Senyum terkembang di kedua sudut bibir Arley saat beberapa paper bag berisi pakaian 'penggoda' itu telah berpindah kepemilikan kepadanya, yang ke depannya akan berpindah tangan kepada Prims, tentunya.
Setelah meminta Will untuk mengambilnya, mereka kemudian pergi ke tujuan yang mereka bicarakan sebelumnya, ke photo box.Kurang rasanya jika apa yang dilakukan oleh Arley tak menuai protes dari Prims sebab saat mereka baru saja melewati sekelompok muda-mudi, Arley mendengar Prims yang sedikit kesal saat mengatakan, "Bagaimana kalau nanti aku tidak mau pakai pakaian-pakaian itu?" tanyanya, merujuk pada beberapa lingerie yang mereka beli tadi."Tidak masalah, aku mengajakmu membelinya lebih pada karena menghargai tawaran dari sales-nya tadi," jawabnya di luar dugaan."Aku melihatnya sudah ditolak mungkin lebih dari ... lima atau tujuh orang selama kita berbicara dengan Richard. Dan mungkin membeli darinya membuatnya bersemangat untuk tetap bekerja," lanjutnya.MeMungkin karena berada di tempat umum, sehingga Arley tidak melakukan hal yang lebih jauh daripada memberinya sebuah kecupan. Mereka pergi dari photo box dengan hasil cetakan yang disukai oleh Prims.Ia tak bisa menahan senyumnya sekeluarnya mereka dari sana, sesekali menunjukkannya pada Arley, prianya itu sibuk mendengarnya yang terlihat ceria saat mengatakan, “Aku sangat suka yang ini,” tunjuknya pada foto nomor dua dari atas.Itu adalah saat mereka berdiri dan Arley mencium pipinya, “Kenapa kamu suka dengan yang itu?”“Karena kamu terlihat sangat manis di sini.”“Aku pikir kamu suka karena justru kamu terlihat sangat cantik di sini.”Mendengar itu membuat Prims menoleh kepadanya dengan cepat, “Apakah aku cantik?” tanyanya. “Aku penasaran karena Alice selalu bilang kalau aku ini pas-pasan saja. Jadi aku tidak pernah merasa kalau aku begitu.”“Kamu sedang merendah untuk meninggi?” tanya Arley sedikit kesal.“Tidak. Aku sungguh-sungguh.”“Alice bilang begitu karena dia ingin membuatmu
Prims tidak tahu bagaimana ayahnya itu bisa menemukannya di sini. Teriakannya yag menggema mengundang atensi semua orang untuk melihat ke arahnya. Rasa terkejut bukan hanya dirasakan oleh Prims melainkan oleh pengunjung kafa kala mereka melihat Aston bergerak maju dan melayangkan tangannya pada Prims.Gema tamparan hampir saja terdengar jika tangannya tak tertahan di udara.Ketegangan menghampiri mereka, keheningan sejenak pekat sampai mereka menyadari bahwa tangan yang menahan Aston itu bukanlah tangan Arley atau tangan orang lain, melainkan tangan Prims sendiri.Ia telah lebih dulu berdiri begitu Aston menyebutnya sebagai 'Anak kurang ajar' dan mengumpankan tangannya untuk menghalau tindakan apapun yang akan dilakukan oleh ayahnya.Dan dilihat dari tabiatnya, setelah menyebut Prims sebagai anak kurang ajar, ayahnya itu pasti akan menamparnya.Prims menatapnya dengan sepasang matanya yang terasa basah. Tubuhnya meremang sesaat sebelum ia menepis tangan Aston dan mengenyahkannya dari
Beberapa hari berganti, menjadi istri Arley Miller tidak seburuk seperti yang Prims pikirkan sebelumnya. Ia menikmati hidupnya. Bangun pagi dan melihat persiapan sarapan, atau kadang malah sendirinya yang membuatkan Arley makanan kesukaannya.Prianya itu tidak memiliki banyak permintaan soal makanan. Meski Jodie mengatakan jika lidahnya pemilih, bersama dengan Prims dia bisa makan apa saja.Setelah menghabiskan pagi, Arley pergi ke kantor. Prims akan menyempatkan diri untuk melihat para pelayan yang bekerja meski itu hanya sekadar melihat mereka memetik bunga atau menyiangi rumput di taman primrose dan Sweet Juliet.Jika bukan itu yang dia lakukan, maka dia akan melukis atau pergi ke studio milik profesor Mashe di pinggiran Seattle. Berbincang dengan Ellen, istrinya profesor atau menunggui beberapa anak-anak yang menghabiskan waktu mereka di sana.Arley pun demikian, kadang ia mengajak Prims untuk pergi ke Kings Group. Kali ini kepergian mereka jelas lain, bukan dibumbui oleh kenyataa
"Apa?" tanya Prims memperjelas, memandang Arley yang meletakkan buket bunga di kursi penumpang yang ada di belakang."Kamu," jawab Arley lebih dulu. "Apa yang kamu lihat, Sayangku?"'Ada apa dengan 'sayangku'-nya itu?' tanggap Prims dalam hati. 'Apa dia punya keinginan tersembunyi?' batinnya penuh tanya."Tidak ada yang aku lihat kok," jawabnya. Ia memandang Arley yang kembali menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan halaman toko bunga. Anggukan darinya menandakan ia tak begitu keberatan dengan jawaban yang diberikan oleh Prims.Menuju ke sebuah restoran tempat di mana mereka akan bertemu dengan Jayden dan Lucia, Prims mencoba mengenyahkan pikiran nakal yang berulang kali menggelitiknya untuk tak hentinya memikirkan apa yang tadi ia lihat di taman kota.Dibumbui dengan lagu-lagu yang mesra dari dalam mobil, Prims tak berani menoleh pada Arley karena bisa saja ia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Prims.Tak membutuhkan waktu lama untuk mereka bisa menjumpai halaman restoran yan
"Apakah anda harus bertindak sejauh ini untuk menutupi kesalahan yang anda lakukan?" Suara Arley kembali memenuhi seisi ruangan.Membuat Aston gemetar di tempatnya karena Arley terlihat sangat marah dengannya. Sepasang matanya yang tajam sedang menghujam ulu hatinya dengan sangat keras.Tangan Arley kemudian menepisnya, mengenyahkan Aston dari genggamannya, terlempar pergi sebelum ia mengambil langkah yang lebih jauh dengan memiliki keinginan untuk melukai Prims."Dengan kekuasaan yang kamu punya, harusnya kamu bisa membebaskan Papa dari kasus ini, Arley," ucap Aston dengan giginya yang menggertak.Kebencian tersirat dari caranya berujar, menyeruak hebat keluar dari jari telunjuknya yang mengarah di depan pucuk hidung Arley. Arley tertawa mendengar apa yang ia sampaikan. Wajahnya sedikit berpaling sebelum kembali menatap Ayah mertuanya itu, "Benar," jawabnya tak menampik. "Aku memang bisa membebaskan Papa, tapi tidak untuk kesalahan yang sudah Papa lakukan. Ini bukan hanya kesalahan
Prims membeku seketika dengan apa yang dilakukan oleh Arley. Bibirnya terbuka tetapi kata tak keluar dari sana. Selagi Prims dirundung hal yang membuatnya salah tingkah, Arley justru bertanya dengan tanpa bebannya, "Kamu sedang memikirkan di tempat yang mana aku bisa menciummu lagi?""Hentikan ...." jawab Prims lirih, lebih bisa dikatakan sebagai 'bisikan' tetapi tidak main-main. "Kamu membuatku malu," lanjutnya dengan meremas tangan Arley yang memang sedari tadi ada di atas pahanya.Jika tidak ada Jayden dan Lucia, Prims pasti akan memukul lengan Arley dengan sedikit keras atas hal yang dengan tanpa dosanya dia lakukan itu."Iya, baiklah," ucap Arley sama-sama berbisiknya. Tak ingin membuat perdebatan dengan istrinya yang wajahnya sudah semerah irisan tomat di hidangan pembuka mereka yang telah datang.Seperti tidak keberatan dengan yang mereka lakukan, Lucia—nama panjang gadis itu adalah Lucia Matthew—malah mengatakan, "Wah ... aku baru tahu jika Nona Primrose dan Tuan Arley memang
Prims memejamkan matanya terlebih dahulu saat Arley memagutnya. Yang tak ia ketahui, bahwa pria itu sekarang masihlah membuka matanya dan menikmati betapa manis wajah istrinya ini sekalipun saat matanya terpejam.Bulu matanya yang lentik bisa disaksikan oleh Arley sedekat ini, saat tangan Prims berpindah dari kemeja di bagian pinggangnya ke leher, Arley ikut memejamkan matanya, merengkuh Prims lebih erat, tak ingin melepasnya.Beberapa detik kemudian bibirnya berpindah ke ceruk leher Prims yang sedikit menghindarinya dan menahan wajah Arley dengan menggunakan kedua tangan kecilnya sembari berbisik, "Kenapa kamu Menciumku di leher?"Suaranya lirih, dan Arley suka. Apalagi itu keluar dari bibir merahnya yang membuat Arley menyentuhnya dengan ibu jarinya.Prims mengangkat wajahnya, menerpa Arley dengan sedikit tegang. Karena ciuman di leher itu adalah hal yang 'tidak biasa.'"Tidak boleh di leher?" tanya Arley sebelum memberi kecupan di pipinya."B-boleh saja. Tapi mau apa menciumku di l
Napas tertahan, kata tak bisa keluar dari bibir Prims. Ia menatap Arley yang sedang menikmati kepanikan yang tertera di wajahnya dengan tawa lirih sebelum jari telunjuknya menyentuh dagu Prims, "Apa yang kamu pikirkan, Nona?" tanyanya ringan."Memikirkan apa yang sedang kamu katakan.""Susu apa yang ada di pikiranmu?""Bukankah itu ....""Susu untuk sarapan bersama dengan sandwich. Aku sudah membuatkan French toast, tapi aku tidak pandai membuat susu yang enak," ucapnya tak berhenti memandangi Prims. "Waktu itu kamu bisa membuatnya, dan aku suka. Jadi, bisakah kamu membuatkan susu untuk sarapan kita?"Prims mengangguk dengan cepat, mengiyakannya. "Iya, akan aku buatkan. Biar aku mandi dulu.""Hurry up, Sweety! Aku tunggu kamu di ruang makan.""Baik."Mata Prims terpejam saat Arley satu jarak mendekat dan memberi kecupan di bibirnya. Saat ia membuka matanya kembali, Prims bisa melihat punggung bidang Arley yang menjauh meninggalkannya.Prims berdeham, meraba lehernya yang terasa serak
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.