Sebuah mobil hitam datang dan masuk ke dalam rumah besar Almeda. Ya, meskipun rumah itu bukan miliknya, tapi dia sekarang yang menempati, jadi bilang saja itu miliknya. Almeda dan Denial keluar dari mobil lalu masuk ke dalam rumah. Mereka berjalan bersisian dan tidak ada interaksi berlebihan. Tapi jelas saja, itu menjadi sebuah pertanyaan besar bagi Marta melihat Almeda bersama seorang lelaki asing. Jelas-jelas itu bukan Gema, karena Marta kenal betul sosok Gema meskipun dari belakang. Si supir sudah sibuk dengan ponselnya untuk memotret adegan di depannya. “Sudah kamu dapatkan gambarnya?” tanya Marta.“Sudah, Bu. Juga lumayan jernih.” “Bagus. Kita pergi sekarang.” Almeda dan Denial toh sudah masuk ke dalam rumah. Rasa penasaran Marta menguasai dirinya. Tapi dia segera pulang ke rumah dan menunjukkan apa yang dia dapatkan dari hasil menguntit rumah Almeda. Tentu saja, dia tak akan mengatakan tentang kebetulan lain jika Almeda adalah – sudahlah, Marta tidak ingin membahas itu dulu.
“Pak, ada Ibu Rosa ingin bertemu dengan Bapak.” Gema yang tadinya menunduk menekuni pekerjaannya itu segera mendongak dan menatap sang sekretaris. Ini bukan waktunya makan siang, sudah sore bahkan. Tapi untuk apa perempuan itu datang menemuinya? “Ibu Rosa bilang, beliau ingin menunjukkan sesuatu kepada Bapak.” Seolah tahu isi pikiran Gema, sang sekretaris pun segera bersuara kembali, menjelaskan tujuan Rosa datang. Gema tampak berpikir. Sejujurnya dia enggan menerima tamu di saat dia harus konsentrasi bekerja, tapi apa boleh buat, Rosa sudah datang dan tak etis rasanya menolak tamu. Maka dia segera mengangguk dan meminta sang sekretaris untuk membiarkan Rosa masuk. Rosa tersenyum saat melihat keberadaan Gema di kursi kerjanya. Berjalan ke arah meja Gema dengan anggun. “Sorry aku ganggu aktivitas kamu.” Begitu katanya. “Sepertinya ada yang penting,” ucap Gema tanpa basa-basi. Bahkan mempersilakan untuk duduk saja tidak. Namun Rosa bisa menyadari dan mengulur kesabarannya. “Boleh
Rosa menumpahkan amarahnya saat dia berada di dalam kamar setelah pulang ke rumah. Pertemuannya dengan Almeda, lalu dengan Gema, dua-duanya sama-sama tidak ada yang beres. Mereka seperti Romeo dan Juliet yang seolah tidak bisa dipisahkan. Entah ikatan seperti apa yang tengah mengikat mereka. “Rosa, kamu kenapa?” Marta masuk ke dalam kamar putrinya dan mencoba menanyakan apa yang terjadi. Terlebih lagi melihat Rosa yang berteriak dari arah kamarnya, membuat Marta kelimpungan tak karuan.Pasalnya, tidak pernah Rosa tampak kehilangan kendali dirinya sampai seperti itu. Rosa yang mendapatkan pertanyaan itu pun segera menolah dan mengadu kepada sang mama.“Mama tahu? Pasangan itu, Almeda dan Gema, terutama Gema, apa yang dia pikirkan sebenarnya sampai begitu percaya dan cinta banget sama Almeda. Aku udah nunjukin foto-foto itu, tapi reaksinya benar-benar tenang dan justru menyalahkanku.” “Menyalahkan kamu?” tanya Marta. “Dia gila?” “Dia nyalahin aku karena aku dikira nguntit Almeda. Dia
Ruang tamu yang cukup luas di dalam rumah Almeda terasa mengeluarkan aura yang tidak menyenangkan. Almeda menatap perempuan paruh baya di depannya dengan tatapan datar miliknya, pun sebaliknya. Belum ada dari dua perempuan berbeda generasi itu untuk membuka mulut mereka. Tapi Almeda sudah cukup lelah. Dia sudah ingin tidur di atas ranjangnya yang empuk. Untuk itu, dia segera bersuara. “Kalau Tante ingin berbicara, maka bicaralah sekarang. Ini sudah malam dan saya sedang lelah.” Itu adalah pengawalan ucapan Almeda. Ini sudah hampir pukul dua belas malam, dan tidak seharusnya masih menerima tamu. “Siapa lelaki itu?” Marta akhirnya bersuara dengan sebuah tanya. “Bukannya kamu sudah bersama dengan Gema? Kamu menduakan dia?”“Apa ini juga sekarang menjadi urusan Tante?” tanya Almeda balik. “Tentu saja ini menjadi urusan saya. Kalau tindakan kamu seperti ini, Rosa seharusnya lebih pantas mendapatkan Gema dibandingkan kamu.” “Saya sudah pernah bilang kepada Rosa, kalau memang dia bisa me
Sepanjang percakapan malam ini, Almeda tidak pernah merasa kalau dia akan mendapatkan sesuatu yang mengejutkan seperti ini. Marta bilang, dia adalah ibunya? Seseorang yang mengandung dan melahirkannya di dunia ini. Almeda masih mencerna ucapan itu. Matanya bahkan sesekali memejam dan kepalanya berpikir apakah ini sebuah konspirasi lain? Membuat Almeda melembutkan hatinya hanya karena dia ibunya? “Aku bisa mengatakan semua tentang masa lalumu kenapa aku tidak pernah menginginkanmu. Tapi, lepaskan Gema.” Alasan Marta melakukan sampai sejauh ini adalah tentu saja karena Rosa menyukai Gema. Sebagai seorang ibu, tentu saja Marta ingin memberikan apa pun yang diinginkan oleh Rosa. Tak peduli harus menyakiti anaknya yang lain. Lagi pula, Almeda juga bukan anak yang diinginkan. “Tante sudah berjalan sejauh ini, pasti Tante mengeluarkan banyak uang untuk mengetahui latar belakang kehidupan saya. Tapi, jangan membohongi saya dengan kata-kata seperti itu Tante. Nggak ada untungnya.” Marta ta
Almeda bertahan dalam dekapan hangat Gema, sedangkan Denial sudah menyingkir dari ruang keluarga yang tadi ditempatinya. Dia memberikan pasangan itu waktu berdua untuk bicara dari hati ke hati. Mungkin juga perencanaan hidup mereka. Gema tentulah tahu bagaimana perasaan Almeda saat ini, dan dia harus berada di sisi gadis itu sebagai bentuk kepedulian. “Sekarang apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Gema. “Denial meminta orang untuk menyelidiki, kira-kira membutuhkan waktu berapa lama?” Almeda mengencangkan pelukannya. “Aku jujur saya belum punya rencana apa pun. Ucapan ibu Rosa membuat aku bingung. Tentang berapa lama mereka akan mendapatkan hasilnya, aku rasa juga nggak tahu. Denial yang urus semuanya.” “Kamu nggak ingin tahu alasan dia meninggalkan kamu dengan nenek kamu?”“Apa perlu aku tahu? Nyatanya dia sudah bilang sejak awal dia nggak mau aku. Bagi aku itu udah lebih dari cukup. Nggak perlu lagi tanya ini dan itu kalau jawabannya akan sama.” Pembahasan itu cukup sampai di san
“Rita!” Panggilan itu membuat Gema dan rombongan yang hampir masuk ke dalam restoran menghentikan langkahnya. Mereka serentak menatap ke sumber suara, dan di sanalah ibu Gema berada. “Resti?” “Kamu ngapain sama mereka?” tanya ibu Gema dengan tatapan menuduh. Karena ibu Axel tahu sikap Resti kepada Almeda, maka dia dengan terus terang menjawab. “Kami baru saja dari KUA, Gema menikah dengan Almeda.” Seolah Rita adalah ibu Gema, dia justru memberikan informasi. “Aku menjadi pendamping Almeda. Dia nggak punya siapa-siapa di dunia ini, jadi aku yang menemaninya. Anggap saja, aku adalah ibu angkatnya.” “Kamu gila ya?” Ibu Gema tentu saja marah dengan keputusan yang temannya itu ambil. Dia bahkan sudah susah payah untuk memisahkan Gema dan Almeda, lalu bagaimana mungkin, justru ibu Axel berada di sisi lain darinya. Dan apa itu tadi, menjadi ibu angkat Almeda? “Kamu nggak tahu kalau aku menolak pernikahan itu? Kenapa kamu justru ada di pihak mereka?” “Karena aku mau,” jawab ibu Axel r
Babak baru kehidupan Almeda dimulai. Menjadi seorang istri seorang Gema. Tentu ada perubahan dari hidupnya sekarang. Tadinya yang hanya perlu mengurus dirinya sendiri, kini dia harus mengurus Gema. Menyiapkan sarapan, baju kerja, dan bahkan kalau Gema ingin bekal makan siang, dia juga akan membawakannya. Pun dengan sekarang, Gema juga meminta dibawakan bekal makan siang oleh Almeda. “Menunya nggak banyak, Mas. Ayam kecap, sop, dan perkedel.” “Kamu nggak bawa?” “Aku nanti mau makan nasi padang.” Seperti itulah kira-kira keseharian Almeda dan Gema. Ini sudah memasuki bulan pertama pernikahan mereka dan belum ada tanda-tanda ada masalah yang serius. Orang-orang yang selalu mencari masalah dengannya selama ini pun tidak muncul. Bahkan ibu Gema sekalipun. “Aku bisa bawa mobil sendiri lho, Mas sebenarnya. Biar bisa menghemat waktu kamu juga.” Mereka sudah ada di perjalanan menuju ke kantor. Dan selama sebulan ini, Gema selalu mengantar jemput Almeda ke Flame. Padahal, Almeda pun suda
Angkasa tidak tahu sejak kapan matanya selalu ingin melihat gadis itu. Gadis yang tampak tidak begitu bersahabat dengan orang lain dan lebih suka ke mana-mana sendiri. Beberapa temannya bahkan segan dengan gadis itu. Angkasa juga tidak tahu, kenapa dia suka berdiri di tempat di mana dia bisa memerhatikan gadis itu dalam diam. Ada getaran aneh yang dirasakan ketika suatu hari dia bersisipan jalan dengan gadis itu. Namanya Semesta, dia satu angkatan dengannya. Gadis itu benar-benar cuek dan memiliki dua saudara yang super posesif. Dia mendengar, mereka memang kembar tiga. “Lo suka sama dia, Ka?” Kesenangan Angkasa harus terputus karena temannya mendekat dan membuyarkan lamunannya. “Gue tahu kok, lo selalu berdiri di sini hanya untuk menatap Semesta.” Angkasa menarik napasnya panjang. Sepanjang hidupnya, dia hidup belum sekalipun dia merasakan jatuh cinta. Kalau sekarang getaran itu dirasakan, apa benar getaran itu adalah tanda jika dia sedang jatuh cinta? Ya, pertanyaan temannya itu
Angkasa berdiri dengan membawa dua adiknya di dalam gendongannya. Membawanya masuk ke dalam rumah sehingga membuat dua adiknya itu tertawa-tawa. “Abang, ayo kita putra-putar.” Rembulan berteriak tepat di telinga Angkasa membuat Angkasa sedikit menjauhkan kepalanya. Tapi tidak bisa karena Moza ada di punggungnya. “Astaga, anak-anak ini.” Almeda menggeleng pelan. “Turun anak-anak. Kasihan abangnya dong.” “Nggak mau!” Suara itu keluar dari mulut Moza dan Rembulan secara bersamaan. “Abang, ayo kita mutar.” Rembulan mengimbuhi tak peduli dengan Almeda yang sudah menatap mereka memeringatkan. Melihat Almeda yang sudah mengerutkan kening, Angkasa segera bersuara. “Biarin aja Onty Al. Lagi menghibur yang mau adik.” Almeda mengerti, maka dia hanya diam pada akhirnya. Akhirnya Almeda kembali ke dapur. Bapak-bapak yang ada di belakang rumah tentu saja tidak tahu kelakuan anak-anak mereka. Membiarkan anak-anaknya berbuat seenaknya. Sedangkan Permata dan Crystal yang melihat dari dapur
“Bunda, kapan Rembulan punya adik?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh bocah berusia lima tahun yang sudah memasuki sekolah Paud. Dia baru saja pulang dari sekolah, lalu berlari untuk bertemu dengan ibunya di kantor Crystal Fashion. Di belakangnya, ada Mbak Susi – si pengasuh. Crystal yang tengah menunduk dan tengah menggambar itu segera mendongak. Memberikan senyuman kecil untuk putrinya, lalu meninggalkan pekerjaannya untuk sementara. “Putri Bunda sudah pulang.” Pelukan Crystal mengerat pada putrinya. “Lho itu bawa apa?” “Telur gulung.” Crystal hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat bungkusan plastic berisi telur gulung yang dibawa oleh Rembulan. Crystal menatap Mbak Susi untuk meminta penjelasan kenapa putrinya harus makan-makanan seperti itu. Bukan masalah makanannya, yang dikhawatirkan oleh Crystal adalah makanan itu dibeli di sembarang tempat dan tidak higienis. “Itu bersih kok, Bu.” Tahu kalau dia harus memberikan penjelasan, maka Mbak Susi segera bersuara. “Di samping
Bu Cintya memutus tatapan mereka dan berjalan mendekat ke arah Om Rudy. Lebih tepatnya ke arah pintu yang ada di belakang lelaki itu. Tidak ada sapaan sama sekali. Dia masuk begitu saja, lalu tersenyum ketika melihat anggota keluarga yang lain kumpul. “Angkasa!” Bocah yang menginjak remaja itu mendongak dan tersenyum. Hanya senyum kecil. Tubuhnya menempel pada tubuh Denial dengan tangan sibuk bermain tab. Peraturan masih sama, karena hari libur, maka dia bisa bermain benda elektronik itu. “Kalian makan malam di sini sekalian, ya. Kita masak sama-sama.” Mereka saling pandang sebelum mengangguk bersamaan. Tentu saja, itu membuat Bu Cintya bahagia luar biasa. Perempuan itu duduk di sofa tepat di samping Almeda dan memangku Elang dengan lembut. Sedangkan Moza yang sudah bisa berjalan itu tak mau diam. Axel harus terus memantaunya agar tidak jatuh. Gema masuk dan segera menyergap bocah kecil itu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi. Tawa renyah keluar dari mulutnya. “Cantiknya siapa?”
“Ma, besok mau ajak Rembulan ke rumah Almeda. Ayah mau ketemu katanya.” Pagi ini, saat sarapan, Denial memberitahu ibunya tentang keinginannya untuk pergi ke rumah Almeda. Ini untuk pertama kalinya Rembulan akan diajak pergi keluar setelah dia pulang dari rumah sakit. Ya, sudah tiga bulan memang usia Rembulan sekarang. Bocah kecil itu sudah bisa tersenyum. Bu Cintya tidak langsung menjawab dan justru menatap ke arah Denial dan Crystal bergantian. Seolah tidak memberinya izin. Dan benar, jawaban itu menunjukkan penolakan. “Masih terlalu kecil untuk dibawa keluar, Den. Mama nggak setuju. Mama akan izinkan kalian ajak Rembulan pergi kalau udah enam bulan.” “Ayah pengen lihat, Ma. Setelah pulang dari rumah sakit waktu itu ‘kan belum pernah ketemu lagi. Cuma lihat dari foto atau video aja.” “Ya tapi Rembulan masih kecil. Mama nggak izinkan.” Penolakan itu jelas dan lugas. Ini bukan karena Bu Cintya tidak mengizinkan si mantan suami itu bertemu dengan cucu mereka. Tapi semua demi cucu
“Kondisi Rembulan sudah sangat baik, Bu. Anak ini sudah sehat sepenuhnya.” Kelegaan membanjiri hati Crystal dan keluarganya. Dia langsung memeluk Denial yang ada di sampingnya saat kabar itu diberikan kepadanya. Hari-hari buruk yang mereka lalui sudah berakhir dan tinggal rasa bahagia yang datang. “Silakan, Bu.” Seorang suster menyerahkan Rembulan kepada Crystal sudah mengeluarkan air matanya. Dengan tangan sedikit bergetar, dia menerima bayinya dan menciumnya dengan sayang. Denial tersenyum lega. Tangannya terulur mengelus tangan Rembulan. Meskipun dia pun sudah pernah menggendongnya, tapi dia merasakan hari ini lebih dari special. Denial tentu lebih berpengalaman dalam soal mengurus bayi dibandingkan Crystal. Dan setelah mereka pulang ke rumah nanti, dia yang akan mengambil alih untuk tugas Crystal semisal Rembulan bangun di tengah malam. “Terima kasih, Dokter. Saya sungguh-sungguh berterima kasih. Berkat Dokter, bayi kami sehat dan sehat.” Crystal bisa merasakan, tubuh putriny
“Tapi satu anak itu nggak seru, Mas. Aku nggak punya saudara aja rasanya juga sepi ‘kan.” Crystal menyanggah pendapat suaminya. Menyamankan baringnya tanpa mengalihkan sedikitpun tatapannya pada sang suami. “Ada banyak temannya nanti. Ada sepupu-sepunya yang akan nemeni dia.” Denial memang kini tengah berpendapat, tapi dia seolah memberikan keputusan. Melihat bagaimana sang istri kepayahan saat hamil muda seperti ini, membuat Denial merasa trauma dan tidak ingin mengulangi lagi. Kasihan dengan Crystal. “Aku bisa, kok. Aku__” “Aku yang nggak bisa, Sayang,” putus Denial. “Aku melihat kamu kepayahan begini rasanya pengen gantiin aja kalau bisa. Jadi, kita lihat nanti bagaimana perkembangannya.” Crystal menarik napasnya panjang mendengar ucapan sang suami yang bernada final. Padahal Crystal sudah membayangkan setiap dua tahun dia akan melahirkan satu bayi yang lucu. Setidaknya punya tiga anak. Tapi si pasangan justru trauma. Maka lebih baik dia tak membantah dan akan melihat saja per
Dua minggu berlalu dan Crystal kembali ke rumah sakit bersama dengan Gema. Mereka berharap kandungan Crystal sudah lebih baik dan setidaknya dia full bedrest. Pengecekan itu akhirnya dilakukan untuk mengetahui hasilnya. Dan hasilnya tidak berubah. Crystal masih tetap harus bedrest. Namun tidak ada hal yang parah dan masih stabil. Crystal hanya diminta untuk tetap hati-hati dan tidak melakukan pergerakan yang tidak perlu. “Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat Mama dan Mas repot.” Crystal merasa tidak enak hati karena sudah membuat keluarganya harus fokus menemani dirinya. Padahal ada banyak pekerjaan yang harus diurus. “Crystal, nggak ada yang perlu dimaafkan. Kamu adalah putri Mama dan sudah menjadi tugas Mama untuk merawat kamu kalau sakit, menemani kalau kamu butuh teman, dan semua itu Mama lakukan dengan tulus. Kamu tidak perlu memikirkan itu karena yang penting kamu sehat, janin di kandunganmu juga sehat. Masalah lain, kamu nggak perlu pikirkan.” Crystal merasa sangat sensitif ka
Denial setengah berlari untuk memasuki rumah. Dia ingin segera sampai dan melihat kondisi istrinya. Dia sudah mendapatkan informasi dan sang bunda jika Crystal baik-baik saja. Tapi tentu saja tak puas jika tidak melihatnya secara langsung. “Mas udah pulang.” Crystal tengah duduk di atas ranjang sambil memegang tab di tangannya. Menggambar banyak design untuk rancangan Crystal fashion. “Kok kerja sih, Sayang?” Denial duduk setelah mengecup puncak kepala Crystal. “Kamu harus istirahat.” “Mas, aku ini istirahat. Aku nggak kerja berat, juga nggak berpikir berat. Aku cuma gambar dan nggak akan terjadi hal-hal yang buruk. Kalau aku nggak ngapa-ngapain justru akan stress. Ohya, tadi Mbak-mbak dua itu datang. Barusan pulang.” Denial mengangguk sambil menatap lekat ke arah Crystal. “Kamu yakin nggak papa? Aku seharian khawatir mikirin kamu tahu nggak sih.” “Nggak papa, Mas-ku. Aku tadi juga jalan-jalan pelan, baca buku, ngobrol sama Mama dan Mbak-mbak. Aku baik-baik aja. Dia kuat kok.” C