Aruna mengembus napas pelan dan bergumam.
“Apakah aku berdosa, jika masih belum memiliki maaf untuk wanita itu dan juga anaknya?”
Brahmana terdiam sepersekian detik.
“Meminta maaf adalah satu hal yang berat, tapi lebih berat lagi adalah memberikan maaf.” Suami Aruna itu memberikan pembuka kalimat.
“Karena itu, aku tidak bisa menghakimi mengenai hati. Apa yang kau alami saat bersama ibu tiri dan saudara tirimu saat itu, pasti berat. Tapi aku tidak berani mengatakan ‘aku mengerti’, karena aku tidak pernah berdiri di kakimu dan mengalami apa yang kau alami. Jadi..” Brahmana mengusap penuh kasih sisi kepala Aruna.
“Bebaskan dulu dirimu dari segala sesuatu yang mengganggumu. Setelah kau sungguh-sungguh bisa melepaskannya, kau bisa memaafkan mereka.”
“Terima kasih, Agha…”
“Aku yang terima kasih,” balas Brahmana.
“Mengapa?”
&l
“Apa maksudmu Bu?!” Ferliana mengempas kasar bokongnya di depan sang ibu dengan mata membesar tidak percaya. “Seperti yang kau dengar. Dia menikah dengan pewaris DG.” “Tidak,” geleng Ferliana. “Tidak mungkin! Mana mungkin wanita sialan itu menikah dengan--” Lisa menaikkan bahu. “Itu kenyataan.” Tidak mempercayai itu, Ferliana mengeluarkan ponselnya dan mengetik kata kunci tentang pernikahan Aruna di kolom pencarian. Tidak butuh waktu lama, berita tentang pernikahan akbar Aruna dan Brahmana muncul dan telah menjadi trending topic. Mata Ferliana liar menatap tajuk utama setiap berita dengan mata memerah dan rahang mengeras. [Heboh!! Pewaris Dananjaya Group Melepas Masa Lajangnya!] [Pernikahan Termegah Abad Ini; CEO Dananjaya Group Menikahi Manager] [Pewaris Tunggal Dananjaya Group Menikahi Wanita Cantik Sederhana] [Siapa Wanita Penakluk CEO Dananjaya Group?] Dan judul-judul bertema serupa, berderet memenuhi layar ponsel Ferliana. Ia mengetuk salah satunya dan membaca dengan t
“Kamu kenapa?” Aruna menarik kursi di seberang Shanti duduk. Ia bergegas datang ke kantin di kantornya, Niskala, setelah menerima telepon dari Shanti yang mengatakan ingin bertemu dengan Aruna. Tentu saja ini bukan hal biasa. Jika pun Shanti mengajak dirinya bertemu, atau sekadar hang out biasa, mereka akan melakukannya di cafe yang mereka anggap nyaman. Bukan di kantin kantor seperti ini. Jelas bagi Aruna, ada yang tidak beres dengan Shanti. Dan itu cukup terlihat jelas pada raut wajah sahabatnya itu begitu ia sampai di kantin. “Ada apa Shan?” ulang Aruna. “Siang bu,” sapa beberapa pegawai sambil membungkukkan badan dengan hormat ketika melintasi meja Aruna dan Shanti. “Siang.” Aruna mengangguk, membalas sapaan mereka. Kantin begitu tenang, sapaan itu terdengar jelas membuat Shanti yang semula menopang wajah di atas lipatan tangannya di meja, mendongak. “Ini benar-benar tenang, ngga kaya kantin,” cetusnya lalu menoleh sekeliling. Kantinnya tidak sepi, cukup banyak pegawai d
“Akhirnyaa.. satu lagi pesanan. Selesai ini, beres sudah!” Shanti tersenyum.Minggu ini orderan yang masuk melalui marketplace lumayan banyak, membuat wanita muda sahabat Aruna itu harus menghabiskan sebagian waktunya di jalanan dengan roda duanya.“Yang kuat yah, Besti.. Lu membersamai perjuangan gue dari nol…” Shanti menepuk badan motor, sebelum kembali menaiki kuda besi yang terbilang sudah ketinggalan jaman itu.Sempat salah satu kawan Shanti mengatakan minatnya untuk membeli motor Shanti tersebut, namun Shanti menolak keras.“Motor ini sejarah, Bung! Ini motor yang dipake istri CEO DG saat pertemuan pertama mereka! Mau lu beli dengan harga berlipat, kagak bakal gue jual!”Selalu jawaban yang sama Shanti berikan kepada siapapun yang mengatakan berminat membeli motornya ataupun menyarankan dirinya melakukan tukar tambah motor tersebut.Shanti memang tidak salah.Motor miliknya itu adalah m
“Ah!” Aruna berguling.Sudah sejak beberapa menit lalu ia tidak kunjung bisa memejamkan kedua matanya. Tepatnya, tidak bisa terlelap.Tubuhnya bolak-balik gelisah di atas ranjang besarnya.“Kau belum tidur, Sayang?” Brahmana yang duduk di balik meja kerja di dalam kamar itu menatap ke arah ranjang mereka.Meskipun ia sejak tadi tengah berkutat memeriksa beberapa email, namun sudut matanya tetap menangkap gestur gelisah Aruna di atas ranjang.Hanya mendapatkan gumaman kecil dari sang istri sebagai jawaban pertanyaannya tadi, Brahmana pun bangkit dari kursi dan mendekati sisi ranjang. Ia membungkukkan tubuh dan mengecup pelipis Aruna.“Apa masih belum puas?” bisik pria itu dengan nada menggoda. “Aku bisa beberapa ronde lagi.”“Aku sudah tidur!” decak Aruna lalu berbalik memunggungi Brahmana sembari merapatkan selimut.Pria tampan suami Aruna itu terkekeh geli melihat tin
Siang hari itu, Brahmana di dalam ruang meeting dengan pembahasan penting mengenai progress mega proyek yang Dananjaya Group telah dapatkan, ketika ponselnya bergetar.Namun pria tampan itu tidak menyadarinya, karena tengah menyimak laporan dari salah satu petinggi Dananjaya Group.Tidak berselang lama, ponsel Fathan yang kini bergetar.Sekretaris Brahmana itu mengeluarkan ponselnya dari saku dan melirik ke layar. Melihat nama kontak yang tertera di sana, Fathan bangkit dari duduknya dan mendekat ke posisi Brahmana.“Tuan.” Fathan menyodorkan ponselnya ke hadapan Brahmana.Wajah Brahmana terlihat terganggu, namun begitu melihat layar di ponsel Fathan tersebut, ia segera mengangkat tangan kanannya, memberi kode pada peserta meeting dan petinggi yang tengah membacakan laporan, untuk berhenti sejenak.Ia pun menggeser panel jawab dan menjawab lembut.“Ya Ammi?”‘Jadi kapan kau akan memberiku cucu?&rsq
Berbanding terbalik dengan Shanti, Aruna tersenyum ramah saat melihat kehadiran Fathan.“Mas Fathan,” sapa Aruna.Fathan melangkah maju dan memberikan anggukan kepala sebagai salam hormat pada Aruna, lalu memberikan anggukan serupa untuk menyapa Shanti.Wanita muda sahabat Aruna itu mengatupkan bibirnya rapat dengan mata terbuka cukup lebar dan sorot mata yang begitu rumit.“Duduklah, Mas.”Shanti menoleh cepat pada Aruna dengan melempar tatapan protes yang seakan menyerukan kalimat ‘Ngapain disuruh duduk bareng kita?!’Fathan mengangguk lagi, lalu memberi kode pada wanita muda di belakangnya yang segera bergeser mendekat pada mereka bertiga, namun tetap berposisi berdiri.“Jadi, kau ke sini untuk…” Aruna menghentikan kalimatnya dan menoleh pada wanita yang berdiri di belakang Fathan.“Ah ya. Seperti yang Nona Aruna ketahui--”“Runa udah tau?!&rdquo
Aruna dan Brahmana kini telah berada di depan hotel yang begitu megah di Nashville, Tennessee. Setidaknya mereka menghabiskan dua puluh lima jam penerbangan untuk tiba di salah satu negara bagian Amerika Serikat itu.“Sayang, aku akan meninggalkanmu dulu di hotel dengan Ningsih untuk mengikuti meeting-ku. Is it okay?” Brahmana menarik pinggang Aruna dan menatapnya lekat.“Kau tidak istirahat dulu?” Aruna menatap khawatir sang suami.“Aku bisa beristirahat di mobil nanti. Jadwalnya terlalu padat. Mungkin hingga malam nanti. Apa tidak apa-apa?”Aruna melipat bibir ke dalam. Ia sedikit khawatir, namun pada akhirnya mengangguk. “Ya. It’s okay.”Ia sangat paham bahwa perjalanan ini adalah perjalanan bisnis Brahmana. Ia tidak terpikir Brahmana akan bersantai setibanya mereka di Tennessee.Brahmana bahkan membawa satu orang pria, pegawai senior di Dananjaya Group untuk menggantikan posisi Fathan
Dengan gerakan pelan, ia segera membalikkan tubuh. Kini matanya terpancang pada satu sosok yang berjalan mendekat dari arah luar lounge. Sepasang kaki jenjang dengan sepatu Testoni yang dijahit benang linen yang dibuat khusus dan dilapisi kulit lembut itu terhenti tepat enam langkah di hadapan Aruna. Temaram, namun manik kelam itu demikian lekat --tanpa berkedip, menatap wanita bergaun hitam yang begitu menyilaukan di matanya. Waktu seakan terhenti di sana. Dua pasang mata itu saling tertumbuk, beradu dan mengikat dengan keterpesonaan yang setara. Pria tampan dengan setelan jas hitam tiga potong itu lebih dulu bergerak mendekati wanita bergaun dengan warna senada. “Sayang…” desisnya lirih, tanpa kelopak yang mampu berkedip. Netra kelamnya menikmati keindahan yang sangat menghanyutkan jiwanya tanpa ingin melepas. “You’re… so gorgeous…” bisik Brahmana setelah ia berada tepat di depan Aruna dengan tubuh nyaris menempel pada sang istri. Tangan kiri meraih pinggang ramping Aruna la
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m