Prims memejamkan matanya terlebih dahulu saat Arley memagutnya. Yang tak ia ketahui, bahwa pria itu sekarang masihlah membuka matanya dan menikmati betapa manis wajah istrinya ini sekalipun saat matanya terpejam.Bulu matanya yang lentik bisa disaksikan oleh Arley sedekat ini, saat tangan Prims berpindah dari kemeja di bagian pinggangnya ke leher, Arley ikut memejamkan matanya, merengkuh Prims lebih erat, tak ingin melepasnya.Beberapa detik kemudian bibirnya berpindah ke ceruk leher Prims yang sedikit menghindarinya dan menahan wajah Arley dengan menggunakan kedua tangan kecilnya sembari berbisik, "Kenapa kamu Menciumku di leher?"Suaranya lirih, dan Arley suka. Apalagi itu keluar dari bibir merahnya yang membuat Arley menyentuhnya dengan ibu jarinya.Prims mengangkat wajahnya, menerpa Arley dengan sedikit tegang. Karena ciuman di leher itu adalah hal yang 'tidak biasa.'"Tidak boleh di leher?" tanya Arley sebelum memberi kecupan di pipinya."B-boleh saja. Tapi mau apa menciumku di l
Napas tertahan, kata tak bisa keluar dari bibir Prims. Ia menatap Arley yang sedang menikmati kepanikan yang tertera di wajahnya dengan tawa lirih sebelum jari telunjuknya menyentuh dagu Prims, "Apa yang kamu pikirkan, Nona?" tanyanya ringan."Memikirkan apa yang sedang kamu katakan.""Susu apa yang ada di pikiranmu?""Bukankah itu ....""Susu untuk sarapan bersama dengan sandwich. Aku sudah membuatkan French toast, tapi aku tidak pandai membuat susu yang enak," ucapnya tak berhenti memandangi Prims. "Waktu itu kamu bisa membuatnya, dan aku suka. Jadi, bisakah kamu membuatkan susu untuk sarapan kita?"Prims mengangguk dengan cepat, mengiyakannya. "Iya, akan aku buatkan. Biar aku mandi dulu.""Hurry up, Sweety! Aku tunggu kamu di ruang makan.""Baik."Mata Prims terpejam saat Arley satu jarak mendekat dan memberi kecupan di bibirnya. Saat ia membuka matanya kembali, Prims bisa melihat punggung bidang Arley yang menjauh meninggalkannya.Prims berdeham, meraba lehernya yang terasa serak
Rintik gerimis berubah menjadi hujan yang semakin lebat. Prims terpaku di tempat ia berdiri dengan keadaan memandang Arley.Bisu menghampiri mereka pasca prianya itu mengatakan tentang trauma yang ia terima sejak kecelakaan yang melibatkan dirinya bersama dengan ibunya, Jasmine Harrick.Prims menunduk, memandang pada tangan mereka yang saling bergandengan sebelum mengangkat wajahnya untuk menatap Arley, "Aku tidak tahu kamu juga semenderita itu, Arley," ujar Prims lirih.Arley tersenyum saat menghadapnya. Sepasang netranya menerpa pandangan Prims yang terlihat layu. "Aku pikir aku satu-satunya orang yang menderita setelah kepergian mama. Tapi ternyata kamu pun sama.""Mungkin ... aku memang mendapati trauma," katanya. "Tapi yang lebih besar tetaplah kamu.""Bukan waktu yang tepat untuk mengelak sekarang. Kamu tidak perlu mengatakan aku lebih menderita, karena kamu juga mengalami hal itu. Secara kasarnya, kita sama.""Meski begitu, aku masih bisa melanjutkan hidupku, Primrose." Ia ter
“Mama bertemu dengan Alice?” tanya Arley saat ia satu langkah mendekat.Sang ibu belum mau bicara selain wajahnya yang berpaling, serta mata yang ia sembunyikan, tidak ingin melakukan kontak dengan Arley atau pun Prims yang datang dan mengejutkannya.Tidak ingin anak lelakinya menunggu, Tom ayahnya lebih dulu menjawab, “Mereka bertemu sekitar satu minggu yang lalu, Arley. lalu bertengkar dan gadis itu membuat kekacauan ini terjadi.”Arley menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia meraih bahu sang ibu yang dengan cepat menepisnya, “Jangan melihat Mama seperti itu, Arley!” ketusnya. “Mama tidak butuh belas kasihanmu!”“Aku tidak datang untuk memberikan Mama belas kasih. Aku datang ke sini karena papa bilang kalau Mama sakit. Dan aku tidak tahu kalau ternyata Mama seperti ini,” jawabnya panjang.Ia menghela napasnya sedikit dalam. Matanya belum beralih sama sekali dari Katie hingga wanita paruh baya itu akhirnya memutar kepalanya, “Kamu bisa menertawakan aku sekarang, Primrose!” ujarnya. “
Pelukannya terasa hangat, Prims bisa mendengar isak tangis Katie yang sedang ia tahan. Yang barangkali tujuannya adalah agar Prims tak bisa mendengarnya.Menguraikan rasa terkejutnya, Prims membalas pelukan Katie, menepuk lembut punggungnya sebelum ibu mertuanya itu pada akhirnya melepasnya.Prims menjumpai wajahnya yang berlinangan air mata saat bibirnya yang biasa mengeluarkan hinaan itu mengatakan, "Maaf ...."Air matanya sekali lagi jatuh, "Maaf untuk memperlakukan kamu dengan sangat buruk selama ini," katanya.Prims tidak ingin menginterupsi yang ia sampaikan, membiarkan Katie mengeluarkan apa yang menjadi beban di dalam benaknya."Mama sangat malu, Primrose," ujarnya.Suaranya bergetar, meremas kedua tangan Prims yang ada di pangkuannya, mata mereka bertumbuk pandang di udara, dibelenggu rasa sesak yang menyelinap, getaran sesalnya memeluk mereka, mengisi setiap jengkal ruang kosong tempat di mana mereka duduk berhadapan, "Perempuan yang dulunya Mama hina, Mama rendahkan di dep
“Apa, Sayang?” tanya Arley seraya merangkul bahu Prims setelah ia berdiri di sampingnya. “Apakah kamu tidak setuju jika nanti kita memiliki anak-anak yang lucu?”“Setuju, tapi kamu tidak perlu mengatakan jumlahnya!”“Iya, baiklah.”Arley tersenyum dengan manis, sejenak kemudian berpindah pandangan pada sang ibu yang melahap bubur dari Prims dengan kedua matanya yang jauh lebih hidup.Asa tergambar di sana jauh lebih besar ketimbang saat Arley melihatnya untuk pertama kali tadi.“Primrose,” panggil Arley yang membuat Prims menoleh kepadanya, “Iya?”“Bisa kamu temani papa di bawah? Ada hal yang ingin aku bicarakan dengan mama.”“Iya, bisa.”“Terima kasih,” tanggap Arley seraya mengusap lembut rambut di bagian belakang kepala Prims dan membiarkannya mengambil langkah pergi dari dalam kamar.Prims membawa langkahnya meninggalkan ruangan setelah menunduk di hadapan Katie. Ia menutup pintu berdaun dua itu dan menghela napasnya dengan sedikit dalam, ‘Aku harap Arley tidak mengatakan hal yang
“Hentikan!” kesal Prims sembari memukul lirih dadanya. Kedua tangan Prims ditahan oleh Arley dengan cepat.Dan bukan Arley namanya jika tidak membuat Prims jantungan.Karena yang ia lakukan selanjutnya adalah, prianya itu menunduk dan memberi kecupan di punggung tangan Prims secara bergantian. Di sebelah kiri, lalu di sebelah kanan.“Kalau kamu kesal padaku, aku akan mencium bibirmu dan menggigitnya sampai bengkak!”“Astaga hentikan!” pinta Prims sekali lagi, mencoba memberontak dari Arley yang hingga beberapa menit berikutnya benar-benar tidak melepaskan Prims sampai seorang wanita mendekat pada mereka dan mengatakan, “Saya sudah menyiapkan kamar untuk Tuan Arley dan Nona Primrose.”Itu adalah Kepala Pelayan yang Prims ketahui bernama Rosie. “Terima kasih, Bu Rosie,” ucap Arley, sedang Prims bergegas mengikuti langkah kaki Rosie. Ia ingin melihat kamar yang sudah disiapkan—yang sebenarnya tujuan Prims pergi dari sana adalah menghindari Arley.Tidak membutuhkan waktu lama hingga Prim
“Akh!” Prims terkejut saat Arley meraih kakinya. Membuatnya limbung ke depan dan jatuh di pelukannya.“Benar begitu keinginanmu, Nona?” tanya Arley dengan memidai setiap sudut wajah Prims yang manis.“A-apanya?” Prims mencoba menghindari Arley yang bibirnya sudah ingin jatuh di mana saja, terutama di lehernya.Dan lihat saja ini! Tangannya yang merengkuh Prims sama sekali tidak ingin pergi. Jangankan pergi, melonggarkannya saja rasanya Arley enggan.“Kalau kamu ingin aku membuatmu basah.”“B-basah bagaimana? Apakah kamu akan membawa shower keluar dan membuat banjir di dalam kamar?”Prims tidak tahu kenapa Arley malah tertawa mendengarnya. “Shower?” gumam Arley sebelum kembali tergelak, “Banjir di dalam kamar?”Beberapa detik berlalu, barulah Prims paham, kalimat yang ia katakan itu sedikit ambigu. Dan memiliki konotasi arti sesuatu berbau ‘dewasa.’“B-bukan itu maksudku!” sergah Prims sebelum Arley memikirkan hal lain hingga penuh cabang.“Primrose, aku tidak perlu membawa shower, kar
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.