Berbanding terbalik dengan Shanti, Aruna tersenyum ramah saat melihat kehadiran Fathan.
“Mas Fathan,” sapa Aruna.
Fathan melangkah maju dan memberikan anggukan kepala sebagai salam hormat pada Aruna, lalu memberikan anggukan serupa untuk menyapa Shanti.
Wanita muda sahabat Aruna itu mengatupkan bibirnya rapat dengan mata terbuka cukup lebar dan sorot mata yang begitu rumit.
“Duduklah, Mas.”
Shanti menoleh cepat pada Aruna dengan melempar tatapan protes yang seakan menyerukan kalimat ‘Ngapain disuruh duduk bareng kita?!’
Fathan mengangguk lagi, lalu memberi kode pada wanita muda di belakangnya yang segera bergeser mendekat pada mereka bertiga, namun tetap berposisi berdiri.
“Jadi, kau ke sini untuk…” Aruna menghentikan kalimatnya dan menoleh pada wanita yang berdiri di belakang Fathan.
“Ah ya. Seperti yang Nona Aruna ketahui--”
“Runa udah tau?!&rdquo
Aruna dan Brahmana kini telah berada di depan hotel yang begitu megah di Nashville, Tennessee. Setidaknya mereka menghabiskan dua puluh lima jam penerbangan untuk tiba di salah satu negara bagian Amerika Serikat itu.“Sayang, aku akan meninggalkanmu dulu di hotel dengan Ningsih untuk mengikuti meeting-ku. Is it okay?” Brahmana menarik pinggang Aruna dan menatapnya lekat.“Kau tidak istirahat dulu?” Aruna menatap khawatir sang suami.“Aku bisa beristirahat di mobil nanti. Jadwalnya terlalu padat. Mungkin hingga malam nanti. Apa tidak apa-apa?”Aruna melipat bibir ke dalam. Ia sedikit khawatir, namun pada akhirnya mengangguk. “Ya. It’s okay.”Ia sangat paham bahwa perjalanan ini adalah perjalanan bisnis Brahmana. Ia tidak terpikir Brahmana akan bersantai setibanya mereka di Tennessee.Brahmana bahkan membawa satu orang pria, pegawai senior di Dananjaya Group untuk menggantikan posisi Fathan
Dengan gerakan pelan, ia segera membalikkan tubuh. Kini matanya terpancang pada satu sosok yang berjalan mendekat dari arah luar lounge. Sepasang kaki jenjang dengan sepatu Testoni yang dijahit benang linen yang dibuat khusus dan dilapisi kulit lembut itu terhenti tepat enam langkah di hadapan Aruna. Temaram, namun manik kelam itu demikian lekat --tanpa berkedip, menatap wanita bergaun hitam yang begitu menyilaukan di matanya. Waktu seakan terhenti di sana. Dua pasang mata itu saling tertumbuk, beradu dan mengikat dengan keterpesonaan yang setara. Pria tampan dengan setelan jas hitam tiga potong itu lebih dulu bergerak mendekati wanita bergaun dengan warna senada. “Sayang…” desisnya lirih, tanpa kelopak yang mampu berkedip. Netra kelamnya menikmati keindahan yang sangat menghanyutkan jiwanya tanpa ingin melepas. “You’re… so gorgeous…” bisik Brahmana setelah ia berada tepat di depan Aruna dengan tubuh nyaris menempel pada sang istri. Tangan kiri meraih pinggang ramping Aruna la
Aruna menggeliat. Ia menutup wajah dengan sebelah tangan tatkala terasa cahaya menyilaukan masuk melalui jendela balkon yang setengah terbuka. Matanya mengerjap sekian kali, untuk menyesuaikan konsumsi cahaya yang menerobos ke dalam ruangan. Perlahan ia bangkit untuk duduk. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, ia pun meringis. Bukan saja karena rasa nyeri tadi, namun rasa berat di area perutnya. Ia menunduk dan mendapati tangan kekar Brahmana masih bertumpu dan melingkari perut. “Ups..” Aruna meraih selimutnya yang melorot hingga menampilkan tubuh atasnya yang polos, tanpa sehelai benang pun. Ia membenahi genggamannya pada sejumput ujung selimut lalu kepalanya beralih ke sisi, dimana seorang pria dengan rahang siku dan tegas, tengah terpejam. Dada bidangnya yang juga polos sedikit berkilat karena sisa keringat hasil ‘pertempuran’ panas mereka semalam, kini pun terlihat naik turun begitu teratur. Tidak seperti sebelumnya yang begitu terengah. Pipi Aruna kini terasa memanas dan bersem
“Apa kau melakukan apa yang harus kau lakukan, heh?” Wanita cantik bertubuh tinggi itu meregang kekesalan dan mencengkeram erat ponsel yang menempel di telinganya. ‘Hey Nona! Jangan kamu samakan kami dengan preman-preman pasar atau begundal tanpa aturan di jalanan itu. Saya tidak bekerja asal, semua tersusun dan terencana rapi.’ Sebuah jawaban dengan nada tak kalah kesal, terlontar dari seberang. “Bukankah itu hanya alasanmu saja? Sudah berapa hari ini, tapi saya sama sekali tidak mendengar berita bagus apapun yang seharusnya saya dapatkan! Apa kau mau menipuku?!” ‘Dengar baik-baik Nona! Uang dari kamu ini hanya receh! Jika kamu tidak sabar, silakan saja cari orang lain untuk mengerjakan pekerjaan kotormu itu. Saya akan kembalikan uangmu, tapi tentunya dipotong enam puluh persen, karena kamu telah membuang waktu saya yang berharga!’ “A-apa! Enam puluh persen?!” seru wanita cantik itu gusar. Napasnya mengembus kasar dan kaki rampingnya bergerak, mengitari ruangan dengan ketukan ama
“Apa lihat-lihat?” ujar Shanti ketus pada pria jangkung berkaca mata yang berdiri tidak jauh di sisi kanannya. Demi apapun, Shanti masih malu untuk bertemu pria itu sejak kejadian tempo hari. Kejadian yang membuat dirinya terlihat dan terdengar konyol di depan pria itu, sahabatnya dan bahkan wanita tersangka calon istri pria berkaca mata itu. “Kamu masih marah karena Ningsih?” Fathan, pria itu bertanya tenang. “Siapa juga yang marah?” Shanti membuang muka ke arah gerbang kedatangan. Ia tahu, tidak akan melihat orang yang ia tunggu akan keluar dari gerbang tersebut, karena ini belum waktunya. Mereka berdua memang berada di bandara, menunggu kedatangan Aruna dan Brahmana yang hari ini dijadwalkan kembali ke Tanah Air. Semula Shanti begitu bersemangat tatkala Aruna menghubunginya dan meminta Shanti menjemput dirinya dan menyebutkan membawa oleh-oleh banyak untuk dirinya. Tentu saja wanita muda tomboy sahabat Aruna itu girang bukan kepalang. Namun kegirangan itu langsung menguap,
“Pergilah berkencan dengan Shanti.” “Eh? Apa, Tuan?” “Kau tidak tuli kan? Pergi berkencan dengan Shanti,” ulang Brahmana dengan jengkel. “Kenapa tiba-tiba--” “Ini perintah. Anggap saja itu tugas tambahan yang harus kamu kerjakan,” tandas sang CEO. Sementara Fathan melipat bibir tanpa mampu berkomentar lagi. “Kenapa diam?” Kini Brahmana menaikkan pandangan dan memperhatikan Fathan di depan meja kerja besarnya. “Cara yang buruk untuk membujuk,” gumam Fathan. “Apa katamu?” “Tidak apa-apa Tuan. Ini laporan keuangan kuartal ini Tuan,” Fathan bergegas menyodorkan satu berkas ke hadapan sang CEO. Brahmana melirik penuh peringatan, sebelum akhirnya berpaling pada berkas di depannya. “Bagaimana pengerjaan proyek di Niskala?” tanyanya sembari membuka berkas tersebut. “Sudah hampir tujuh puluh persen, Tuan. Sejauh ini, klien tampak puas dan mengagumi teknik baru yang dipresentasikan oleh Nona Aruna waktu lalu.” Brahmana mengangguk puas. “Istriku memang hebat.” “Ya Tuan. Nona Aruna m
Pagi ini begitu cerah.Dengan semangat penuh, Aruna kembali bekerja di Niskala. Mengikuti beberapa meeting, memeriksa beberapa berkas dan juga memberikan arahan untuk penyusunan rencana pemasaran dari staf di bawahnya.Ningsih jelas mengikuti kemana pun Aruna pergi.“Ya Tuan. Nyonya Muda sekarang masih di ruang anak buahnya, melihat pekerjaan mereka.” Ningsih melaporkan semua kegiatan sang Nona kepada Brahmana.“Baik Tuan. Ya. Saya mengerti, Tuan.”Wanita berambut pendek itu kemudian menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku, setelah majikannya mematikan sambungan di sana.Kedua mata Ningsih begitu awas dan memperhatikan sekeliling.Ia mengamati dan memantau sekitar dengan gerakan yang natural.Tidak seorang pun pegawai Niskala yang mengira Ningsih adalah bodyguard Aruna. Tubuhnya terbilang seperti wanita pada umumnya, jauh dari gambaran bodyguard yang terlihat bertubuh lebih kekar dari orang kebanyakan.
“Tuan,” Fathan menegur pelan. Brahmana yang tengah duduk di ujung meja oval ruang meeting terhenyak kecil. Kepalanya terangkat lalu jatuh pada seluruh peserta rapat yang kini tengah menatap dirinya. Menunggu tanggapan dan respon darinya, selaku CEO Dananjaya Group. Fathan mengulurkan tangan dan menunjuk satu baris kalimat dalam laporan yang ada di atas meja Brahmana, memberi petunjuk pada sang CEO bahwa salah satu peserta rapat tengah membahas hal tersebut sebelumnya. Brahmana berdeham, lalu mulai membuka suara dan memberikan arahannya. Di samping, Fathan menghela napas. Entah ada apa, tiba-tiba Brahmana terlihat seperti melamun, sesaat setelah rapat mereka dimulai. Tadi adalah kali ketiga, Fathan ‘membangunkan’ Brahmana dari lamunan. Fathan bertanya-tanya, apa yang terjadi pada sang Bos Besar itu, sedari tadi tampak seperti tidak fokus sama sekali. Padahal saat datang tadi pagi, meskipun masih dengan ekspresi datar dan dingin ciri khasnya, Brahmana terlihat begitu cerah deng