy dengan lembut. “Selamat ya, Den. Doa terbaik untuk kalian.” “Terima kasih, Pak.” Denial tersenyum. Pun dengan Crystal. “Cantik sekali Crystal. Rugi sekali lelaki yang sudah bermain curang kepadamu itu tidak bisa mendapatkanmu.” Dan bu Cintya seperti sebuah patung hidup yang tidak bisa bergerak. Kakinya seperti tenggelam di dalam tanah. “Ma, kenalkan. Ini Om Rudy. Om, ini Mama saya.” Om Rudy menoleh dan senyum yang tersemat di bibirnya pun mengerut. Dia menyadari sesuatu yang familiar dari perempuan yang ada di sampingnya itu. Om Rudy tidak akan salah melihat siapa perempuan itu. Suasana di antara mereka terasa menegang entah karena apa. Tidak ada dari mereka yang berbicara. Mereka hanya saling pandang. “M
“Kita tidak pernah tahu kapan masalah akan datang. Aku nggak pernah menyalahkan Mas tentang ini.” Crystal duduk lebih dekat dan menyandarkan kepalanya di pundak Denial. “Kita akan jalani ini sama-sama.” Crystal sudah masuk ke dalam kehidupan Denial dan tentu saja dia akan menemani suaminya dan berjalan beriringan di sampingnya. Dia ingin menjadi istri yang setia. Ini hanyalah sebuah permulaan. Sejalannya waktu, masalah pasti akan timbul tenggelam. Ujian selalu ada dalam kehidupan. Tinggal bagaimana mereka menyelesaikannya. Dan pada akhirnya, malam ini menjadi malam ‘kelam’ yang terjadi dengan pasangan pengantin baru tersebut. Mereka hanya tidur sebentar sebelum pagi kembali menyapa. “Kalian akan honeymoon ke mana?” Pagi harinya, mereka segera mendapatkan pertanyaan itu dari bu Cintya saat mereka sarapan pagi bersama. Mengesampingkan segala masalah yang muncul, kebahagiaan putranya adalah nomor satu. “Mama akan mengurus semuanya buat kalian. Barangkali akan ke luar negeri?” Denia
Ruang keluarga rumah Almeda itu tampak banyak orang, tapi begitu hening karena mereka yang ada di sana tidak ada yang bersuara satu pun. Om Rudy menatap Denial dengan tatapan sedih. Anak yang selama ini dicarinya ke sana-kemari, mereka juga sudah bertemu dalam waktu yang lumayan lama, tapi tidak ada dari mereka yang tahu tentang kebenaran yang mereka cari. “Denial.” Sebagai orang yang paling tua di sana, akhirnya om Rudy bersuara lebih dulu. “Bagaimana keadaan ibumu sekarang?” Sepertinya tidak ada yang ingin dikatakan oleh om Rudy kecuali tentang istri yang lama menghilang dan tiba-tiba mereka bertemu. “Keadaan fisiknya baik, Pak. Beliau juga sehat.” Dan itu adalah kenyataan yang tidak bisa disembunyikan. Hening kembali. Semua kata yang yang mereka punya seolah lenyap begitu saja. Kebingungan masih merayap di dalam kepala mereka. Padahal, Denial pun ingin menyampaikan banyak hal tentang kondisi ini sekarang. “Al.” Jika dia tak kunjung berbicara, maka ini tidak akan pernah mendapa
Denial yang berada di belakang bu Cintya hanya terdiam karena belum waktunya dia bersuara. Tapi, dia dari awal tidak pernah kalau namanya memiliki nama belakang. Atau barangkali memang itu adalah nama yang tiba-tiba diberikan ibunya untuk mengukuhkan dirinya di perusahaan? Tepuk tangan menggema di ruangan tersebut. Mereka tampaknya menyambut Denial dengan baik. Senyum mereka merekah di bibir. “Denial, kamu bisa memperkenalkan diri.” Bu Cintya memberinya kesempatan untuk bicara. Denial maju dan berdiri tepat di depan microphone. Tatapan tajamnya menghujani orang-orang di sana dengan pembawaannya yang berwibawa. “Terima kasih sudah meluangkan waktu berharga kalian untuk datang menyambut saya.” Suara beratnya menyihir semua orang. “Saya berharap, kita bisa bekerja sama dengan baik. Untuk kedepannya, akan ada banyak orang yang kerepotan karena saya, tapi saya akan belajar lebih cepat.” Denial membungkuk dan tepuk tangan kembali diberikan untuknya. Bu Cintya tampak bangga ketika melih
“Aku pikir, sekarang kamu sudah bahagia dengan kehidupanmu. Kamu sudah bahagia dengan putrimu, bukan?” Nada ucapan bu Cintya sangat sarkasme. “Anggap saja kita sudah tidak memiliki urusan apa pun lagi. Kita sudah hidup masing-masing.” “Bukankah kita bahkan tidak pernah bercerai, Desi?” “Aku sudah menceraikanmu.” Bu Cintya dengan lugas mengatakan itu tanpa ragu. “Saat aku sudah kembali pada ingatanku yang lama aku segera mengurus surat cerai. Aku tidak bisa mengatakan bagaimana detailnya, tapi aku akan memberikan copy-an akta cerai buat kamu.” Om Rudy seketika terdiam tanpa bisa mengatakan apa pun lagi. Selama tiga puluh tahun, dirinya setia dengan bu Cintya tanpa sedikitpun keinginan untuk mencari pengganti istrinya tersebut. Tapi nyatanya, dia benar-benar ditinggal menikah dengan orang lain dan dia digugat cerai tanpa diketahuinya. Setia? Kata-kata itu seperti akan terdengar rancu jika predikat itu diberikan untuk om Rudy. Bagaimanapun bu Cintya pergi meninggalkan dirinya karena
Denial hampir tersedak makanan yang hampir masuk ke dalam tenggorokannya. Dia panik menelpon istrinya balik tapi tidak ada jawaban. Lalu dengan tergesa menyelesaikan makannya sebelum keluar dari ruangannya setengah berlari. Denial tidak ingin istrinya marah kepadanya karena kelalaiannya. Hari ini dia membuat banyak kesalahan kepada Crystal.Tidak menghubunginya dan mengabari kalau dia telat pulang. Tidak mengangkat panggilan telepon sang istri, dan dia kedapatan telat makan. Langkah kakinya panjang-panjang ketika keluar gedung. Bahkan dia hanya menanggapi seadanya kepada satpam yang jaga. Selama mereka bersama, tidak pernah ada cek-cok yang terjadi antara Denial dan Crystal. Tapi hari ini sepertinya benar-benar berbeda. Crystal benar-benar tampak kesal. “Tal.” Denial sampai rumah hampir pukul satu dan dia segera masuk ke dalam kamarnya. Crystal tampak meringkuk di atas kasur dengan selimut menenggelamkannya. Hanya tampak ujung kepalanya saja. Denial mendekat dan sedikit mengintip.
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C