Malam itu, setelah semua kekacauan mereda, Naira duduk di dalam mobil bersama Arga.Pria itu mengemudikan mobilnya dengan tatapan lurus ke depan, rahangnya mengeras.Ia belum mengucapkan sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan gudang tempat Naira ditahan."Arga..." panggil Naira pelan, namun pria itu tetap diam.Naira tahu, suaminya sedang menahan emosi. Wajar saja. Bagaimana mungkin seorang pria yang sangat protektif terhadap istrinya bisa tenang setelah tahu bahwa Naira hampir kehilangan nyawanya di tangan Raisa?Setelah beberapa saat, Arga menghela napas panjang, lalu menepikan mobil di sisi jalan yang sepi.Ia mematikan mesin, lalu menatap Naira dengan ekspresi yang sulit dibaca.Arga terdiam, menahan gejolak di dalam dadanya. "Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kau mau menghadapi Raisa? Kenapa kau lakukan ini sendirian?"Naira menunduk sejenak, suaranya pelan. "Karena aku tidak mau melibatkanmu, Arga. Aku tahu kau akan menghentikanku. Tapi aku butuh penutupan. Aku perlu menu
Beberapa hari kemudian, suasana kantor Arga mendadak berubah seperti arena pertempuran.Pintu lobi bergetar ketika dua sosok angkuh muncul, langkah mereka cepat dan penuh kemarahan.Bu Ratna dan Pak Alfian, orang tua Raisa, datang tanpa undangan, namun kehadiran mereka segera menyedot perhatian seluruh lantai direksi."Mana Arga?! Suruh dia keluar sekarang juga!" teriak Bu Ratna, suaranya melengking membelah keheningan kantor.Resepsionis yang berjaga tampak panik, tapi belum sempat ia bertindak, Arga sudah berjalan keluar dari ruangannya, diikuti oleh Naira. Pria itu berjalan dengan tenang, tapi matanya menyala tajam."Bu Ratna, Pak Alfian. Silakan bicara dengan tenang," ucap Arga tegas."Tenang?! Kami di sini untuk menuntut satu hal: bebaskan Raisa dari tahanan!" bentak Pak Alfian. "Dia tidak seharusnya diperlakukan seperti penjahat!"Naira menegang di samping Arga. Namun pria itu melangkah maju."Bebaskan? Wanita itu mencoba membunuh istri saya. Dia menyekap Naira, mengancam dengan
Cahaya kamera berpendar ke segala arah. Aula hotel bintang lima itu dipenuhi wartawan dari berbagai media nasional, para editor hiburan, jurnalis hukum, bahkan akun gosip yang biasanya hanya hidup di balik layar media sosial.Di atas podium, berdiri dua sosok yang tampak tenang, namun menyimpan badai di dalam dada.Naira berdiri di samping Arga. Penampilannya sederhana namun elegan. Kemeja putih dengan potongan tegas dan celana panjang hitam memberi kesan profesional.Riasan wajahnya tipis, tapi sorot matanya tajam seolah menantang siapa pun yang berani meragukan kebenaran.Arga menyesuaikan mikrofon. Suaranya berat dan mantap ketika membuka acara."Terima kasih atas kehadiran semua pihak hari ini. Saya, Arga Wicaksana, bersama istri saya, Naira, mengadakan konferensi ini untuk meluruskan berbagai informasi yang telah beredar… dan membuka fakta yang selama ini ditutup-tutupi."Suasana mendadak hening. Tak ada bunyi selain gemeretak kamera dan ketikan laptop.Arga melanjutkan. "Kami ti
Dua Bulan Setelah Konferensi PersLangit Jakarta diselimuti mendung sejak pagi. Gerimis jatuh lembut di atap kaca bangunan besar bercat putih, tenang dan terpencil di pinggiran kota. Di gerbangnya tertulis: "Rumah Pemulihan Jiwa dan Trauma Estrella".Di dalam kamar rawat nomor 213, seorang perempuan muda duduk di ranjang dengan kaki memeluk lutut, berbicara lirih ke dinding.Lila.Wajahnya pucat pasi, matanya kosong. Rambut yang dulu selalu ditata rapi kini terurai acak-acakan. Setiap beberapa menit, ia akan menoleh ke jendela, matanya liar."Dia di sana... dia tersenyum ke aku... dia mau balas dendam... Naira..."Seseorang berdiri di samping tempat tidurnya. Bukan perawat. Bukan dokter. Tapi wanita paruh baya, berpakaian anggun, dengan tas kulit mahal dan ekspresi nyaris membeku oleh amarah yang belum juga reda.Bu Maya.Sejak Lila dibawa ke Estrella, Bu Maya hampir setiap hari datang, menemani dari pagi hingga sore.Duduk di sana, mengelus rambut putrinya, kadang membisikkan doa, ka
Keesokan Harinya – Kantor Pusat PT. Seraya Artha WijayaSuasana kantor pagi itu terasa tegang. Langit Jakarta masih kelabu, dan udara terasa berat seakan membawa firasat buruk.Bisik-bisik menyebar, dan tatapan curiga mengiringi langkah cepat Reyhan yang menembus lorong-lorong kantor dengan wajah penuh amarah.Beberapa karyawan yang melihatnya hanya saling menatap, terkejut sekaligus heran. "Itu Reyhan, ya? Kenapa masuk ke ruangan Bu Naira tanpa ketuk?" bisik salah satu staf junior."Nggak sopan banget... Dia pikir dia masih berkuasa di sini?" timpal yang lain.Salah satu supervisor mencatat sesuatu di ponselnya. “Itu sudah pelanggaran etika. Langsung nyelonong ke ruang wakil direktur. Dia makin nggak bisa kontrol diri.”Reyhan membuka pintu ruangan Naira tanpa mengetuk, membuat beberapa staf yang kebetulan lewat menoleh kaget.Naira sedang duduk tenang di belakang meja kaca, mengenakan blus putih gading. Di tangannya, sebuah map proyek terbuka.Ketika Reyhan menerobos masuk, ia hanya
Seminggu Setelah Pemecatan Reyhan – Ruang Kerja Wakil DirekturPagi itu, sinar matahari Jakarta akhirnya menerobos kelabu yang lama menggantung. Di balik jendela besar lantai 16 kantor pusat Seraya Artha Wijaya, Naira berdiri tegap, menatap ke arah langit yang cerah.Secangkir teh hangat di tangannya mengepul pelan. Di meja kerjanya, laporan kemajuan proyek terletak rapi, semua stabil dan bahkan menunjukkan tren naik sejak Reyhan disingkirkan.Pintu ruangannya diketuk perlahan. Tapi yang masuk tanpa menunggu jawaban bukan sembarang staf.Arga dengan setelan jas abu gelap yang rapi dan aroma parfum khasnya muncul di ambang pintu dengan senyum lembut.“Wakil Direktur yang paling anggun dan paling ditakuti se-gedung ini, sedang menikmati kemenangan?” godanya ringan.Naira menoleh, tersenyum tipis. “Kau lupa, Direktur Utama, bahwa kemenangan ini juga milikmu.”Arga menutup pintu perlahan, berjalan mendekat, lalu berdiri di samping jendelanya. Ia meraih tangannya, menggenggam erat.“Kamu y
Tiga Minggu Setelah Perayaan Pernikahan – Rumah Arga dan Naira di MentengHujan gerimis membasahi halaman rumah klasik bergaya kolonial itu. Di dalam, suasana hangat dan tenang menyelimuti ruang keluarga.Naira duduk di sofa, mengenakan sweater krem lembut, sambil membaca laporan dari iPad-nya. Di dapur, aroma kue cinnamon rolls yang baru matang memenuhi udara.Tiba-tiba bel pintu berdenting.“Sayang, kamu bukain pintu ya?” teriak Naira ke arah dapur, mengira itu kurir atau asisten rumah tangga yang lupa bawa kunci.Tak lama, Arga datang sambil mengusap tangan dengan lap kecil. Tapi begitu membuka pintu, ia terlihat sedikit terkejut.Seorang gadis muda berdiri di ambang pintu dengan koper besar dan hoodie putih yang basah oleh gerimis.Wajahnya cantik, lembut, dan penuh antusias. Rambut coklat gelombangnya digerai, dan senyumnya merekah saat melihat Arga.“Kak Arga…!”Naira yang penasaran bangkit dan menghampiri. Gadis itu langsung memeluk Arga erat, membuat Naira refleks mengernyitka
Setelah Liza Masuk Kamar – Balkon Kamar Naira dan ArgaAngin malam bertiup lembut, membawa aroma hujan yang masih tersisa dari sore tadi. Di balkon kamar lantai dua, Naira berdiri dengan selimut ringan menutupi bahunya.Arga keluar perlahan, bergabung di sisinya. Ia menggenggam tangannya, lalu menghela napas panjang sebelum berbicara.“Na... soal Liza,” katanya pelan, suaranya berat. “Ada hal yang belum sempat aku ceritakan.”Naira menoleh sedikit, tapi tak menjawab. Ia membiarkan Arga melanjutkan.“Satu hari setelah ulang tahunnya yang ke-17... Liza kehilangan ibunya. Tante Desi, sahabat Mama, meninggal dalam kecelakaan mobil.”Naira mengerutkan dahi. “Kecelakaan?”Arga mengangguk pelan. “Waktu itu mereka bertiga Ibu, Tante Desi, dan Liza sedang dalam perjalanan pulang dari acara ulang tahun Liza di Puncak. Di tengah jalan, rem mobil blong. Dalam detik-detik kritis, Tante Desi yang menyetir... membanting stir. Dia sengaja menabrakkan sisi mobilnya ke tiang supaya Ibu selamat.”Naira
Rumah Keluarga Reyhan, 04.23Pintu rumah Reyhan berderit pelan saat dibuka.Tubuh Reyhan basah kuyup, bajunya kotor dengan bercak tanah dan lumpur. Matanya merah, wajahnya keras, penuh amarah yang ditahan.Bu Maya yang sejak tadi gelisah di ruang tamu langsung bangkit, menghampiri dengan langkah tergesa."Reyhan! Gimana, Nak? Kamu ketemu Raisa, kan? Dia nggak apa-apa, kan?!" seru Bu Maya dengan nada cemas, matanya membelalak penuh harap.Reyhan hanya diam, tatapannya kosong.Tanpa menjawab, ia melepas jaket kotor itu dan melemparkan ke sofa dengan kasar, berjalan menuju kamarnya."Reyhan, jawab, Nak! Raisa gimana?! Jangan diam aja!" teriak Bu Maya, suaranya pecah.Langkah Reyhan mendadak terhenti.Ia membalikkan badan perlahan, wajahnya merah karena menahan emosi."BU!" Reyhan menghardik, suaranya meledak. "Kenapa Ibu nggak pernah berhenti BICARA?!"Bu Maya terkejut, tubuhnya gemetar."Semua ini... semua kekacauan ini... itu KARENA IBU!" teriak Reyhan, dadanya naik turun menahan amara
Jalan Raya Margasari, 23.29Hujan mengguyur semakin deras. Di tengah malam basah itu, Reyhan masih berlutut di samping tubuh Raisa, yang tergeletak tak berdaya, terbungkus dingin dan sepi.Darah bercampur air hujan, membentuk aliran kecil yang mengalir menjauh, seolah ingin membawa pergi semua dosa malam ini.Alex kini menatapnya dalam diam. Tidak ada kemarahan di wajahnya, hanya sesuatu yang jauh lebih mengerikan: kekecewaan dingin.Alex berhenti di depan Reyhan, menghela napas panjang, lalu berjongkok hingga sejajar dengan wajah bawahannya itu."Aku pikir kamu lebih pintar dari ini, Reyhan," katanya datar. "Menyembunyikan Raisa... dariku?"Reyhan ingin membela diri, ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Tubuhnya menggigil bukan hanya karena hujan, tapi karena takut.Alex menatap tubuh Raisa sesaat, lalu kembali menatap Reyhan, mata tajamnya seperti menelanjangi setiap kebohongan."Aku seharusnya membereskanmu sekarang juga," lanjutnya pelan, nadanya nyaris ramah. "Seharusnya aku
Langit kota diselimuti mendung pekat, gerimis turun menyapu aspal yang dingin. Reyhan menyetir pulang dengan kecepatan nyaris melanggar batas, dadanya terasa sesak.Pikirannya masih terguncang oleh satu pesan singkat dari Alex, bos sekaligus lelaki yang selama ini bisa menggenggam lehernya dalam satu perintah:“Aku akan membereskan satu urusan malam ini. Selesaikan proposal perencanaan malam ini.”Urusan.Reyhan langsung tahu: itu tentang Raisa."Jangan sampai…" gumamnya, jari-jarinya mencengkeram setir, napasnya memburu.Begitu sampai di rumah, dia langsung melompat keluar dari mobil, membanting pintu dan menerobos masuk.“RAISA!” suaranya menggema keras. Lila meringkuk di sudut, menutup telinga. Bu Maya muncul dari dapur dengan wajah panik.Braak!Pintu rumah dibuka dengan keras. Reyhan masuk terburu-buru, napasnya memburu. Jaketnya basah oleh hujan gerimis yang baru saja mengguyur kota."Raisa!" teriaknya dari pintu, suaranya menggema, nyaris putus asa.Tak ada jawaban. Rumah teras
Dua hari kemudian, matahari sore menyinari pelataran rumah sakit, keemasannya membias di kaca jendela, menyelimuti dunia seolah ikut bersyukur atas kembalinya satu jiwa dari ambang maut.Kursi roda didorong perlahan oleh seorang perawat, roda menggesek lantai dengan suara lirih, seolah ikut menghormati momen ini. Naira, dengan selimut tipis menutupi kakinya, tampak lemah tapi matanya tak lagi kosong.Di sampingnya, Arga berjalan setia. Setiap langkahnya bagai janji sunyi, bahwa ia tak akan membiarkan Naira terluka lagi.Rambut Naira masih belum ditata rapi, kulitnya pucat, tapi ada cahaya tak tergoyahkan di sorot matanya.Cahaya dari perempuan yang tak mau jadi korban lagi. Bukan dari siapa pun.Bu Rina, ibu mertua Naira, menahan air mata yang sudah membentuk barisan di pelupuk. Suaranya bergetar, tangan menggenggam dada.“Alhamdulillah, ya Allah… akhirnya kamu bisa pulang, Nak. Maafin Ibu kalau selama ini terlalu keras.”Naira menoleh pelan, bibirnya tersenyum tipis. “Terima kasih, B
Dirumah Reyhan, lampu kuning temaram menggantung di sudut ruangan, menyinari tubuh Raisa yang terbaring di sofa panjang.Selimut tipis membungkus tubuhnya, tapi bagian lengannya yang terbuka masih menunjukkan bekas luka-luka menghitam dan memar yang belum sepenuhnya hilang.Beberapa masih segar, garis merah keunguan menyapu kulit pucatnya.Ia memejamkan mata, mencoba tidur. Tapi suara dari dapur membuatnya mendengus pelan.Bu Maya tak pernah lelah berbicara tentang apapun, kepada siapa pun, bahkan jika tak ada yang mendengarkan.“Sudah seminggu tinggal di sini, nggak ada perkembangan. Kerja juga nggak, bantu-bantu juga nggak,” ocehnya sambil memotong sayuran.Suaranya cukup keras untuk sampai ke ruang tengah. “Cuma diam aja kayak patung. Anak zaman sekarang, memang keterlaluan.”Raisa membuka mata perlahan. Kedua bola matanya tajam. Ia menggeser duduk, membetulkan selimutnya.“Sudah Reyhan kasih makan, kasih kamar, sekarang tinggal nyuruh-nyuruh. Dasar nggak tahu diri.”Ia mencoba men
Beberapa hari setelah Naira sadar. Naira duduk di kursi roda, didampingi Tari. Mereka berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju taman kecil di belakang gedung.Angin malam menyapa lembut, dan bunga melati mulai bermekaran, menyebarkan aroma tenang. Tapi hati Naira tidak tenang.Tatapannya jauh. Kosong, tapi dalam.“Na… kamu yakin mau keluar malam-malam gini?” tanya Tari sambil mendorong pelan kursi roda.Naira tersenyum kecil. “Aku cuma… butuh lihat langit. Rasanya udah lama banget nggak hidup…”Tari menunduk. Lalu berbisik lirih, “Kamu masih ingat sesuatu?”Naira menoleh. Tatapannya berubah. Lebih tajam. Lebih sadar.“Sedikit,” bisiknya. “Aku ingat... ada suara. Lembut, tapi seperti pisau. Ada sesuatu disuntikkan. Aku merasa sangat ngantuk. Terlalu ngantuk.”Tari berhenti mendorong. “Kamu yakin?”Naira mengangguk. “Dan aku yakin… itu bukan suster. Bukan dokter.”Sunyi.Angin mendesis pelan seperti menyampaikan peringatan.“Liza,” kata Tari pelan. “Aku juga curiga. Waktu itu aku p
Hujan tak lagi turun pelan, tapi mengguyur kota dengan derasnya seolah langit pun tak kuat menahan beban rahasia yang selama ini tertahan.Petir menyambar di kejauhan, bayangannya memantul di kaca jendela kamar rumah sakit yang temaram.Tari masih duduk di sisi ranjang, wajahnya letih, matanya sembab. Buku doa di tangannya mulai lusuh karena terlalu sering dibuka.Sesekali ia membisikkan ayat-ayat pendek di telinga sahabatnya, seperti menuntun jiwa Naira untuk kembali dari dunia sunyi yang tak bisa dijangkau siapa pun.Tapi malam itu... ada yang berbeda.Jemari Naira bergerak.Sekilas. Sangat pelan. Tapi cukup untuk membuat napas Tari terhenti.Dia membeku. Lalu menoleh cepat."Naira...?" suaranya lirih, penuh ketakutan, harapan, dan ketidakpercayaan. Ia mendekat, wajahnya nyaris sejajar dengan wajah pucat sahabatnya.Kelopak mata Naira bergetar. Pelan. Lalu terbuka… seperti kelopak bunga yang merekah setelah badai panjang.Mata itu masih sayu. Pandangannya kabur. Tapi saat ia menatap
Rumah Sakit hari kelima Naira di rawat.Hujan turun perlahan, menyentuh kaca jendela kamar VIP yang sepi. Di dalamnya, Naira masih terbaring dengan infus dan alat bantu napas.Wajahnya pucat, tubuhnya lemah, tapi garis hidup di monitor masih stabil dan itu satu-satunya harapan yang membuat Arga tetap bertahan.Ia duduk di sisi ranjang, belum pernah meninggalkan kamar itu.Matanya merah, tubuhnya mulai lemah, tapi genggaman tangannya pada tangan Naira tak pernah longgar."Kamu harus bangun, sayang… aku nggak bisa hidup tanpa kamu…,” bisiknya pelan, hampir seperti doa.Pintu terbuka perlahan.Sosok ramping dengan rambut panjang masuk pelan-pelan, membawa termos kecil dan kantong makanan.Liza.“Kak Arga…” ucapnya lembut, dengan nada manja. “Aku bawain makan. Kakak belum makan dari tadi pagi, kan?”Arga hanya menggeleng, menatap kosong ke arah Naira.Liza mendekat, meletakkan makanan di meja. Ia berdiri di belakang Arga, lalu menunduk, menyentuh bahunya dengan lembut.“Kakak nggak akan k
2 hari kemudian di Safehouse milik Wijaya Group malam itu sepi. Terlalu sepi.Bima yang berjaga di pos depan menguap pelan. Ia tak tahu, di kejauhan, beberapa mobil hitam tanpa plat tengah merayap senyap.Di dalamnya, para pria bertubuh kekar dan berwajah datar, dengan komunikasi lewat isyarat tangan, siap menjalankan misi: hilangkan saksi.Di dalam safehouse, Dion dan Raisa sudah mulai tenang. Luka-luka mereka telah dibersihkan sekadarnya. Dion, meski masih lemah, terlihat jauh lebih lega setelah berjam-jam disiksa Arga.“Raisa…” Dion melirik pelan, suaranya parau. “Aku… makasih udah nggak nyeret aku sendiri. Aku tahu aku pengecut. Tapi aku pikir... kalau kita bisa keluar dari sini, aku bisa... bisa minta maaf ke semua orang.”Raisa hanya diam, duduk di pojok ruangan. Nafasnya berat. Matanya kosong.Tapi detik berikutnya—DUARRR!Ledakan kecil menghantam pintu belakang safehouse. Asap mulai memenuhi lorong. Lampu padam. Alarm darurat menyala merah.“APA ITU?!”Bima langsung teriak le