Wanita itu menganga dengan jawaban Devan yang terkesan kejam untuknya. Dia merasa sangat malu karena beberapa pengunjung yang berniat makan di restoran itu kini memperhatikannya. “Van, kenapa kamu tega sekali berbicara seperti itu padaku? Bukankah dulu kita pernah saling mencintai?” ujar wanita itu sesedih mungkin.“Bukankah kenyataannya memang seperti itu? Dalam hal ini, bukankah kau jauh lebih tega membiarkanku berkubang dalam sakitnya sayatan luka yang sengaja kau torehkan di hatiku? Dengarkan aku baik-baik, aku tidak akan pernah membiarkanmu menyakiti hati calon istriku secuil pun. Dan jangan pernah berpikir jika aku akan sudi kembali padamu. Karena aku tidak akan pernah mau mengulang kesalahan yang sama seperti dulu!” tegas Devan.Wanita itu tersentak, “apa bagimu aku ini adalah kesalahan, Van?” “Kau bukan hanya sekedar kesalahan, tapi kau adalah orang yang tidak pernah aku harapkan hadir di hidupku.”Wanita itu menatap Devan dengan nanar. Dia tidak menyangka jika seorang Devan
Alin tertidur di ruangan pribadi Devan dengan sangat pulas. Ranjang yang terlalu nyaman membuat Alin lupa jika saat ini dia semakin terlelap dalam buaian mimpi.Saat Devan memasuki ruangan pribadinya untuk membangunkan Alin, dia terdiam sejenak sambil memperhatikan Alin yang tertidur sambil mengigau. Lelaki itu sampai menggelengkan kepalanya.“Dasar bocah,” gumamnya.Dia mendekat dan mencoba membangunkan Alin. “Lin ayo pulang, ini sudah sore!” ujar Devan sambil menggoyangkan tubuh Alin.“Jimin, peluk aku Jimin akhirnya aku bisa sedekat ini denganmu,” ujar Alin mengigau. Dia sampai berusaha meraih tubuh Devan yang tengah membangunkannya. Dia sampai memonyongkan bibirnya untuk mencium Devan.“Eh ini mulutnya kenapa monyong kayak ikan? Wah nggak benar ini harus segera di sadarkan!” gumam Devan.Dia segera membasahi tangannya dengan air dan mengusapkannya ke wajah Alin. Seketika Alin terbangun.“Lho Mas Devan mau apakan saya? Kok dekat-dekat sama saya? Mau perkosa ya?” tanya Alin sambil
Ketiga kakak Alin sedikit kecewa karena di saat kedua orang tuanya sedang dalam kesulitan, tidak ada yang memberi tahukan hal ini pada mereka.“Lho, Mami dan Papi nggak kasih kabar ke kalian ya, Mbak?” tanya Alin.Mereka bertiga menggelengkan kepala. “Kalian tahu nggak Mbak? Berita kebangkrutan keluarga kita bahkan sudah menyebar di kalangan para pengusaha. Mungkin saja Mami dan Papi tidak ingin kalian itu bersedih dengan ujian yang sedang mereka jalani,” ucap Alin getir. Dia menghapus air matanya yang mengalir di pelupuk mata.“Sudahlah Dek, jangan menangis lagi, ya. Yang sudah berlalu biarkan saja. Yang terpenting sekarang perusahaan sudah kembali stabil. Sebentar lagi hari bahagia kami, Dek!” ucap kakak pertama menenangkan Alin yang mulai mengeluarkan air mata.Mereka bertiga berpelukan. Namun saat sudah melepas pelukannya, kakak kedua yang sejak tadi memendam penasaran akhirnya mencurahkannya. Dia khawatir sang adik tidak benar-benar bahagia menjalani biduk rumah tangga.“Lin,
Nenek Rendra dan juga mami langsung melihat ke arah Alin yang berjalan tertatih dengan dipapah sang kakak. Dia tidak sengaja mendengar pembicaraan kedua orang berbeda generasi itu saat keluar dari kamar mandi. Karena penasaran, Alin menguping pembicaraan mereka.“Alin, jangan bicara seperti itu. Mami tidak pernah mengajarkan kamu untuk tidak sopan pada orang yang lebih tua.”“Biarkan saja, Mi. Andai Nenek ini bisa lebih menghargai keluarga kita, tidak mungkin aku akan bersikap seperti ini,” jawab Alin.“Kamu harus ingat, Lin. Tidak ada orang yang mau menerima semua kekuranganmu kecuali cucu saya. Jadi sebaiknya urungkan pernikahanmu dan kembalilah pada Rendra sebelum terlambat!” ujar nenek Rendra.“Sudah saya tegaskan, Nek, saya tidak akan pernah kembali dengan Rendra lagi. Bukankah Anda sendiri pernah berkata jika keluarga kalian selalu mencarikan jodoh yang setara dengan keluarga kalian? Saya yakin, Anda pasti tidak akan mungkin menjilat kembali ludah yang sudah Anda keluarkan,” ser
Akhirnya hari yang sangat ditunggu oleh keluarga besar Devan telah tiba. Satu-satunya anggota keluarga Bimantara yang betah membujang hingga usia hampir menyentuh kepala empat hari ini akan melepas masa lajangnya secara resmi.“Bagaimana perasaanmu saat ini, Kak?” tanya salah satu sepupu.“Biasa saja,” jawab Devan.“Ah yang benar? Waktu aku menikah dulu rasanya sangat deg-degan lho padahal. Rasanya adem panas keringat dingin keluar saking gugupnya,” ujarnya antusias.“Ya itu kan kamu. Kakak sudah biasa menghadapi orang banyak, jadi sudah nggak gerogi lagi!” ucap Devan.“Tapi ini beda Kak konsepnya. Ah Kak Devan lihat saja nanti, sebentar lagi pasti Kak Devan bakal merasakan gerogi,” kata sepupunya lalu meninggalkan Devan yang masih bersiap di kamar hotel.Tak berselang lama, ibu Devan datang dan memintanya segera bersiap ke ballroom.“Nak, penghulu sudah datang. Kamu sudah dipanggil ke sana, sudah siap apa belum? “ tanya mama.“Iya Ma, Devan sudah siap.”Mama Devan memandangi anaknya
Alin kembali berjengkit kaget saat Devan menggodanya. Dia buru-buru menarik kopernya untuk dibawa ke kamar mandi. Sedangkan Devan tertawa terbahak-bahak karena berhasil menggoda Alin.Alin keluar dari kamar mandi dengan muka yang merah menahan malu akibat godaan Devan. Dia terus menunduk sepanjang Devan masih ada di dalam ruangan.“Hei kamu kenapa menunduk? Tegakkan pandanganmu! Tidak usah malu, kita ini sudah halal. Jadi apa pun yang kita lakukan akan bernilai pahala,” ujar Devan.Alin menegakkan kepalanya yang semula menunduk, dia menatap Devan yang tengah bersandar sambil memegang tabletnya.“Duduklah di sampingku,” perintah Devan sambil menepuk kasur di sebelahnya. Dengan sedikit sungkan, Alin mendekat ke arah yang Devan tunjuk. “Tidak usah takut, aku tidak akan menerkammu!” ujar Devan tanpa melihat Alin.Gadis itu tampak memainkan jarinya. Dia terlihat sangat risau.“Emm, apakah, itu, anu-““Bicaralah yang jelas!” tegur Devan.“Mengenai perjanjian kita-“Devan langsung memotong
“Baiklah, kita buktikan saja!” ujar wanita itu.Tamu itu turun dari pelaminan dengan perasaan yang dongkol karena Alin yang susah dipengaruhi. Tapi dia tetap berusaha memasang ekspresi biasa agar orang lain tidak mengetahui apa yang baru saja terjadi.Tak hanya wanita itu, ayah Rendra pun memutuskan untuk hadir di acara pernikahan Alin. Dia akhirnya mengajak serta Rendra dan juga istrinya untuk hadir. Mereka turut naik ke pelaminan untuk mengucapkan selamat pada kedua mempelai.“Selamat menempuh hidup baru, Lin. Kalau kau tidak bahagia hubungi aku, aku akan dengan senang hati membahagiakanmu,” ucap Rendra.“Alin sudah cukup sangat bahagia hidup bersama saya, jadi Anda tidak perlu bersusah payah untuk menunggunya. Terima kasih atas kehadirannya,” jawab Devan menyela.“Selamat berbahagia, Nak. Om tidak mengira kau akan mendapatkan pengganti yang lebih baik dari Rendra!” ujar ayah Rendra.“Ya jelaslah dapat ganti yang lebih baik wong modal selangkangan,” tutur ibu Rendra pedas.“Tolong j
Devan langsung membawa Alin ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Dia juga membawa sampel makanan yang menyebabkan Alin sesak nafas untuk dicek di laboratorium. Devan segera menyuruh asistennya untuk menyelidiki siapa dalang dibalik insiden ini.“Aku kenapa di rumah sakit lagi?” gumam Alin ketika tersadar.Devan yang setia menunggunya langsung memanggil dokter kala Alin mulai sadar. Setelah dipastikan sudah baik-baik, Alin diperbolehkan pulang. Keadaannya tidak separah saat makan malam dulu karena cepat tertangani.***Devan tidak mengajak Alin kembali ke hotel melainkan langsung membawanya ke rumah pribadi Devan.“Bagaimana keadaanmu? Apa masih terasa sakit? Kalau iya, kita kembali ke rumah sakit,” ujar Devan setelah mereka sampai di rumah.“Tidak usah, aku sudah mendingan. Terima kasih sudah sigap menolongku, Mas!” ucap Alin dengan tulus.“Harusnya aku yang meminta maaf padamu, Lin. Andai aku tidak mengajakmu memakan makanan itu, kamu pasti tidak akan seperti ini.”“Sudahl