Di depan pintu berdiri seorang pria yang terlihat masih segar meski sudah berumur sekitar kurang lebih lima puluh tahun dengan didampingi dua orang pengawal pribadinya.“B_Bos. Mari, Bos. Silakan masuk. Maaf Bos. Saya tidak tahu kalau Bos akan kesini.”Pazel benar-benar merasa malu dengan kondisi rumahnya yang berantakan. Dia tidak tahu bos besarnya akan datang ke rumahnya.“Kalau begitu saya minta maaf karena tidak memberitahu sebelum kedatangan saya.”“Tidak, Bos. Maksud saya bukan seperti itu,” ucap Pazel.Dia menjadi salah tingkah karena dia takut menyinggung perasaan Bos besarnya. Badannya agak gemetar dan dingin.Orang yang dipanggil Bos berjalan ke ruang tamu diikuti oleh dua orang pengawalnya.Pazel mempersilakan mereka untuk duduk. Namun yang duduk hanya satu orang, yaitu orang yang dipanggil Bos oleh Pazel. Sedangkan yang dua orang berdiri di sebelah kiri dan kanan orang itu.“Saya akan
Sekitar jam tujuh malam, Bu Iyes, Silvia dan Tiara sudah bersiap-siap untuk pergi menemui orang yang telah menjadi penyelamat kepala keluarga mereka itu.Mereka dijemput oleh mobil keluaran terbaru. Bagaikan sebuah mimpi yang menjadi kenyataan, saat mereka bertemu lagi dengan orang yang mereka sayangi dalam keadaan sehat dan bonusnya menjadi seorang konglomerat. Bahkan mereka tidak pernah membayangkan akan bisa menaiki sebuah mobil yang sangat mahal ini.Yang biasanya mereka berdesak-desakan naik angkot sekarang naik mobil mewah. Aroma harum di dalam mobil itu dihirup secara perlahan oleh ketiga orang yang baru menaiki mobil itu.“Kita berangkat sekarang ya,” ucap pak Herman yang masuk paling akhir.Ketiga wanita itu tersenyum sambil mengangguk. Sopir pribadi pak Herman mulai menyalakan mesin dan memulai laju kendaraan dengan perlahan, karena mereka masih berada di area padat penduduk. Setelah sampai di jalan lintas kendaraan itu baru berj
Di antara mereka yang ditolak untuk masuk, ada tiga orang yang memaksa ingin masuk. Yaitu, Pazel, Ibunya, dan selingkuhannya, Rima.“Kenapa kami dilarang masuk? Apa kamu pikir kami ini orang miskin? Kami bukan orang miskin. Kami mampu membayar semua makanan di sini.”Bu Rohana, benar-benar marah. Karena kedatangan mereka ditolak mentah-mentah. Dia merasa sangat terhina. Sebelum datang ke tempat itu, dia sudah berkhayal akan memotret momen saat dia makan, saat makanan terhidang di meja, dan saat mereka tertawa bersama calon menantunya, lalu akan dia pos ting di media sosial miliknya. Sudah pasti Silvia mantan menantunya akan panas saat melihat postingan dia. Tapi ternyata, kenyataan tidak sesuai dengan yang dia harapkan.“ Bukan begitu, Nyonya. Kami sedang ada tamu penting. Tempat ini sudah dipesan secara keseluruhan oleh keluarga Pak Hermansyah. Jadi kami harap Nyonya maklum.”Tidak hanya pihak keamanan restoran yang menghalangi mereka.
Setelah Efendi Kusuma pulang, Hermansyah juga mengajak keluarganya untuk pulang.“Ayo kita juga pulang?” ajak Herman kepada istri dan anak-anaknya.Herman melangkah lebih dulu dan diikuti istri dan anak-anaknya. Bodyguardnya mengikuti di kiri dan kanan Herman. Sesampainya mereka di lobi restoran, sopirnya segera membukakan pintu mobil. Tapi Herman tidak langsung masuk. Lelaki yang masih terlihat gagah dan berwibawa itu mempersilakan istri dan anaknya untuk masuk terlebih dahulu.“Jalan, yup!” Herman memerintahkan agar sopirnya yang dipanggil ayup itu segera menjalankan kendaraan yang sudah ia dan keluarganya naiki.Sepanjang jalan, Tiara memperhatikan jalan yang ia lewati. Gadis tomboi itu heran melihat jalanan yang bukan ke arah rumahnya. Dia sangat hafal seluk beluk jalan raya, karena dia sering keliling kota dengan motor bersama temannya. Rasa herannya mendorong dia untuk bertanya.“Akan ke mana kita, Yah?”
“Sekarang saatnya untuk memberi mantan suamiku sedikit pelajaran,” batin Silvia saat dia merebahkan badannya di sebuah ranjang berukuran besar.Kesedihan dan kebahagiaan yang datang hampir bersamaan dalam hidupnya membuat dia agak tercengang. Ternyata Tuhan memberikan kebahagiaan yang lebih kepadanya di saat dia ikhlas dengan cobaan yang datang.Silvia bangun dari tidurannya. Dia segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu dia berwudhu dan melanjutkan salat isya. Tidak lupa dia mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah Yang Maha Esa atas segala nikmat yang sudah didapatnya.Keesokan paginya seperti biasa dia bersiap-siap untuk berangkat ke butik Boby tempatnya bekerja. Begitu dia turun, dilihatnya sudah ada ayah, ibu dan adiknya di meja makan.“Sini, Nak. Sarapan dulu,” ajak ibunya sambil menarik salah satu kursi.“Wah. Sepertinya, nasi gorengnya enak, nih. MMM wangi banget lagi...,” ucap Silvia sambil menjoro
“Di sana Ayah bertemu dengan.” Dia tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Karena takut akan melukai perasaan anaknya. Dia ingin menjaga perasaan anaknya. Mulai sekarang dia bertekad akan membahagiakan anaknya. Dia ingin membuat anaknya bahagia. Jika bisa dia akan membeli kebahagiaan anaknya. Namun tidak semua bisa dia beli dengan uang, seperti halnya kebahagiaan.Pandangannya begitu penuh dengan penyesalan dan rasa iba terhadap putrinya. Dia merasa selama ini telah menelantarkan anak dan istrinya.Selama ini Silvia sudah banyak menanggung penderitaan. Sebenarnya dia sudah mencari tahu sejak lama tentang anak dan istrinya.Dia sengaja belum menampakkan diri karena dia ingin tahu siapa saja orang yang baik dan yang jahat kepada anak dan istrinya. Pazel mendapatkan pekerjaan juga karena dirinya sendiri yang menerimanya di Perusahaannya. Dan itu demi putri tercintanya.Jika bukan karena putrinya, dia tidak akan menerima Paze
Begitu Silvia sampai di butik milik Boby, Silvia langsung masuk dan menyapa semua karyawan yang lain.“Bos sudah datang belum Ri?” tanya Silvia kesalah satu karyawan bernama Riri.“Sudah, Buk. Bos sudah di dalam,” ucap karyawan yang bernama Riri itu. “O, ya sudah. Aku ke dalam dulu, Ya.”“Iya, Buk,” ucap karyawan itu dengan sopan. Silvia pun berlalu meninggalkan karyawan itu.Karyawan itu kembali melanjutkan aktivitas rutinnya. Setiap pagi memang semua karyawan di wajibkan untuk piket secara bergantian. Kebetulan hari itu adalah jadwal piket karyawan yang bernama Riri itu bersama satu orang lainnya.Tidak lama ia berjalan, ia pun sampai di sebuah ruangan. Dia melihat dari kaca kecil yang ada di pintunya kalau memang sahabatnya itu sudah duduk di meja kerjanya.Silvia mengetuk pintu kantor sahabatnya itu sebelum masuk.Tok..., Tok..., Tok.“Masuk, Sil.” Terdengar suara sahutan dari dalam ruangan tersebut.
“Ok. Gue janji gak bakal sedih. Emang apaan sih? Bikin penasaran saja.”Setelah menarik napas beberapa kali, sahabatnya itu berdiri dan mengayunkan langkahnya ke arah meja kerjanya yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.Dia mengeluarkan sebuah amplop kartu undangan pernikahan dari dalam laci mejanya. Tidak lupa juga surat cerai dengan amplop warna merah.“Ini, Sil. Pazel dan wanita itu tadi datang ke sini. Katanya lu harus datang ke pernikahan mereka.”“O, itu, Kirain apaan? Ngapain gue harus sedih? Gue pasti datang. Kapan acaranya, Beb?”“Katanya minggu depan. Coba saja lihat di kartunya.”“Malas ah. Oiya, gue sampai lupa. Besok gue ijin keluar dari butik ya? Sebab gue disuruh kerja di perusahaan ayah.” Seraya memelas, dia merengkuh bahu sahabatnya.“Ok, gak masalah. Gue malah senang, sebab lu bakal jadi big bos di sana.”“Makasih ya, Beb? Selama ini lu dah banyak bantu gue.”“Itulah gunanya s
Karena melihat raut sedih di wajah istrinya yang berkepanjangan, akhirnya Dokter Dana mendekap istrinya dan berkata dengan yakin. "Kamu jangan khawatir lagi, Sayang. Aku pastikan bayi kita akan segera bersama kita lagi, dan penculiknya akan segera mendapat hukuman yang sangat berat.""Bagaimana, Mas bisa seyakin itu? Sudah hampir seminggu lamanya kita kehilangan bayi kita. Bahkan kita sudah mencari ke mana-mana, tapi hasilnya nihil," keluhnya dalam kesedihannya."Tapi, kita tidak boleh berputus asa, Sayang," pinta Dokter Dana yang sebetulnya menahan kesedihannya demi memberi kekuatan kepada istrinya."Lalu, apa ada perkembangan dari pencarian kita dan polisi, Mas? Aku gak sabar ingin segera bertemu sama anakku, Mas. Aku rindu, aku juga khawatir orang yang menculik anak kita tidak memberikan asupan makanan yang layak untuk anak kita. Atau jangan-jangan...." Kata-katanya terhenti saat pikirannya melayang ke hal-hal yang membuatnya takut. Air matanya tidak berhenti menetes. Melihat keka
Sebenarnya Rani merasa sangat terhina saat dia diperiksa di pos keamanan untuk bisa masuk ke rumah Perdana. Sebelumnya dulu dia tidak pernah diperiksa dulu sebelum masuk. Tapi hari ini dia harus melewati beberapa pemeriksaan dulu. "It's ok. Ini demi melancarkan rencanaku," ucapnya dalam hati. Dia melangkah masuk bersama dua orang anak buahnya yang masing-masing memegang bingkisan."Assalamualaikum," ucap Rani saat dia telah berada di ruangan tamu. Di sana sudah ada Pak Efendi dan istrinya, Pak Herman dan istrinya dan juga Dokter Dana dengan istrinya. Mereka serempak menjawab salam dari Rani."Wa'alaikummussalam.""Maaf, Dana. Om dan Tante. Juga Silvia. Aku tidak tahu, kalau Dana dan Silvia sedang ada acara kumpul keluarga," ucapnya basa-basi."Tidak apa-apa kok, Rani. Tidak ada acara penting. Silakan duduk. Perdana mencoba bersikap biasa."Iya, silakan duduk." Silvia pun berusaha bersikap ramah, walau di hatinya ada kecurigaan bahwa dialah dalang dibalik hilangnya anaknya."Terima ka
Bukan salahnya juga jika wanita itu menganggapnya lain. Dia hanya ingin berbuat baik kepada orang lain. Dia hanya ingin berbuat kebaikan kepada orang yang sedang terzalimi. Dan itu adalah perbuatan mulia. Namun, wanita itu salah kaprah terhadap kebaikan yang ditunjukannya, hingga menganggapnya sebuah tanda cinta sehingga dia menjadi tersanjung, lalu tidak terima saat melihat kenyataan yang terpampang di depan matanya."Kalau begitu, Perdana sudah melakukan perbuatan yang baik kepadamu. Lalu kenapa kamu membalasnya dengan menculik anaknya, Rani? Hentikan semua ini. Setidaknya demi Dana," bujuk Kanaya. "Bukan aku yang menculik anaknya! Tapi kamu! Kamu yang menculik anaknya, dan aku yang akan menyelamatkannya," kilah wanita itu dengan berteriak."Kamu ini sudah gila, Rani!" hardik Kanaya."Ya! Aku gila karena cinta, Kanaya. Dalam cinta semua adil," kekeh Rani yang tidak kehabisan kata-kata untuk membenarkan perbuatannya."M itueskipun begitu, tetap saja perbuatan kamu ini tidak benar, R
"Rani! Aku mohon, lepaskan aku. Aku janji akan melupakan ini semua. Kalau tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi."Mendengar ancaman dari Kanaya, Rani jadi naik pitam. "Apa kamu bilang? Kamu mengancamku? Mau melaporkan aku ke polisi? Kamu gak sadar ya? kalau sekarang nyawamu ada di tanganku!" bentaknya. "Baiklah, kalau kamu menyetujui kesepakatan kita, aku mungkin bisa melepaskanmu," ujarnya. "Kesepakatan apa?" tanyanya dengan cemas. Ha ha ha....Setelah tertawa, dia mendekat ke muka Kania. "Sepertinya kamu sudah setuju, dan memang seharusnya kamu setuju," ocehnya yang terdengar seperti sampah di telinga Kanaya."Aku bukannya setuju. Aku hanya bertanya tentang kesepakatannya!" kilahnya dengan geram."Dengar, Kanaya. Kamu jangan menghabiskan tenagamu untuk marah-marah, karena selain kamu akan kehabisan tenaga, kamu juga akan kesulitan nantinya. kenapa? Karena aku bisa menyakitimu dan juga tiga orang yang sedang berada di ge
Sudah hari ketiga semenjak Savana menghilang. Puncak hidung Kanaya masih belum ditemukan. Nomornya sudah tidak aktif. Segala macam cara sudah dicoba untuk mencari keberadaan Kanaya, namun tak ada jejaknya. Dia bagaikan hilang ditelan bumi.Pihak kepolisian sudah menyatakan dia di daftar pencarian orang. Fotonya sudah disebar di berbagai media sosial dan di selebaran kertas sepanjang jalan di seluruh pelosok."Dasar perempuan tidak punya hati nurani," cerca Kanaya terhadap wanita yang kini tertawa lepas mendengar cercaannya. "Bisa-bisanya kamu menculik anak yang baru berumur dua hari, hanya untuk memuaskan egomu yang terluka!" hardiknya lagi.Perempuan itu menaikkan alisnya dan menghentikan tawanya lalu berkata, "Tunggu! tunggu. Tadi kamu bilang saya wanita yang tidak punya hati nurani karena menculik anak yang berumur dua hari. Betul begitu?" Perempuan itu diam sejenak seolah menunggu jawaban dari Kanaya. Namun belum sempat Kanaya berkata sepatah kata pun, dia sudah tertawa lagi terb
Ternyata ruangan itu kosong. Hanya tetesan air keran yang belum tertutup sempurna yang mengeluarkan suara tetesan air. "Sepertinya dia sengaja tidak menutup habis keran air," batin Perdana. "Dasar perempuan ular!" bentaknya sambil mengayunkan tinjunya ke udara.Dia kembali ke ruangan tengah dengan wajah yang masih merah padam.Silvia yang sudah tidak sabar mendengar keberadaan Kanaya pun bertanya."Bagaimana, Mas? Apa dia ada?"Pak Herman juga sudah tidak sabar menunggu jawaban dari menantunya itu. Dia menatap mata Perdana yang merah. Menunggu dengan tidak sabar. Meski dai tahu yang paling penting saat ini adalah keberadaan cucunya. Entah wanita itu yang menculik cucunya atau tidak, dia hanya ingin cucunya segera kembali.Pak Efendi juga satu pemikiran dengan Pak Herman. Dia ingin segera menemukan keberadaan cucunya. Tapi jika memang perempuan itu yang menculik cucunya, dia tidak akan memberikan ampun."Dia tidak ada di kamar tamu.""Jadi, dia yang menculik putri kita," ucapnya dengan
Azan subuh berkumandang bersahut-sahutan membangunkan umat muslim untuk beribadah menghada sang pencipta. Dokter Dana juga bangun untuk melaksanakan ibadah dua rakaat. Dia sengaja tidak membangunkan Silvia karena Silvia masih dalam masa nifas.Tapi karena sudah terbiasa bangun di waktu subuh, dia tetap terbangun. Semalam tidurnya terasa nyenyak, sebab dia tidak menyusui anaknya secara langsung. Savana minum susu formula yang dibuatkan oleh pengasuhnya. Hanya beberapa menit Dokter Dana pun selesai melaksanakan shalat subuh. Dia mendekat ke arah istrinya untuk memberikan sebuah ciuman."Savana gak nangis semalam ya, Mas?" tanyanya saat dia memeluk lengan suaminya."Kayaknya gak, Sayang. Yuk kita lihat," ucapnya sambil beranjak ke kamar anaknya dengan memapah Silvia.Dokter Dana mulai memutar gagang pintu kamar anaknya. Mereka masuk dan melihat ke arah suster yang terlelap sambil mengorok. Lalu dialihkannya penglihatan mereka kearah kasur bayi. Alangkah terkejutnya mereka saat mendapati
"Kaila..." Silvia dan Perdana menyebut namanya dengan setengah berteriak. Silvia tidak bisa berlari mengejar Kaila. Dia hanya merentangkan tangannya menyambut Kalia yang berlari ke arahnya diikuti seorang wanita cantik dari belakangnya."Tante. Tila kangen sama tante.""Tante juga kangen sama Kaila. Bicaramu sekarang sudah jelas, Ya?" ucap Silvia sambil mencubit pipinya."Iya dong, Tante..., Kan sekarang Tila sudah punya dedek bayi. Ini kado buat dedek bayinya, Tante," ucapnya sambil menyerahkan sebuah bungkusan kepada Silvia."Mmm, Terima kasih ya, Sayang? Repot-repot deh, Kamu," ucap Kanaya gemes sambil menerima kado dari Kaila."Gak repot kok, Tante. Aku cuma bilang bagus aja.""Cuma bilang bagus gimana sih, Sayang?""Jadi, Yang cari kadonya mama sama aku. Aku cuma ditanya sama mama, yang ini bagus, gak? Aku bilang bagus. Jadi aku gak repot, Tante."Semua orang yang mendengar jadi tertawa."Jadi kamu gak repot ya, Sayang?""Gak, Tante. Mana dedek bayinya, Tante?""Ini dedek bayinya
"Aku tidak tahu. Tapi untuk sekarang ini kamu boleh tinggal di rumah ini. Demi Aira."Mira senang sekali mendengar jawaban dari Pazel. Dia segera mengemas semua pakaiannya ke dalam lemari lagi, saat Pazel beranjak ke ruang keluarga membawa Aira sambil bercanda dengan riang. Bercanda dengan sikecil Aira membuatnya bisa menghilangkan beban pikirannya. Dia memang sudah lama menginginkan seorang anak. Kali ini dia tidak ingin melepaskannya, meski dia tahu kalau anak itu bukanlah darah dagingnya.Sementara keesokkan harinya, di sebuah rumah besar nan megah, Silvia sedang berbahagia dengan kehadiran putri mungilnya. Hari ini sedang diadakan acara pemberian nama untuk bayinya. Sekaligus acara potong rambut pertamanya. Silvia tampil cantik dengan balutan busana yang tertutup tapi elegan dan anggun. Warna dan coraknya senada dengan pakaian yang dikenakan oleh Perdana dan putri kecilnya."Saya ucapkan banyak terima kasih kepada saudara, fami