“Maksud saya, sayurannya,” kata Brahmana lalu ikut berjongkok dan membantu memunguti yang berserakan itu.
“Oh…” Kepala Aruna kembali tertunduk.
“Kenapa?” Brahmana melirik Aruna. “Apa kamu mau menggunakannya?”
“Apa?” Aruna mengangkat kepalanya lagi.
“Sayang?”
Aruna tercekat. Kedua matanya sampai tak berani berkedip.
Ia harus dalam fokus penuh untuk mencerna maksud dari perkataan Brahmana barusan.
‘Apa pak Bos membahas soal sayuran? Atau… panggilan?’
Kedua mata kecoklatan Aruna dan manik kelam Brahmana kemudian beradu dan bersitatap sekian saat.
“Bapak bicara tentang..” Aruna menjeda kalimatnya yang lirih. “Sayuran ini atau… panggilan?”
Mungkin setelah ini, Aruna akan menenggelamkan diri di segitiga bermuda. Bagaimana mungkin mulutnya lancang melontarkan pertanyaan nekad dan tak t
Ruang kerja Brahmana memang lengang, luas dengan segala perabotan yang lengkap. Rak tinggi dengan buku-buku referensi dunia bisnis berjajar rapi.Tangan Brahmana terulur untuk menutup rapat pintu ruang kerja, dan mendapati sang kakek telah duduk di kursi kebesaran di balik meja kerja yang juga besar itu.“Duduk.” Suara main-main Dananjaya Tua selama di ruang makan tadi, telah berubah menjadi suara tajam dan tegas.Brahmana menganggukkan kepala dengan takzim lalu melangkah mendekati kursi yang berseberangan dengan tempat Dananjaya duduk.“Apa yang terjadi?” Tanpa basa basi layaknya dua anggota keluarga yang bertemu kembali setelah sekian bulan terpisah benua, Dananjaya langsung meminta penjelasan pada Brahmana.Masih tanpa kata, Brahmana beranjak dari duduknya, mengitari meja dan mengambil berkas dari dalam laci.Dengan sikap santun, Brahmana meletakkan berkas itu ke hadapan Dananjaya lalu kembali mengitari meja dan du
“Oh!! GG (baca: Ji-Ji)!!” Maira memekik riang saat melihat Dananjaya yang telah berada di dua anak tangga terakhir.Gadis kecil itu berlari menghampiri Dananjaya Tua.“Mai, berjalan saja!” Aruna setengah berseru memperingati Maira. Ia tentu saja mengikuti di belakang Maira yang berlari cepat hendak menubruk Dananjaya.“Easy baby girl…” kekeh Dananjaya. Ia sedikit mempercepat langkahnya menuruni anak tangga terakhir agar bisa lebih aman memeluk cicitnya itu.“Oh astaga cicit kakek ini tambah cantik saja!” Dananjaya membungkuk saat kedua tangan mungil Maira memeluk kakinya.“GG, kenapa baru pulang? GG kemana aja? Lama sekali di luar negeri? Apa GG ngga kangen Mai?” Maira menyerbu Dananjaya dengan pertanyaan demi pertanyaan.Suara lantang dan cempreng khas anak kecil itu sungguh menggelitik dan menyenangkan di telinga Dananjaya.Pria tua itu tentu saja merindukan juga cicitnya.“Mai, biarkan kakek buyut duduk dulu ya,” ucap Aruna pelan sambil membungkuk di sisi kepala Maira.“GG! Bukan k
“Terima kasih kak Ardiya mau nemuin aku hari ini…” Ferliana menatap pria yang duduk di depannya dan tengah menyesap kopi pesanannya.“Hm.” Ardiya menyahut singkat.“Oya, terima kasih ya Kak,” ucap Ferliana dengan wajah terlihat bersungguh-sungguh.“Terima kasih? Untuk?”“Berkat kata-kata kak Ardiya tempo hari, aku jadi lebih tenang dan temanku juga udah dikeluarkan dari tahanan. Terima kasih, Kak.”Ardiya menaikkan sebelah alisnya. “Mengapa berterima kasih pada saya?”“Ah, kak Ardiya memang pria murah hati. Setelah aku kirim pesan waktu itu ke kak Ardiya, gak lama kemudian tiba-tiba semuanya selesai,” tutur Ferliana dengan semangat.Ya.Ia sangat yakin bahwa pria yang kini duduk di seberangnya itu adalah seseorang yang cukup berpengaruh di Dananjaya Group.Tidak mungkin hanya kebetulan bahwa permasalahan Rani ditahan, akan selesai,
Suasana agak menegangkan bagi Aruna, selama Dananjaya Tua ada di kediaman itu. Sebisa mungkin ia menghindari berpapasan dengan pria tua yang memiliki aura sama intimidatif-nya dengan Brahmana. Namun bagi Aruna, aura Dananjaya terasa lebih kuat membuat tekanan. Entah karena sekarang Aruna tidak merasakan ketidaknyamanan itu lagi ketika berada di sekitar Brahmana. Oh, ralat. Dia masih merasakan sesuatu yang aneh, mirip ketidaknyamanan. Tapi dalam versi berbeda. Tidak nyaman itu hadir karena ia merasakan perutnya yang bagai di aduk-aduk, setiap kali Brahmana berada dalam jarak yang begitu dekat. Setiap kali Brahmana menatap dirinya. Dan setiap kali Brahmana bersuara. Alunan suara itu terdengar seperti mengetuk dan memalu jantungnya. Belum lagi aroma yang menguar baik itu dari parfum yang pria itu gunakan, ataupun aroma tubuh Brahmana sendiri yang tercampur dengan parfum itu. “Ah…” Aruna menggeleng k
Pemandangan malam di ibukota memang menakjubkan sesungguhnya. Namun itu sama sekali tidak mampu menarik minat Aruna yang tengah duduk bersandar dalam sebuah mobil. Malam itu ia pulang kerja dengan diantar supir keluarga Dananjaya, sampai ke tempat tinggalnya. Selain mendapat kenaikan gaji tiga kali lipat, Aruna juga diberikan fasilitas antar jemput oleh Brahmana. Namun Aruna hanya menerima penawaran untuk di antar pulang pada malam hari. Sementara untuk berangkat, ia meminta untuk mengaturnya sendiri. Meski hal ini merupakan fasilitas tambahan, namun Aruna tidak merasa bisa menikmatinya seratus persen. Terlalu banyak hal yang masih mengganjal hatinya. Dari segi gaji, lalu hari dan jam kerja. Maira terlihat baik-baik saja dan telah menampakkan perubahan yang cukup baik. Gadis kecil itu tidak lagi membahasakan keinginannya dengan tantrum. Lalu mengapa Brahmana bersikeras menetapkan pengaturan baru seperti ini? Apakah agar perkembangan Maira semakin cepat, sehingga semakin cepat
“Apa itu tadi? Kenapa kamu bisa sampe dipukulin?” Aruna mengarahkan tatapan penuh selidik pada Ardiya. Pada akhirnya, Ardiya mengarahkan tujuan ke tempat tinggal Aruna, alih-alih menuju klinik apalagi Rumah Sakit. Ardiya beralasan, lukanya tidaklah serius dan memalukan bagi dirinya jika sampai ke Rumah Sakit untuk luka kecil semacam itu. Ia menganjurkan mengantar Aruna, sebelum ia sendiri pulang ke rumahnya. Aruna setuju, dengan memberi syarat Ardiya mau diobati dulu. Dan di sinilah akhirnya Ardiya berada. Di teras depan rumah yang ditempati Aruna. Mata Ardiya mengikuti Aruna yang baru keluar dari dalam rumah sembari menenteng kotak P3K di tangannya. “Aku hanya apes aja. Lagi parkir bentar, buat ngerokok, tau-tau ada preman malak,” ujar Ardiya. “Kenapa bisa sampe dipukulin?” “Ya karena aku ogah ngasih apa yang mereka minta.” “Tinggal kasih aja sih. Nyawa kamu tuh lebih berharga daripada uang.” Aruna menggelengkan kepala. “Ya awalnya kupikir bisa mengatasi tiga orang itu.” “
Brahmana berdeham dua kali. “Bukankah kamu sudah menandatangani perjanjian tambahan?” Kening Aruna mengernyit. “Perjanjian tambahan? Oh-- yang itu?” Aruna menarik napas lalu berkata lagi. “Kaitannya sama malam ini apa, Pak-- eh maksud saya, Agha?” Kedua manik kelam Brahmana kembali menatap tajam wanita muda yang memandang dirinya tanpa paham itu. Betapa ia mulai merasakan kegusaran yang secara tiba-tiba muncul, melihat tidak adanya rasa bersalah sama sekali di diri Aruna. “Dalam perjanjian yang kamu tanda tangani itu, kamu tidak diperkenankan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Apa saya perlu mengulang seluruh isi perjanjian itu?” Aruna terlongo. “Saya.. tidak menjalin hubungan dengan lawan jenis, Agha..” gumamnya setelah beberapa saat terdiam bingung. Satu detik Brahmana terdiam. Ia ingin sekali tersenyum, saat mendengar Aruna memanggilnya dengan nama panggilan itu, tanpa kelupaan menyebut dirinya ‘Pak’. Terdengar sangat indah. Namun, ia segera kembali fokus pada masalah
Itu pagi yang tidak terlalu cerah, tatkala Aruna tiba di kediaman Brahmana, sepulang mengantar Maira sekolah.Sang Bos Besar itu belum berangkat dan terlihat masih ada di meja makan sembari membaca beberapa data pada iPad Pro miliknya.Aruna yang hendak menuju area servis di belakang, tentu saja melihat Brahmana di ruang yang harus ia lewati itu.Kebetulan sekali. Aruna memang ingin menemui Brahmana untuk meminta izin menengok dan menemani ayahnya di Rumah Sakit.“Pagi…” sapa Aruna ramah pada Brahmana. “Belum berangkat?”Namun pria itu hanya memberikan lirikan sekilas dan mengabaikan sapaan Aruna.‘Eh, kenapa dia?’ Aruna bertanya-tanya dalam hati.“Mau teh Rooibos? Saya buatkan kalau mau.” Aruna tetap menunjukkan sikap ramah dan santunnya. Ia butuh persetujuan Brahmana untuk menengok Erwin.Namun pria itu hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi-nya yang dulu dikenal