Boy melangkah turun, menatap jam tangannya sudah menunjukkan pukul 4 sore. Maka inilah saatnya pria itu membawa Dirga pulang dan menemaninya ke kantor polisi untuk menemui pak Woyo. "Apakah Anda sudah siap, Pak?" tanya Boy menghampiri sang atasan."Sudah, ayo aku sudah tak sabar lagi untuk menemui pria tua itu." Melihat Dirga begitu semangat untuk menemui pelaku maka dengan gerak cepat pria tampan itu melangkah begitu gagah, dia tak tahan lagi untuk mengetahui kebenaran yang sebenarnya."Cepat Boy," titahnya memberi perintah. Sang asisten pun langsung menginjak gas pedalnya menuju ke kantor polisi, berulang kali pria itu tersenyun dan nampak bahagia sekali, bak akan mendapatkan harta yang berlimpah. Bahkan Dirga berjalan lebih dulu masuk ke dalam kantor polisi Dia mendekati seorang polisi yang sangat ia kenal yaitu Pak Roy, "Apakah saya boleh melihat Pak Woyo?""Tentu saja," jawabnya sambil bangun dari duduknya dan membimbing pria itu menuju ke sel tahanan. Menoleh
Dirga meminta Boy untuk pulang ke rumah padahal pekerjaan mereka belum sepenuhnya tuntas, tetapi pria bule itu langsung meminta Boy untuk segera pulang. Dia ingin berbicara kepada Saras, Dirga bukanlah seorang pria yang suka tidak adil kepada siapapun sehingga dia bila mendengar sesuatu hal itu harus dari kedua belah pihak. Apakah yang dikatakan Pak Woyo itu benar atau tidak dan kini satu-satunya orang yang membuktikan omongan pak Woyi itu benar atau tidak adalah Saras, ibu kandungnya. Dirga ingin tahu kejadian yang sebenarnya, apakah benar kecelakaan itu terjadi karena ayahnya Dirga sengaja tidak menginjak rem mobil karena merasa kesal dengan tingkah laku istrinya. "Aku benar-benar tidak menyangka bilang ayahku mempertaruhkan nyawa orang lain," gumamnya berkomentar."Sebaiknya Bapak jangan terlalu percaya! Bisa saja Pak Woyo hanya berbohong kepada Bapak," jawab Boy berusaha menenangkan sang atasan."Tidak, aku rasa pak Woyo berkata jujur, tetapi benar yang kau bilang tadi
Melihat Saras mengangguk, pria itu langsung semakin tajam menatap perempuan paruh baya itu. "Kau tak sah berbohong padaku, apakah kau tahu bahwa pak Woyo baru saja di penjara hari ini juga?""Apa maksudmu? Di man pria itu?" Dirga mengerutkan dahinya seraya bertanya kenapa peremuan itu menanyakan keberadaan pak Woyo. Bukankah pria itu tinggal di luar kota dalam beberapa tahun ini. "Apakah kau berniat untuk menjadikan pak Woyo kambing hitam karena sumaimu kecelakaan setelah mendapati kau berselingkuh dengan pria lain?""Kau salah Ga. Ibu tak pernah berseilingkuh dari ayahmu, hanya saja beliau salah paham waktu itu.""Jadi benar bahwa kau telah berselingkuh? Apakah pria itu adalah ayahnya Selena?" tanya Dirga ingin tahu. Selena yang ternyata sejak tadi mendengar pembicaraan itu langsung menerobos masuk ke dalam, "Apa yang telah kau katakan, Ga? Itu tidak mungkin," ucapnya mulai mengingat bahwa 10 tahun lalu ibunya Selena meninggal."Oh jadi kalian berdua pasangan serasi ya? M
Sejak hari itu, Saras dan Selena terus berusaha mengintimidasi Agatha. Mereka bahkan menyuruh Agatha yang melayani kebutuhan mereka, layaknya seorang pemabntu. Seoerti itulah Saras dan Selena memperlakukan Agatha sewaktu Dirga tidak ada. Melihat bik Siti yang selalu saja membantu Agatha membuat Selena mulai menemukan sebuah ide bahwa dia bisa mengusir bik Siti dengan sebuah cara yang sangat manjur, cara yang ada di dalam otaknya pun langsung dia katakan kepada Saras membuat perempuan paruh baya itu tersenyum dan mengatakan bahwa rencana Selena sungguh merupakan ide brilian. Dia rasa cara itu adakah sebuah cara yang tepat agar bisa menyelamatkan keturunannya dari si perempuan miskin itu. "Tidak ada salahnya kita mencoba dan pastikan bahwa pelakunya adalah pembantu tua itu.""Ibu tenang saja, aku pasti akan menyusun rencana ini dengan baik," jawab Selena tersenyum menyeringai. Tidak ingin sampai seseorang mengetahui rencananya maka Saras mencari cara yang paling efektif agar
Saras tak bisa lagi menahan amarahnya hingga perempuan tua itu melemparkan seua alat kosmetik yang ada di atas laci. "Kenapa Dirga selalu saja percaya orang lain dari apda ibu kandungnya sendiri!" Saras benar-benar tidak bisa terima hal itu. Bukankah selam ini Saras yang mengurus Dirga, sejak dalam kandungan hingga dia sedewasa ini. "Tuhan, kenapa Dirga bisa bersikap seperti ini padaku?" gumamnya serya terus memadangi langit dari jendela kamarnya. Buliran bening jatuh membasahi pipinya, jauh di dalam lubuk hatinya Saras sangat menyayangi Dirga namun mengingat pria itu sangat membela istrinya membuatnya mulai membenci Dirga. Dia menggertakkan giginya karena geram dengan tingkah putera kandungnya itu. Hingga kedatangan Selena pun tak disadari oleh Saras, melihat ibunya menangis peremouann itu mendekatinya dan bertanya, "Apakah kau sesayang itu pada Dirga? Kenapa kau tidak mendekatinya? Ingatlah Bu, ikatan antara anak dan Ibu itu kuat jadi aku yakin, perlahan Dirga akan mema
"Tidak, Nyonya. Aku bersumpah bukan aku pelakunya." Mendengar suara sirine ambulan, bik Siti langsung memanggil anggota medis dan ikut ke dalam mobil ambulan. Sedangkan Saras dan Selena berpura-pura menangis karena dia ingin membersihkan sesuatu sebelum menuju ke rumah sakit dan juga ingin menelepon Dirga. Ketika sampai di sebuah rumah sakit, bik Siti nampak sangat panik sekali disebabkan Agatha terkulai lemas dengan tetesan darah segar di tubuhnya. Pikiran bik Siti mulai kalut, dia yakin sekali bahwa perempuan itu pasti mengalami pendarahan karena telah jatuh dari tangga namun dia tetap berdoa semoga bayi dalam kandungan Agatha baik-baik saja. Mendengar derap langkah sepatu pantopel yang sangat khas, bik Siti menoleh ke arah sumber suara, matanya berlinang saat itu. "Mbak Agatha jatuh dari tangga, Pak," ucapnya menguraikan air mata."Ini ulah perempuan tua ini, Ga," sambung seorang pria dengan menunjuk ke arah bik Siti. Bukan itu saja Selena yang ikut hadir di rumah s
Dirga diperkenankan masuk oleh dokter, tak lupa juga pria itu meminta dokter untuk memeriksa Agatha lagi. Mengikuti langkah dokter, Dirga menghentikan laju langkahnya ketika mendapati wajah sang istri nampak pucat sekali pasca keguguran itu. Dirga menyentuh jemari sang istri begitu kuat seraya memandangi wajah Agatha. Entah bagaimana perasaan Agatha bila dia thau bahwa bayinya kini sudah tidak ada lagi. "Kuharap kedepannya kau mau menerima kenyataan ini, Tha," ucap Dirga berurai air mata. Sehari semalam Agatha dirawat namun perempuan tiu belum juga sadar, dokter juga merasa heran deengan knidisi Agatha. Namun, melihat hasil dari pemeriksaan dokter semuanya nampak baik-baik saja."Mungkin ada sesuatu hal yang membuat pasien enggan untuk bangun!" seru dokter itu menatap Dirga."Apa itu, Dok? Tolong, bantu istri saya," ucapnya sambil menyentuh lengan pria berjas putih itu. Pria itu mengeaskan, jalann satu-satunya adalah Dirga sendiri. Kemampuann Dirga bisa membangunkan is
"Apa yang sedang kau pikirkan, Tha? Jangan terllau banyak berpikir, lebih baik kau istirahat saja," titah Dirga memberi perintah. Pria itu menyelimuti tubuh Agatha dan menyuruhnya untuk tidur karena hari masih gelap, ditambah lagi suasana yang begitu dingin membuat Dirga pun ikut tidur di samping Agatha. Alankah terkejutnya Agatha ketika mnggerjapkan matanya dan cahaya sinaran matahari hari sungguh sangat menyilaukan matanya. "Kau harus bangun, Agatha," ucap seorang perempuan yang sangat dikenalnya."Ibu," ucap Agatha membukanya dengan lebar."Iya, aku rasa kau sudah cukup istirahatnya dan bangunlah karena aku punya kabar untukmu," jawab perempuan paruh baya itu."Kabar apa, Bu?" tanya Agatha sangat penasaran. Saras tersenyum tipis dan menunjukkan sebuah amplopberwarrna putih kepada Agatha, "sebaiknya kau baca saja isi di dalam amplop ini." Perempuan itu memberi perintah. Agatha yang sangat penasaran pun langsung duduk dan membuka amplop tersebut. Membaca isi surat ter