Buuughh!Bruakk!!Dhuaagg!Suara pukulan, tendangan terdengar nyaring di satu ruangan luas yang kosong.Brahmana menatap dingin ke arah para pengawalnya yang tengah ‘menginterogasi’ para penghadang Aruna.Kedua tangannya terlipat di depan dada, berdiri di dalam ruangan lain, terpisah cermin satu arah yang menjadi penyekat.Keempat penghadang itu sudah digelandang pihak berwajib, namun entah bagaimana, keempat orang itu kini ada dalam ruangan itu.Bagi Brahmana, tentu saja ia tidak akan membiarkan keempatnya terlalu enak mendekam di penjara dan bersantai di sana.“Ampuun! Ampuun Tuan! Tolong ampuni kami!” pekik salah satu dari para penghadang itu dengan memohon pada orang-orang Brahmana.“Kami akan lakukan apapun untuk Tuan! Ampuni kami!” teriak yang lainnya saat melihat salah satu pengawal mendekati mereka dengan tang di tangan dan siap mencabuti satu demi satu kuku mereka, jika mereka
Praaangg!! Entah itu benda ke berapa yang dilempar Katrina. Sejak dirinya sadar dari kondisi tidur panjangnya kemarin siang, ia mendapati kenyataan bahwa kedua kakinya sudah tidak bisa digunakan. Ia lumpuh permanen. Demikian yang dikatakan dokter padanya beberapa jam setelah ia sadar. “Kat…” rintih Elya dengan airmata yang mengalir deras di pipinya. “Sabar, Nak…” Hatinya bagai teriris melihat kondisi putri semata wayangnya. Bagaimana ia tidak shock, tatkala mendapatkan kabar dari pihak Rumah Sakit, bahwa putri tunggalnya itu mengalami kecelakaan dan berada di Rumah Sakit. Saat ia datang, di depan pintu kamar rawat inap, telah berjaga dua orang pria berseragam hitam. Elya semakin kaget. Namun kekagetan itu sirna, begitu mengetahui bahwa penjaga itu adalah orang suruhan Brahmana. Dirinya merasa sangat bersyukur, bahwa mantan calon tunangan Katrina begitu perhatian pada putrinya itu dan berpikir bahwa Brahmana tidak bisa sepenuhnya abai terhadap Katrina. “Ini semua… ini semua
Di dalam sebuah bar, tidak jauh dari pusat kota di negara kangguru.Seorang pria menjelang akhir lima puluhan, tampak duduk termenung di salah satu stool bar. Gelas di tangannya telah kosong, tersisa beberapa potongan kecil es batu.Sekian waktu pria itu diam dengan tangan bertumpu di atas meja bar. “Aku.. masih tidak bisa pulang… Aku terjebak di sini… Mereka akan menagihku, jika aku menampakkan diri di sana.”Dengan lemah, ia mengangkat gelas kosong itu dan meneguknya, meski ia tahu sudah tidak terisi cairan apapun di dalam gelas tersebut.Trek.Seseorang tiba-tiba meletakkan satu gelas berisi whiskey di depan Robert.“Minumlah. It’s my treat (traktiranku),” ujar seseorang yang menyodorkan minuman itu pada Robert, tatkala Robert menoleh padanya.Robert terlihat cukup terkejut, begitu mendapati satu lelaki dengan wajah penuh bekas luka, kini berdiri di sisi kanannya.Ia segera mengali
Shanti duduk diam memandang pria berkacamata di hadapannya.Petang hari ini ia meminta bertemu dengan Fathan di sebuah coffee shop langganan mereka.Wanita muda tomboy sahabat Aruna itu menyingkirkan harga diri dan rasa malunya dan menghubungi Fathan demi menggali informasi lebih jelas terhadap kejadian yang menimpa Aruna.“Jadi apa aja yang udah kalian temukan?” tukas Shanti setelah beberapa saat ia dan Fathan bertemu.“Seperti yang sudah saya katakan padamu. Katrina.” Fathan menjawab santai.Netra di balik kacamatanya itu mengarah lurus pada wajah Shanti, seakan tengah mencoba membaca belitan emosi pelik di diri wanita muda itu.“Kau mengajak saya bertemu karena ingin mendengar hal yang sudah saya katakan padamu, atau karena hal lain?” tanyanya.“Hal lain? Maksudnya?” Ujung di pangkal alis Shanti terlihat menekuk.“Hal lain seperti ingin bertemu dengan saya?”“A-apaan!” Shanti melarikan pandangannya ke arah lain dengan kedua pipi yang terasa menghangat. “Jangan ge-er Mas! Gue emang b
Aruna baru saja beberapa langkah dari depan pintu kamarnya, ketika Ima terlihat mendekati. “Nyonya, di bawah ada--” “Runaa!!” Seruan suara rendah seorang pria terdengar menggema di ruangan besar lantai dasar, memotong perkataan Ima yang baru saja hendak menyampaikan kedatangan pria itu pada Aruna. “Diya?” “Biar aku yang naik!” seru pria itu lagi --Ardiya sembari bergegas melompati anak tangga dengan gerakan gesit. Tidak butuh lama bagi pria itu untuk tiba di lantai dua lalu menghampiri Aruna dengan cepat. Kedua tangannya merentang dan hendak menubruk Aruna dengan perasaan haru. Namun belum sampai ia menyentuh Aruna, dahinya tertahan oleh tapak tangan lebar nan kokoh. “Apaan sih Bram!” Ardiya menepis kasar tangan Brahmana yang menahan dirinya memeluk Aruna. Entah dari mana dan kapan datangnya, pria tampan bertubuh tinggi dan gagah itu telah berada tepat di belakang Aruna berdiri. “Jangan sembarangan sentuh istri orang,” cetus Brahmana dingin. “Oh astaga! Dasar pria posesif. A
“Ya, cinta pertama kami,” jawab Ardiya sambil merapikan tata letak piring-piring yang telah ia susun.“O-oh.. begitu.” Aruna berusaha bersikap biasa dan bertanya lagi. “Memang kalian mencintai cewek yang sama? Waktu dulu? Usia berapa kalian waktu itu?”“Hey.. kalem. Semangat amat nanyanya!” kekeh Ardiya.“Tidak, maksudku--”“Ya-ya-ya, aku paham. Kau cemas dan cemburu, ya kan?”“Siapa yang cemburu!” bantah Aruna cepat.Ardiya terkekeh menggoda. “Baiklah, kau tidak cemburu.” Ia lalu berdeham main-main dan berkata pelan, seolah hendak menyampaikan suatu rahasia. “Jadi… cinta pertama kami itu adalah--”“Kalian bicara apa, bisik-bisik?” Suara rendah dan dalam serta bermuatan ancaman itu seketika mengudara di ruang makan, menghentikan apapun yang akan dikatakan Ardiya pada Aruna.Brahmana telah berdiri di uju
“Tuan Muda Kevin memperlihatkan kesungguhannya. Ia berhasil menutup beberapa negosiasi dan transaksi besar pada perusahaan yang ia pimpin. Tuan, Tuan Muda Kevin dibesarkan dalam lingkungan hebat seperti keluarga Dananjaya. Saya yakin itu tertanam dalam dirinya.” Nuh memberikan kalimatnya saat Dananjaya telah kembali ke mansion-nya dan kini berada di ruang kerja.“Apa yang Tuan risaukan?” tanyanya kemudian saat Dananjaya Tua hanya terdiam di kursi kebesarannya.“Anak itu terlalu sensitif. Karena itulah ia selalu bertindak emosional. Itu membahayakan perusahaan.” Sesuatu dalam pikiran Dananjaya memang mengganggunya sejak ia kembali dari kediaman cucunya, Brahmana dan makan malam di sana bersama Ardiya.Nuh dengan tahu diri berdiam dan mendengarkan dengan perhatian tertuju tepat pada Tuan Besarnya.“Bagaimanapun dalam diri anak itu mengalir darah wanita ular itu. Tidak ada kebaikan di hati wanita ular itu, selain kes
Terpajang wajah bingung Aruna ketika pagi hari terbangun dan ke lantai bawah, para pelayan di kediaman mereka, terlihat sibuk hilir mudik. “Ada apa ini?” gumamnya. Ia lalu beranjak dan mencegat salah satu pelayan yang tengah membawa pot kristal berukuran cukup besar. “Mbak, ini ada apa?” tanya Aruna pada pelayan itu. “Oh selamat pagi, Nyonya Muda. Akan ada acara nanti sore di halaman samping.” “Acara? Acara apa?” Kening Aruna kian mengerut. “Saya kurang tahu, Nyonya Muda. Saya hanya disuruh bu Ima.” “Bu Ima di mana?” “Ada di halaman samping,” jawab pelayan itu. “Oh ok. Makasih.” “Saya ke sana dulu, Nyonya Muda.” Pelayan itu menganggukkan kepala lalu kembali berjalan menuju tempat yang ia sebutkan sebelumnya. Mau tak mau Aruna pun ikut melangkahkan kaki ke halaman samping. Kaki jenjang Aruna terhenti di ambang pintu kaca besar yang menghubungkan dengan halaman samping. Kedua matanya terbeliak kaget melihat pemandangan di sana. Ia memang baru dua atau tiga kali ke area hala