“Apa lihat-lihat?” ujar Shanti ketus pada pria jangkung berkaca mata yang berdiri tidak jauh di sisi kanannya. Demi apapun, Shanti masih malu untuk bertemu pria itu sejak kejadian tempo hari. Kejadian yang membuat dirinya terlihat dan terdengar konyol di depan pria itu, sahabatnya dan bahkan wanita tersangka calon istri pria berkaca mata itu. “Kamu masih marah karena Ningsih?” Fathan, pria itu bertanya tenang. “Siapa juga yang marah?” Shanti membuang muka ke arah gerbang kedatangan. Ia tahu, tidak akan melihat orang yang ia tunggu akan keluar dari gerbang tersebut, karena ini belum waktunya. Mereka berdua memang berada di bandara, menunggu kedatangan Aruna dan Brahmana yang hari ini dijadwalkan kembali ke Tanah Air. Semula Shanti begitu bersemangat tatkala Aruna menghubunginya dan meminta Shanti menjemput dirinya dan menyebutkan membawa oleh-oleh banyak untuk dirinya. Tentu saja wanita muda tomboy sahabat Aruna itu girang bukan kepalang. Namun kegirangan itu langsung menguap,
“Pergilah berkencan dengan Shanti.” “Eh? Apa, Tuan?” “Kau tidak tuli kan? Pergi berkencan dengan Shanti,” ulang Brahmana dengan jengkel. “Kenapa tiba-tiba--” “Ini perintah. Anggap saja itu tugas tambahan yang harus kamu kerjakan,” tandas sang CEO. Sementara Fathan melipat bibir tanpa mampu berkomentar lagi. “Kenapa diam?” Kini Brahmana menaikkan pandangan dan memperhatikan Fathan di depan meja kerja besarnya. “Cara yang buruk untuk membujuk,” gumam Fathan. “Apa katamu?” “Tidak apa-apa Tuan. Ini laporan keuangan kuartal ini Tuan,” Fathan bergegas menyodorkan satu berkas ke hadapan sang CEO. Brahmana melirik penuh peringatan, sebelum akhirnya berpaling pada berkas di depannya. “Bagaimana pengerjaan proyek di Niskala?” tanyanya sembari membuka berkas tersebut. “Sudah hampir tujuh puluh persen, Tuan. Sejauh ini, klien tampak puas dan mengagumi teknik baru yang dipresentasikan oleh Nona Aruna waktu lalu.” Brahmana mengangguk puas. “Istriku memang hebat.” “Ya Tuan. Nona Aruna m
Pagi ini begitu cerah.Dengan semangat penuh, Aruna kembali bekerja di Niskala. Mengikuti beberapa meeting, memeriksa beberapa berkas dan juga memberikan arahan untuk penyusunan rencana pemasaran dari staf di bawahnya.Ningsih jelas mengikuti kemana pun Aruna pergi.“Ya Tuan. Nyonya Muda sekarang masih di ruang anak buahnya, melihat pekerjaan mereka.” Ningsih melaporkan semua kegiatan sang Nona kepada Brahmana.“Baik Tuan. Ya. Saya mengerti, Tuan.”Wanita berambut pendek itu kemudian menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku, setelah majikannya mematikan sambungan di sana.Kedua mata Ningsih begitu awas dan memperhatikan sekeliling.Ia mengamati dan memantau sekitar dengan gerakan yang natural.Tidak seorang pun pegawai Niskala yang mengira Ningsih adalah bodyguard Aruna. Tubuhnya terbilang seperti wanita pada umumnya, jauh dari gambaran bodyguard yang terlihat bertubuh lebih kekar dari orang kebanyakan.
“Tuan,” Fathan menegur pelan. Brahmana yang tengah duduk di ujung meja oval ruang meeting terhenyak kecil. Kepalanya terangkat lalu jatuh pada seluruh peserta rapat yang kini tengah menatap dirinya. Menunggu tanggapan dan respon darinya, selaku CEO Dananjaya Group. Fathan mengulurkan tangan dan menunjuk satu baris kalimat dalam laporan yang ada di atas meja Brahmana, memberi petunjuk pada sang CEO bahwa salah satu peserta rapat tengah membahas hal tersebut sebelumnya. Brahmana berdeham, lalu mulai membuka suara dan memberikan arahannya. Di samping, Fathan menghela napas. Entah ada apa, tiba-tiba Brahmana terlihat seperti melamun, sesaat setelah rapat mereka dimulai. Tadi adalah kali ketiga, Fathan ‘membangunkan’ Brahmana dari lamunan. Fathan bertanya-tanya, apa yang terjadi pada sang Bos Besar itu, sedari tadi tampak seperti tidak fokus sama sekali. Padahal saat datang tadi pagi, meskipun masih dengan ekspresi datar dan dingin ciri khasnya, Brahmana terlihat begitu cerah deng
Suara ketukan tergesa memenuhi lorong menuju ruang IGD satu Rumah Sakit pinggiran kota.Ketukan yang berbenturan dengan lantai keramik Rumah Sakit itu, bukan berasal hanya dari sepasang sepatu.Namun juga dari beberapa pasang sepatu lainnya di belakang.Wajah Brahmana, terlihat pucat pias dengan manik kelam dipenuhi sorot kecemasan dan ketakutan.Ya. Takut.Beberapa waktu sebelumnya, Fathan menerima telpon dari pihak Niskala yang mendapat telepon dari kantor Derbies Studio dan mengatakan terjadi kecelakaan.Kecelakaan yang terjadi di sisi kantor itu, yang melibatkan Aruna dan asistennya.Segera, Fathan menyampaikan berita buruk tersebut dan di sinilah Brahmana, beserta Fathan dan sejumlah bodyguard-nya.Jantung Brahmana bagai diremas. Seluruh tubuhnya terasa dingin dan napas yang tersekat, seolah batu besar menimpa dadanya.Ia menggeram marah karena sejak perjalanan tadi, semua terasa lambat, lama dan menyiksa.Ti
Brahmana melangkah masuk ke ruang ICU. Identitas dirinya yang seorang CEO Dananjaya Group, telah diketahui oleh pihak Rumah Sakit, hingga bahkan direktur Rumah Sakit itu sendiri turun untuk menyapanya. Dengan bebas, Brahmana masuk ke ruang ICU itu ditemani oleh Direktur dan satu orang dokter. “Kami turut menyesal atas kejadian yang menimpa istri Anda, Tuan,” ujar Direktur sambil melangkah di sisi Brahmana. Pria tampan berwajah dingin itu tidak menggubris. Netra kelamnya tertuju pada salah satu brankar yang menjadi tempat berbaring seorang wanita. Brahmana langsung tahu, wanita itulah pelakunya. Karena dalam ruangan ICU itu, hanya ada dua brankar terisi dari empat brankar yang ada. Satu brankar diisi oleh seorang pria tua. Satu lagi, oleh seorang wanita. Kaki panjangnya membawa Brahmana ke sisi brankar wanita dengan beberapa alat yang terpasang di tubuhnya. Alisnya seketika menukik dengan netra tajam menyorot raut wajah wanita itu dengan seksama. “Katrina…” desisnya dengan gigi
Buuughh!Bruakk!!Dhuaagg!Suara pukulan, tendangan terdengar nyaring di satu ruangan luas yang kosong.Brahmana menatap dingin ke arah para pengawalnya yang tengah ‘menginterogasi’ para penghadang Aruna.Kedua tangannya terlipat di depan dada, berdiri di dalam ruangan lain, terpisah cermin satu arah yang menjadi penyekat.Keempat penghadang itu sudah digelandang pihak berwajib, namun entah bagaimana, keempat orang itu kini ada dalam ruangan itu.Bagi Brahmana, tentu saja ia tidak akan membiarkan keempatnya terlalu enak mendekam di penjara dan bersantai di sana.“Ampuun! Ampuun Tuan! Tolong ampuni kami!” pekik salah satu dari para penghadang itu dengan memohon pada orang-orang Brahmana.“Kami akan lakukan apapun untuk Tuan! Ampuni kami!” teriak yang lainnya saat melihat salah satu pengawal mendekati mereka dengan tang di tangan dan siap mencabuti satu demi satu kuku mereka, jika mereka
Praaangg!! Entah itu benda ke berapa yang dilempar Katrina. Sejak dirinya sadar dari kondisi tidur panjangnya kemarin siang, ia mendapati kenyataan bahwa kedua kakinya sudah tidak bisa digunakan. Ia lumpuh permanen. Demikian yang dikatakan dokter padanya beberapa jam setelah ia sadar. “Kat…” rintih Elya dengan airmata yang mengalir deras di pipinya. “Sabar, Nak…” Hatinya bagai teriris melihat kondisi putri semata wayangnya. Bagaimana ia tidak shock, tatkala mendapatkan kabar dari pihak Rumah Sakit, bahwa putri tunggalnya itu mengalami kecelakaan dan berada di Rumah Sakit. Saat ia datang, di depan pintu kamar rawat inap, telah berjaga dua orang pria berseragam hitam. Elya semakin kaget. Namun kekagetan itu sirna, begitu mengetahui bahwa penjaga itu adalah orang suruhan Brahmana. Dirinya merasa sangat bersyukur, bahwa mantan calon tunangan Katrina begitu perhatian pada putrinya itu dan berpikir bahwa Brahmana tidak bisa sepenuhnya abai terhadap Katrina. “Ini semua… ini semua
Fathan membuka pintu apartemen dengan perlahan, menghela napas panjang setelah hari yang cukup melelahkan.Matahari sudah tenggelam, dan hanya lampu-lampu kecil di sudut ruangan yang menyinari apartemen.Dia mengharapkan sambutan hangat dari Shanti, seperti biasanya. Namun, saat masuk ke dalam, Fathan langsung merasakan sesuatu yang memang berbeda malam itu.Shanti berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya bersilang di dada, dan wajahnya menunjukkan ekspresi tegang namun dingin.Tatapannya menusuk, seolah-olah dia sudah lama menunggu kedatangan Fathan hanya untuk menghujaninya dengan kekesalan.Fathan mengerutkan alis, merasa ada yang tidak beres.“Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat seram, seperti orang marah?” Fathan mencoba menggoda.Shanti menatap Fathan dengan tajam, tidak langsung menjawab. Seolah-olah sedang berusaha menahan diri untuk tidak meledak. “Bukankah kau bilang ada yang ingin kau bicarakan? Dan kau bilang sebentar lagi pulang. Tapi larut malam begini, kau baru pulang.”F
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui tirai apartemen yang belum sepenuhnya tertutup, menerangi ruangan yang tertata rapi.Shanti baru saja selesai sarapan dan memutuskan untuk membersihkan apartemen yang ia tinggali bersama Fathan.Setelah beberapa bulan tinggal bersama, Shanti sudah mulai terbiasa dengan ritme hidup baru ini, meskipun ada kalanya dia masih merasa canggung. Namun, pagi ini, ada perasaan aneh yang merambat di hatinya, membuatnya gelisah tanpa alasan yang jelas.Shanti mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambutnya diikat ke atas, siap untuk menjalani hari dengan membersihkan apartemen.Ia memulai dari dapur, kemudian ruang tamu, dan akhirnya tiba di kamar tidur mereka. Tempat tidur masih berantakan dengan selimut dan bantal yang berserakan —tanda bahwa kegiatan yang cukup dahsyat terjadi tadi malam.Saat sedang merapikan selimut, matanya tertuju pada lantai berkarpet di bawah ranjang mereka. Satu benda asing menangkap perhatiannya.Shanti membungkuk lalu me
Pagi itu, sinar matahari menyelimuti Pantai Senggigi di Lombok dengan kehangatan yang lembut.Angin laut yang sejuk berembus pelan, membawa aroma asin yang khas. Langit biru membentang tanpa cela, sementara ombak kecil yang tenang menyapu lembut pasir putih di tepi pantai. Pemandangan yang begitu indah dan syahdu, seolah-olah surga kecil di bumi ini diciptakan khusus untuk mereka.Fathan dan Shanti berjalan beriringan di sepanjang pantai, kaki mereka tenggelam dalam pasir yang terasa basah juga hangat.Fathan mengenakan kemeja linen putih yang dibiarkan setengah terbuka, memperlihatkan dada bidangnya yang terbakar matahari. Ia tidak lagi mengenakan kacamata palsu-nya, namun manik abu-abunya tetap tertutup oleh kontak lens berwarna hitam.Sementara itu, Shanti mengenakan gaun pantai berwarna pastel yang melambai ringan tertiup angin, memperlihatkan sosoknya yang tidak seperti biasa --anggun dan santai."Mungkin kita harus pindah ke sini," ujar Fathan tiba-tiba, suaranya sedikit serak k
Kemeriahan begitu tampak di bangunan mewah nan megah Brahmana dan Aruna. Setiap sudut ruangan di lantai dasar dihiasi begitu cantik dan indah. Halaman samping juga terbentang tenda indah dengan tema kanak-kanak berwarna biru. Warna yang menjadi dominan ciri untuk kehadiran anak lelaki. Meja-meja bundar tersebar di halaman samping, dengan penataan hampir mirip saat Brahmana mengadakan pesta reuni untuk Aruna, kali ini tentu ditata lebih sempurna dan megah. Karena hari ini adalah pesta menyambut kelahiran putra penerus Dananjaya Group. “Ah, welcome Mr. Othman!” Brahmana menyambut kedatangan sepasang suami istri yang tentu saja ia ingat dengan sangat baik. Itu adalah Tuan Othman beserta istrinya, Nyonya Ariyah yang terbang dari Australia untuk memenuhi undangan dan melihat serta turut mendoakan bayi mungil Aruna. Tentu saja Ariyah sangat antusias tatkala mendengar kabar Aruna yang telah melahirkan. Sejak tragedi tempo hari itu, Ariyah dan Aruna menjadi cukup dekat, meski hanya berko
Dhuaagg!Dhaagg!!Samsak itu bergoyang dan mengayun menjauh, menandakan pukulan dan tendangan yang dihantamkan, memiliki kekuatan yang serius.Fathan melompat sembari melakukan tendangan berputar.Dhuaagg!Samsak setinggi seratus lima puluh senti itu mengayun lagi. Dengan samsak setinggi itu, memiliki bobot sekitar empat puluh lima sampai lima puluh lima kilogram. Dan benda berbobot puluhan kilogram itu mengayun cukup jauh.Shanti yang tiba di ruang latihan, terpaku di balik pintu ganda dengan aksen kaca bagian tengahnya, sehingga ia bisa menyaksikan apa yang dilakukan pria yang telah menjadi suaminya itu, sejak beberapa menit lalu.“Keren…” desis Shanti dengan mata menyorot takjub.Ia jelas tahu, seberapa berat samsak dan betapa sulitnya untuk membuat benda berlapis kain oxford tersebut untuk mengayun sejauh itu.Dengan perlahan dan diam-diam, Shanti mengendap-endap mendekati Fathan yang terlihat fokus dan serius dengan samsak di hadapannya.Sebisa mungkin ia mengambil jalur yang tida
“Apa beneran mereka ditinggal berdua, gak apa-apa?” Shanti masih terus bertanya pada Fathan sebelum ia akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil. Kepalanya masih menoleh ke arah bangunan megah kediaman Aruna dan Brahmana. Ia sungguh merasa khawatir akan terjadi keributan lagi antara Aruna dan Brahmana yang dipicu oleh kehadiran Mike di sana. “Cemas sekali?” Fathan terkekeh. Ia telah duduk di balik kemudi dan menyalakan mesin. “Gimana ngga cemas! Gegara keributan oleh Mike itu kan, terakhir Runa sama pak CEO hilang akal sehat, yang berimbas gue ikutan melancong ke negara tetangga dengan terpaksa!” Shanti merengut. Bahunya sedikit bergidik. Ia masih ingat betul, saat dirinya diikat bersama Aruna, lalu hampir mengalami pelecehan dan rudapaksa. “Chill out, Baby Doll…” Fathan mengulurkan tangan kiri dan mengelus kepala istrinya itu. “Baby Doll apaan!” Shanti mendelik sebal pada Fathan, namun suaminya itu malah tertawa. “Aku tidak akan membiarkan apapun atau siapapun menyentuh, apala
“Hai Babe!” Mike tersenyum lebar saat matanya tertuju pada Aruna yang duduk bersandar pada tumpukan bantal besar. “Siapa yang mengizinkan dia masuk?” desis Brahmana. Rahangnya terlihat mengeras, bersamaan gigi yang terkatup dan bergemeletuk. “Bukankah kau sendiri yang mempersilakan aku masuk? Pengawal Aruna tadi mengatakannya. Apa kau akan menjilat ludahmu sendiri?” Pria bule itu mengerling santai. “Kau!” “Sayangku… Agha…” Aruna di sisi Brahmana, berbisik mengingatkan. Ia lalu beralih pada teman bulenya itu. “Mike, masuklah.” Mike lalu melangkah masuk. Tubuh tingginya tegap bergerak mendekat dengan sebelah tangan memegang karangan bunga mawar begitu besar. “Congrat, Dear. Sudah menjadi seorang ibu…” Mike merentangkan tangan dan membungkuk, hendak memeluk Aruna, namun tangan kokoh Brahmana dengan sigap menahan tubuh pria bule itu dan mendorongnya menjauh. “Heyy! Easy man!” protes Mike dengan lirikan sewot pada Brahmana. “Mike, please. Hargai suamiku,” cetus Aruna. Kalimat pendek
“Tarik napas, Nyonya… Jangan dulu mengejan!”Instruksi dari dokter terdengar tenang dan lantang, namun Aruna bagai tidak bisa mencerna semua kata-kata itu.Tubuhnya terasa remuk dan seakan ditarik dari dalam. Suatu ‘ajakan’ memintanya untuk mengejan dan itu tidak bisa ditolak Aruna. “Arrrghh!!”“Jangan angkat pinggul Anda, Nyonya!”“Mengapa begitu banyak larangan!” Kali ini Brahmana yang mengomel. Ia sudah ikut berkeringat dan bermandi peluh. Kedua tangannya berada di bahu Aruna, sedikit lebih ke depan.“Kalau berposisi begini, Nyonya akan mengalami robek yang cukup panjang, Pak.” Dokter itu menjawab omelan Brahmana.“Ro-robek?” Brahmana seketika menganga. Tubuhnya bergidik ngeri, tidak sanggup membayangkan daerah sensitif itu terluka, apalagi sampai mengalami robekan.“Arrghh!” Aruna mengejan lagi.“Sa-sayang… dengarkan apa kata dokter. Turunkan pantatmu, jangan diangkat..” pinta Brahmana gugup. Tanpa sadar, ia menekan kuat tangannya yang berada di pundak agak depan Aruna.“Kau mau m
Kegaduhan benar-benar terjadi di Rumah Sakit ternama di ibukota siang hari itu.Mungkin bagi Rumah Sakit tersebut, hari ini adalah kejadian membuat ricuh dan paling menegangkan yang pernah mereka alami selama berpuluh-puluh tahun beroperasi.Satu lantai dipenuhi orang.Bukan pengunjung, namun tim pengawal dan keluarga serta teman Aruna yang memadati koridor menuju ruang persalinan.Bahkan kondisi seperti itu, belum termasuk Dananjaya Tua dan segenap pengawalannya.Sesepuh Dananjaya Group yang memiliki status prestisius yang sangat tinggi itu baru datang.Tak terkira para perawat, pegawai juga pengunjung lain Rumah Sakit tersebut dibuat bingung dengan ‘keramaian’ yang menampak di siang hari tersebut.Satu lantai, nyaris terisolasi karena dijaga oleh sederet tim pengaman dari Dananjaya Group.Tantri yang baru saja pulang ke kediaman Brahmana dari pesta Shanti, segera berbalik kembali dan datang ke Rumah Sakit dengan kehebohan khas ibu kandung Brahmana itu.“Dimana Sayangku? Cintaku? Di m