Suara ketukan tergesa memenuhi lorong menuju ruang IGD satu Rumah Sakit pinggiran kota.Ketukan yang berbenturan dengan lantai keramik Rumah Sakit itu, bukan berasal hanya dari sepasang sepatu.Namun juga dari beberapa pasang sepatu lainnya di belakang.Wajah Brahmana, terlihat pucat pias dengan manik kelam dipenuhi sorot kecemasan dan ketakutan.Ya. Takut.Beberapa waktu sebelumnya, Fathan menerima telpon dari pihak Niskala yang mendapat telepon dari kantor Derbies Studio dan mengatakan terjadi kecelakaan.Kecelakaan yang terjadi di sisi kantor itu, yang melibatkan Aruna dan asistennya.Segera, Fathan menyampaikan berita buruk tersebut dan di sinilah Brahmana, beserta Fathan dan sejumlah bodyguard-nya.Jantung Brahmana bagai diremas. Seluruh tubuhnya terasa dingin dan napas yang tersekat, seolah batu besar menimpa dadanya.Ia menggeram marah karena sejak perjalanan tadi, semua terasa lambat, lama dan menyiksa.Ti
Brahmana melangkah masuk ke ruang ICU. Identitas dirinya yang seorang CEO Dananjaya Group, telah diketahui oleh pihak Rumah Sakit, hingga bahkan direktur Rumah Sakit itu sendiri turun untuk menyapanya. Dengan bebas, Brahmana masuk ke ruang ICU itu ditemani oleh Direktur dan satu orang dokter. “Kami turut menyesal atas kejadian yang menimpa istri Anda, Tuan,” ujar Direktur sambil melangkah di sisi Brahmana. Pria tampan berwajah dingin itu tidak menggubris. Netra kelamnya tertuju pada salah satu brankar yang menjadi tempat berbaring seorang wanita. Brahmana langsung tahu, wanita itulah pelakunya. Karena dalam ruangan ICU itu, hanya ada dua brankar terisi dari empat brankar yang ada. Satu brankar diisi oleh seorang pria tua. Satu lagi, oleh seorang wanita. Kaki panjangnya membawa Brahmana ke sisi brankar wanita dengan beberapa alat yang terpasang di tubuhnya. Alisnya seketika menukik dengan netra tajam menyorot raut wajah wanita itu dengan seksama. “Katrina…” desisnya dengan gigi
Buuughh!Bruakk!!Dhuaagg!Suara pukulan, tendangan terdengar nyaring di satu ruangan luas yang kosong.Brahmana menatap dingin ke arah para pengawalnya yang tengah ‘menginterogasi’ para penghadang Aruna.Kedua tangannya terlipat di depan dada, berdiri di dalam ruangan lain, terpisah cermin satu arah yang menjadi penyekat.Keempat penghadang itu sudah digelandang pihak berwajib, namun entah bagaimana, keempat orang itu kini ada dalam ruangan itu.Bagi Brahmana, tentu saja ia tidak akan membiarkan keempatnya terlalu enak mendekam di penjara dan bersantai di sana.“Ampuun! Ampuun Tuan! Tolong ampuni kami!” pekik salah satu dari para penghadang itu dengan memohon pada orang-orang Brahmana.“Kami akan lakukan apapun untuk Tuan! Ampuni kami!” teriak yang lainnya saat melihat salah satu pengawal mendekati mereka dengan tang di tangan dan siap mencabuti satu demi satu kuku mereka, jika mereka
Praaangg!! Entah itu benda ke berapa yang dilempar Katrina. Sejak dirinya sadar dari kondisi tidur panjangnya kemarin siang, ia mendapati kenyataan bahwa kedua kakinya sudah tidak bisa digunakan. Ia lumpuh permanen. Demikian yang dikatakan dokter padanya beberapa jam setelah ia sadar. “Kat…” rintih Elya dengan airmata yang mengalir deras di pipinya. “Sabar, Nak…” Hatinya bagai teriris melihat kondisi putri semata wayangnya. Bagaimana ia tidak shock, tatkala mendapatkan kabar dari pihak Rumah Sakit, bahwa putri tunggalnya itu mengalami kecelakaan dan berada di Rumah Sakit. Saat ia datang, di depan pintu kamar rawat inap, telah berjaga dua orang pria berseragam hitam. Elya semakin kaget. Namun kekagetan itu sirna, begitu mengetahui bahwa penjaga itu adalah orang suruhan Brahmana. Dirinya merasa sangat bersyukur, bahwa mantan calon tunangan Katrina begitu perhatian pada putrinya itu dan berpikir bahwa Brahmana tidak bisa sepenuhnya abai terhadap Katrina. “Ini semua… ini semua
Di dalam sebuah bar, tidak jauh dari pusat kota di negara kangguru.Seorang pria menjelang akhir lima puluhan, tampak duduk termenung di salah satu stool bar. Gelas di tangannya telah kosong, tersisa beberapa potongan kecil es batu.Sekian waktu pria itu diam dengan tangan bertumpu di atas meja bar. “Aku.. masih tidak bisa pulang… Aku terjebak di sini… Mereka akan menagihku, jika aku menampakkan diri di sana.”Dengan lemah, ia mengangkat gelas kosong itu dan meneguknya, meski ia tahu sudah tidak terisi cairan apapun di dalam gelas tersebut.Trek.Seseorang tiba-tiba meletakkan satu gelas berisi whiskey di depan Robert.“Minumlah. It’s my treat (traktiranku),” ujar seseorang yang menyodorkan minuman itu pada Robert, tatkala Robert menoleh padanya.Robert terlihat cukup terkejut, begitu mendapati satu lelaki dengan wajah penuh bekas luka, kini berdiri di sisi kanannya.Ia segera mengali
Shanti duduk diam memandang pria berkacamata di hadapannya.Petang hari ini ia meminta bertemu dengan Fathan di sebuah coffee shop langganan mereka.Wanita muda tomboy sahabat Aruna itu menyingkirkan harga diri dan rasa malunya dan menghubungi Fathan demi menggali informasi lebih jelas terhadap kejadian yang menimpa Aruna.“Jadi apa aja yang udah kalian temukan?” tukas Shanti setelah beberapa saat ia dan Fathan bertemu.“Seperti yang sudah saya katakan padamu. Katrina.” Fathan menjawab santai.Netra di balik kacamatanya itu mengarah lurus pada wajah Shanti, seakan tengah mencoba membaca belitan emosi pelik di diri wanita muda itu.“Kau mengajak saya bertemu karena ingin mendengar hal yang sudah saya katakan padamu, atau karena hal lain?” tanyanya.“Hal lain? Maksudnya?” Ujung di pangkal alis Shanti terlihat menekuk.“Hal lain seperti ingin bertemu dengan saya?”“A-apaan!” Shanti melarikan pandangannya ke arah lain dengan kedua pipi yang terasa menghangat. “Jangan ge-er Mas! Gue emang b
Aruna baru saja beberapa langkah dari depan pintu kamarnya, ketika Ima terlihat mendekati. “Nyonya, di bawah ada--” “Runaa!!” Seruan suara rendah seorang pria terdengar menggema di ruangan besar lantai dasar, memotong perkataan Ima yang baru saja hendak menyampaikan kedatangan pria itu pada Aruna. “Diya?” “Biar aku yang naik!” seru pria itu lagi --Ardiya sembari bergegas melompati anak tangga dengan gerakan gesit. Tidak butuh lama bagi pria itu untuk tiba di lantai dua lalu menghampiri Aruna dengan cepat. Kedua tangannya merentang dan hendak menubruk Aruna dengan perasaan haru. Namun belum sampai ia menyentuh Aruna, dahinya tertahan oleh tapak tangan lebar nan kokoh. “Apaan sih Bram!” Ardiya menepis kasar tangan Brahmana yang menahan dirinya memeluk Aruna. Entah dari mana dan kapan datangnya, pria tampan bertubuh tinggi dan gagah itu telah berada tepat di belakang Aruna berdiri. “Jangan sembarangan sentuh istri orang,” cetus Brahmana dingin. “Oh astaga! Dasar pria posesif. A
“Ya, cinta pertama kami,” jawab Ardiya sambil merapikan tata letak piring-piring yang telah ia susun.“O-oh.. begitu.” Aruna berusaha bersikap biasa dan bertanya lagi. “Memang kalian mencintai cewek yang sama? Waktu dulu? Usia berapa kalian waktu itu?”“Hey.. kalem. Semangat amat nanyanya!” kekeh Ardiya.“Tidak, maksudku--”“Ya-ya-ya, aku paham. Kau cemas dan cemburu, ya kan?”“Siapa yang cemburu!” bantah Aruna cepat.Ardiya terkekeh menggoda. “Baiklah, kau tidak cemburu.” Ia lalu berdeham main-main dan berkata pelan, seolah hendak menyampaikan suatu rahasia. “Jadi… cinta pertama kami itu adalah--”“Kalian bicara apa, bisik-bisik?” Suara rendah dan dalam serta bermuatan ancaman itu seketika mengudara di ruang makan, menghentikan apapun yang akan dikatakan Ardiya pada Aruna.Brahmana telah berdiri di uju