“Kenapa dia datang?” Pertanyaan itu membuat Gema merasa kepalanya pusing tiba-tiba. Jawabannya memang cukup mudah. Tapi entah bagaimana sulit untuk diucapkan. Gema masih mematung di tempatnya, dan tatapannya tak teralihkan sedikitpun dari Almeda. “Sayang ….”“Jawab dulu. Aku barusan bertanya.” Almeda keras kepala. Dia paling tidak suka pertanyaannya tak kunjung mendapatkan jawaban. Gema menarik napasnya panjang sebelum mengangguk dan bersuara. “Katanya dia tadi habis meeting di restoran dan datang membawakan makan siang,” jelasnya kepada Almeda. “Lalu kalian makan siang bersama?” Almeda memahami. Almeda tidak marah selama Gema mau berterus terang. Tadi pun dia hanya melihat Rosa dari kejauhan. Mereka tidak saling bertemu apalagi saling melontarkan kata-kata yang tidak perlu. Tapi melihat Rosa datang ke Infinity, tentu saja dia tahu jika tak mungkin menemui orang lain selain Gema.Gema menjelaskan semuanya kepada Almeda lalu meminta maaf. “Aku beneran kaget pas dia tiba-tiba saja
Almeda baru saja keluar dari dalam mobil ketika Gema mendekatinya. Tidak ada kata yang mereka katakan saat saling berhadapan. Denial yang melihat tingkah dua orang di depannya itu hanya menggelengkan kepalanya miris. Lalu dia bersuara, “Kalian yang masuk atau aku yang masuk.” Pasalnya, dia tak sudi melihat adegan tidak penting di depannya. Almeda yang melihat Denial tengah menatap ke arahnya pun hanya mengedikkan kepalanya tanda Denial yang harus masuk. Maka lelaki itu segera masuk ke dalam dan meninggalkan dua orang yang punya kepentingan tersebut. Setelah Denial tidak ada di sana, Almeda bersuara. “Duduk aja. Aku capek kalau harus berbicara sambil berdiri.” Lalu dia pergi dari tempat itu menuju teras. Duduk di kursi teras diikuti oleh Gema. “Kenapa datang? Sudah punya jawaban?” tanya Almeda tanpa basa-basi. “Iya,” kata Gema dengan serius. “Sejak awal aku juga udah tahu kalau aku maunya sama kamu. Tapi aku tahu kalau siang tadi aku memang salah,” akunya, “aku minta maaf.” Almeda
Gema tentu saja merasa darahnya mendidih ketika mendengar kenyataan yang dibeberkan oleh Almeda di depannya. Inilah pasti yang gadis itu katakan ketika dia bilang ada kejutan yang akan diberikan. Ibunya ternyata sudah melangkah sejauh itu untuk membuat dirinya putus dengan Almeda. Dengan uang? Pasti ibunya tidak paham dengan siapa dia berhadapan. “Mama melakukan ini demi kamu, Gem. Demi kamu.” Suara perempuan itu menggema di seluruh ruangan. Wajahnya sudah memerah dengan emosi yang sudah meninggi. “Kamu pikir kalau kamu menikah dengan perempuan yang tidak jelas asal-usulnya ini kamu akan bahagia? Ingat juga keturunan kamu.” “Tante bilang saya tidak jelas asal-usul saya?” Almeda membenci kata-kata itu. Dia kesal luar biasa tapi pembawaannya yang tenang dan anggun pun mau tak mau mengusik beberapa orang yang ada di sana. “Saya dilahirkan dalam sebuah pernikahan yang sah. Saya memang tidak tahu bagaimana rupa orang tua saya. Tapi nenek dan kakek saya mendidik saya dengan cara yang bena
Gema merasa, perasaannya kepada Almeda sudah sangat dalam. Dia jatuh cinta dengan gadis itu terus menerus seolah dia baru saja bertemu lalu merasakan cinta untuk pertama kalinya. Mempertahankan gadis itu adalah hal yang paling harus dilakukan untuk saat ini meskipun jalannya tidak mudah. “Dulu, Tante sama Om, apa bisa gitu aja nerima Permata?” Hari ini dua sahabat itu duduk berdua di sebuah restoran. Axel dan Gema. Sudah lama rasanya tidak nongkrong berdua. “Iya. Tapi ya gitu, pada awalnya ada sedikit keraguan dari bokap, tapi setelah tahu Angkasa yang tampangnya gue banget, jadilah mereka nggak ragu lagi.” “Maksud gue, lo tahu latar belakang Permata yang memang nggak jauh beda dari Almeda. Mereka sama-sama ditinggalkan orang tua mereka saat masih sangat muda.” “Orang tua gue nggak mikir sampai sana. Mungkin mereka pada awalnya mempertimbangkan juga. Tapi Permata pun sebenarnya nggak mau dalam posisi seperti itu. Permata juga udah cerita sama gue kalau memang orang tuanya meningga
Mungkin inilah ikatan batin antara seseorang yang memiliki ikatan darah. Marta tentu saja tidak pernah menyangka kalau dia akan bertemu dengan sosok yang bisa membuat ketenangannya terusik. Seandainya benar jika Almeda adalah putrinya, apa yang akan dia lakukan? Segera mengakui kalau dia ibunya? Atau justru tidak perlu mengaku? Kesampingkan segala pikiran Marta yang tengah kalut. Karena Almeda justru tengah menikmati hidupnya. Malam ini, untuk pertama kalinya dia datang ke apartemen Gema. Gema yang mengundangnya langsung. Menunjukkan tempat tinggalnya kepada sang kekasih. “Aku nggak nyangka kalau kamu bisa masak.” Almeda kini berada di dapur Gema, membuat makan malam untuk mereka berdua. Gema hanya duduk di kursi tinggi di meja bar sambil memperhatikan kekasihnya sibuk dengan alat-alat dapur. “Aku bisa, hanya saja aku malas. Dulu waktu aku masih muda, Nenek - kakekku masih ada, aku udah diajari masak sama Nenek. Dan waktu Nenek sakit, aku yang berperan menjadi ibu rumah tangga di
Izin Gema ini akan menjadi permintaan izin terakhir yang Gema minta dari orang tuanya. Meskipun dia tahu dia tak akan mendapatkan restu itu, dia akan tetap menikah bulan depan. Apa pun akan dia lakukan agar bisa bersama dengan Almeda. Apa pun. Dengan itu pula, ibu Gema pun tak ingin dikalahkan oleh Almeda. Ada berbagai rencana yang muncul di kepalanya untuk mencari tahu banyak tentang Almeda. Kemudian memperlihatkan kepada Gema agar Gema pun sadar jika Almeda bukannya perempuan baik-baik. Tentu saja ibu Gema harus menghancurkan rencana yang Gema buat. Mereka tidak boleh menikah. Titik. Berbeda dengan ibunya, Gema justru mengumpulkan seluruh teman-temannya untuk membicarakan masalah ini. Almeda, Denial, Permata, dan Axel. Mereka meminta agar berkumpul di rumah Almeda karena dia akan membahas tentang masalah pernikahan.“Aku dan Almeda akan menikah bulan depan.” Itu adalah kalimat pertama yang dikatakan oleh Gema setelah obrolan-obrolan basa-basi mereka. Kecuali Almeda, tiga orang ya
Sebuah mobil hitam datang dan masuk ke dalam rumah besar Almeda. Ya, meskipun rumah itu bukan miliknya, tapi dia sekarang yang menempati, jadi bilang saja itu miliknya. Almeda dan Denial keluar dari mobil lalu masuk ke dalam rumah. Mereka berjalan bersisian dan tidak ada interaksi berlebihan. Tapi jelas saja, itu menjadi sebuah pertanyaan besar bagi Marta melihat Almeda bersama seorang lelaki asing. Jelas-jelas itu bukan Gema, karena Marta kenal betul sosok Gema meskipun dari belakang. Si supir sudah sibuk dengan ponselnya untuk memotret adegan di depannya. “Sudah kamu dapatkan gambarnya?” tanya Marta.“Sudah, Bu. Juga lumayan jernih.” “Bagus. Kita pergi sekarang.” Almeda dan Denial toh sudah masuk ke dalam rumah. Rasa penasaran Marta menguasai dirinya. Tapi dia segera pulang ke rumah dan menunjukkan apa yang dia dapatkan dari hasil menguntit rumah Almeda. Tentu saja, dia tak akan mengatakan tentang kebetulan lain jika Almeda adalah – sudahlah, Marta tidak ingin membahas itu dulu.
“Pak, ada Ibu Rosa ingin bertemu dengan Bapak.” Gema yang tadinya menunduk menekuni pekerjaannya itu segera mendongak dan menatap sang sekretaris. Ini bukan waktunya makan siang, sudah sore bahkan. Tapi untuk apa perempuan itu datang menemuinya? “Ibu Rosa bilang, beliau ingin menunjukkan sesuatu kepada Bapak.” Seolah tahu isi pikiran Gema, sang sekretaris pun segera bersuara kembali, menjelaskan tujuan Rosa datang. Gema tampak berpikir. Sejujurnya dia enggan menerima tamu di saat dia harus konsentrasi bekerja, tapi apa boleh buat, Rosa sudah datang dan tak etis rasanya menolak tamu. Maka dia segera mengangguk dan meminta sang sekretaris untuk membiarkan Rosa masuk. Rosa tersenyum saat melihat keberadaan Gema di kursi kerjanya. Berjalan ke arah meja Gema dengan anggun. “Sorry aku ganggu aktivitas kamu.” Begitu katanya. “Sepertinya ada yang penting,” ucap Gema tanpa basa-basi. Bahkan mempersilakan untuk duduk saja tidak. Namun Rosa bisa menyadari dan mengulur kesabarannya. “Boleh
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C