Yuna tersenyum. "Tapi, jangan lupa. Kalau dapat uang ganti ruginya, kau juga harus membaginya padaku."Abian menatap Yuna antusias. "Ya tentu saja, aku akan memberikan setengahnya."Tangan Abian meraih dan merambat di pinggang Yuna. Membuat wanita itu terduduk di pangkuan Abian. Ketika Abian hendak mencium, terburu Yuna menghindar."Kenapa? Kan sudah lama juga kita tidak melakukannya," singgung Abian.Yuna menghela napas. "Aku tidak mau."Abian mengerutkan dahi dan wajah menjadi emosi. "Apa sekarang kau hanya melayani pria kaya saja? Tidak ingat kenapa aku menceraikan Jihan? Itu semua demi kau Yuna."Yuna tersenyum manis. "Benarkah? Aku kira kau menceraikan Jihan karena sudah bosan dengannya."Abian mengecup pipi Yuna. "Tentu saja bosan, wanita yang tidak pandai menyenangkan suami, sudah seharusnya dibuang dan diganti denganmu yang menyenangkan."Yuna terkekeh karena geli. Namun, ketika bibir Abian sibuk di cerukan leher, ekspresi Yuna berubah menjadi datar. Seolah tak suka lagi denga
Jihan menatap Darren yang nampak begitu serius. "Ya."Bella menoleh padanya dan berbisik, "adik Bella?"Mata Jihan memenjarakan Bella dalam diam. Apakah ... Winda bisa disebut adik untuk Bella? Sosok putri yang sudah tidak ada, tapi tetap membekas dalam ingatan Jihan. Meski hati sedih, tapi Jihan berusaha untuk tetap tersenyum dan mengangguk."Iya. Adiknya Bella."Bella tersenyum dan kembali berbisik, "di mana?"Meski berusaha tersenyum, tapi Jihan tak bisa membendung air matanya. "Di sisi Allah, karena Allah lebih sayang dari pada mama."Bella membisu, kata itu sepertinya cukup familiar di telinga sang putri. Hingga Bella turun dari kursi hanya untuk mendekat padanya dan memeluk pinggangnya. Jihan tersenyum dan menghapus air matanya. Namun, ia langsung menatap pada Darren ketika suaminya ini memberikan tisu padanya."Aku tidak menyangka, akan menangis di sini," tuturnya sembari tersenyum."Hapus air matamu dengan tisu. Bella mencemaskanmu," tutur Darren membuat Jihan menurut.Setelah
"Aku orang yang rasional," ujar Darren membuat Jihan menoleh.Darren menatap Jihan serius. "Meski hatiku masih mencintainya, bagaimana pun dia orang yang sudah meninggal. Aku hanya perlu mengurus orang yang masih hidup, yakni Bella. Aku akan melakukan apa pun demi Bella.""Termasuk membuat namaku tertulis di akta kelahiran Bella?" tanya Jihan.Darren mengangguk. "Ya. Sebagai ibu kandung."Jihan tertegun. Kenapa harus ibu kandung, jika ibu tiri bisa dicantumkan? Namun, untuk akta kelahiran apakah bisa nama Jihan dicantumkan sebagai ibu tiri? Tapi, yang jadi masalahnya adalah, apa tidak apa-apa kalau Jihan dipalsukan sebagai ibu kandung."Apa tidak apa-apa Mas? Masalahnya itu bisa dianggap pemalsuan data," cemasnya."Memang, tapi Bella tidak punya ibu. Jadi tidak masalah, selama itu bukan pemaksaan," sahut Darren begitu santai.Masalah mengganti Jihan sebagai ibu kandung, nampaknya begitu mudah bagi Darren. Bukan masalah sama sekali. Jihan tertegun ketika tangan Darren terulur untuk men
Sore itu. Jihan dan Darren sedang berendam bersama di dalam bathub, namun tidak benar-benar hanya berendam saja. Tangan Darren membantu Jihan bergerak di atas. Sementara Jihan mencengkram erat pundak Darren.Bibir Darren tersenyum sinis dan berbisik, "kenapa? Tadi bilangnya mengajak mandi bersama. Tapi diajak begini malah mau."Jihan berusaha mengumpulkan fokusnya yang tercecer. "Mas juga yang katanya hanya bakal mandi bersama saja, kenapa malah mengajak?"Darren menyeringai dan mendekat hanya untuk menggigit bibir Jihan. Gigitan itu lumayan keras, jadi membuat Jihan sedikit meringis dan memukul Darren. Hingga Darren melepaskan gigitan dan berubah menjadi menyesap, tangan Darren juga semakin liar membantu Jihan bergerak. Membuat Jihan benar-benar tak bisa fokus lagi dan terburu menutup mulutnya yang ingin mengeluarkan suara.***Di meja makan, Bella sibuk menatap kedua orang tua yang nampak ceria, tidak seperti biasanya. Meski tidak tahu apa yang membuat Darren dan Jihan seperti itu,
"Menginap di hotel? Kenapa?" tanya Jihan tanpa menjauhkan kepala dari pundak suaminya."Karena hujan. Tidak mungkin kita balik ke rumah."Saat itu juga, Jihan langsung mengerutkan dahi. Apa hubungannya menginap di luar karena hujan? Bukankah mereka pergi dengan mobil? Tidak akan basah juga kalau mengemudi sampai rumah."Apa karena Bella yang sedang tidur? Makanya kita menginap di luar?" tanya Jihan.Darren sedikit meliriknya. "Bukan. Jalanan pasti licin kalau hujan sederas ini, terus pandangan juga terganggu. Jadi, lebih baik mencari penginapan terdekat.""Benar juga."Akhirnya, setelah melakukan reservasi secara online. Darren membawa Jihan dan Bella ke hotel terdekat, tentunya dengan mengemudi hati-hati. Hujan masih saja belum reda, namun ketika Jihan telah siap untuk membuka payung yang diberikan oleh Darren. Tiba-tiba saja hujan malah mulai berhenti.Hingga mata Jihan dan Darren saling bertatapan. Darren menatap sekitar yang benar-benar sudah tidak hujan. Kemudian Darren mengambil
Tengah malam, ketika Jihan tertidur sangat nyenyak. Darren nampak membuka mata dan turun dari ranjang hanya untuk menggeser sofa ke dekat kasur. Dengan perlahan, Darren memindahkan tubuh Bella untuk menjauh dari Jihan. Lantas, Darren merebahkan diri di sebelahnya. Bahkan, Darren dengan sengaja menarik Jihan ke dalam pelukan.Darren menoleh saat Bella menggeliat, tangan pun mengelus kepala sang putri. "Tidur Sayang."Jihan sedikit membuka matanya. Bibirnya langsung mengulas senyum ketika yang pertama kali dilihatnya adalah wajah Darren. Kemudian Jihan semakin masuk ke dalam pelukan Darren. Suaminya nampak sedikit kesulitan bernapas, namun Darren memilih untuk tidak menyingkirkan Jihan.Namun, ketika pagi tiba. Jihan melotot terkejut saat membuka mata, ia menemukan Darren berada tepat di depan matanya. Bahkan tangan Darren sedang memeluk tubuhnya. Jihan benar-benar tak menyangka kalau semalam itu bukanlah mimpi. Jihan memeluk Darren saat tidur."Bagaimana bisa aku tidur sambil memeluk D
Setelah membayar baju yang ia beli. Kini Jihan dan Luna memasuki outlet kosmetik, Luna tak beli banyak barang. Kemudian mereka berdua pergi ke cafe di sekitar mall. Jihan duduk berhadapan dengan Luna yang sibuk bermain ponsel."Hubungan Kakak dengan Kak Aksa baik-baik saja?" tanya Jihan mencoba untuk ikut campur.Luna berhenti bermain ponsel dan menatapnya. "Kenapa tanya?""Hanya ingin tahu saja."Luna berdecak, "pria yang hatinya dihuni wanita lain, mana bisa baik-baik saja berhubungan denganku."Jihan terdiam sejenak. Setelah dipikir sedikit, Jihan akhirnya bisa mengerti. Alasan Luna dinikahkan secara paksa dan tak pernah menjalin hubungan yang baik dengan Aksa. Semua itu karena Elina. Darren begitu tergila pada Elina dan menikahi wanita itu, namun Elina malah diam-diam menjalin kasih dengan Aksa.Setidaknya itu yang Jihan simpulkan. Namun, Jihan langsung membisu dan sibuk menyeruput minuman yang dipesannya saja. Jika benar Elina menjalin hubungan dengan Ak
Luna nampak marah dan berjalan lebih dulu, tentu membuat Jihan yang harus berjalan ke kasir dan membayar. Meski melayani pelanggan yang lain, tapi Abian sesekali berhenti di sekitarnya ketika melintas. Contohnya sekarang, ketika Jihan sedang antre."Dasar tidak tahu malu. Mentang-mentang sudah jadi istri orang kaya, main tuntut saja. Lebih baik kita urus kehidupan masing-masing, datang ke sini sebagai pelanggan saja, jangan membuat masalah," bisik Abian kemudian berjalan pergi.Jihan mengepalkan tangan dengan kesal. Sudah bagus Jihan membantu Abian lepas dari Luna yang bisa saja membuat manajer memecat. Bukannya terima kasih, malah menyuruhnya mengurus kehidupan masing-masing dan tidak saling mengganggu.Setelah membayar, Jihan memutuskan untuk keluar dari cafe. Namun, mata Jihan sibuk mencari keberadaan Luna serta mobil yang terparkir di sekitar mall. Jihan berakhir dengan menghela napas saat merasa kalau dirinya ditinggal. Meski cukup ragu, tapi Jihan mengambil telepon dan mencoba m
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun