Begitu fajar menyusup melalui celah tirai, cahaya lembut pagi menari di atas wajah Naira yang masih tertidur lelap.Namun begitu kelopak matanya terbuka perlahan, detak jantungnya langsung memburu.Arga.Lelaki itu terbaring di sampingnya, memeluknya dari belakang, erat dan hangat, seolah tak pernah ada jarak di antara mereka.Nafasnya yang tenang menyapu tengkuk Naira, menciptakan geli dan getaran tak terduga di dada.“Apa…?” gumamnya nyaris tak terdengar, namun matanya membelalak, penuh keterkejutan.Dengan panik, ia langsung berbalik dan mendorong dada suaminya. “Arga?!”Arga mengerjap, terbangun karena dorongan itu. Tatapan matanya masih berat karena kurang tidur, tapi penuh kesadaran.“Kamu udah bangun…” ucapnya pelan, suara seraknya seakan memperkuat kelelahan yang disembunyikannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Di… ranjangku?” desis Naira tajam, wajahnya merah bukan hanya karena malu tapi karena marah, bingung, dan terkhianati oleh sesuatu yang tidak ia mengerti.Sudah tiga h
Langkah kaki itu menjauh perlahan, menyisakan ketegangan di koridor sunyi rumah besar keluarga Wijaya.Beberapa menit kemudian, di sudut ruang makan, Liza meneguk kopi hangat sambil tersenyum miring, tatapannya tajam menyapu halaman depan dari balik jendela.Tangannya menggenggam kuat ponsel yang tadi digunakan art dirumah Arga untuk memberi kabar terbaru tentang Naira dan Arga."Tidur sekamar?"Ia mengepalkan rahang. “Setelah semua yang aku lakukan? Setelah aku ada di rumah mereka, tinggal di bawah atap yang sama, dia masih bisa peluk Arga seperti itu?!”Suara sepatu hak tinggi Liza bergema saat ia bangkit dari kursi, melangkah cepat menuju kamarnya.Ia membuka lemari dengan kasar, menarik jas formalnya dan bersiap lebih awal dari biasanya.Wajahnya kini tegang, penuh strategi dan kemarahan yang perlahan menumpuk menjadi satu rencana yang lebih jahat.Di kantor Wijaya Group, suasana pagi terasa berbeda.Beberapa staf yang melihat Naira dan Arga datang bersama pagi itu nyaris menjatuh
Pukul 01.17 dini hari.Di ruang kontrol CCTV, dua sipir senior tampak terlelap, tak menyadari bahwa sistem kamera telah dimanipulasi.Feed lorong menuju sel Raisa kini menjadi “blind spot” selama tiga menit, cukup untuk seseorang menyelinap.Langkah kaki ringan terdengar di lorong. Seorang perempuan berseragam sipir, salah satu staf baru yang wajahnya selalu tertutup masker medis berdiri di depan sel Raisa.Tanpa bicara banyak, ia menyelipkan kunci sel manual dan jaket hitam ke bawah jeruji.“Sudah waktunya. Truk menunggu di belakang,” bisiknya datar.“Siapa kamu?” tanya Raisa cepat, meski tangannya sudah bekerja membuka kunci sel.“Jalan sudah dibuka. Truk sudah menunggu. Kau punya waktu dua menit,” ucapnya singkat.Raisa tak bertanya. Ia hanya mengangguk, lalu mengganti pakaiannya dengan cepat, menyembunyikan wajah dan rambutnya di balik hoodie.Beberapa menit kemudian, ia sudah bersembunyi di belakang truk pengangkut sampah. Truk bergerak perlahan, lalu menghilang dalam hujan malam
Malam hari, dua minggu setelah kaburnya Raisa.Rumah Naira dan Arga kini dijaga ketat oleh satuan keamanan pribadi yang disewa langsung oleh Arga dari unit elite. CCTV terpasang di setiap sudut, gerbang dilengkapi sistem sidik jari, dan para penjaga bergantian patroli sepanjang malam.Namun, bahaya tidak selalu datang dari luar.Di ruang kerja Naira, layar laptopnya menyala dengan presentasi rapat yang belum selesai ia siapkan. Tapi perhatiannya terganggu oleh bunyi notifikasi email yang muncul di sudut kanan bawah layar.[Pengirim Tidak Dikenal: Aku lihat kamu masih suka warna biru, Na.]Naira mengerutkan kening. Ia menekan tombol enter dan membuka pesan itu. Hanya ada satu foto di dalamnya dari kejauhan, tampak dirinya pagi tadi saat turun dari mobil, mengenakan blazer biru muda, berdiri di depan kantor sambil memegang map.Itu bukan foto dari media sosial. Sudut pengambilannya terlalu privat. Terlalu dekat. Terlalu nyata.Naira langsung menutup laptop dan memanggil Arga, yang baru
Senin pagi, pukul 08.05Langit Jakarta masih mendung, seolah mencerminkan kabut tebal yang perlahan menutup kehidupan Naira.Di ruang rapat lantai 17, suasana mencekam.Laporan keamanan di meja membuat kepala bagian IT dan tim keamanan gelisah. Ada indikasi kuat bahwa sistem internal mereka sempat disusupi dari luar jejak IP anonim yang berhasil menembus firewall selama tiga menit dua hari lalu.Arga berdiri di depan layar, wajahnya gelap. Di sampingnya, Naira duduk dengan tatapan tajam."Kalau benar sistem kita bisa ditembus segampang ini, maka semua data klien dan proyek rahasia kita dalam bahaya," ucap Arga, nada suaranya tegas."Dan kalau penyusupan ini ada hubungannya dengan kaburnya Raisa... maka kita sedang diawasi," tambah Naira, suaranya lebih pelan, tapi sama menusuk.Seorang staf IT yang baru direkrut beberapa minggu lalu tampak gugup. Ia menunduk, mengetik cepat untuk memeriksa ulang log.Tapi tidak ada yang tahu bahwa anak muda itu Vino, lulusan teknik komputer jenius ada
Ruang Bawah Tanah – Safehouse Wijaya GroupRaisa duduk bersandar di dinding besi dingin, tangan terikat ke belakang. Wajahnya sudah penuh luka mata kanan membiru, bibir pecah.Tapi sorot matanya masih tajam, seperti ular yang belum puas menggigit.Dion di kursi baja, tangan dan kakinya diborgol rapat, wajah pucat pasi. Ia tak berhenti berkeringat, tubuhnya gemetar menahan sakit setelah interogasi ringan dari anak buah Bima.Pintu baja terbuka dengan dentuman keras.Langkah berat terdengar, lalu muncul siluet Arga. Tubuhnya masih mengenakan kemeja berdarah, mata merah menyala seperti binatang buas.Tak ada senyum. Tak ada kata-kata pembuka. Hanya satu hal yang tampak jelas: dendam.Tanpa aba-aba, Arga menarik rambut Dion kasar dan menghantamkan kepalanya ke meja baja.Bunyi retakan terdengar, darah langsung mengalir dari pelipis Dion yang menjerit kesakitan.“Aaarrgh—!”Arga mencengkram dagunya, memaksanya menatap mata merahnya.“Kenapa kalian ganggu istriku?” katanya pelan. Tapi nada
Rumah Sakit – Malam HariLampu lorong rumah sakit mulai diredupkan. Hanya lampu dinding yang menyala samar, menciptakan suasana sunyi dan mencekam.Para perawat mulai bergantian berjaga. Di ruang rawat VIP, Naira masih terbaring lemah, tak menunjukkan tanda-tanda sadar.Arga sedang pulang sebentar ke rumah atas desakan Pak Pratama untuk mandi dan beristirahat sejenak. Ia enggan, tapi akhirnya menurut. Tak sampai dua jam.Di saat yang sama, seseorang masuk ke area rumah sakit dengan hoodie hitam, wajahnya tertutup masker.Reyhan.Ia menyelinap lewat lorong belakang, mengenal betul tata letak rumah sakit dari zaman ia masih menjadi suami Naira. Ia berjalan cepat, menunduk setiap kali ada perawat lewat.Sampai akhirnya… ia tiba di depan pintu kamar Naira.Perlahan, ia membuka pintunya.Ceklek.Lampu ruangan redup. Naira masih dalam posisi yang sama, matanya tertutup rapat, wajahnya tenang namun memucat.Reyhan melangkah pelan mendekati ranjang. Nafasnya memburu pelan. Matanya menatap Nai
2 hari kemudian di Safehouse milik Wijaya Group malam itu sepi. Terlalu sepi.Bima yang berjaga di pos depan menguap pelan. Ia tak tahu, di kejauhan, beberapa mobil hitam tanpa plat tengah merayap senyap.Di dalamnya, para pria bertubuh kekar dan berwajah datar, dengan komunikasi lewat isyarat tangan, siap menjalankan misi: hilangkan saksi.Di dalam safehouse, Dion dan Raisa sudah mulai tenang. Luka-luka mereka telah dibersihkan sekadarnya. Dion, meski masih lemah, terlihat jauh lebih lega setelah berjam-jam disiksa Arga.“Raisa…” Dion melirik pelan, suaranya parau. “Aku… makasih udah nggak nyeret aku sendiri. Aku tahu aku pengecut. Tapi aku pikir... kalau kita bisa keluar dari sini, aku bisa... bisa minta maaf ke semua orang.”Raisa hanya diam, duduk di pojok ruangan. Nafasnya berat. Matanya kosong.Tapi detik berikutnya—DUARRR!Ledakan kecil menghantam pintu belakang safehouse. Asap mulai memenuhi lorong. Lampu padam. Alarm darurat menyala merah.“APA ITU?!”Bima langsung teriak le
Beberapa hari setelah Naira sadar. Naira duduk di kursi roda, didampingi Tari. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju taman kecil di belakang gedung.Angin malam menyapa lembut, dan bunga melati mulai bermekaran, menyebarkan aroma tenang. Tapi hati Naira tidak tenang.Tatapannya jauh. Kosong, tapi dalam.“Na… kamu yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Tari sambil mendorong pelan kursi roda.Naira tersenyum kecil. “Aku cuma… butuh lihat langit. Rasanya udah lama banget nggak hidup…”Tari menunduk. Lalu berbisik lirih, “Kamu masih ingat sesuatu?”Naira menoleh. Tatapannya berubah. Lebih tajam. Lebih sadar.“Sedikit,” bisiknya. “Aku ingat... ada suara. Lembut, tapi seperti pisau. Ada sesuatu disuntikkan. Aku merasa sangat ngantuk. Terlalu ngantuk.”Tari berhenti mendorong. “Kamu yakin?”Naira mengangguk. “Dan aku yakin… itu bukan suster. Bukan dokter.”Sunyi.Angin mendesis pelan seperti menyampaikan peringatan.“Liza,” kata Tari pelan. “Aku juga curiga. Waktu itu aku p
Hujan tak lagi turun pelan, tapi mengguyur kota dengan derasnya seolah langit pun tak kuat menahan beban rahasia yang selama ini tertahan.Petir menyambar di kejauhan, bayangannya memantul di kaca jendela kamar rumah sakit yang temaram.Tari masih duduk di sisi ranjang, wajahnya letih, matanya sembab. Buku doa di tangannya mulai lusuh karena terlalu sering dibuka.Sesekali ia membisikkan ayat-ayat pendek di telinga sahabatnya, seperti menuntun jiwa Naira untuk kembali dari dunia sunyi yang tak bisa dijangkau siapa pun.Tapi malam itu... ada yang berbeda.Jemari Naira bergerak.Sekilas. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat napas Tari terhenti.Dia membeku. Lalu menoleh cepat."Naira...?" suaranya lirih, penuh ketakutan, harapan, dan ketidakpercayaan. Ia mendekat, wajahnya nyaris sejajar dengan wajah pucat sahabatnya.Kelopak mata Naira bergetar. Pelan. Lalu terbuka… seperti kelopak bunga yang merekah setelah badai panjang.Mata itu masih sayu. Pandangannya kabur. Tapi saat ia menatap
Rumah Sakit hari kelima Naira di rawat.Hujan turun perlahan, menyentuh kaca jendela kamar VIP yang sepi. Di dalamnya, Naira masih terbaring dengan infus dan alat bantu napas.Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, tapi garis hidup di monitor masih stabil dan itu satu-satunya harapan yang membuat Arga tetap bertahan.Ia duduk di sisi ranjang, belum pernah meninggalkan kamar itu.Matanya merah, tubuhnya mulai lemah, tapi genggaman tangannya pada tangan Naira tak pernah longgar."Kamu harus bangun, sayang… aku nggak bisa hidup tanpa kamu…,” bisiknya pelan, hampir seperti doa.Pintu terbuka perlahan.Sosok ramping dengan rambut panjang masuk pelan-pelan, membawa termos kecil dan kantong makanan.Liza.“Kak Arga…” ucapnya lembut, dengan nada manja. “Aku bawain makan. Kakak belum makan dari tadi pagi, kan?”Arga hanya menggeleng, menatap kosong ke arah Naira.Liza mendekat, meletakkan makanan di meja. Ia berdiri di belakang Arga, lalu menunduk, menyentuh bahunya dengan lembut.“Kakak nggak akan k
2 hari kemudian di Safehouse milik Wijaya Group malam itu sepi. Terlalu sepi.Bima yang berjaga di pos depan menguap pelan. Ia tak tahu, di kejauhan, beberapa mobil hitam tanpa plat tengah merayap senyap.Di dalamnya, para pria bertubuh kekar dan berwajah datar, dengan komunikasi lewat isyarat tangan, siap menjalankan misi: hilangkan saksi.Di dalam safehouse, Dion dan Raisa sudah mulai tenang. Luka-luka mereka telah dibersihkan sekadarnya. Dion, meski masih lemah, terlihat jauh lebih lega setelah berjam-jam disiksa Arga.“Raisa…” Dion melirik pelan, suaranya parau. “Aku… makasih udah nggak nyeret aku sendiri. Aku tahu aku pengecut. Tapi aku pikir... kalau kita bisa keluar dari sini, aku bisa... bisa minta maaf ke semua orang.”Raisa hanya diam, duduk di pojok ruangan. Nafasnya berat. Matanya kosong.Tapi detik berikutnya—DUARRR!Ledakan kecil menghantam pintu belakang safehouse. Asap mulai memenuhi lorong. Lampu padam. Alarm darurat menyala merah.“APA ITU?!”Bima langsung teriak le
Rumah Sakit – Malam HariLampu lorong rumah sakit mulai diredupkan. Hanya lampu dinding yang menyala samar, menciptakan suasana sunyi dan mencekam.Para perawat mulai bergantian berjaga. Di ruang rawat VIP, Naira masih terbaring lemah, tak menunjukkan tanda-tanda sadar.Arga sedang pulang sebentar ke rumah atas desakan Pak Pratama untuk mandi dan beristirahat sejenak. Ia enggan, tapi akhirnya menurut. Tak sampai dua jam.Di saat yang sama, seseorang masuk ke area rumah sakit dengan hoodie hitam, wajahnya tertutup masker.Reyhan.Ia menyelinap lewat lorong belakang, mengenal betul tata letak rumah sakit dari zaman ia masih menjadi suami Naira. Ia berjalan cepat, menunduk setiap kali ada perawat lewat.Sampai akhirnya… ia tiba di depan pintu kamar Naira.Perlahan, ia membuka pintunya.Ceklek.Lampu ruangan redup. Naira masih dalam posisi yang sama, matanya tertutup rapat, wajahnya tenang namun memucat.Reyhan melangkah pelan mendekati ranjang. Nafasnya memburu pelan. Matanya menatap Nai
Ruang Bawah Tanah – Safehouse Wijaya GroupRaisa duduk bersandar di dinding besi dingin, tangan terikat ke belakang. Wajahnya sudah penuh luka mata kanan membiru, bibir pecah.Tapi sorot matanya masih tajam, seperti ular yang belum puas menggigit.Dion di kursi baja, tangan dan kakinya diborgol rapat, wajah pucat pasi. Ia tak berhenti berkeringat, tubuhnya gemetar menahan sakit setelah interogasi ringan dari anak buah Bima.Pintu baja terbuka dengan dentuman keras.Langkah berat terdengar, lalu muncul siluet Arga. Tubuhnya masih mengenakan kemeja berdarah, mata merah menyala seperti binatang buas.Tak ada senyum. Tak ada kata-kata pembuka. Hanya satu hal yang tampak jelas: dendam.Tanpa aba-aba, Arga menarik rambut Dion kasar dan menghantamkan kepalanya ke meja baja.Bunyi retakan terdengar, darah langsung mengalir dari pelipis Dion yang menjerit kesakitan.“Aaarrgh—!”Arga mencengkram dagunya, memaksanya menatap mata merahnya.“Kenapa kalian ganggu istriku?” katanya pelan. Tapi nada
Senin pagi, pukul 08.05Langit Jakarta masih mendung, seolah mencerminkan kabut tebal yang perlahan menutup kehidupan Naira.Di ruang rapat lantai 17, suasana mencekam.Laporan keamanan di meja membuat kepala bagian IT dan tim keamanan gelisah. Ada indikasi kuat bahwa sistem internal mereka sempat disusupi dari luar jejak IP anonim yang berhasil menembus firewall selama tiga menit dua hari lalu.Arga berdiri di depan layar, wajahnya gelap. Di sampingnya, Naira duduk dengan tatapan tajam."Kalau benar sistem kita bisa ditembus segampang ini, maka semua data klien dan proyek rahasia kita dalam bahaya," ucap Arga, nada suaranya tegas."Dan kalau penyusupan ini ada hubungannya dengan kaburnya Raisa... maka kita sedang diawasi," tambah Naira, suaranya lebih pelan, tapi sama menusuk.Seorang staf IT yang baru direkrut beberapa minggu lalu tampak gugup. Ia menunduk, mengetik cepat untuk memeriksa ulang log.Tapi tidak ada yang tahu bahwa anak muda itu Vino, lulusan teknik komputer jenius ada
Malam hari, dua minggu setelah kaburnya Raisa.Rumah Naira dan Arga kini dijaga ketat oleh satuan keamanan pribadi yang disewa langsung oleh Arga dari unit elite. CCTV terpasang di setiap sudut, gerbang dilengkapi sistem sidik jari, dan para penjaga bergantian patroli sepanjang malam.Namun, bahaya tidak selalu datang dari luar.Di ruang kerja Naira, layar laptopnya menyala dengan presentasi rapat yang belum selesai ia siapkan. Tapi perhatiannya terganggu oleh bunyi notifikasi email yang muncul di sudut kanan bawah layar.[Pengirim Tidak Dikenal: Aku lihat kamu masih suka warna biru, Na.]Naira mengerutkan kening. Ia menekan tombol enter dan membuka pesan itu. Hanya ada satu foto di dalamnya dari kejauhan, tampak dirinya pagi tadi saat turun dari mobil, mengenakan blazer biru muda, berdiri di depan kantor sambil memegang map.Itu bukan foto dari media sosial. Sudut pengambilannya terlalu privat. Terlalu dekat. Terlalu nyata.Naira langsung menutup laptop dan memanggil Arga, yang baru
Pukul 01.17 dini hari.Di ruang kontrol CCTV, dua sipir senior tampak terlelap, tak menyadari bahwa sistem kamera telah dimanipulasi.Feed lorong menuju sel Raisa kini menjadi “blind spot” selama tiga menit, cukup untuk seseorang menyelinap.Langkah kaki ringan terdengar di lorong. Seorang perempuan berseragam sipir, salah satu staf baru yang wajahnya selalu tertutup masker medis berdiri di depan sel Raisa.Tanpa bicara banyak, ia menyelipkan kunci sel manual dan jaket hitam ke bawah jeruji.“Sudah waktunya. Truk menunggu di belakang,” bisiknya datar.“Siapa kamu?” tanya Raisa cepat, meski tangannya sudah bekerja membuka kunci sel.“Jalan sudah dibuka. Truk sudah menunggu. Kau punya waktu dua menit,” ucapnya singkat.Raisa tak bertanya. Ia hanya mengangguk, lalu mengganti pakaiannya dengan cepat, menyembunyikan wajah dan rambutnya di balik hoodie.Beberapa menit kemudian, ia sudah bersembunyi di belakang truk pengangkut sampah. Truk bergerak perlahan, lalu menghilang dalam hujan malam