Aruna baru saja beberapa langkah dari depan pintu kamarnya, ketika Ima terlihat mendekati. “Nyonya, di bawah ada--” “Runaa!!” Seruan suara rendah seorang pria terdengar menggema di ruangan besar lantai dasar, memotong perkataan Ima yang baru saja hendak menyampaikan kedatangan pria itu pada Aruna. “Diya?” “Biar aku yang naik!” seru pria itu lagi --Ardiya sembari bergegas melompati anak tangga dengan gerakan gesit. Tidak butuh lama bagi pria itu untuk tiba di lantai dua lalu menghampiri Aruna dengan cepat. Kedua tangannya merentang dan hendak menubruk Aruna dengan perasaan haru. Namun belum sampai ia menyentuh Aruna, dahinya tertahan oleh tapak tangan lebar nan kokoh. “Apaan sih Bram!” Ardiya menepis kasar tangan Brahmana yang menahan dirinya memeluk Aruna. Entah dari mana dan kapan datangnya, pria tampan bertubuh tinggi dan gagah itu telah berada tepat di belakang Aruna berdiri. “Jangan sembarangan sentuh istri orang,” cetus Brahmana dingin. “Oh astaga! Dasar pria posesif. A
“Ya, cinta pertama kami,” jawab Ardiya sambil merapikan tata letak piring-piring yang telah ia susun.“O-oh.. begitu.” Aruna berusaha bersikap biasa dan bertanya lagi. “Memang kalian mencintai cewek yang sama? Waktu dulu? Usia berapa kalian waktu itu?”“Hey.. kalem. Semangat amat nanyanya!” kekeh Ardiya.“Tidak, maksudku--”“Ya-ya-ya, aku paham. Kau cemas dan cemburu, ya kan?”“Siapa yang cemburu!” bantah Aruna cepat.Ardiya terkekeh menggoda. “Baiklah, kau tidak cemburu.” Ia lalu berdeham main-main dan berkata pelan, seolah hendak menyampaikan suatu rahasia. “Jadi… cinta pertama kami itu adalah--”“Kalian bicara apa, bisik-bisik?” Suara rendah dan dalam serta bermuatan ancaman itu seketika mengudara di ruang makan, menghentikan apapun yang akan dikatakan Ardiya pada Aruna.Brahmana telah berdiri di uju
“Tuan Muda Kevin memperlihatkan kesungguhannya. Ia berhasil menutup beberapa negosiasi dan transaksi besar pada perusahaan yang ia pimpin. Tuan, Tuan Muda Kevin dibesarkan dalam lingkungan hebat seperti keluarga Dananjaya. Saya yakin itu tertanam dalam dirinya.” Nuh memberikan kalimatnya saat Dananjaya telah kembali ke mansion-nya dan kini berada di ruang kerja.“Apa yang Tuan risaukan?” tanyanya kemudian saat Dananjaya Tua hanya terdiam di kursi kebesarannya.“Anak itu terlalu sensitif. Karena itulah ia selalu bertindak emosional. Itu membahayakan perusahaan.” Sesuatu dalam pikiran Dananjaya memang mengganggunya sejak ia kembali dari kediaman cucunya, Brahmana dan makan malam di sana bersama Ardiya.Nuh dengan tahu diri berdiam dan mendengarkan dengan perhatian tertuju tepat pada Tuan Besarnya.“Bagaimanapun dalam diri anak itu mengalir darah wanita ular itu. Tidak ada kebaikan di hati wanita ular itu, selain kes
Terpajang wajah bingung Aruna ketika pagi hari terbangun dan ke lantai bawah, para pelayan di kediaman mereka, terlihat sibuk hilir mudik. “Ada apa ini?” gumamnya. Ia lalu beranjak dan mencegat salah satu pelayan yang tengah membawa pot kristal berukuran cukup besar. “Mbak, ini ada apa?” tanya Aruna pada pelayan itu. “Oh selamat pagi, Nyonya Muda. Akan ada acara nanti sore di halaman samping.” “Acara? Acara apa?” Kening Aruna kian mengerut. “Saya kurang tahu, Nyonya Muda. Saya hanya disuruh bu Ima.” “Bu Ima di mana?” “Ada di halaman samping,” jawab pelayan itu. “Oh ok. Makasih.” “Saya ke sana dulu, Nyonya Muda.” Pelayan itu menganggukkan kepala lalu kembali berjalan menuju tempat yang ia sebutkan sebelumnya. Mau tak mau Aruna pun ikut melangkahkan kaki ke halaman samping. Kaki jenjang Aruna terhenti di ambang pintu kaca besar yang menghubungkan dengan halaman samping. Kedua matanya terbeliak kaget melihat pemandangan di sana. Ia memang baru dua atau tiga kali ke area hala
“Hush! Jangan ngomong sembarangan, Ris!” sergah wanita yang duduk di samping Rista --wanita yang menyemprotkan komentar buruk.“Cih! Memang apa hebatnya sih,” cibir Rista lagi. Kedua tangannya telah terlipat di depan dada.“Kamu gila? Memang hebat, kok. Lihat tempat ini. Lihat makanan yang disiapkan. Dan semuanya for free! Alias gratis!” Wanita yang tadi mengingatkan Rista mencebik kesal.Dia merasa Rista benar-benar tidak tahu terima kasih. “Halah, makanan kaya gitu doang. Gue juga bisa beli. Jangan terlalu dipuja puji, besar kepala dia! Cuman nikahin orang kaya aja belagu.”“Aku tidak merasa begitu,” Aruna tiba-tiba menyela dan berhenti di meja mereka.“Ru-Runa..” tiga wanita yang duduk di meja itu sontak tergagap dan kaget melihat Aruna. Sementara Rista mendengkus pelan disertai lirikan sinis pada wanita muda istri CEO Dananjaya Group itu.Aruna melempar
“Mas Fathan..” Tanpa disadari, Shanti mendesah kecil. Itu tidak terdengar oleh Najla dan Jasmine, namun Fathan melirik padanya sekilas. “Jadi siapa yang suka tidak jelas?” ulang pria itu bertanya pada Shanti. “Bukan siapa-siapa.” “Oh ok. Bukan siapa-siapa ya.” Pria berkacamata sekretaris pribadi Brahmana itu lalu bergeser dan menarik kursi keempat yang kosong di meja ketiga wanita muda itu. Dengan santai, ia duduk di sana. “Kenapa duduk di sini?” ujar Shanti protes dan mendelik pada Fathan. “Karena kursinya kosong,” jawab Fathan kalem. Ia lalu berpaling pada Najla dan Jasmine. “Apakah kursi ini kalian pakai?” Najla dan Jasmine kompak menggeleng cepat. “Ya kali pantat kita ada dua, Mas,” celutuk Jasmine sambil cengengesan. Pria berkacamata itu mengangguk dan tersenyum pada Jasmine, lalu ia beralih pada Shanti dengan sedikit memiringkan kepala dan menaikkan kedua alisnya. Seolah mengatakan ‘Mau alasan apalagi?’ Akhirnya Shanti berdecak dan menggeser kursinya sedikit menjauh d
[Thanks banget Runaa!!][Yoi!!][Sore lalu bener-bener jadi hari favorit gue sepanjang masa!][Keren abis. Makasih banget lagi yaa buat pak CEO][Kalian terbaik!][Sayang belum sempet ketemu pak CEO, buat ucapin makasih langsung]Dan masih banyak lagi kalimat demi kalimat ucapan terima kasih, sanjungan dan juga pujian mengalir di grup chat alumni itu.Aruna menggelengkan kepalanya dan tersenyum tanpa daya.Acara itu sudah lewat dua hari yang lalu. Namun, ucapan terima kasih mereka sejak kemarin masih membanjiri dan mendominasi isi dalam grup chat mereka.Sekali lagi, wanita muda yang tengah berada di dalam mobil itu, tersenyum. Matanya memandang ke arah jendela dengan hati yang betul-betul senang.Bahkan hari ini, Aruna telah diizinkan Brahmana untuk kembali ke kantornya di Niskala, meskipun tetap saja, ia harus menerima kenyataan dan konsekuensi iring-iringan yang baginya sungguh seperti dalam film saja.A
Di dalam ruang CEO.Brahmana tengah duduk bersandar dan tangan kanan memegang iPad Pro untuk membaca beberapa data yang dikirimkan oleh beberapa anak perusahaan di bawah Dananjaya Group.Kedua iris kelamnya bergerak-gerak, lalu mengerjap.Ia menggeleng pelan dan menghela napas sesaat lalu meletakkan iPad itu ke atas meja dan menarik siku ke atas pegangan kursi lalu menopang dagu.“Ada apa Tuan? Apakah laporan mereka tidak sesuai?” Fathan yang menyadari gestur sang CEO, bertanya pelan.Namun kalimat itu hanya menjadi angin lalu bagi pria tampan penguasa Dananjaya Group tersebut. Ia memutar kursi hingga menghadap jendela kaca besar yang menampilkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit di luar sana.Posisi tersebut, membuat Fathan sedikit kehilangan sudut pandangnya pada sang Bos Besar, hingga luput darinya, Brahmana yang tengah menyeringai kecil.Pria tersebut bahkan memejamkan mata dan membasahi bibirnya dengan perlaha