Meninggalkan sisa hari yang kembali mereka habiskan dengan memadu cinta, pada akhirnya mereka keluar dari kamar meski di dalam sana adalah tempat yang paling nyaman.Dan untuk mengisi libur panjang yang akan berakhir secepat kedipan mata, Arley menepati janjinya bawa mereka akan pergi ke mall, tempat di mana mereka pernah datang dan menonton film di cinema serta mengambil foto di photo box.Kali ini, Prims akan mengambil foto yang lebih banyak dan meminta Arley untuk tersenyum lebih lebar agar bibir lurusnya yang seperti tombol spasi itu tidak seperti itu selamanya.Satu film selesai mereka tonton, kali ini Arley memilih film dengan lebih hati-hati agar—meski di dalamnya terdapat adegan dewasa—setidaknya tidak sepanas menggelora seperti yang penah mereka lihat tempo hari lalu.“Apakah kali ini jauh lebih baik daripada pilihanku yang pertama?” tanya Arley yang disambut anggukan dari Prims.“Iya, jauh lebih baik.”“Dan sekarang aku tahu tipe film kesukaanmu.”“Apa memangnya?”“Pokoknya
Senyum terkembang di kedua sudut bibir Arley saat beberapa paper bag berisi pakaian 'penggoda' itu telah berpindah kepemilikan kepadanya, yang ke depannya akan berpindah tangan kepada Prims, tentunya.Setelah meminta Will untuk mengambilnya, mereka kemudian pergi ke tujuan yang mereka bicarakan sebelumnya, ke photo box.Kurang rasanya jika apa yang dilakukan oleh Arley tak menuai protes dari Prims sebab saat mereka baru saja melewati sekelompok muda-mudi, Arley mendengar Prims yang sedikit kesal saat mengatakan, "Bagaimana kalau nanti aku tidak mau pakai pakaian-pakaian itu?" tanyanya, merujuk pada beberapa lingerie yang mereka beli tadi."Tidak masalah, aku mengajakmu membelinya lebih pada karena menghargai tawaran dari sales-nya tadi," jawabnya di luar dugaan."Aku melihatnya sudah ditolak mungkin lebih dari ... lima atau tujuh orang selama kita berbicara dengan Richard. Dan mungkin membeli darinya membuatnya bersemangat untuk tetap bekerja," lanjutnya.Me
Mungkin karena berada di tempat umum, sehingga Arley tidak melakukan hal yang lebih jauh daripada memberinya sebuah kecupan. Mereka pergi dari photo box dengan hasil cetakan yang disukai oleh Prims.Ia tak bisa menahan senyumnya sekeluarnya mereka dari sana, sesekali menunjukkannya pada Arley, prianya itu sibuk mendengarnya yang terlihat ceria saat mengatakan, “Aku sangat suka yang ini,” tunjuknya pada foto nomor dua dari atas.Itu adalah saat mereka berdiri dan Arley mencium pipinya, “Kenapa kamu suka dengan yang itu?”“Karena kamu terlihat sangat manis di sini.”“Aku pikir kamu suka karena justru kamu terlihat sangat cantik di sini.”Mendengar itu membuat Prims menoleh kepadanya dengan cepat, “Apakah aku cantik?” tanyanya. “Aku penasaran karena Alice selalu bilang kalau aku ini pas-pasan saja. Jadi aku tidak pernah merasa kalau aku begitu.”“Kamu sedang merendah untuk meninggi?” tanya Arley sedikit kesal.“Tidak. Aku sungguh-sungguh.”“Alice bilang begitu karena dia ingin membuatmu
Prims tidak tahu bagaimana ayahnya itu bisa menemukannya di sini. Teriakannya yag menggema mengundang atensi semua orang untuk melihat ke arahnya. Rasa terkejut bukan hanya dirasakan oleh Prims melainkan oleh pengunjung kafa kala mereka melihat Aston bergerak maju dan melayangkan tangannya pada Prims.Gema tamparan hampir saja terdengar jika tangannya tak tertahan di udara.Ketegangan menghampiri mereka, keheningan sejenak pekat sampai mereka menyadari bahwa tangan yang menahan Aston itu bukanlah tangan Arley atau tangan orang lain, melainkan tangan Prims sendiri.Ia telah lebih dulu berdiri begitu Aston menyebutnya sebagai 'Anak kurang ajar' dan mengumpankan tangannya untuk menghalau tindakan apapun yang akan dilakukan oleh ayahnya.Dan dilihat dari tabiatnya, setelah menyebut Prims sebagai anak kurang ajar, ayahnya itu pasti akan menamparnya.Prims menatapnya dengan sepasang matanya yang terasa basah. Tubuhnya meremang sesaat sebelum ia menepis tangan Aston dan mengenyahkannya dari
Beberapa hari berganti, menjadi istri Arley Miller tidak seburuk seperti yang Prims pikirkan sebelumnya. Ia menikmati hidupnya. Bangun pagi dan melihat persiapan sarapan, atau kadang malah sendirinya yang membuatkan Arley makanan kesukaannya.Prianya itu tidak memiliki banyak permintaan soal makanan. Meski Jodie mengatakan jika lidahnya pemilih, bersama dengan Prims dia bisa makan apa saja.Setelah menghabiskan pagi, Arley pergi ke kantor. Prims akan menyempatkan diri untuk melihat para pelayan yang bekerja meski itu hanya sekadar melihat mereka memetik bunga atau menyiangi rumput di taman primrose dan Sweet Juliet.Jika bukan itu yang dia lakukan, maka dia akan melukis atau pergi ke studio milik profesor Mashe di pinggiran Seattle. Berbincang dengan Ellen, istrinya profesor atau menunggui beberapa anak-anak yang menghabiskan waktu mereka di sana.Arley pun demikian, kadang ia mengajak Prims untuk pergi ke Kings Group. Kali ini kepergian mereka jelas lain, bukan dibumbui oleh kenyataa
"Apa?" tanya Prims memperjelas, memandang Arley yang meletakkan buket bunga di kursi penumpang yang ada di belakang."Kamu," jawab Arley lebih dulu. "Apa yang kamu lihat, Sayangku?"'Ada apa dengan 'sayangku'-nya itu?' tanggap Prims dalam hati. 'Apa dia punya keinginan tersembunyi?' batinnya penuh tanya."Tidak ada yang aku lihat kok," jawabnya. Ia memandang Arley yang kembali menyalakan mesin mobil dan pergi meninggalkan halaman toko bunga. Anggukan darinya menandakan ia tak begitu keberatan dengan jawaban yang diberikan oleh Prims.Menuju ke sebuah restoran tempat di mana mereka akan bertemu dengan Jayden dan Lucia, Prims mencoba mengenyahkan pikiran nakal yang berulang kali menggelitiknya untuk tak hentinya memikirkan apa yang tadi ia lihat di taman kota.Dibumbui dengan lagu-lagu yang mesra dari dalam mobil, Prims tak berani menoleh pada Arley karena bisa saja ia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Prims.Tak membutuhkan waktu lama untuk mereka bisa menjumpai halaman restoran yan
"Apakah anda harus bertindak sejauh ini untuk menutupi kesalahan yang anda lakukan?" Suara Arley kembali memenuhi seisi ruangan.Membuat Aston gemetar di tempatnya karena Arley terlihat sangat marah dengannya. Sepasang matanya yang tajam sedang menghujam ulu hatinya dengan sangat keras.Tangan Arley kemudian menepisnya, mengenyahkan Aston dari genggamannya, terlempar pergi sebelum ia mengambil langkah yang lebih jauh dengan memiliki keinginan untuk melukai Prims."Dengan kekuasaan yang kamu punya, harusnya kamu bisa membebaskan Papa dari kasus ini, Arley," ucap Aston dengan giginya yang menggertak.Kebencian tersirat dari caranya berujar, menyeruak hebat keluar dari jari telunjuknya yang mengarah di depan pucuk hidung Arley. Arley tertawa mendengar apa yang ia sampaikan. Wajahnya sedikit berpaling sebelum kembali menatap Ayah mertuanya itu, "Benar," jawabnya tak menampik. "Aku memang bisa membebaskan Papa, tapi tidak untuk kesalahan yang sudah Papa lakukan. Ini bukan hanya kesalahan
Prims membeku seketika dengan apa yang dilakukan oleh Arley. Bibirnya terbuka tetapi kata tak keluar dari sana. Selagi Prims dirundung hal yang membuatnya salah tingkah, Arley justru bertanya dengan tanpa bebannya, "Kamu sedang memikirkan di tempat yang mana aku bisa menciummu lagi?""Hentikan ...." jawab Prims lirih, lebih bisa dikatakan sebagai 'bisikan' tetapi tidak main-main. "Kamu membuatku malu," lanjutnya dengan meremas tangan Arley yang memang sedari tadi ada di atas pahanya.Jika tidak ada Jayden dan Lucia, Prims pasti akan memukul lengan Arley dengan sedikit keras atas hal yang dengan tanpa dosanya dia lakukan itu."Iya, baiklah," ucap Arley sama-sama berbisiknya. Tak ingin membuat perdebatan dengan istrinya yang wajahnya sudah semerah irisan tomat di hidangan pembuka mereka yang telah datang.Seperti tidak keberatan dengan yang mereka lakukan, Lucia—nama panjang gadis itu adalah Lucia Matthew—malah mengatakan, "Wah ... aku baru tahu jika Nona Primrose dan Tuan Arley memang