Setelah makan siang selesai, Livia dan Elena berpisah. Elena kembali ke ruang administrasi, sementara Livia melanjutkan tugasnya di ruang arsip. Sepanjang sore, Livia bekerja dalam diam, menyortir dokumen-dokumen lama dan menyusunnya dalam map-map baru. Pekerjaan yang monoton tapi membuatnya tetap sibuk, setidaknya cukup untuk mengalihkan pikirannya dari Gavin untuk sementara.Saat jam menunjukkan pukul 5 sore, ponsel Livia berdering. Nama Elena kembali muncul di layar."Halo, El?" jawab Livia."Liv, sepertinya aku harus lembur malam ini," suara Elena terdengar lelah. "Ada beberapa laporan yang harus kuselesaikan sebelum besok. Kamu pulang duluan saja, ya?"Livia terdiam sejenak. Pikiran kembali ke apartemen kecilnya yang sunyi membuatnya ngeri. Ia tidak ingin sendirian malam ini, tidak dengan semua pikiran tentang Gavin yang pasti akan menghantui benaknya."Boleh aku menemanimu?" tanya Livia akhirnya. "Aku ... tidak ingin sendirian di apartemen.""Liv, kamu sedang hamil. Kamu butuh i
Gavin tersenyum getir. "Justru kematian ayah yang membuat keputusanku semakin bulat." Ia menarik napas dalam, seolah mengumpulkan kekuatan untuk bercerita. "Pernikahanku dengan Bella sudah hancur sejak lama, Livia. Bahkan sebelum aku bertemu denganmu."Livia terdiam, mendengarkan dengan seksama. Ada sebagian dari dirinya yang ingin meraih tangan Gavin, meremasnya lembut untuk memberikan kekuatan. Tapi ia menahan diri, sadar akan posisinya."Bella berselingkuh lebih dulu, dengan sopirnya sendiri—Daniel," Gavin melanjutkan, matanya menatap kosong ke arah kota yang berkilauan di bawah sana. "Aku sudah mencurigainya sejak lama, tapi mencoba menghempaskan pikiran-pikiran buruk itu. Hingga, tiba saatnya aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, Bella tengah bergumul mesra bersama pria itu di ranjang kami. Aku ingin menceraikannya, tapi aku terlalu pengecut, takut akan kesehatan Papaku. Tapi sekarang ... sudah tidak ada yang bisa menahanku lagi untuk mengakhiri semuanya.""Oh ...," bisik
Sesampainya di apartemen, Livia langsung membaringkan tubuhnya di kasur, masih mengenakan pakaian kerjanya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih berlarian liar.Bayangan wajah Gavin terus menghantuinya. Livia teringat bagaimana Gavin bercerita tentang perceraiannya, tentang pengkhianatan Bella, tentang beban yang selama ini ia tanggung sendiri. Di balik penampilannya dingin dan berwibawa, ternyata Gavin menyimpan begitu banyak luka dan kesedihan.Sesuatu dalam diri Livia tergerak. Rasa iba? Simpati? Atau mungkin ... sesuatu yang lebih?"Tidak, tidak," Livia menggelengkan kepalanya keras-keras. "Kenapa aku jadi peduli padanya? Dia hanya ... ayah dari bayiku. Tidak lebih."©©©Satu minggu berlalu dengan cepat. Sementara kehidupan Livia kembali ke rutinitas normal—bekerja, pulang, beristirahat—di tempat lain, badai baru saja akan dimulai.Bella duduk di ruang tamu kediamannya yang mewah, ditemani kedua orangtuanya—Pak Sugeng dan Bu Ami—saat bel pintu berbunyi. Pelayan membuka pintu, dan
Di perjalanan pulang, mobil mewah keluarga Sugeng diselimuti keheningan mencekam. Pak Sugeng mengemudi dengan kasar, sesekali mengumpat pelan. Bu Ami menatap keluar jendela, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Sementara Bella duduk di kursi belakang, pikirannya berputar liar."Ini tidak bisa dibiarkan," gumam Bella pada dirinya sendiri. "Aku harus bicara langsung dengan Gavin."Sesampainya di depan rumah mereka, Pak Sugeng dan Bu Ami turun dari mobil. Tapi Bella tetap di kursinya."Bella, ayo masuk," ajak Bu Ami.Bella menggeleng. "Ma, Pa, aku harus bertemu Gavin. Aku akan ke kantornya sekarang.""Tapi, Bella—""Aku harus melakukan ini, Ma," potong Bella, matanya menunjukkan tekad yang kuat. "Aku tidak akan menyerah semudah ini."Sebelum kedua orangtuanya sempat mencegah, Bella sudah mengambil alih kemudi dan melesat pergi, meninggalkan Pak Sugeng dan Bu Ami yang hanya bisa menatap mobil mereka menjauh dengan wajah cemas.Gedung Lysandros Group terlihat aktif. Beberapa karyawan terliha
Sepeninggal Bella, Livia melepaskan diri dari rangkulan Gavin, menatapnya dengan bingung."Apa yang baru saja terjadi?" tanyanya lirih. "Kenapa kamu mengatakan hal-hal itu padanya?"Gavin menghela napas panjang, tangannya mengusap wajahnya yang tampak lelah. Ia melangkah menjauhi Livia, berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke kota."Maafkan aku," ucapnya pelan, tanpa menoleh ke arah Livia. "Aku hanya ... menggertak Bella. Dia tidak akan berhenti jika aku tidak melakukan sesuatu yang ekstrem."Livia menunduk, merasakan sesuatu yang aneh di dadanya—seperti rasa kecewa yang tidak seharusnya ada. Tentu saja, pikirnya. Mana mungkin seorang Gavin Lysandros benar-benar mencintainya, apalagi berniat menikahinya. Itu hanya mimpi di siang bolong."Aku mengerti," jawab Livia tenang, menyembunyikan perasaannya dengan baik. "Jadi ... ada apa memanggilku kemari? Sepertinya ada sesuatu yang penting?"Gavin berbalik, kembali menatap Livia. "Aku harus pergi ke Singapura," ujarnya akhirnya. "S
"Apa?!" Bella menarik ponselnya, menatap Daniel tidak percaya. "Kau mengenalnya? Dari mana?""Dia adik tiri Sandra, tetanggaku di kontrakan dulu," jelas Daniel. "Livia dulu tinggal bersama Sandra sebelum akhirnya pindah entah ke mana.""Dan kamu tidak pernah menceritakan ini padaku?" Bella menatapnya curiga."Aku tidak tahu dia jadi selingkuhan suamimu dan bekerja di Lysndros Group." Daniel mengangkat bahunya. "Lagi pula, untuk apa aku cerita? Aku bahkan tidak ingat dia sampai kamu menyebutkan ciri-cirinya."Bella menggigit bibirnya, berpikir keras. "Kamu tahu apa lagi tentang dia?"Daniel menatap Bella sejenak, seolah menimbang sesuatu. "Menurut pengakuan Sandra, Livia ... menjual diri.""Apa?!" Bella terlonjak dari sofa, matanya membulat sempurna. "Dia PSK?""Itu kata Sandra," Daniel mengangguk. "Livia sering pulang larut malam, kadang dengan pakaian bagus dan parfum mahal yang jelas bukan dari gajinya sebagai cleaning service."Bella tertawa kecil, tawa yang dingin dan penuh kemena
Begitu pintu utama terbuka, Livia disambut oleh interior yang elegan—perpaduan gaya klasik dan modern, dengan cat dinding cream yang hangat dan lantai marmer putih yang mengkilap."Ini rumah siapa?" tanya Livia sekali lagi, matanya berkeliling takjub melihat lukisan-lukisan mahal yang terpajang di dinding.Gavin hanya tersenyum misterius, tidak menjawab pertanyaan Livia. Ia menuntun Livia melalui lorong pendek menuju ruang makan. Dua orang pelayan berseragam rapi langsung membungkuk hormat begitu melihat kedatangan mereka."Selamat malam, Tuan Lysandros," sapa salah satu pelayan. "Semua sudah disiapkan sesuai permintaan Anda.""Terima kasih, Amina," jawab Gavin singkat.Ruang makan itu tidak terlalu besar namun sangat mengesankan. Meja makan untuk dua orang terletak di tengah, dihiasi dengan lilin-lilin kecil dan rangkaian bunga lily putih—menciptakan suasana romantis yang sempurna. Jendela-jendela besar menghadap ke taman belakang yang diterangi lampu-lampu taman."Silakan duduk," Pe
Setelah berbincang kesana kemari, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Livia memutuskan untuk pulang. Mereka masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Sesekali Livia melirik ke arah Gavin yang fokus menyetir, senyum tipis tersungging di bibirnya saat mengingat kejadian beberapa jam lalu.Setelah 40 menit, mobil Gavin tiba di area basement. Gavin menghentikan mobilnya di tempat parkir yang sepi. Lampu basement yang temaram menyinari wajah keduanya. Sebelum Livia turun, Gavin meraih tangannya dengan lembut."Livia," suaranya dalam dan penuh keyakinan, "kumohon pertimbangkan lagi untuk menempati rumah itu. Aku benar-benar ingin kamu dan bayi kita tinggal di tempat yang aman dan layak."Livia menghela napas panjang, mata hazelnya bertemu dengan mata cokelat Gavin. Jemarinya memainkan ujung dress putihnya dengan gugup."Terima kasih banyak, Gavin. Sungguh, ini terlalu berlebihan," ucapnya pelan. "Tapi kalau hanya untuk menempati ... kurasa aku
Gavin berjalan cepat melewati lobi gedung Lysandros Group Singapura. Beberapa karyawan mengangguk hormat padanya, tapi tatapan mereka jelas dipenuhi kekhawatiran dan bisik-bisik yang terhenti ketika ia mendekat. Gavin mengabaikan semua itu. Saat ini fokusnnya hanya satu, yaitu menyelamatkan perusahaan yang telah ia bangun dengan segenap jiwa dan raganya."Semua sudah menunggu di ruang rapat utama," kata Kevin, berusaha mengimbangi langkah cepat Gavin.Gavin mengecek arlojinya. "Baik. Aku akan langsung ke sana."Begitu sampai di ruang rapat, suasana tegang langsung terasa. Lima belas anggota direksi dan kepala departemen duduk mengelilingi meja oval besar, wajah-wajah mereka tegang dan cemas. Percakapan terhenti saat Gavin melangkah masuk."Selamat pagi," sapa Gavin, suaranya tegas dan terkendali meskipun ia tahu seluruh ruangan bisa merasakan kecemasannya. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "Saya yakin kita semua sudah mengetahui situasi
Malam semakin larut, tapi Gavin masih berada di kantornya. Gedung yang biasanya ramai kini sepi, hanya ada beberapa petugas keamanan dan staff yang lembur. Jas hitamnya sudah tersampir di sandaran kursi, dasinya dilonggarkan, dan dua kancing teratas kemejanya dibuka—sebuah pemandangan langka bagi siapapun yang mengenal Gavin sebagai pria yang selalu menjaga penampilan sempurna.Layar komputernya menunjukkan penurunan saham yang semakin dalam. Tidak hanya itu, email dari beberapa mitra bisnis yang membatalkan pertemuan atau perjanjian kerja sama juga terus bermunculan di inbox-nya.Ponselnya berdering lagi. Nama "Mama" muncul di layar. Gavin menghela napas, sebelum akhirnya mengangkat."Halo, Ma," sapanya, berusaha terdengar normal."Gavin," suara Bu Lina terdengar cemas. "Apa kamu baik-baik saja, Nak?""Baik, Ma," jawab Gavin, berbohong."Jangan bohong pada Mama," tegur Bu Lina. "Mama sudah melihat konferensi persmu. Apa yang kau pikirkan, mengakui semuanya begitu saja?"Gavin menghel
Livia mengangguk cepat, membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Bu Lina masuk ke ruang tengah yang tertata rapi."Silakan duduk, Bu. Mau dibuatkan teh atau kopi?" tawar Livia."Teh saja," jawab Bu Lina singkat, matanya mengamati sekitar—semua perabotan tampak modern dan minimalis. Livia bergegas ke dapur dan memerintahkan Amina untuk membuat minuman. Tak lama kemudian, Amina datang membawa dua cangkir teh hangat. "Silahkan diminum, Bu," kata Livia dengan sopan. Bu Lina menyeruput tehnya. "Kita perlu bicara."Livia duduk di hadapan Bu Lina, matanya tidak berani menatap langsung pada Bu Lina. Suasana canggung menyelimuti ruangan. "Berapa usia kandunganmu?" tanya Bu Lina, memecah keheningan."Delapan bulan, Bu," jawab Livia pelan.Bu Lina mengangguk. "Dan bagaimana dengan kesehatanmu? Apa kau rutin memeriksakan kandungan?"Livia mengangguk. "Gavin memastikan saya mendapat perawatan yang baik." Belum sempat Bu Lina melanjutkan pertanyaannya, suara presenter berita di televisi yan
Gavin menatap wartawan itu dengan tatapan dingin, tapi tetap menjaga nada suaranya tetap terkontrol. "Saya tidak akan membahas detail privasinya, tapi ya, seorang wanita bernama Livia sedang mengandung anak saya." Gavin melihat wajah-wajah wartawan yang terkejut—mereka tidak menyangka akan mendapat pengakuan langsung."Tapi apakah ini terjadi saat Anda masih berstatus suami dari Bella Lysandros?" tanya wartawan lain.Gavin menggeleng tegas. "Tidak. Hubungan saya dengan Bella sebenarnya sudah lama berakhir, sebelum saya mengenal Livia.""Lalu bagaimana dengan pernyataan Bella yang mengatakan bahwa Anda telah berselingkuh selama bertahun-tahun?" Rahang Gavin mengeras, tapi ia tetap menjaga ekspresi wajahnya. "Saya di sini tidak untuk menjelekkan siapapun, termasuk mantan istri saya. Yang perlu diketahui adalah bahwa perceraian kami terjadi karena ketidakcocokan yang sudah berlangsung lama. Bukan karena saya berselingkuh.""Tapi foto-foto yang beredar menunjukkan Anda dan Livia bersama
Di apartemen Daniel, Bella masih menikmati kemenangannya. Ia baru saja selesai melakukan wawancara eksklusif dengan salah satu stasiun televisi nasional, di mana ia berperan sebagai korban yang tersakiti. Air mata buaya mengalir sempurna di pipinya yang dipoles makeup natural, menciptakan simpati dari pemirsa yang tidak tahu kebenaran di balik perceraiannya."Bagaimana menurutmu penampilanku tadi?" tanya Bella pada Daniel yang duduk di sofa, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan."Sempurna," jawab Daniel datar. "Tapi aku masih berpikir kamu sudah sangat keterlaluan."Bella memutar bola matanya. "Oh, ayolah, Daniel. Ini baru permulaan. Tunggu saja sampai Lysandros Group benar-benar jatuh, dan Gavin akan merangkak memohon padaku." Ia tertawa kecil, suara tawanya terdengar dingin dan kejam.Daniel menatap Bella dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran antara kasihan dan ngeri. Wanita cantik di hadapannya ini telah berubah menjadi sosok yang tidak ia kenal, dikuasai oleh dendam dan kes
Ponsel Gavin di atas meja berdering nyaring, menampilkan nama Livia di layar. Dengan jari sedikit gemetar, ia menggeser layar untuk menjawab."Gavin?" suara Livia terdengar cemas di ujung telepon. "Apa kamu baik-baik saja?"Gavin tersenyum getir. Di tengah badai yang menghantam hidupnya, Livia masih sempat mengkhawatirkan keadaannya. "Tidak perlu mengkhawatirkanku," jawabnya, berusaha terdengar tegar meski suaranya sedikit parau. "Bagaimana keadaanmu dan bayi kita?""Kami baik," jawab Livia dengan nada lembut. "Tapi berita itu ... foto-foto itu ....""Aku akan menyelesaikan ini semua," potong Gavin dengan nada tegas, jarinya menggenggam ponsel dengan erat. "Aku bisa mengatasi semua ini. Yang penting kamu tetap di rumah, jangan pergi ke mana-mana dulu. Wartawan pasti sedang mencarimu.""Baiklah," sahut Livia, suaranya bergetar menahan tangis. "Aku hanya ingin memastikan kamu tidak apa-apa. Aku ... aku takut semua ini karena aku.""Ini bukan salahmu," tegas Gavin. "Ini strategi Bella. M
Gavin menghela napas berat, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal erat."Jangan menyangkal," perintah Gavin dengan suara tegas namun terdengar lelah. "Tapi juga jangan memberikan detail apapun. Katakan bahwa ini adalah masalah pribadi yang tidak akan mempengaruhi kinerja perusahaan.""Tapi, Tuan, mereka menuntut penjelasan lebih. Beberapa investor sudah mengisyaratkan akan menarik investasi mereka jika tidak ada klarifikasi resmi," jelas Kevin, suaranya terdengar frustrasi."Katakan pada mereka untuk tetap tenang," tegas Gavin. "Aku akan terbang ke Singapura besok pagi untuk berbicara langsung dengan mereka. Sekarang, pastikan semua staf kita menyiapkan strategi untuk menghadapi media."Gavin menutup telepon dan menatap langit-langit kantornya, pikirannya berkecamuk. Bagaimana mungkin rumor ini bisa menyebar begitu cepat dan luas? Ia yakin bahwa Bella adalah dalang di balik semua ini. Gavin menatap layar komputer dengan rahang mengeras. Grafik merah yang terus menukik tajam seakan m
Jemari Livia gemetar saat ia menggeser layarnya, membaca artikel yang memuat namanya dengan jelas—Livia, seorang cleaning service yang bekerja di Lysandros Group, disebutkan sebagai penyebab perceraian Gavin Lysandros dengan Bella setelah mengandung anak sang CEO.Yang lebih mengejutkan lagi, beberapa foto dirinya tersebar—termasuk foto saat ia dan Gavin di rumah sakit dulu, ketika Gavin mengantarnya untuk check-up kehamilan. Foto yang sangat pribadi itu kini menjadi konsumsi publik.Air mata Livia mengalir tanpa bisa ditahan. Ia mematikan ponselnya, namun berita itu terus bermunculan di televisi yang kebetulan sedang dinyalakan di ruang tengah."Berita ini menjadi viral tidak hanya di Indonesia, tetapi juga mencapai negara-negara Asia lainnya," ucap presenter berita itu dengan nada sensasional. "Saham Lysandros Group dikabarkan langsung anjlok setelah berita ini tersebar."Livia terduduk lemas di sofa, tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana mungkin berita pribadi mereka bi
Gavin tidak langsung menjawab pertanyaan Livia. Matanya menatap lembut wanita yang tengah mengandung anaknya itu, sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya perlahan. Ketimbang melanjutkan pembicaraan serius itu, Gavin memilih mengalihkan topik."Aku ingin melihat kamar anak kita," ujarnya sambil beranjak dari sofa, mengulurkan tangannya pada Livia.Livia, masih dengan jantung berdebar, menerima uluran tangan Gavin dan bangkit dari sofa dengan sedikit susah payah. Saat Gavin dengan natural meletakkan tangannya di pinggang Livia untuk membantunya berdiri, wanita itu bisa merasakan kehangatan menjalar dari titik kontak mereka."Aku sudah memilih kamar yang paling dekat dengan kamarku."Mereka melangkah bersama, dengan langkah Gavin yang menyesuaikan kecepatan Livia. Setibanya di depan pintu kamar yang di tuju, Livia menghentikan langkahnya. "Ini kamarnya," ucapnya, lalu membuka pintu perlahan.Begitu pintu terbuka, Gavin disambut pemandangan yang membuat hatinya terenyuh. Kamar berukura