"Kau tanya apa yang aku lakukan? Aku mendinginkan kepalamu," sungutnya kesal, bahkan sampai mencengkram cup kopi sangat erat.Abian mendengkus. "Kau gila!""Kau sendiri yang gila. Berani sekali kau menuduhku membunuh anak sendiri, sementara kau membunuh kami secara perlahan!" seru Jihan tertahan.Saat ini, banyak karyawan yang mulai mengalihkan kegiatan makan mereka dan menatap pada Jihan. Mereka berbisik sebab mengenali dirinya. Jihan berusaha menahan amarahnya meski sangat ingin diluapkan sejak lama. Namun, Jihan memilih beranjak pergi."Sial! Kau mau ke mana!" Abian menangkap tangan Jihan dan mencengkram erat."Lepaskan aku, sebelum kau menyesal," ancam Jihan dengan mata melotot marah.Abian menyeringai. "Sudah dapat tahta ya? Makanya berani memberontak padaku. Dengar Jihan, direktur itu pria yang suka gonta-ganti pasangan. Dari pada bersamanya dan akan dicampakkan, lebih baik kau bersama denganku.""Bagaimana?" tanya Abian sembari mencolek dagunya, tentu membuatnya berusaha menghi
Setelah makan siang selesai. Jihan baru tahu maksud dari Darren ketika menyuruhnya makan banyak dan mengubah ekspresinya menjadi angkuh. Saat ini, Jihan berada di divisi tempat Abian bekerja. Satu hal yang membuat Jihan berusaha menjadi angkuh tapi tak bisa, sebab Darren dan dirinya duduk di kursi. Sementara seluruh karyawan yang seharusnya bekerja, malah berdiri di kubik kerja mereka. Kepala saling menunduk."Baiklah, kita mulai sekarang saja," tutur Darren dan mata menatap pada ketua divisi."Baik Pak. Di sini ada amplop, uangnya berisi random namun dipastikan paling sedikitnya adalah 5 juta. Silakan ambil jika mau, syaratnya cuma satu."Ketua divisi menatap Abian yang sudah memiliki firasat buruk. "Tampar wajah wakil ketua tim, Abian."Semua orang begitu terkejut mendengarnya. Termasuk Abian sendiri, mata menatap seluruh karyawan yang pastinya bakal tergiur dengan isi amplop itu. Sekali pun syaratnya merugikan Abian, tapi ... menampar bukanlah hal sulit bagi mereka."Apakah tidak
"Membebaskannya?" tanya Jihan sudah dengan otak traveling.Darren mengelus wajahnya. "Kenapa? Kau pikir aku sedang meminta apa? Hanya menurunkan resleting saja."Jihan mengerjapkan mata. "Hanya ... menurunkan--ah iya, baik."Bibir Darren sedikit mengulas senyum, senyum yang sepertinya pertama kali Jihan dapatkan. "Jadi, sekarang kau sedang berpikir untuk memanjakan milikku? Benar."Jihan menahan napas, kemudian kepala menggeleng. Bagaimana bisa suaminya ini bisa membaca pikirannya? Abian selalu meminta--ah, tidak seharusnya Jihan memikirkan pria itu. Darren mengelus wajahnya dan mendekat untuk berbisik."Masalahnya, kalau aku menurunkan resleting sendiri. Tanganku pasti akan menyenggol milikmu, bukan?"Jihan membisu dengan mata melotot terkejut. Benar, sedekat itulah mereka berdua. Darren menarik napas dan langsung mengecup bibirnya."Aku sudah tidak tahan," adu Darren dengan tangan mulai meraba tubuhnya.Namun, Jihan langsung menurunkan tangan Darren darinya. "Bisakah Bapak meminta b
Jihan menuruni ranjang dan mengambil baju ganti di lemari. Hal itu nampak sangat diperhatikan oleh Darren. Jihan menoleh dan menatap heran pada suaminya."Kau menatap begitu, mau mengajakku mandi bersama?" tanya Darren.Jihan tertegun. "Bukan begitu. Aku malah ingin tanya kenapa Bapak menatapku terus?"Darren menyenderkan punggung pada headboard ranjang. "Aku punya mata, jadi menatap siapa pun itu hakku."Jihan mengangguk saja, memilih tak lagi meladeni Darren. Lantas berjalan memasuki kamar mandi. Sementara Darren menatap pada Bella yang sudah terbangun dan menarik tangan sang ayah."Kenapa? Kau mau mandi bersama?" tanya Darren dan Bella mengangguk.Jadi, sekarang Jihan, Darren dan Bella berada di dalam bathub bersama. Bella nampak sangat ceria berendam dan berjalan ke sana-sini. Sementara Jihan begitu kikuk, pasalnya hanya memakai dalaman saja. Terpaksa ini pun, sementara Darren yang tak memakai baju dan hanya celana saja. Membuat Jihan semakin tak nyaman.Otot itu ... Jihan langsun
Susan menjambak rambut Yuna. "Kau yang sudah gila. Berani sekali menyinggung Nyonya di depanku!"Yuna mendelik marah dan meraih rambut Susan juga. "Berani sekali pembantu rendahan sepertimu menjambak rambut kakak dari majikanmu sendiri!"Mendengar kata kakak, seketika Susan berhenti menjambak dan mata menatap padanya. Saat itu juga, Yuna langsung menampar wajah Susan keras. Jihan harus melerai, sebab Yuna pasti akan terus main tangan sementara Susan sudah menyerah dan merasa bersalah."Kak sudah!" serunya sembari memegang tangan Yuna erat, kemudian menggiring Susan untuk menjauh.Yuna melotot marah dan menggunakan tangan satunya lagi untuk menutul kepalanya. "Kau masih menganggap aku kakak, setelah bersikap angkuh dan menyuruh pembantu untuk menyerangku?"Jihan terdiam sejenak. Kapan ia meminta Susan melakukannya? Jelas-jelas Yuna melihat langsung kalau Susan dengan sukarela menyerang, sebab tak suka dirinya dihina. Terlebih Bella disebut cacat, Jihan pun marah."Pulanglah Kak. Jangan
Jihan menatap Bella yang nampak heran melihat sang ayah terkejut sampai membeku. Terburu Jihan langsung mengambil buku sketsa dan mengembalikannya pada Bella lagi. Kali ini, Bella tak menghindar. Malah mendekat dan memintanya duduk di ranjang juga. Kemudian Bella menyenggol sang ayah, membuat Darren tersadar."Ah ya, wajahmu harus segera diobati."Jihan menyentuh sekitar wajahnya yang terluka. "Ini cuma dicakar saja, besok juga pasti akan langsung sembuh.""Sembuh? Yang ada wajahmu jadi tidak cantik karena ada bekas luka," sahut Darren nampak tak setuju dengannya.Saat ini mata Jihan fokus pada Bella yang menatap padanya dengan ragu. Kemudian Bella mendekat dan memeluk tubuhnya. Jihan mengelus kepala sang anak."Kau sudah tidak takut sama mama?" tanyanya pelan."Bella takut pada kakak tirimu, bukan padamu," sahut Darren sambil menutul lukanya dengan kapas yang ditetesi pembersih luka.Jihan meringis dan menjauhkan tangan Darren. "Pelan-pelan. Lagi pula harusnya bilang dulu kan, sudah
"Pak. Bagaimana bisa kau menggigit bibirku?" protesnya.Darren meliriknya. "Itu hukuman untuk bibirmu yang telah memarahi aku.""Meski begitu, kenapa harus menggigit? Bisa kan menampar mulutku saja.""Kau bilang apa? Menampar mulut? Aku bukan pria yang main tangan pada wanita, apalagi kau sudah jadi istriku. Sudahlah, cepat masuk dan tidur," titah Darren ditemani helaan napas.Darren berjalan lebih dulu dan membuka pintu balkon. Ketika Jihan membawa selimut serta cangkir teh, mulai mendekat. Pintunya yang tertutup justru terkunci. Darren berdiri tepat di depan pintu dengan tangan berkacak pinggang."Pak! Kenapa kau mengunci pintunya?""Sengaja, aku ingin menghukum kamu Jihan. Tidurlah di luar dan nikmati angin dingin di sana." Darren berbalik dan bersiap pergi.Tapi, Jihan yang bersin membuat Darren berhenti melangkah. Perlahan kepala menoleh dan mata melotot. Sebab Darren melihat Jihan yang mendekati balkon, dan nampak melongok ke bawah. Darren yang pernah ditinggalkan sekali karena
Jihan tersenyum dan menatap wajah Darren. "Tersenyum sedikit saja, kau pasti sangat tampan suamiku."Jihan saat ini mendekat dan mengecup bibir Darren. "Aku juga suka bibir ini, wajah ini. Aku suka semuanya."Jihan terus saja mengecup bibir Darren. Hingga membuat batas kesabaran Darren habis, tangan pria ini merambat di lehernya, sementara bibir menyesapnya. Jihan tersenyum, kemudian menjauh dan berbaring sembari menarik selimut."Kenapa dalam mimpiku kau muncul, menyebalkan," gumam Jihan membuat Darren membeku dengan mulut masih terbuka.Darren mendengkus melihat Jihan yang benar-benar sudah tertidur. Bahkan tak terusik ketika Darren mengguncang tubuhnya. Napas Jihan terdengar teratur. Darren menatap Jihan serius."Kenapa? Kau memperlakukan aku seperti itu dalam mimpimu, apa karena kau mulai suka padaku?"***Sore harinya. Jihan menggeliat dan mulai membuka mata. Rasanya baru tadi pagi ia memejamkan mata. Langit sudah terlihat senja. Senja! Jihan yang tersadar langsung masuk ke kama
Darren pikir, kalau sang putra yang terlihat jarang menangis itu akan tetap tertidur seperti siang hari. Ternyata tidak. Di tengah malam, Jihan sibuk membuka kancing baju untuk menyusui Bilal."Ternyata begini rasanya jadi ayah," gumam Darren di tengah mata yang mengantuk.Jihan tersenyum. Mungkin sewaktu bayi, Bella benar-benar diurus oleh pembantu. Darren yang sibuk mengejar cinta Elina atau bekerja, sedikit melupakan sang putri. Jemari Darren mengusap kepala Bilal lembut. "Kapan selesainya Nak? Papa juga kan mau gantian."Jihan menatap suaminya kesal. "Apa sih Mas? Kalau masih masa nifas, istri itu tidak boleh disentuh."Darren menatap Jihan dengan dahi mengerut. "Apanya Sayang?"Tapi, kemudian bibir mengulas senyum. "Aku tak ada membahas masalah ranjang sama sekali padahal.""Terus yang gantian itu apa? Ingin ikut menyusu kan?"Darren terkekeh dan mengusap hidungnya. "Mana tega aku melakukannya padamu Jihan. Aku bermaksud untuk gantian menggendong Bilal saja."Mendengarnya. Jihan
"Yohan," panggil Luna.Suara itu begitu bergetar. Sedang mata yang bengkak itu kembali meneteskan air mata. Kesedihan telah hinggap dalam diri Luna setelah mengetahui fakta terjangkit penyakit ganas itu."Aku akan mati," lanjut Luna.Yohan terburu mendekat dan duduk di kursi. Memegang tangan Luna yang tidak diinfus. Yohan berusaha untuk tidak menunjukkan wajah sedih dan mengelus kepala Luna amat lembut."Tidak Luna. Jangan katakan hal bodoh macam itu, karena kau akan sembuh." Yohan mencium tangan Luna."Tapi tak ada yang bertahan lama, kalau punya penyakit dalam," ujar Luna nampak takut.Yohan menggeleng. "Itu kata orang lain. Tapi kata Allah beda Luna. Selama kita mau berusaha, pasti ada jalan. Yuk semangat, aku akan membantumu menjalani kemoterapi."Luna menatap Yohan nanar. Dokter telah menyampaikan, bahwa kanker stadium 4 tidak bisa disembuhkan, namun tetap harus menjalani pengobatan. Guna memperlambat penyebaran sel kanker juga meningkatkan kualitas hidup pasien.***Waktu terus
"Aduh."Selagi ciuman itu. Darren dikejutkan oleh Jihan yang tiba-tiba saja mengaduh, namun bibir Jihan justru tersenyum begitu menjauhkan wajah. Darren tentu saja nampak cemas dan mengelus wajahnya."Kenapa Sayang? Apa aku ada menyakitimu?"Jihan terkekeh. "Bukan. Tapi anak kita terasa menendang tadi."Kecemasan di wajah Darren pun hilang, digantikan dengan senyuman. "Sepertinya anak kita juga tak sabar ingin ditengok sama ayahnya."Jihan tersenyum. "Apa sih Mas? Bisa saja alasannya kalau lagi ingin."Perlahan Darren merebahkan dirinya di atas ranjang. Kemudian Darren menaiki tubuh Jihan amat ramah. Kancing bajunya dilepas cukup hati-hati juga."Mas, aku tidak akan hancur, meski pun kau tidak melakukannya dengan pelan," komennya.Mata Darren terangkat dan menatapnya kemudian tersenyum. "Baiklah."Bibir Jihan pun mengulas senyum saat Darren lebih bersemangat membuka bajunya. Bibir Darren mengecup kulit lehernya antusias. Jemari Jihan mengelus kepala suaminya dengan lembut.Kecupan Dar
Yohan terkekeh. "Orang? Memangnya di rumahku ada siapa Luna?"Mata Luna menjadi menyipit. "Bisa saja kan kalau kau membawa kekasihmu ke sini. Dan kalian bersenang-senang bersama."Mendengar hal itu, Yohan menarik napas. "Sejak dulu aku tak punya kekasih.""Yohan," sebut Luna kembali mendekati Yohan.Namun, sekretaris Darren itu langsung memegang kedua pundak Luna. Bukan untuk melanjutkan kegiatan ranjang, tapi mendorong tubuh Luna untuk duduk di sofa. Hal itu membuat Luna mengerutkan dahi."Yohan, kan aku meminta bantuanmu, kenapa malah menyuruhku duduk?"Yohan tersenyum miris. "Kau tahu Luna, apa yang terjadi jika sampai orang lain tahu. Tahu soal kejadian malam ini.""Aku berjanji tak akan bicara pada siapa pun. Aku hanya perlu hamil saja Yohan," ujar Luna terdengar bersikeras.Yohan menarik napas. Justru karena ada Darren dan Akio yang bersembunyi di ruang kerja. Jadi, Yohan tak bisa leluasa melakukan hal seperti itu pada Luna, ya meski hal itu terlarang."Pulanglah, aku akan menga
Mendapat pertanyaan itu, membuat Stella bergeming sejenak. Kemudian berusaha untuk tersenyum. Menjemput Aksa di negeri orang, dan menempatkan ke sisi Luna lagi. Itu artinya Stella akan benar-benar bermusuhan dengan Darren."Tentu saja, aku akan membawa Aksa kembali."Luna tersenyum. "Ya harus Bu. Karena anak ini butuh ayahnya."Stella sempat saling lirik dengan pembantu, kemudian mengajukan pertanyaan, "oh iya Nak. Cucuku ini sudah berapa minggu? Jika belum tahu, nanti aku akan memanggil dokter ke rumah."Luna nampak kaget sejenak mendengar penuturan dari Stella, kemudian Luna menjawab dengan segera, "sudah kok Bu. Aku diperiksa oleh dokter yang dipanggil dari luar. Katanya sudah 5 minggu."Stella mengulas senyum. "Begitu ya, ternyata penantian menunggu cucu lahir masih sangat lama. Butuh waktu kurang lebih 8 bulan lagi kan?"Kepala Luna mengangguk dan tersenyum ceria. Namun, begitu Stella menatap ke depan. Raut wajah Luna langsung berubah, sedikit kecemasan terlihat jelas di sana. Na
Luna perlahan mulai keluar dari kamar mandi. "Katakan pada mertuaku, kalau aku hamil."Petugas pun nampak mengerutkan dahi. "Sudah dipastikan memangnya? Bukankah lebih baik diperiksa dulu?"Luna berjalan pergi. "Cukup katakan saja padanya, aku akan memberimu banyak uang jika melakukannya."Petugas tersebut menarik napas mendengar Luna yang bersikeras, padahal belum tentu mengandung. Masalahnya orang yang akan diberi tahu adalah nyonya besar dari keluarga Gerald. Kalau salah informasi sedikit saja, maka kelar sudah hidup petugas itu.***Baru saja kembali ke rumah. Tapi, Darren dibuat kesal oleh Akio yang datang tiba-tiba. Dan memaksa supaya Darren serta Jihan kembali dari perjalanan. Namun, hal yang diberi tahukan oleh Akio justru membuat Darren semakin kesal."Si Luna dikabarkan mengandung," ujar Akio membuat Darren menghela napas."Bagaimana bisa hamil sih?"Jihan membantu Susan meletakkan minuman serta camilan di hadapan Akio. Sepertinya pembahasan mereka berdua cukup serius. Hingg
Jihan menggeliat dalam tidurnya, ketika jemari Darren memainkan bulu matanya. Jihan yang merasa tidurnya terganggu, langsung menyingkirkan tangan suaminya kemudian berbalik memunggungi. Darren terkekeh melihat Jihan yang masih ingin tidur.Tak berhenti sampai disitu. Jemari Darren mulai iseng dan meraba punggungnya, tanpa permisi tiba-tiba saja selimut disibak. Tentu Jihan menolehkan kepala dengan mata yang masih mengantuk berusaha dibuka untuk menatap tajam. Sementara tangan meraih selimut lagi untuk menutupi tubuh polosnya."Mas!" keluhnya.Darren tersenyum. "Masih ngantuk?""Masih."Jihan berbalik lagi. Mendekati Darren kemudian memeluk suaminya yang juga tak berbusana. Darren tersenyum dan tangan mulai berhenti menjahilinya. Jihan pun akhirnya bisa memulai tidurnya lagi."Meski kelihatan kecil perutnya, tapi ketika bertemu kerasa ganjel Jihan," gumam suaminya.Jihan malas meladeni suaminya dan hanya menjawab singkat, "iya."Darren mengerutkan dahi mendengar nada suara malasnya. "B
Sementara Jihan menemani Bella belajar di kamar. Bella sudah tak perlu tidur ditemani Susan lagi, pasalnya Jihan tak harus bersandiwara dan menemani Darren di rumah sakit lagi."Ma," sebut Bella membuatnya menatap."Ya Sayang, ada apa?""Wali kelas memberi tugas, untuk membuat karangan ketika jalan-jalan. Tapi, kita kan tidak pernah pergi bersama-sama seharian penuh ya Ma?" tanya Bella.Jika dipikir kembali. Memang benar, selama menikah. Darren hampir tak pernah mengajaknya mau pun Bella pergi jalan-jalan seharian penuh. Jihan pun tersenyum karena sepertinya mendapat kesempatan untuk menghirup udara segar. Bosan juga rasanya dikurung di rumah karena masalah Aksa dan Luna."Kapan tugasnya harus dikumpulkan?" tanya Jihan sembari mengelus kepala putrinya."Lusa.""Ya sudah, nanti malam mama bilang sama papa ya. Biar besoknya kita jalan-jalan dan pulangnya Bella bisa langsung mengerjakan tugas untuk diserahkan besoknya," ujarnya sembari tersenyum."Benar ya Ma? Yeay!"Sesuai permintaan Be
Jihan berusaha mengalihkan pandangannya dari ibu mertuanya. Alangkah baiknya memang Jihan berpura tidak tahu apa pun. Hanya perlu ikut menatap dalam diam perdebatan antara suaminya dengan Akio."Kenapa langsung nuduh tanpa bukti sih? Serius, aku mendengar kalau Ibumu berkata seperti itu," ujar Akio penuh semangat, kemudian mata melirik pada Stella, "bukankah begitu Nyonya Stella?"Lagi, Akio bertanya. Namun, kali tersebut Stella menatap pada Darren sekilas. Kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Akio soal kebohongan Darren sudah diketahui sejak awal. "Serius?" tanya Darren dengan wajah kaget.Kepala Stella mengangguk lagi. "Ya, ibu sudah tahu."Dan Stella pun menggunakan ibu untuk menyebut diri sendiri. Sorot mata Stella nampak sedih, begitu saling bertukar mata dengan sang anak. Darren sendiri hanya diam saja, sementara Jihan yang merasa pundak ibu mertuanya sedikit bergetar dan tak kuasa menahan emosi hingga berakhir dengan terisak. Jihan langsung mendekat dan memeluk pelan pun