Prims membeku seketika dengan apa yang dilakukan oleh Arley. Bibirnya terbuka tetapi kata tak keluar dari sana. Selagi Prims dirundung hal yang membuatnya salah tingkah, Arley justru bertanya dengan tanpa bebannya, "Kamu sedang memikirkan di tempat yang mana aku bisa menciummu lagi?""Hentikan ...." jawab Prims lirih, lebih bisa dikatakan sebagai 'bisikan' tetapi tidak main-main. "Kamu membuatku malu," lanjutnya dengan meremas tangan Arley yang memang sedari tadi ada di atas pahanya.Jika tidak ada Jayden dan Lucia, Prims pasti akan memukul lengan Arley dengan sedikit keras atas hal yang dengan tanpa dosanya dia lakukan itu."Iya, baiklah," ucap Arley sama-sama berbisiknya. Tak ingin membuat perdebatan dengan istrinya yang wajahnya sudah semerah irisan tomat di hidangan pembuka mereka yang telah datang.Seperti tidak keberatan dengan yang mereka lakukan, Lucia—nama panjang gadis itu adalah Lucia Matthew—malah mengatakan, "Wah ... aku baru tahu jika Nona Primrose dan Tuan Arley memang
Prims memejamkan matanya terlebih dahulu saat Arley memagutnya. Yang tak ia ketahui, bahwa pria itu sekarang masihlah membuka matanya dan menikmati betapa manis wajah istrinya ini sekalipun saat matanya terpejam.Bulu matanya yang lentik bisa disaksikan oleh Arley sedekat ini, saat tangan Prims berpindah dari kemeja di bagian pinggangnya ke leher, Arley ikut memejamkan matanya, merengkuh Prims lebih erat, tak ingin melepasnya.Beberapa detik kemudian bibirnya berpindah ke ceruk leher Prims yang sedikit menghindarinya dan menahan wajah Arley dengan menggunakan kedua tangan kecilnya sembari berbisik, "Kenapa kamu Menciumku di leher?"Suaranya lirih, dan Arley suka. Apalagi itu keluar dari bibir merahnya yang membuat Arley menyentuhnya dengan ibu jarinya.Prims mengangkat wajahnya, menerpa Arley dengan sedikit tegang. Karena ciuman di leher itu adalah hal yang 'tidak biasa.'"Tidak boleh di leher?" tanya Arley sebelum memberi kecupan di pipinya."B-boleh saja. Tapi mau apa menciumku di l
Napas tertahan, kata tak bisa keluar dari bibir Prims. Ia menatap Arley yang sedang menikmati kepanikan yang tertera di wajahnya dengan tawa lirih sebelum jari telunjuknya menyentuh dagu Prims, "Apa yang kamu pikirkan, Nona?" tanyanya ringan."Memikirkan apa yang sedang kamu katakan.""Susu apa yang ada di pikiranmu?""Bukankah itu ....""Susu untuk sarapan bersama dengan sandwich. Aku sudah membuatkan French toast, tapi aku tidak pandai membuat susu yang enak," ucapnya tak berhenti memandangi Prims. "Waktu itu kamu bisa membuatnya, dan aku suka. Jadi, bisakah kamu membuatkan susu untuk sarapan kita?"Prims mengangguk dengan cepat, mengiyakannya. "Iya, akan aku buatkan. Biar aku mandi dulu.""Hurry up, Sweety! Aku tunggu kamu di ruang makan.""Baik."Mata Prims terpejam saat Arley satu jarak mendekat dan memberi kecupan di bibirnya. Saat ia membuka matanya kembali, Prims bisa melihat punggung bidang Arley yang menjauh meninggalkannya.Prims berdeham, meraba lehernya yang terasa serak
Rintik gerimis berubah menjadi hujan yang semakin lebat. Prims terpaku di tempat ia berdiri dengan keadaan memandang Arley.Bisu menghampiri mereka pasca prianya itu mengatakan tentang trauma yang ia terima sejak kecelakaan yang melibatkan dirinya bersama dengan ibunya, Jasmine Harrick.Prims menunduk, memandang pada tangan mereka yang saling bergandengan sebelum mengangkat wajahnya untuk menatap Arley, "Aku tidak tahu kamu juga semenderita itu, Arley," ujar Prims lirih.Arley tersenyum saat menghadapnya. Sepasang netranya menerpa pandangan Prims yang terlihat layu. "Aku pikir aku satu-satunya orang yang menderita setelah kepergian mama. Tapi ternyata kamu pun sama.""Mungkin ... aku memang mendapati trauma," katanya. "Tapi yang lebih besar tetaplah kamu.""Bukan waktu yang tepat untuk mengelak sekarang. Kamu tidak perlu mengatakan aku lebih menderita, karena kamu juga mengalami hal itu. Secara kasarnya, kita sama.""Meski begitu, aku masih bisa melanjutkan hidupku, Primrose." Ia ter
“Mama bertemu dengan Alice?” tanya Arley saat ia satu langkah mendekat.Sang ibu belum mau bicara selain wajahnya yang berpaling, serta mata yang ia sembunyikan, tidak ingin melakukan kontak dengan Arley atau pun Prims yang datang dan mengejutkannya.Tidak ingin anak lelakinya menunggu, Tom ayahnya lebih dulu menjawab, “Mereka bertemu sekitar satu minggu yang lalu, Arley. lalu bertengkar dan gadis itu membuat kekacauan ini terjadi.”Arley menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia meraih bahu sang ibu yang dengan cepat menepisnya, “Jangan melihat Mama seperti itu, Arley!” ketusnya. “Mama tidak butuh belas kasihanmu!”“Aku tidak datang untuk memberikan Mama belas kasih. Aku datang ke sini karena papa bilang kalau Mama sakit. Dan aku tidak tahu kalau ternyata Mama seperti ini,” jawabnya panjang.Ia menghela napasnya sedikit dalam. Matanya belum beralih sama sekali dari Katie hingga wanita paruh baya itu akhirnya memutar kepalanya, “Kamu bisa menertawakan aku sekarang, Primrose!” ujarnya. “
Pelukannya terasa hangat, Prims bisa mendengar isak tangis Katie yang sedang ia tahan. Yang barangkali tujuannya adalah agar Prims tak bisa mendengarnya.Menguraikan rasa terkejutnya, Prims membalas pelukan Katie, menepuk lembut punggungnya sebelum ibu mertuanya itu pada akhirnya melepasnya.Prims menjumpai wajahnya yang berlinangan air mata saat bibirnya yang biasa mengeluarkan hinaan itu mengatakan, "Maaf ...."Air matanya sekali lagi jatuh, "Maaf untuk memperlakukan kamu dengan sangat buruk selama ini," katanya.Prims tidak ingin menginterupsi yang ia sampaikan, membiarkan Katie mengeluarkan apa yang menjadi beban di dalam benaknya."Mama sangat malu, Primrose," ujarnya.Suaranya bergetar, meremas kedua tangan Prims yang ada di pangkuannya, mata mereka bertumbuk pandang di udara, dibelenggu rasa sesak yang menyelinap, getaran sesalnya memeluk mereka, mengisi setiap jengkal ruang kosong tempat di mana mereka duduk berhadapan, "Perempuan yang dulunya Mama hina, Mama rendahkan di dep
“Apa, Sayang?” tanya Arley seraya merangkul bahu Prims setelah ia berdiri di sampingnya. “Apakah kamu tidak setuju jika nanti kita memiliki anak-anak yang lucu?”“Setuju, tapi kamu tidak perlu mengatakan jumlahnya!”“Iya, baiklah.”Arley tersenyum dengan manis, sejenak kemudian berpindah pandangan pada sang ibu yang melahap bubur dari Prims dengan kedua matanya yang jauh lebih hidup.Asa tergambar di sana jauh lebih besar ketimbang saat Arley melihatnya untuk pertama kali tadi.“Primrose,” panggil Arley yang membuat Prims menoleh kepadanya, “Iya?”“Bisa kamu temani papa di bawah? Ada hal yang ingin aku bicarakan dengan mama.”“Iya, bisa.”“Terima kasih,” tanggap Arley seraya mengusap lembut rambut di bagian belakang kepala Prims dan membiarkannya mengambil langkah pergi dari dalam kamar.Prims membawa langkahnya meninggalkan ruangan setelah menunduk di hadapan Katie. Ia menutup pintu berdaun dua itu dan menghela napasnya dengan sedikit dalam, ‘Aku harap Arley tidak mengatakan hal yang
“Hentikan!” kesal Prims sembari memukul lirih dadanya. Kedua tangan Prims ditahan oleh Arley dengan cepat.Dan bukan Arley namanya jika tidak membuat Prims jantungan.Karena yang ia lakukan selanjutnya adalah, prianya itu menunduk dan memberi kecupan di punggung tangan Prims secara bergantian. Di sebelah kiri, lalu di sebelah kanan.“Kalau kamu kesal padaku, aku akan mencium bibirmu dan menggigitnya sampai bengkak!”“Astaga hentikan!” pinta Prims sekali lagi, mencoba memberontak dari Arley yang hingga beberapa menit berikutnya benar-benar tidak melepaskan Prims sampai seorang wanita mendekat pada mereka dan mengatakan, “Saya sudah menyiapkan kamar untuk Tuan Arley dan Nona Primrose.”Itu adalah Kepala Pelayan yang Prims ketahui bernama Rosie. “Terima kasih, Bu Rosie,” ucap Arley, sedang Prims bergegas mengikuti langkah kaki Rosie. Ia ingin melihat kamar yang sudah disiapkan—yang sebenarnya tujuan Prims pergi dari sana adalah menghindari Arley.Tidak membutuhkan waktu lama hingga Prim