Setelah Liza Masuk Kamar – Balkon Kamar Naira dan ArgaAngin malam bertiup lembut, membawa aroma hujan yang masih tersisa dari sore tadi. Di balkon kamar lantai dua, Naira berdiri dengan selimut ringan menutupi bahunya.Arga keluar perlahan, bergabung di sisinya. Ia menggenggam tangannya, lalu menghela napas panjang sebelum berbicara.“Na... soal Liza,” katanya pelan, suaranya berat. “Ada hal yang belum sempat aku ceritakan.”Naira menoleh sedikit, tapi tak menjawab. Ia membiarkan Arga melanjutkan.“Satu hari setelah ulang tahunnya yang ke-17... Liza kehilangan ibunya. Tante Desi, sahabat Mama, meninggal dalam kecelakaan mobil.”Naira mengerutkan dahi. “Kecelakaan?”Arga mengangguk pelan. “Waktu itu mereka bertiga Ibu, Tante Desi, dan Liza sedang dalam perjalanan pulang dari acara ulang tahun Liza di Puncak. Di tengah jalan, rem mobil blong. Dalam detik-detik kritis, Tante Desi yang menyetir... membanting stir. Dia sengaja menabrakkan sisi mobilnya ke tiang supaya Ibu selamat.”Naira
Alexander Wijaya, atau Alex, adalah sepupu Arga anak dari Tante Hilda adik Pak Pratama ayah Arga.Di masa lalu, Alex adalah salah satu direktur muda paling bersinar di Wijaya Group. Visi bisnisnya tajam, berani, dan modern.Ia dikenal sebagai bos karismatik, namun penuh kontroversi, terutama karena gaya hidupnya yang hedonis dan sempat beberapa kali membuat nama grup tercoreng di media.Salah satu orang kepercayaannya saat itu adalah Reyhan, yang ia rekrut dan orbitkan sendiri ke posisi strategis di bawahnya.Hubungan mereka dulunya sangat dekat Alex melihat Reyhan sebagai versi "liar" dari dirinya yang bisa dikontrol.Reyhan belajar banyak dari Alex, terutama soal politik kantor dan cara-cara melipatgandakan pengaruh dengan cara-cara licik.Namun, hubungan itu hancur saat Alex dicopot secara memalukan setelah tertangkap dalam serangkaian skandal dari penyalahgunaan anggaran proyek, laporan keuangan palsu, hingga video mabuk di sebuah konferensi bisnis di luar negeri.Skandal tersebut
Sore hari, setelah Arga dan Naira pulang kerja Nampak bersantai.Diluar matahari mulai turun perlahan, menyinari rumah mewah dengan nuansa senja keemasan.Di ruang keluarga, Naira duduk santai di sofa sambil membaca dokumen perusahaan. Penampilannya tetap rapi, meski sudah melepas blazer kerja.Arga baru saja pulang dan mengganti pakaian dengan kaus santai. Ia duduk di sebelah Naira, menikmati secangkir teh buatan istrinya.Tak lama, Liza muncul dari lantai atas dengan pakaian rumah kaus oversized yang entah kenapa terlihat terlalu pendek di tubuhnya yang jenjang.Rambutnya dibiarkan tergerai, wajahnya polos namun jelas disengaja.“Kak Arga…” panggilnya sambil menuruni tangga dengan manja. “Aku bosan... kita nonton film bareng, yuk?”Naira menoleh cepat, lalu kembali ke dokumennya dengan tenang. Arga mengangkat alis.“Nonton? Sama kamu?” tanyanya, heran.Liza mengangguk. “Iya dong. Dulu waktu kecil kita sering nonton bareng. Kak Arga suka mijitin aku kalau aku ketiduran di sofa... ing
Setelah telepon ditutup, Liza masih terduduk di sisi tempat tidurnya. Tapi belum sempat ia menaruh ponselnya, layar kembali menyala pesan masuk dari Alex.Maaf... cara ngomongku tadi kelewatan. Aku cuma... ya, kamu tahu sendiri, kan?Liza menarik napas panjang, lalu mengetik balasan singkat:Nggak apa-apa, Kak. Aku ngerti kok.Panggilan masuk dari Alex kembali muncul. Kali ini, nada suaranya lebih tenang."Thanks, Liza," ujarnya lembut. "Aku cuma... kaget aja. Udah lama nggak dengar kabar, tahu-tahu kamu udah di rumah Arga. Kamu tahu sendiri... dia bukan orang yang netral kalau udah urusan keluarga."Liza tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. "Aku ngerti. Aku juga salah, harusnya kabarin Kak Alex dulu.""Jadi sekarang kamu lagi ngapain setelah lulus? Jangan-jangan udah direkrut jadi asistennya Kak Arga?" tanyanya dengan nada bercanda, tapi ada nada cemburu samar di baliknya.Liza tertawa kecil, sopan. "Baru kepikiran mau cari pengalaman. Tadi sempat obrolin soal magang
Siang mulai bergulir ke sore, cahaya matahari menyusup malu-malu melalui tirai tipis ruang tamu. Suasana rumah itu terasa tenang, namun ketegangan tipis mengendap di udara.Naira kembali dari dapur dengan membawa piring berisi kue dan sepiring buah yang baru dipotong.Meski dalam hatinya ia masih menyimpan luka dari hinaan halus dan tawa merendahkan tadi, wajahnya tetap tenang. Senyumnya rapi, dan matanya tajam.“Saya nggak tahu selera tamu satu ini,” ucapnya sambil meletakkan piring di meja. “Tapi semoga cocok. Di rumah ini, kami memang biasa menyambut tamu dengan baik, meskipun kadang tamunya sendiri lupa sopan santun.”Alex menatapnya sekilas, lalu menyeringai. “Wah, pedas juga ya omongannya. Aku kira kamu orangnya kalem.”Liza terkekeh pelan. “Kak Arga memang suka yang beda, Kak. Nggak heran sih kalau pilihannya agak... unik.” Ia menatap Naira penuh arti sambil menyuapkan sepotong buah ke mulutnya dengan gaya manja.Naira tak bereaksi, hanya menatap keduanya dengan senyum yang tak
Kantor Pusat Wira Corp – Jakarta PusatLobi megah dengan desain futuristik dan layar digital raksasa menyambut Reyhan saat ia melangkah masuk dengan setelan jas abu gelap yang masih tampak baru.Tak ada sisa-sisa dari pria yang tinggal di kontrakan bocor bersama ibunya dan Lila.Di tempat ini, ia adalah Reyhan yang baru ambisius, lapar, dan penuh amarah yang disamarkan dengan senyum licik.Alex muncul dari salah satu ruang rapat dengan tangan diselipkan di saku celana. Dengan jas hitam slim-fit dan ekspresi percaya diri, ia tampak seperti tokoh antagonis dalam drama korporat."Reyhan," sapa Alex, lalu menepuk bahunya keras. "Selamat datang kembali di perusahaanku."Reyhan tersenyum simpul. “Terima kasih… Pak. Saya siap bekerja.”Alex mengernyitkan dahi, meski sebelumnya ia minta di panggil Alex saja, tapi mungkin Reyhan merasa itu tidak sopan jadi di biarkan saja,"Bagus. Mulai hari ini, kamu Direktur Operasional Wira Corp," ujar Alex dengan nada seolah sedang mengumumkan promosi pada
Pagi yang Sunyi, Rumah yang Tak Sepenuhnya TenangUdara pagi itu dingin, menusuk kulit namun tak cukup membekukan hati yang sedang penuh amarah.Rumah mereka kini memang lebih layak, bersih, berdinding bata halus, tidak lagi lembap seperti kontrakan sebelumnya yang langit-langitnya bocor dan penuh tambalan.Tapi kenyamanan itu tidak sepenuhnya menenangkan pikiran mereka.Lila duduk di sofa ruang tamu, tubuhnya bersandar lemas. Wajahnya pucat, matanya sembab meski tanpa tangisan.Di meja depannya tergeletak botol obat dari psikiater dan jadwal terapi mingguan yang tak boleh dilewatkan.Setiap malam masih dihantui mimpi buruk, dan setiap pagi ia bangun dengan rasa kosong.“Jangan lupa, nanti jam empat kita ke psikiater,” suara Bu Maya pelan namun tegas, mencoba menjaga rutinitas sang putri.Lila hanya mengangguk, lalu berbisik pelan, “Kalau bukan karena dia... aku gak akan seperti ini.”“Dia”—yang mereka maksud tak lain adalah Naira.Bu Maya memutar sendok di cangkir tehnya, bibirnya me
Malam itu terasa sunyi. Di ruang kerja Arga yang remang, Naira masih menelusuri lembar demi lembar dokumen proyek kerja sama dengan Jepang.Matanya yang lelah membesar ketika menemukan dua dokumen dengan isi yang nyaris sama tapi ada angka kecil yang berbeda.Sangat kecil. Namun cukup untuk membuat kerugian miliaran jika dibiarkan lolos.Ia segera mengambil ponsel dan memfoto dua halaman tersebut. Lalu memeriksanya ke dokumen digital. Perubahan itu... bukan kesalahan input biasa.“Tidak mungkin ini typo... ini sudah disengaja,” bisik Naira, jantungnya mulai berdetak lebih cepat.Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menyalakan laptop Arga dan masuk ke sistem data perusahaan dengan akses khususnya sebagai Wakil Direktur.Matanya menyapu deretan aktivitas terakhir.Dan di sana ia melihatnya.Seseorang telah masuk ke database dua malam lalu. Tanpa otorisasi resmi.Menggunakan akun pegawai bagian keuangan. Tapi Naira tahu, pegawai itu sedang cuti panjang ke luar negeri.Ada pengkhianat d
Begitu fajar menyusup melalui celah tirai, cahaya lembut pagi menari di atas wajah Naira yang masih tertidur lelap.Namun begitu kelopak matanya terbuka perlahan, detak jantungnya langsung memburu.Arga.Lelaki itu terbaring di sampingnya, memeluknya dari belakang, erat dan hangat, seolah tak pernah ada jarak di antara mereka.Nafasnya yang tenang menyapu tengkuk Naira, menciptakan geli dan getaran tak terduga di dada.“Apa…?” gumamnya nyaris tak terdengar, namun matanya membelalak, penuh keterkejutan.Dengan panik, ia langsung berbalik dan mendorong dada suaminya. “Arga?!”Arga mengerjap, terbangun karena dorongan itu. Tatapan matanya masih berat karena kurang tidur, tapi penuh kesadaran.“Kamu udah bangun…” ucapnya pelan, suara seraknya seakan memperkuat kelelahan yang disembunyikannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Di… ranjangku?” desis Naira tajam, wajahnya merah bukan hanya karena malu tapi karena marah, bingung, dan terkhianati oleh sesuatu yang tidak ia mengerti.Sudah tiga h
Malam itu, langit Jakarta gelap berawan. Di sebuah rumah mewah yang klasik, Naira baru saja selesai membilas wajahnya di wastafel.Ia menatap cermin, mata letih, bahu tegang, dan hati yang masih penuh bara.Lalu ponselnya berdering. Nama Tari, sahabat lamanya sewaktu kuliah yang kini jadi influencer dan pengusaha bar ternama, muncul di layar.Dia satu-satunya, yang masih berhubungan dengan Naira semenjak lulus."Halo, Tar?""Nai! Kamu di rumah? Turun sekarang. Aku parkir di depan rumah kamu!""Ha? Buat apa? Udah malem gini—""Naira, kamu tuh butuh liburan jiwa! Aku culik kamu malam ini. Nggak ada debat. Udah kelamaan, kamu simpan semuanya sendiri. Sekali-kali lepasin beban!"Naira menghela napas panjang. Ia sempat menatap ke cermin, lalu tersenyum kecil.“Fine. Tunggu aku lima menit.”Kurang dari sejam kemudian, sebuah mobil sport hitam berhenti di depan CLUB LUCENT, tempat hiburan kelas atas yang hanya diakses oleh undangan terbatas.Interiornya mewah dengan nuansa violet dan gold, m
Sudah tiga hari berlalu sejak Naira melihat sendiri bagaimana Liza memeluk suaminya di ruang kerja.Dan selama tiga hari itu pula, sikap Naira berubah total.Ia datang ke kantor dengan tatapan dingin, langkah cepat, dan aura yang begitu menekan. Tidak ada lagi senyum ramah, tidak ada lagi perhatian pada detail kecil yang biasanya ia berikan pada timnya.Semua staf jadi kaku.“Laporan mingguan siapa yang telat?” suara Naira terdengar tajam saat evaluasi pagi. Tak ada yang menjawab. Bahkan Tina yang biasanya paling berani hanya menunduk.Liza duduk di antara staf lain, wajahnya pucat. Sejak kejadian itu, Naira sama sekali tidak menegurnya. Bahkan saat mereka berpapasan di lorong, Naira hanya melirik sekilas—tanpa kata, tanpa ekspresi. Seolah Liza hanyalah bayangan tembok yang tak pantas mendapat perhatian.Tapi tekanan paling terasa justru pada Arga.Ia sudah mencoba bicara. Sudah mengejar Naira pulang malam itu, mencoba memeluk dan meminta maaf, tapi tak ada celah.“Aku nggak ingin mem
Suasana di dalam rumah Bu Rina terasa mencekam.Pintu depan terbuka dan tertutup cepat, Naira baru saja keluar, meninggalkan aroma parfum mahal yang seolah menyisakan bayangan luka di udara.Bu Rina yang sedari tadi berdiri di balik tirai langsung keluar, menahan napas melihat Arga dan Liza yang masih berdiri kaku di balkon.“Arga! Cepat kejar Naira! Minta maaf!” seru Bu Rina tajam, nadanya lebih seperti perintah dari seorang jenderal daripada nasihat seorang ibu.Jangan biarkan istrimu pulang dalam keadaan seperti itu. Dia perempuan kuat, tapi bukan berarti dia tidak bisa terluka. Kau seharusnya jadi tempatnya kembali bukan luka yang baru.”Arga tampak ragu, tapi matanya mulai menyadari bahwa batas kesabarannya telah ia lewati.Ia bergerak cepat menuruni tangga dan keluar rumah, meninggalkan Liza yang berdiri membeku.Seketika itu juga, Bu Rina menoleh ke arah gadis muda itu. Wajahnya masih lembut, tapi tidak lagi seramah dulu.“Liza, Nak…” ucap Bu Rina dengan nada yang hati-hati. “M
Keesokan harinya Naira duduk tenang. Ia membuka laptop dan membaca ulang email laporan mingguan yang dikirimkan oleh Tina selama Naira cuti. Salah satu nama dalam daftar absensi rapat membuat alisnya terangkat.Mata Naira menyipit. “Pengamat?” gumamnya. Padahal Liza adalah anak magang, dan tidak semestinya ikut rapat strategis bersama jajaran manajemen.Mata Naira menyipit, jemarinya mengetuk-ngetuk meja pelan. “Pengamat?” gumamnya, nadanya dingin dan tajam.Padahal Liza hanyalah anak magang, bukan bagian dari tim inti. Tidak semestinya ia duduk di meja rapat strategis yang hanya dihadiri para kepala divisi dan eksekutif senior.Ia membuka file CCTV internal dan memilih rekaman rapat tersebut. Saat layar menampilkan gambar, terlihat Liza duduk di ujung meja, mencatat dengan rajin.Namun matanya lebih banyak memandangi satu sosok: Arga. Tatapannya tidak profesional. Pandangan yang terlalu lama, terlalu lembut, terlalu… personal.Naira menyandarkan punggung ke kursi, senyum tipis mengem
Usai rapat evaluasi mingguan, Naira berjalan keluar ruang meeting dengan kepala tegak dan langkah mantap.Aura dingin dan berwibawa mengikutinya, sementara Liza yang sejak tadi mengintai dari kejauhan, langsung mengambil kesempatan.Begitu yakin Naira tak ada di sekitar ruangan direktur, Liza segera melangkah menuju ruang kerja Arga.Ia mendorong pintu perlahan dan masuk dengan wajah murung, air mata sudah menggantung di pelupuk matanya.“Kak Arga…” panggilnya lirih, suaranya serak seolah menahan tangis. “Aku… aku benar-benar nggak nyaman tinggal di rumah Alex. Dia... terlalu protektif. Aku merasa dia curiga terus padaku. Aku kesepian... aku takut…”Arga yang sedang memeriksa dokumen menoleh, alisnya mengernyit. “Liza… aku pikir kamu sudah setuju tinggal sementara di sana. Bukankah Alex juga sudah menerima kamu dengan baik?”Liza menggigit bibirnya, lalu tiba-tiba menangis. “Aku cuma… merasa dibuang, Kak. Aku tahu aku cuma anak yatim piatu, aku nggak pernah niat ganggu siapa pun. Kak
Liza terus memaksa bertingkah manja pada Arga, bahkan bersandar dengan sengaja di lengannya, membuat suasana semakin tak nyaman.Saat itulah Bu Rina datang menghampiri, melihat keadaan dengan tajam namun tenang.“Liz, sepertinya kamu butuh istirahat,” ucap Bu Rina lembut namun tegas. “Alex, tolong antar Liza ke dalam. Biarkan Arga dan Naira menikmati malam ini. Mama ingin segera menimang cucu.”Alex langsung mendekat dan tanpa banyak bicara mengangkat tubuh Liza yang masih basah kuyup dan menangis kecil. Liza mencoba menahan, “Tante, aku masih mau di sini, Kak Arga…”Namun Alex dengan sigap membawanya pergi, meninggalkan Naira dan Arga berdua.Naira menatap langkah mereka menjauh, lalu menoleh ke Arga. “Mas… Ibu akan marah padaku, nggak?”Arga menarik Naira ke dalam pelukannya dan mencium keningnya. “Ibu mencintaimu, Sayang. Dia tahu siapa yang jahat, dan siapa yang selalu tulus.”Naira mengangguk pelan, namun sorot matanya penuh tekad. Kali ini, dia tak akan membiarkan siapa pun mere
Beberapa hari kemudian…Hari itu matahari bersinar cerah, seolah ikut merayakan hari spesial. Ulang tahun Bu Rina yang dikenal lembut dan sangat mencintai Naira seperti anak kandungnya sendiri.Sebuah pesta makan siang elegan digelar di restoran klasik penuh rangkaian bunga segar dan sentuhan mewah yang mencerminkan keanggunan sang nyonya rumah.Pagi sebelum acara, Arga memanggil tim stylist khusus ke rumah. Ia ingin Naira tampil sempurna hari itu.“Buat dia bersinar,” ucap Arga pada stylist-nya. “Karena tak ada yang lebih pantas berdiri di sampingku selain istriku.”Ia juga telah menyiapkan gaun eksklusif warna champagne gold dengan detail bordir halus, rancangan khusus dari desainer ternama.Gaun itu dirancang untuk membuat Naira terlihat elegan dan mencuri perhatian siapa pun.Namun tanpa sepengetahuan Arga dan Naira, Liza diam-diam menyelinap ke ruang wardrobe malam sebelumnya.Dengan penuh iri, ia menukar gaun mewah itu dengan dress polos berwarna nude yang jauh lebih sederhana.
Satu minggu kemudian...Pagi itu, suasana rumah terasa sedikit lebih tegang. Liza sudah kembali dari kantor, mengenakan pakaian kasual dengan sentuhan glamor blouse ketat dan rok mini yang menonjolkan lekuk tubuhnya, siap menarik perhatian.Ia duduk di ruang makan sambil memainkan ponsel, terlihat tak sabar menunggu waktu bertemu Arga.Sementara itu, Naira sibuk dengan rutinitas di butik. Meski cuti dari kantor, ia mengatur semuanya dari jauh dengan efisien.Liza semakin sering berada di rumah, dan itu mulai mengganggu. Tapi Naira bukan tipe istri yang lemah. Ia tahu kapan harus bersikap manis, dan kapan harus menekan balik dengan cara elegan.Saat Naira pulang sekitar jam tiga sore, Arga sedang duduk di ruang tamu, memeriksa dokumen penting di tabletnya.Liza yang baru keluar dari kamar mandi, menyambut Naira dengan senyuman manis yang dibuat-buat dan melirik kearah Arga."Kak Arga, sudah pulang yaa? Mau kopi? Liza buatkan," ujarnya lembut dengan nada manja.Arga yang sedikit terkeju