Pak Gema : Kamu masih marah sama aku?” Chat itu masuk ke dalam ponsel Almeda saat dia baru saja bersandar di kepala ranjang dan siap kembali mengecek beberapa pekerjaannya. Beberapa artikel yang akan diluncurkan untuk Flame pekan depan, beberapa wajah baru anak didik Flame yang siap didebutkan baik itu untuk menjadi model atau bahkan artis. Almeda berpikir apakah dia perlu membalas chat itu atau tidak. Tapi, pada akhirnya mengabaikannya. Tak lama, notifikasi terdengar lagi dan masih orang yang sama. Pak Gema : Sepertinya kamu sudah tidur. Good night, Al. Semoga mimpi indah.Sejujurnya, Gema adalah sosok laki-laki yang mudah dicintai. Dia baik hati dan lembut. Tentu saja berbeda dengan Axel yang selalu menunjukkan tatapan tajam dan dingin. Gema tidak seperti itu. Tatapan lelaki itu cenderung hangat dan bersahabat. Dari segi wajah? Tentu saja sama tampannya dengan Axel. Gema itu tegas, tapi tidak galak. Seandainya status social mereka yang sama, mungkin Almeda akan menerima lelaki
Janji yang dikatakan oleh Gema membuat Almeda akhirnya mengangguk. Dia menerima Gema sebagai kekasihnya mulai malam ini. Setelah sekian lama, Gema akhirnya berhasil menaklukkan hati Almeda yang kelewat keras dan kaku. Gema bahkan tersenyum sepanjang makan malam bersama dengan keluarga Axel. Dan orang-orang yang berada di sana pun tidak bertanya tentang kegilaan Gema yang terus tersenyum tiada henti. Mereka pasti paham jika Gema sudah mendapatkan apa yang diinginkan selama ini.“Pulang sama aku, ya.” Gema menahan tangan Almeda yang berjalan di depannya. “Udah ada Denial.” Almeda mengedikkan kepalanya ke arah Denial yang sudah berdiri di bagian kanan mobil. Siap masuk dan duduk di belakang kemudi. “Nggak papa. Aku sanggup kok kalau cuma harus nyetir jauh.” Jarak antara rumah Axel ke rumah Almeda mungkin sekitar hampir satu jam jika tidak macet, lalu jarak dari antara rumah Almeda ke apartemen Gema pun sama. Mungkin dia harus terus menyetir selama dua jam untuk bolak-balik hanya untuk
“Siapa Rosa?” pertanyaan itu segera meluncur dari mulut Almeda ketika mereka sudah sampai di dalam mobil. Siap kembali kembali ke kantor. “Aku juga nggak tahu.” Gema tidak bohong tentang Rosa. Siapa pula Rosa? Dia berpikir tidak memiliki kerabat bernama Rosa dan teman pun tidak. Lalu siapa? Gema pun bertanya-tanya. Hening. Bahkan suara cuap-cuap dari suara radio pun tidak terdengar. Almeda tidak bertanya lanjutan dan memilih untuk menerima jawaban dari Gema. Memilih untuk lebih percaya. Itu saja. Hubungan mereka masih baru dan tak perlu ada drama. Cukup dinikmati saja.Sampai di kantor Flame, Almeda hendak keluar dari mobil. Tapi Gema menahannya sebentar. “Al, aku minta agar kamu percaya aku. Aku hanya nggak mau kalau kamu tiba-tiba nyerah.” “Emang aku seputus asa itu. Selama Mas mau dipertahankan, kau akan mempertahankan.” “Hebat!” Acungan dua jempol Gema terulur di depan Almeda. “Sayang kamu pokoknya.” Almeda menyeringai tanpa menjawab. “Aku keluar sekarang.”“Nggak dijawab sih
Almeda tengah menekuni pekerjaannya ketika sebuah ketukan pintu ruangannya terdengar. Lia muncul mengatakan jika ada tamu yang ingin bertemu. Merasa tidak janjian dengan siapa pun, Almeda tak segera menyetujui dan dia memilih bertanya.“Siapa?” “Dia hanya mengatakan kalau dia teman lama Ibu.” Seorang Almeda yang tidak suka basa-basi, tentu saja tidak suka dengan jawaban tersebut. “Kamu harus tahu siapa dia dan siapa namanya. Ada keperluan apa dia sampai ingin bertemu dengan saya. Jelaskan lebih dulu. Saya tidak menerima tamu tanpa kejelasan.” Almeda akhirnya harus menjelaskan. Lia mengangguk tampak tak enak hati sebelum berbalik menemui tamu yang akan bertemu dengan Almeda. Setelah semua jelas, barulah Lia kembali ke ruangan Almeda dan menjelaskan. Almeda mengerutkan kening mendengar ucapan Lia. Namun tak ayal dia mengangguk. “Suruh dia masuk. Buatkan juga minuman.” Lia mengangguk sebelum keluar dan mempersilakan tamu Almeda masuk ke dalam ruangan bosnya tersebut. Seorang perempu
Hubungan Almeda dan Gema semakin dekat dan lebih erat. Gema yang begitu perhatian membuat perasaan Almeda semakin tumbuh subur di dalam hatinya. Jika dia sekarang ditanya siapa lelaki yang ingin dia ajak hidup bersama sampai maut memisahkan, maka jawabannya adalah Gema. Terlalu cheesy memang, tapi itulah yang dirasakan oleh Almeda untuk saat ini. Dia yang sulit untuk jatuh cinta, akhirnya bisa merasakan perasaan itu karena Gema yang tak hentinya mengejarnya. “Sayang.” Almeda yang berdiri yang depan kasir untuk membayar pakaian itu menoleh dan mendapati Gema ada di sana. Dan yang membuatnya mengernyit adalah bersama dengan Rosa dan ibunya. Untuk beberapa waktu, Almeda hanya berusaha membaca situasi sebelum senyumnya terbit. Gema tampak salah tingkah, takut kalau-kalau Almeda marah dan salah paham kepadanya. Bahkan tanpa diminta, dia segera menjelaskan. “Sayang, aku ….” Namun, seperti sebuah kesempatan besar, ibu Gema segera memotong ucapan Gema dan berbicara kepada Almeda. “Almeda
Almeda selama ini mampu menantang dunia dengan caranya. Dia hidup mandiri sejak kecil. Nenek kakeknya mengajari bagaimana menghadapi kerasnya dunia dengan cara yang luar biasa. Mengeluh tidak ada dalam daftar sifatnya. Jika orang tua Gema ‘menyalahkannya’ karena dia tak pernah bertemu atau bahkan mengenal orang tuanya, maka itu bukan salahnya. Dia tak meminta dilahirkan dengan cara seperti itu. Tapi satu yang pasti, dia tak pernah menyalahkan siapapun karena kehidupannya yang dulu serba kekurangan. “Aku dengar dari Axel, hubungan kamu dengan Gema sedikit mengalami kesulitan.” Permata yang baru saja menidurkan Moza itu segera berbicara. Almeda sedang mengunjungi Permata di rumahnya untuk melepas rindu kepada keponakan kesayangannya. “Bukan hanya sedikit, aku rasa nggak akan mudah.” Almeda tidak melebih-lebihkan. “Ternyata, kamu memang beruntung mendapatkan mertua orang tua Axel. Meskipun dulu ada Leona, tapi mereka dengan tangan terbuka menerima kamu.”“Itu karena Angkasa. Aku rasa
“Katakan, jebakan seperti apa yang akan dilakukan oleh Tante?” Kini mereka sudah ada di sebuah warung pinggir jalan. Lebih tepatnya, warung seblak. Kelly meminta Almeda untuk mentraktirnya seblak. Tidak, dia sebenarnya akan beli sendiri. Dia hanya membutuhkan teman, maka dari itu dia merecoki Almeda. Kampret memang. Kelly mengedikkan bahunya tak acuh. Terlebih lagi, saat seporsi seblak sudah diantarkan di mejanya. Almeda sih tidak makan karena dia sudah kenyang. Hanya memesan es kelapa muda saja. “Jangan main-main, Kelly.” Almeda merasa dipermainkan saat Kelly hanya menjawabnya dengan kedikan bahu saja. Ini sudah malam, Almeda mungkin bodoh hanya karena ucapan Kelly yang bisa saja membohonginya, dia sudah bersedia untuk menemani bocah itu. Dengan sebuah bayaran dia mendapatkan sedikit saja informasi dari Kelly. Barangkali ada hal yang mungkin akan membahayakan hubungannya dengan Gema. “Aku nggak bohong, Kak.” Wajah Kelly memerah karena rasa pedas yang sudah menguasai mulutnya. En
Almeda pernah merasakan sakit karena kehidupannya yang serba kekurangan di masa kecilnya. Hidup dengan nenek kakeknya yang sudah tua, membuatnya tidak selalu bisa mendapatkan yang dia inginkan. Dengan kehidupan yang seperti itu, tak pernah sekalipun dia mengeluh. Dia selalu memiliki keinginan untuk mengubah nasib buruk itu di kemudian hari. Saat kakeknya meninggal, lalu tak selang lama neneknya menyusul, perasaan Almeda menjadi sakit luar biasa. Rasa kehilangan yang dibawa sampai saat ini membuatnya ingin selalu membuktikan kepada dirinya jika dia bukan orang yang mudah menyerah. “Kenapa melamun? Makananmu nggak enak kalau diaduk terus seperti itu.” Denial yang sejak tadi hanya melihat Almeda mengaduk sarapannya pun segera menegur gadis itu. “Ada apa lagi?” Denial jelas tahu kalau ada yang tidak beres dengan Almeda. Terlebih lagi mengingat jika semalam, Almeda pulang cukup telat dan langsung masuk ke dalam kamar. “Ibu Gema membeliku.” Almeda menjawab dengan ringan. “Dia memberiku
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C