Beberapa hari kemudian, suasana kantor Arga mendadak berubah seperti arena pertempuran.Pintu lobi bergetar ketika dua sosok angkuh muncul, langkah mereka cepat dan penuh kemarahan.Bu Ratna dan Pak Alfian, orang tua Raisa, datang tanpa undangan, namun kehadiran mereka segera menyedot perhatian seluruh lantai direksi."Mana Arga?! Suruh dia keluar sekarang juga!" teriak Bu Ratna, suaranya melengking membelah keheningan kantor.Resepsionis yang berjaga tampak panik, tapi belum sempat ia bertindak, Arga sudah berjalan keluar dari ruangannya, diikuti oleh Naira. Pria itu berjalan dengan tenang, tapi matanya menyala tajam."Bu Ratna, Pak Alfian. Silakan bicara dengan tenang," ucap Arga tegas."Tenang?! Kami di sini untuk menuntut satu hal: bebaskan Raisa dari tahanan!" bentak Pak Alfian. "Dia tidak seharusnya diperlakukan seperti penjahat!"Naira menegang di samping Arga. Namun pria itu melangkah maju."Bebaskan? Wanita itu mencoba membunuh istri saya. Dia menyekap Naira, mengancam dengan
Cahaya kamera berpendar ke segala arah. Aula hotel bintang lima itu dipenuhi wartawan dari berbagai media nasional, para editor hiburan, jurnalis hukum, bahkan akun gosip yang biasanya hanya hidup di balik layar media sosial.Di atas podium, berdiri dua sosok yang tampak tenang, namun menyimpan badai di dalam dada.Naira berdiri di samping Arga. Penampilannya sederhana namun elegan. Kemeja putih dengan potongan tegas dan celana panjang hitam memberi kesan profesional.Riasan wajahnya tipis, tapi sorot matanya tajam seolah menantang siapa pun yang berani meragukan kebenaran.Arga menyesuaikan mikrofon. Suaranya berat dan mantap ketika membuka acara."Terima kasih atas kehadiran semua pihak hari ini. Saya, Arga Wicaksana, bersama istri saya, Naira, mengadakan konferensi ini untuk meluruskan berbagai informasi yang telah beredar… dan membuka fakta yang selama ini ditutup-tutupi."Suasana mendadak hening. Tak ada bunyi selain gemeretak kamera dan ketikan laptop.Arga melanjutkan. "Kami ti
Dua Bulan Setelah Konferensi PersLangit Jakarta diselimuti mendung sejak pagi. Gerimis jatuh lembut di atap kaca bangunan besar bercat putih, tenang dan terpencil di pinggiran kota. Di gerbangnya tertulis: "Rumah Pemulihan Jiwa dan Trauma Estrella".Di dalam kamar rawat nomor 213, seorang perempuan muda duduk di ranjang dengan kaki memeluk lutut, berbicara lirih ke dinding.Lila.Wajahnya pucat pasi, matanya kosong. Rambut yang dulu selalu ditata rapi kini terurai acak-acakan. Setiap beberapa menit, ia akan menoleh ke jendela, matanya liar."Dia di sana... dia tersenyum ke aku... dia mau balas dendam... Naira..."Seseorang berdiri di samping tempat tidurnya. Bukan perawat. Bukan dokter. Tapi wanita paruh baya, berpakaian anggun, dengan tas kulit mahal dan ekspresi nyaris membeku oleh amarah yang belum juga reda.Bu Maya.Sejak Lila dibawa ke Estrella, Bu Maya hampir setiap hari datang, menemani dari pagi hingga sore.Duduk di sana, mengelus rambut putrinya, kadang membisikkan doa, ka
Keesokan Harinya – Kantor Pusat PT. Seraya Artha WijayaSuasana kantor pagi itu terasa tegang. Langit Jakarta masih kelabu, dan udara terasa berat seakan membawa firasat buruk.Bisik-bisik menyebar, dan tatapan curiga mengiringi langkah cepat Reyhan yang menembus lorong-lorong kantor dengan wajah penuh amarah.Beberapa karyawan yang melihatnya hanya saling menatap, terkejut sekaligus heran. "Itu Reyhan, ya? Kenapa masuk ke ruangan Bu Naira tanpa ketuk?" bisik salah satu staf junior."Nggak sopan banget... Dia pikir dia masih berkuasa di sini?" timpal yang lain.Salah satu supervisor mencatat sesuatu di ponselnya. “Itu sudah pelanggaran etika. Langsung nyelonong ke ruang wakil direktur. Dia makin nggak bisa kontrol diri.”Reyhan membuka pintu ruangan Naira tanpa mengetuk, membuat beberapa staf yang kebetulan lewat menoleh kaget.Naira sedang duduk tenang di belakang meja kaca, mengenakan blus putih gading. Di tangannya, sebuah map proyek terbuka.Ketika Reyhan menerobos masuk, ia hanya
Seminggu Setelah Pemecatan Reyhan – Ruang Kerja Wakil DirekturPagi itu, sinar matahari Jakarta akhirnya menerobos kelabu yang lama menggantung. Di balik jendela besar lantai 16 kantor pusat Seraya Artha Wijaya, Naira berdiri tegap, menatap ke arah langit yang cerah.Secangkir teh hangat di tangannya mengepul pelan. Di meja kerjanya, laporan kemajuan proyek terletak rapi, semua stabil dan bahkan menunjukkan tren naik sejak Reyhan disingkirkan.Pintu ruangannya diketuk perlahan. Tapi yang masuk tanpa menunggu jawaban bukan sembarang staf.Arga dengan setelan jas abu gelap yang rapi dan aroma parfum khasnya muncul di ambang pintu dengan senyum lembut.“Wakil Direktur yang paling anggun dan paling ditakuti se-gedung ini, sedang menikmati kemenangan?” godanya ringan.Naira menoleh, tersenyum tipis. “Kau lupa, Direktur Utama, bahwa kemenangan ini juga milikmu.”Arga menutup pintu perlahan, berjalan mendekat, lalu berdiri di samping jendelanya. Ia meraih tangannya, menggenggam erat.“Kamu y
Tiga Minggu Setelah Perayaan Pernikahan – Rumah Arga dan Naira di MentengHujan gerimis membasahi halaman rumah klasik bergaya kolonial itu. Di dalam, suasana hangat dan tenang menyelimuti ruang keluarga.Naira duduk di sofa, mengenakan sweater krem lembut, sambil membaca laporan dari iPad-nya. Di dapur, aroma kue cinnamon rolls yang baru matang memenuhi udara.Tiba-tiba bel pintu berdenting.“Sayang, kamu bukain pintu ya?” teriak Naira ke arah dapur, mengira itu kurir atau asisten rumah tangga yang lupa bawa kunci.Tak lama, Arga datang sambil mengusap tangan dengan lap kecil. Tapi begitu membuka pintu, ia terlihat sedikit terkejut.Seorang gadis muda berdiri di ambang pintu dengan koper besar dan hoodie putih yang basah oleh gerimis.Wajahnya cantik, lembut, dan penuh antusias. Rambut coklat gelombangnya digerai, dan senyumnya merekah saat melihat Arga.“Kak Arga…!”Naira yang penasaran bangkit dan menghampiri. Gadis itu langsung memeluk Arga erat, membuat Naira refleks mengernyitka
Setelah Liza Masuk Kamar – Balkon Kamar Naira dan ArgaAngin malam bertiup lembut, membawa aroma hujan yang masih tersisa dari sore tadi. Di balkon kamar lantai dua, Naira berdiri dengan selimut ringan menutupi bahunya.Arga keluar perlahan, bergabung di sisinya. Ia menggenggam tangannya, lalu menghela napas panjang sebelum berbicara.“Na... soal Liza,” katanya pelan, suaranya berat. “Ada hal yang belum sempat aku ceritakan.”Naira menoleh sedikit, tapi tak menjawab. Ia membiarkan Arga melanjutkan.“Satu hari setelah ulang tahunnya yang ke-17... Liza kehilangan ibunya. Tante Desi, sahabat Mama, meninggal dalam kecelakaan mobil.”Naira mengerutkan dahi. “Kecelakaan?”Arga mengangguk pelan. “Waktu itu mereka bertiga Ibu, Tante Desi, dan Liza sedang dalam perjalanan pulang dari acara ulang tahun Liza di Puncak. Di tengah jalan, rem mobil blong. Dalam detik-detik kritis, Tante Desi yang menyetir... membanting stir. Dia sengaja menabrakkan sisi mobilnya ke tiang supaya Ibu selamat.”Naira
Alexander Wijaya, atau Alex, adalah sepupu Arga anak dari Tante Hilda adik Pak Pratama ayah Arga.Di masa lalu, Alex adalah salah satu direktur muda paling bersinar di Wijaya Group. Visi bisnisnya tajam, berani, dan modern.Ia dikenal sebagai bos karismatik, namun penuh kontroversi, terutama karena gaya hidupnya yang hedonis dan sempat beberapa kali membuat nama grup tercoreng di media.Salah satu orang kepercayaannya saat itu adalah Reyhan, yang ia rekrut dan orbitkan sendiri ke posisi strategis di bawahnya.Hubungan mereka dulunya sangat dekat Alex melihat Reyhan sebagai versi "liar" dari dirinya yang bisa dikontrol.Reyhan belajar banyak dari Alex, terutama soal politik kantor dan cara-cara melipatgandakan pengaruh dengan cara-cara licik.Namun, hubungan itu hancur saat Alex dicopot secara memalukan setelah tertangkap dalam serangkaian skandal dari penyalahgunaan anggaran proyek, laporan keuangan palsu, hingga video mabuk di sebuah konferensi bisnis di luar negeri.Skandal tersebut
Beberapa hari setelah Naira sadar. Naira duduk di kursi roda, didampingi Tari. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju taman kecil di belakang gedung.Angin malam menyapa lembut, dan bunga melati mulai bermekaran, menyebarkan aroma tenang. Tapi hati Naira tidak tenang.Tatapannya jauh. Kosong, tapi dalam.“Na… kamu yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Tari sambil mendorong pelan kursi roda.Naira tersenyum kecil. “Aku cuma… butuh lihat langit. Rasanya udah lama banget nggak hidup…”Tari menunduk. Lalu berbisik lirih, “Kamu masih ingat sesuatu?”Naira menoleh. Tatapannya berubah. Lebih tajam. Lebih sadar.“Sedikit,” bisiknya. “Aku ingat... ada suara. Lembut, tapi seperti pisau. Ada sesuatu disuntikkan. Aku merasa sangat ngantuk. Terlalu ngantuk.”Tari berhenti mendorong. “Kamu yakin?”Naira mengangguk. “Dan aku yakin… itu bukan suster. Bukan dokter.”Sunyi.Angin mendesis pelan seperti menyampaikan peringatan.“Liza,” kata Tari pelan. “Aku juga curiga. Waktu itu aku p
Hujan tak lagi turun pelan, tapi mengguyur kota dengan derasnya seolah langit pun tak kuat menahan beban rahasia yang selama ini tertahan.Petir menyambar di kejauhan, bayangannya memantul di kaca jendela kamar rumah sakit yang temaram.Tari masih duduk di sisi ranjang, wajahnya letih, matanya sembab. Buku doa di tangannya mulai lusuh karena terlalu sering dibuka.Sesekali ia membisikkan ayat-ayat pendek di telinga sahabatnya, seperti menuntun jiwa Naira untuk kembali dari dunia sunyi yang tak bisa dijangkau siapa pun.Tapi malam itu... ada yang berbeda.Jemari Naira bergerak.Sekilas. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat napas Tari terhenti.Dia membeku. Lalu menoleh cepat."Naira...?" suaranya lirih, penuh ketakutan, harapan, dan ketidakpercayaan. Ia mendekat, wajahnya nyaris sejajar dengan wajah pucat sahabatnya.Kelopak mata Naira bergetar. Pelan. Lalu terbuka… seperti kelopak bunga yang merekah setelah badai panjang.Mata itu masih sayu. Pandangannya kabur. Tapi saat ia menatap
Rumah Sakit hari kelima Naira di rawat.Hujan turun perlahan, menyentuh kaca jendela kamar VIP yang sepi. Di dalamnya, Naira masih terbaring dengan infus dan alat bantu napas.Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, tapi garis hidup di monitor masih stabil dan itu satu-satunya harapan yang membuat Arga tetap bertahan.Ia duduk di sisi ranjang, belum pernah meninggalkan kamar itu.Matanya merah, tubuhnya mulai lemah, tapi genggaman tangannya pada tangan Naira tak pernah longgar."Kamu harus bangun, sayang… aku nggak bisa hidup tanpa kamu…,” bisiknya pelan, hampir seperti doa.Pintu terbuka perlahan.Sosok ramping dengan rambut panjang masuk pelan-pelan, membawa termos kecil dan kantong makanan.Liza.“Kak Arga…” ucapnya lembut, dengan nada manja. “Aku bawain makan. Kakak belum makan dari tadi pagi, kan?”Arga hanya menggeleng, menatap kosong ke arah Naira.Liza mendekat, meletakkan makanan di meja. Ia berdiri di belakang Arga, lalu menunduk, menyentuh bahunya dengan lembut.“Kakak nggak akan k
2 hari kemudian di Safehouse milik Wijaya Group malam itu sepi. Terlalu sepi.Bima yang berjaga di pos depan menguap pelan. Ia tak tahu, di kejauhan, beberapa mobil hitam tanpa plat tengah merayap senyap.Di dalamnya, para pria bertubuh kekar dan berwajah datar, dengan komunikasi lewat isyarat tangan, siap menjalankan misi: hilangkan saksi.Di dalam safehouse, Dion dan Raisa sudah mulai tenang. Luka-luka mereka telah dibersihkan sekadarnya. Dion, meski masih lemah, terlihat jauh lebih lega setelah berjam-jam disiksa Arga.“Raisa…” Dion melirik pelan, suaranya parau. “Aku… makasih udah nggak nyeret aku sendiri. Aku tahu aku pengecut. Tapi aku pikir... kalau kita bisa keluar dari sini, aku bisa... bisa minta maaf ke semua orang.”Raisa hanya diam, duduk di pojok ruangan. Nafasnya berat. Matanya kosong.Tapi detik berikutnya—DUARRR!Ledakan kecil menghantam pintu belakang safehouse. Asap mulai memenuhi lorong. Lampu padam. Alarm darurat menyala merah.“APA ITU?!”Bima langsung teriak le
Rumah Sakit – Malam HariLampu lorong rumah sakit mulai diredupkan. Hanya lampu dinding yang menyala samar, menciptakan suasana sunyi dan mencekam.Para perawat mulai bergantian berjaga. Di ruang rawat VIP, Naira masih terbaring lemah, tak menunjukkan tanda-tanda sadar.Arga sedang pulang sebentar ke rumah atas desakan Pak Pratama untuk mandi dan beristirahat sejenak. Ia enggan, tapi akhirnya menurut. Tak sampai dua jam.Di saat yang sama, seseorang masuk ke area rumah sakit dengan hoodie hitam, wajahnya tertutup masker.Reyhan.Ia menyelinap lewat lorong belakang, mengenal betul tata letak rumah sakit dari zaman ia masih menjadi suami Naira. Ia berjalan cepat, menunduk setiap kali ada perawat lewat.Sampai akhirnya… ia tiba di depan pintu kamar Naira.Perlahan, ia membuka pintunya.Ceklek.Lampu ruangan redup. Naira masih dalam posisi yang sama, matanya tertutup rapat, wajahnya tenang namun memucat.Reyhan melangkah pelan mendekati ranjang. Nafasnya memburu pelan. Matanya menatap Nai
Ruang Bawah Tanah – Safehouse Wijaya GroupRaisa duduk bersandar di dinding besi dingin, tangan terikat ke belakang. Wajahnya sudah penuh luka mata kanan membiru, bibir pecah.Tapi sorot matanya masih tajam, seperti ular yang belum puas menggigit.Dion di kursi baja, tangan dan kakinya diborgol rapat, wajah pucat pasi. Ia tak berhenti berkeringat, tubuhnya gemetar menahan sakit setelah interogasi ringan dari anak buah Bima.Pintu baja terbuka dengan dentuman keras.Langkah berat terdengar, lalu muncul siluet Arga. Tubuhnya masih mengenakan kemeja berdarah, mata merah menyala seperti binatang buas.Tak ada senyum. Tak ada kata-kata pembuka. Hanya satu hal yang tampak jelas: dendam.Tanpa aba-aba, Arga menarik rambut Dion kasar dan menghantamkan kepalanya ke meja baja.Bunyi retakan terdengar, darah langsung mengalir dari pelipis Dion yang menjerit kesakitan.“Aaarrgh—!”Arga mencengkram dagunya, memaksanya menatap mata merahnya.“Kenapa kalian ganggu istriku?” katanya pelan. Tapi nada
Senin pagi, pukul 08.05Langit Jakarta masih mendung, seolah mencerminkan kabut tebal yang perlahan menutup kehidupan Naira.Di ruang rapat lantai 17, suasana mencekam.Laporan keamanan di meja membuat kepala bagian IT dan tim keamanan gelisah. Ada indikasi kuat bahwa sistem internal mereka sempat disusupi dari luar jejak IP anonim yang berhasil menembus firewall selama tiga menit dua hari lalu.Arga berdiri di depan layar, wajahnya gelap. Di sampingnya, Naira duduk dengan tatapan tajam."Kalau benar sistem kita bisa ditembus segampang ini, maka semua data klien dan proyek rahasia kita dalam bahaya," ucap Arga, nada suaranya tegas."Dan kalau penyusupan ini ada hubungannya dengan kaburnya Raisa... maka kita sedang diawasi," tambah Naira, suaranya lebih pelan, tapi sama menusuk.Seorang staf IT yang baru direkrut beberapa minggu lalu tampak gugup. Ia menunduk, mengetik cepat untuk memeriksa ulang log.Tapi tidak ada yang tahu bahwa anak muda itu Vino, lulusan teknik komputer jenius ada
Malam hari, dua minggu setelah kaburnya Raisa.Rumah Naira dan Arga kini dijaga ketat oleh satuan keamanan pribadi yang disewa langsung oleh Arga dari unit elite. CCTV terpasang di setiap sudut, gerbang dilengkapi sistem sidik jari, dan para penjaga bergantian patroli sepanjang malam.Namun, bahaya tidak selalu datang dari luar.Di ruang kerja Naira, layar laptopnya menyala dengan presentasi rapat yang belum selesai ia siapkan. Tapi perhatiannya terganggu oleh bunyi notifikasi email yang muncul di sudut kanan bawah layar.[Pengirim Tidak Dikenal: Aku lihat kamu masih suka warna biru, Na.]Naira mengerutkan kening. Ia menekan tombol enter dan membuka pesan itu. Hanya ada satu foto di dalamnya dari kejauhan, tampak dirinya pagi tadi saat turun dari mobil, mengenakan blazer biru muda, berdiri di depan kantor sambil memegang map.Itu bukan foto dari media sosial. Sudut pengambilannya terlalu privat. Terlalu dekat. Terlalu nyata.Naira langsung menutup laptop dan memanggil Arga, yang baru
Pukul 01.17 dini hari.Di ruang kontrol CCTV, dua sipir senior tampak terlelap, tak menyadari bahwa sistem kamera telah dimanipulasi.Feed lorong menuju sel Raisa kini menjadi “blind spot” selama tiga menit, cukup untuk seseorang menyelinap.Langkah kaki ringan terdengar di lorong. Seorang perempuan berseragam sipir, salah satu staf baru yang wajahnya selalu tertutup masker medis berdiri di depan sel Raisa.Tanpa bicara banyak, ia menyelipkan kunci sel manual dan jaket hitam ke bawah jeruji.“Sudah waktunya. Truk menunggu di belakang,” bisiknya datar.“Siapa kamu?” tanya Raisa cepat, meski tangannya sudah bekerja membuka kunci sel.“Jalan sudah dibuka. Truk sudah menunggu. Kau punya waktu dua menit,” ucapnya singkat.Raisa tak bertanya. Ia hanya mengangguk, lalu mengganti pakaiannya dengan cepat, menyembunyikan wajah dan rambutnya di balik hoodie.Beberapa menit kemudian, ia sudah bersembunyi di belakang truk pengangkut sampah. Truk bergerak perlahan, lalu menghilang dalam hujan malam