Usai rapat evaluasi mingguan, Naira berjalan keluar ruang meeting dengan kepala tegak dan langkah mantap.Aura dingin dan berwibawa mengikutinya, sementara Liza yang sejak tadi mengintai dari kejauhan, langsung mengambil kesempatan.Begitu yakin Naira tak ada di sekitar ruangan direktur, Liza segera melangkah menuju ruang kerja Arga.Ia mendorong pintu perlahan dan masuk dengan wajah murung, air mata sudah menggantung di pelupuk matanya.“Kak Arga…” panggilnya lirih, suaranya serak seolah menahan tangis. “Aku… aku benar-benar nggak nyaman tinggal di rumah Alex. Dia... terlalu protektif. Aku merasa dia curiga terus padaku. Aku kesepian... aku takut…”Arga yang sedang memeriksa dokumen menoleh, alisnya mengernyit. “Liza… aku pikir kamu sudah setuju tinggal sementara di sana. Bukankah Alex juga sudah menerima kamu dengan baik?”Liza menggigit bibirnya, lalu tiba-tiba menangis. “Aku cuma… merasa dibuang, Kak. Aku tahu aku cuma anak yatim piatu, aku nggak pernah niat ganggu siapa pun. Kak
Keesokan harinya Naira duduk tenang. Ia membuka laptop dan membaca ulang email laporan mingguan yang dikirimkan oleh Tina selama Naira cuti. Salah satu nama dalam daftar absensi rapat membuat alisnya terangkat.Mata Naira menyipit. “Pengamat?” gumamnya. Padahal Liza adalah anak magang, dan tidak semestinya ikut rapat strategis bersama jajaran manajemen.Mata Naira menyipit, jemarinya mengetuk-ngetuk meja pelan. “Pengamat?” gumamnya, nadanya dingin dan tajam.Padahal Liza hanyalah anak magang, bukan bagian dari tim inti. Tidak semestinya ia duduk di meja rapat strategis yang hanya dihadiri para kepala divisi dan eksekutif senior.Ia membuka file CCTV internal dan memilih rekaman rapat tersebut. Saat layar menampilkan gambar, terlihat Liza duduk di ujung meja, mencatat dengan rajin.Namun matanya lebih banyak memandangi satu sosok: Arga. Tatapannya tidak profesional. Pandangan yang terlalu lama, terlalu lembut, terlalu… personal.Naira menyandarkan punggung ke kursi, senyum tipis mengem
Suasana di dalam rumah Bu Rina terasa mencekam.Pintu depan terbuka dan tertutup cepat, Naira baru saja keluar, meninggalkan aroma parfum mahal yang seolah menyisakan bayangan luka di udara.Bu Rina yang sedari tadi berdiri di balik tirai langsung keluar, menahan napas melihat Arga dan Liza yang masih berdiri kaku di balkon.“Arga! Cepat kejar Naira! Minta maaf!” seru Bu Rina tajam, nadanya lebih seperti perintah dari seorang jenderal daripada nasihat seorang ibu.Jangan biarkan istrimu pulang dalam keadaan seperti itu. Dia perempuan kuat, tapi bukan berarti dia tidak bisa terluka. Kau seharusnya jadi tempatnya kembali bukan luka yang baru.”Arga tampak ragu, tapi matanya mulai menyadari bahwa batas kesabarannya telah ia lewati.Ia bergerak cepat menuruni tangga dan keluar rumah, meninggalkan Liza yang berdiri membeku.Seketika itu juga, Bu Rina menoleh ke arah gadis muda itu. Wajahnya masih lembut, tapi tidak lagi seramah dulu.“Liza, Nak…” ucap Bu Rina dengan nada yang hati-hati. “M
Sudah tiga hari berlalu sejak Naira melihat sendiri bagaimana Liza memeluk suaminya di ruang kerja.Dan selama tiga hari itu pula, sikap Naira berubah total.Ia datang ke kantor dengan tatapan dingin, langkah cepat, dan aura yang begitu menekan. Tidak ada lagi senyum ramah, tidak ada lagi perhatian pada detail kecil yang biasanya ia berikan pada timnya.Semua staf jadi kaku.“Laporan mingguan siapa yang telat?” suara Naira terdengar tajam saat evaluasi pagi. Tak ada yang menjawab. Bahkan Tina yang biasanya paling berani hanya menunduk.Liza duduk di antara staf lain, wajahnya pucat. Sejak kejadian itu, Naira sama sekali tidak menegurnya. Bahkan saat mereka berpapasan di lorong, Naira hanya melirik sekilas—tanpa kata, tanpa ekspresi. Seolah Liza hanyalah bayangan tembok yang tak pantas mendapat perhatian.Tapi tekanan paling terasa justru pada Arga.Ia sudah mencoba bicara. Sudah mengejar Naira pulang malam itu, mencoba memeluk dan meminta maaf, tapi tak ada celah.“Aku nggak ingin mem
Malam itu, langit Jakarta gelap berawan. Di sebuah rumah mewah yang klasik, Naira baru saja selesai membilas wajahnya di wastafel.Ia menatap cermin, mata letih, bahu tegang, dan hati yang masih penuh bara.Lalu ponselnya berdering. Nama Tari, sahabat lamanya sewaktu kuliah yang kini jadi influencer dan pengusaha bar ternama, muncul di layar.Dia satu-satunya, yang masih berhubungan dengan Naira semenjak lulus."Halo, Tar?""Nai! Kamu di rumah? Turun sekarang. Aku parkir di depan rumah kamu!""Ha? Buat apa? Udah malem gini—""Naira, kamu tuh butuh liburan jiwa! Aku culik kamu malam ini. Nggak ada debat. Udah kelamaan, kamu simpan semuanya sendiri. Sekali-kali lepasin beban!"Naira menghela napas panjang. Ia sempat menatap ke cermin, lalu tersenyum kecil.“Fine. Tunggu aku lima menit.”Kurang dari sejam kemudian, sebuah mobil sport hitam berhenti di depan CLUB LUCENT, tempat hiburan kelas atas yang hanya diakses oleh undangan terbatas.Interiornya mewah dengan nuansa violet dan gold, m
Begitu fajar menyusup melalui celah tirai, cahaya lembut pagi menari di atas wajah Naira yang masih tertidur lelap.Namun begitu kelopak matanya terbuka perlahan, detak jantungnya langsung memburu.Arga.Lelaki itu terbaring di sampingnya, memeluknya dari belakang, erat dan hangat, seolah tak pernah ada jarak di antara mereka.Nafasnya yang tenang menyapu tengkuk Naira, menciptakan geli dan getaran tak terduga di dada.“Apa…?” gumamnya nyaris tak terdengar, namun matanya membelalak, penuh keterkejutan.Dengan panik, ia langsung berbalik dan mendorong dada suaminya. “Arga?!”Arga mengerjap, terbangun karena dorongan itu. Tatapan matanya masih berat karena kurang tidur, tapi penuh kesadaran.“Kamu udah bangun…” ucapnya pelan, suara seraknya seakan memperkuat kelelahan yang disembunyikannya.“Apa yang kamu lakukan di sini? Di… ranjangku?” desis Naira tajam, wajahnya merah bukan hanya karena malu tapi karena marah, bingung, dan terkhianati oleh sesuatu yang tidak ia mengerti.Sudah tiga h
Langkah kaki itu menjauh perlahan, menyisakan ketegangan di koridor sunyi rumah besar keluarga Wijaya.Beberapa menit kemudian, di sudut ruang makan, Liza meneguk kopi hangat sambil tersenyum miring, tatapannya tajam menyapu halaman depan dari balik jendela.Tangannya menggenggam kuat ponsel yang tadi digunakan art dirumah Arga untuk memberi kabar terbaru tentang Naira dan Arga."Tidur sekamar?"Ia mengepalkan rahang. “Setelah semua yang aku lakukan? Setelah aku ada di rumah mereka, tinggal di bawah atap yang sama, dia masih bisa peluk Arga seperti itu?!”Suara sepatu hak tinggi Liza bergema saat ia bangkit dari kursi, melangkah cepat menuju kamarnya.Ia membuka lemari dengan kasar, menarik jas formalnya dan bersiap lebih awal dari biasanya.Wajahnya kini tegang, penuh strategi dan kemarahan yang perlahan menumpuk menjadi satu rencana yang lebih jahat.Di kantor Wijaya Group, suasana pagi terasa berbeda.Beberapa staf yang melihat Naira dan Arga datang bersama pagi itu nyaris menjatuh
Pukul 01.17 dini hari.Di ruang kontrol CCTV, dua sipir senior tampak terlelap, tak menyadari bahwa sistem kamera telah dimanipulasi.Feed lorong menuju sel Raisa kini menjadi “blind spot” selama tiga menit, cukup untuk seseorang menyelinap.Langkah kaki ringan terdengar di lorong. Seorang perempuan berseragam sipir, salah satu staf baru yang wajahnya selalu tertutup masker medis berdiri di depan sel Raisa.Tanpa bicara banyak, ia menyelipkan kunci sel manual dan jaket hitam ke bawah jeruji.“Sudah waktunya. Truk menunggu di belakang,” bisiknya datar.“Siapa kamu?” tanya Raisa cepat, meski tangannya sudah bekerja membuka kunci sel.“Jalan sudah dibuka. Truk sudah menunggu. Kau punya waktu dua menit,” ucapnya singkat.Raisa tak bertanya. Ia hanya mengangguk, lalu mengganti pakaiannya dengan cepat, menyembunyikan wajah dan rambutnya di balik hoodie.Beberapa menit kemudian, ia sudah bersembunyi di belakang truk pengangkut sampah. Truk bergerak perlahan, lalu menghilang dalam hujan malam
Beberapa hari setelah Naira sadar. Naira duduk di kursi roda, didampingi Tari. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju taman kecil di belakang gedung.Angin malam menyapa lembut, dan bunga melati mulai bermekaran, menyebarkan aroma tenang. Tapi hati Naira tidak tenang.Tatapannya jauh. Kosong, tapi dalam.“Na… kamu yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Tari sambil mendorong pelan kursi roda.Naira tersenyum kecil. “Aku cuma… butuh lihat langit. Rasanya udah lama banget nggak hidup…”Tari menunduk. Lalu berbisik lirih, “Kamu masih ingat sesuatu?”Naira menoleh. Tatapannya berubah. Lebih tajam. Lebih sadar.“Sedikit,” bisiknya. “Aku ingat... ada suara. Lembut, tapi seperti pisau. Ada sesuatu disuntikkan. Aku merasa sangat ngantuk. Terlalu ngantuk.”Tari berhenti mendorong. “Kamu yakin?”Naira mengangguk. “Dan aku yakin… itu bukan suster. Bukan dokter.”Sunyi.Angin mendesis pelan seperti menyampaikan peringatan.“Liza,” kata Tari pelan. “Aku juga curiga. Waktu itu aku p
Hujan tak lagi turun pelan, tapi mengguyur kota dengan derasnya seolah langit pun tak kuat menahan beban rahasia yang selama ini tertahan.Petir menyambar di kejauhan, bayangannya memantul di kaca jendela kamar rumah sakit yang temaram.Tari masih duduk di sisi ranjang, wajahnya letih, matanya sembab. Buku doa di tangannya mulai lusuh karena terlalu sering dibuka.Sesekali ia membisikkan ayat-ayat pendek di telinga sahabatnya, seperti menuntun jiwa Naira untuk kembali dari dunia sunyi yang tak bisa dijangkau siapa pun.Tapi malam itu... ada yang berbeda.Jemari Naira bergerak.Sekilas. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat napas Tari terhenti.Dia membeku. Lalu menoleh cepat."Naira...?" suaranya lirih, penuh ketakutan, harapan, dan ketidakpercayaan. Ia mendekat, wajahnya nyaris sejajar dengan wajah pucat sahabatnya.Kelopak mata Naira bergetar. Pelan. Lalu terbuka… seperti kelopak bunga yang merekah setelah badai panjang.Mata itu masih sayu. Pandangannya kabur. Tapi saat ia menatap
Rumah Sakit hari kelima Naira di rawat.Hujan turun perlahan, menyentuh kaca jendela kamar VIP yang sepi. Di dalamnya, Naira masih terbaring dengan infus dan alat bantu napas.Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, tapi garis hidup di monitor masih stabil dan itu satu-satunya harapan yang membuat Arga tetap bertahan.Ia duduk di sisi ranjang, belum pernah meninggalkan kamar itu.Matanya merah, tubuhnya mulai lemah, tapi genggaman tangannya pada tangan Naira tak pernah longgar."Kamu harus bangun, sayang… aku nggak bisa hidup tanpa kamu…,” bisiknya pelan, hampir seperti doa.Pintu terbuka perlahan.Sosok ramping dengan rambut panjang masuk pelan-pelan, membawa termos kecil dan kantong makanan.Liza.“Kak Arga…” ucapnya lembut, dengan nada manja. “Aku bawain makan. Kakak belum makan dari tadi pagi, kan?”Arga hanya menggeleng, menatap kosong ke arah Naira.Liza mendekat, meletakkan makanan di meja. Ia berdiri di belakang Arga, lalu menunduk, menyentuh bahunya dengan lembut.“Kakak nggak akan k
2 hari kemudian di Safehouse milik Wijaya Group malam itu sepi. Terlalu sepi.Bima yang berjaga di pos depan menguap pelan. Ia tak tahu, di kejauhan, beberapa mobil hitam tanpa plat tengah merayap senyap.Di dalamnya, para pria bertubuh kekar dan berwajah datar, dengan komunikasi lewat isyarat tangan, siap menjalankan misi: hilangkan saksi.Di dalam safehouse, Dion dan Raisa sudah mulai tenang. Luka-luka mereka telah dibersihkan sekadarnya. Dion, meski masih lemah, terlihat jauh lebih lega setelah berjam-jam disiksa Arga.“Raisa…” Dion melirik pelan, suaranya parau. “Aku… makasih udah nggak nyeret aku sendiri. Aku tahu aku pengecut. Tapi aku pikir... kalau kita bisa keluar dari sini, aku bisa... bisa minta maaf ke semua orang.”Raisa hanya diam, duduk di pojok ruangan. Nafasnya berat. Matanya kosong.Tapi detik berikutnya—DUARRR!Ledakan kecil menghantam pintu belakang safehouse. Asap mulai memenuhi lorong. Lampu padam. Alarm darurat menyala merah.“APA ITU?!”Bima langsung teriak le
Rumah Sakit – Malam HariLampu lorong rumah sakit mulai diredupkan. Hanya lampu dinding yang menyala samar, menciptakan suasana sunyi dan mencekam.Para perawat mulai bergantian berjaga. Di ruang rawat VIP, Naira masih terbaring lemah, tak menunjukkan tanda-tanda sadar.Arga sedang pulang sebentar ke rumah atas desakan Pak Pratama untuk mandi dan beristirahat sejenak. Ia enggan, tapi akhirnya menurut. Tak sampai dua jam.Di saat yang sama, seseorang masuk ke area rumah sakit dengan hoodie hitam, wajahnya tertutup masker.Reyhan.Ia menyelinap lewat lorong belakang, mengenal betul tata letak rumah sakit dari zaman ia masih menjadi suami Naira. Ia berjalan cepat, menunduk setiap kali ada perawat lewat.Sampai akhirnya… ia tiba di depan pintu kamar Naira.Perlahan, ia membuka pintunya.Ceklek.Lampu ruangan redup. Naira masih dalam posisi yang sama, matanya tertutup rapat, wajahnya tenang namun memucat.Reyhan melangkah pelan mendekati ranjang. Nafasnya memburu pelan. Matanya menatap Nai
Ruang Bawah Tanah – Safehouse Wijaya GroupRaisa duduk bersandar di dinding besi dingin, tangan terikat ke belakang. Wajahnya sudah penuh luka mata kanan membiru, bibir pecah.Tapi sorot matanya masih tajam, seperti ular yang belum puas menggigit.Dion di kursi baja, tangan dan kakinya diborgol rapat, wajah pucat pasi. Ia tak berhenti berkeringat, tubuhnya gemetar menahan sakit setelah interogasi ringan dari anak buah Bima.Pintu baja terbuka dengan dentuman keras.Langkah berat terdengar, lalu muncul siluet Arga. Tubuhnya masih mengenakan kemeja berdarah, mata merah menyala seperti binatang buas.Tak ada senyum. Tak ada kata-kata pembuka. Hanya satu hal yang tampak jelas: dendam.Tanpa aba-aba, Arga menarik rambut Dion kasar dan menghantamkan kepalanya ke meja baja.Bunyi retakan terdengar, darah langsung mengalir dari pelipis Dion yang menjerit kesakitan.“Aaarrgh—!”Arga mencengkram dagunya, memaksanya menatap mata merahnya.“Kenapa kalian ganggu istriku?” katanya pelan. Tapi nada
Senin pagi, pukul 08.05Langit Jakarta masih mendung, seolah mencerminkan kabut tebal yang perlahan menutup kehidupan Naira.Di ruang rapat lantai 17, suasana mencekam.Laporan keamanan di meja membuat kepala bagian IT dan tim keamanan gelisah. Ada indikasi kuat bahwa sistem internal mereka sempat disusupi dari luar jejak IP anonim yang berhasil menembus firewall selama tiga menit dua hari lalu.Arga berdiri di depan layar, wajahnya gelap. Di sampingnya, Naira duduk dengan tatapan tajam."Kalau benar sistem kita bisa ditembus segampang ini, maka semua data klien dan proyek rahasia kita dalam bahaya," ucap Arga, nada suaranya tegas."Dan kalau penyusupan ini ada hubungannya dengan kaburnya Raisa... maka kita sedang diawasi," tambah Naira, suaranya lebih pelan, tapi sama menusuk.Seorang staf IT yang baru direkrut beberapa minggu lalu tampak gugup. Ia menunduk, mengetik cepat untuk memeriksa ulang log.Tapi tidak ada yang tahu bahwa anak muda itu Vino, lulusan teknik komputer jenius ada
Malam hari, dua minggu setelah kaburnya Raisa.Rumah Naira dan Arga kini dijaga ketat oleh satuan keamanan pribadi yang disewa langsung oleh Arga dari unit elite. CCTV terpasang di setiap sudut, gerbang dilengkapi sistem sidik jari, dan para penjaga bergantian patroli sepanjang malam.Namun, bahaya tidak selalu datang dari luar.Di ruang kerja Naira, layar laptopnya menyala dengan presentasi rapat yang belum selesai ia siapkan. Tapi perhatiannya terganggu oleh bunyi notifikasi email yang muncul di sudut kanan bawah layar.[Pengirim Tidak Dikenal: Aku lihat kamu masih suka warna biru, Na.]Naira mengerutkan kening. Ia menekan tombol enter dan membuka pesan itu. Hanya ada satu foto di dalamnya dari kejauhan, tampak dirinya pagi tadi saat turun dari mobil, mengenakan blazer biru muda, berdiri di depan kantor sambil memegang map.Itu bukan foto dari media sosial. Sudut pengambilannya terlalu privat. Terlalu dekat. Terlalu nyata.Naira langsung menutup laptop dan memanggil Arga, yang baru
Pukul 01.17 dini hari.Di ruang kontrol CCTV, dua sipir senior tampak terlelap, tak menyadari bahwa sistem kamera telah dimanipulasi.Feed lorong menuju sel Raisa kini menjadi “blind spot” selama tiga menit, cukup untuk seseorang menyelinap.Langkah kaki ringan terdengar di lorong. Seorang perempuan berseragam sipir, salah satu staf baru yang wajahnya selalu tertutup masker medis berdiri di depan sel Raisa.Tanpa bicara banyak, ia menyelipkan kunci sel manual dan jaket hitam ke bawah jeruji.“Sudah waktunya. Truk menunggu di belakang,” bisiknya datar.“Siapa kamu?” tanya Raisa cepat, meski tangannya sudah bekerja membuka kunci sel.“Jalan sudah dibuka. Truk sudah menunggu. Kau punya waktu dua menit,” ucapnya singkat.Raisa tak bertanya. Ia hanya mengangguk, lalu mengganti pakaiannya dengan cepat, menyembunyikan wajah dan rambutnya di balik hoodie.Beberapa menit kemudian, ia sudah bersembunyi di belakang truk pengangkut sampah. Truk bergerak perlahan, lalu menghilang dalam hujan malam