Prims berkutat dengan pertanyaan yang tumbuh di dalam dirinya, mengapa ayahnya melakukan itu? Mengapa tubuh ibunya tidak boleh diautopsi? Bukankah itu sangat mencurigakan?Dan dia bahkan tidak tahu sama sekali soal itu, sepertinya itu menjadi rahasia selama hampir satu windu kepergiannya sebelum Jayden membawanya menyeruak ke permukaan.Prims tidak menyangka jika pertemuannya dengan Jayden akan mengungkap banyak hal yang tak ia ketahui dan menjadi benang kusut susulan yang membuatnya bingung.Ayahnya, Aston Harvey pernah mengatakan pada Prims jika kecelakaan itu ‘sedikit tidak wajar’, tetapi jika demikian, mengapa dia menolak autopsi? Bukankah proses itu akan membuat mereka mengetahui penyebab yang sebenarnya?Prims benar-benar tidak tahu apa yang terjadi di belakang sana, mengapa sekarang ada banyak persoalan yang timbul?“Apa itu benar, Jay? Apakah ayahku menolak autopsi?” tanya Prims setelah ketegangan sedikit memudar dari otot-otot jantungnya.“Benar, Nona. Mengingat dari rekaman
“Primrose,” panggil Ellen yang membuat Prims tersadar saat itu juga.“Iya, Bu Ellen?”“Apa yang terjadi pada ibumu?” tanyanya dengan isyarat mata agar Prims meneguk sedikit teh yang ada di dalam cangkir.Prims melakukan itu, sedikit saja untuk membuatnya tenang karena rasanya dia baru saja diselubungi oleh ketegangan yang tak berakhir. Dia menghela napasnya sebelum memutuskan untuk menjawab Ellen, “Sepertinya saya menemukan sedikit kebenaran dari kecelakaan itu,” katanya degan memandang Ellen yang antusias dengan apa yang sedang dia sampaikan. “Meski itu agak ... sedikit menyakitkan karena saya sempat menyalahkan Arley,” lanjutnya kemudian menunduk.Menatap pada teh yang ada di dalam gelas yang bau chamomile, teh yang disukai oleh Arley.“Kenapa bisa begitu, Sayang?” tanya Ellen dengan keibuan, jemarinya yang mulai keriput mengusap rambut Prims dengan lembut.“Karena saya berpikir bahwa Arley adalah pelaku yang menabrak ibu saya sampai meninggal hanya karena dia menjadi pengemudi mobi
Prims merapatkan coat yang ada di punggungnya, bau wangi Arley segera menghinggapi cuping hidungnya. Mereka saling tatap dalam kebekuan yang menghampiri hingga Prims mendengar Arley yang lebih dulu bertanya, “Apa kabar?” Ekspresi Arley terlihat hampa seolah rasa sakit tidak akan bisa disembuhkan seiring berjalannya waktu. Prims yang tak ingin membuatnya terkatung tanpa jawaban segera mengangguk dan menjawabnya, “B-baik kok.” Ia menggigit bibirnya, kegugupan sedang meluap-luap di dalam dadanya, membuat otot perutnya membeku dan berdebar tanpa ampun. “Aku baik-baik saja,” lanjut Prims yang membuat kedua sudut bibir pria yang ada di hadapannya ini terangkat mengukirkan seberkas senyuman. Prims nyaris saja menghancurkan kecanggungan di antara mereka dengan juga menanyakan kabar apakah Arley baik-baik saja. Tetapi hal itu ia urungkan saat ia melihat pria lain yang muncul dari belakang Arley. Dia berdiri terpaku selama beberapa detik melihat Arley dan juga Prims yang berada di depan kafe
“Nona, anda ingin masuk ataukah tidak? Jangan berdiri di tengah jalan!” tegur seorang pria yang membuat Prims mengalihkan pandangannya dari Arley dengan cepat pada seseorang yang keluar dari pintu kaca tempat ia berdiri menghalangi jalan. “I-iya, maaf. Saya akan masuk,” ucap Prims dengan gugup, sekilas menoleh kembali pada Arley yang menahan senyumnya melihat wajah panik Prims. Hal yang beberapa hari ini tak ia jumpai, padahal kepanikan Prims yang terkesan lucu baginya itu adalah sebuah hiburan. Ia memandang gadis itu yang sesaat kemudian menghilang di balik pintu buram kafe. ‘Siapa yang akan dia temui?’ pikirnya dalam hati. Tidak mungkin itu adalah Richard karena Arley tidak menjumpai wajah teman lama Prims itu di dalam sana. Sementara itu di dalam kafe, Prims mengedarkan pandangannya mencari di mana wanita bernama Sonia York itu. Beliau menyebut jika dirinya tengah mengenakan blouse warna putih dan duduk di sudut ruangan. Pada diagonal yang tak jauh dari pohon bonsai artificial,
Sesak napas Prims seolah sedang menyeretnya dalam ambang kematian jika asumsi yang dia sampaikan itu benar adanya. Dia meremas jemarinya hingga terasa sakit sebelum Sonia memintanya untuk minum dahulu. Prims menyesapnya untuk meredakan gejolak yang bergemuruh di dalam benaknya. Kemudian kembali menatap Sonia yang menyetujui apa yang baru saja disampaikan oleh Prims, “Memang ada kemungkinan begitu, Prims. Apalagi setelah kecelakaan itu tidak ada upaya hukum yang dilakukan oleh ayahmu.”Prims terasa membeku mendengar hal tersebut. ‘Bagaimana bisa?’ pikirnya dalam hati. Padahal ayahnya jelas-jelas pernah mengatakan jika kecelakaan itu terasa janggal.“Sepertinya ayahmu memiliki utang pada seorang lintah darat,” ujar Sonia yang membuat kedua alis Prims terangkat seketika.“Utang pada lintah darat?” ulangi Prims yang bersambut anggukan dari Sonia.“Iya, dan tidak memberi tahukan kepada ibumu sampai masalah itu berlarut. Dia membutuhkan uang untuk membayarnya dan baru beberapa saat setelah
“Jangan kurang ajar kamu!” hadik Aston dengan jari telunjuk yang mengarah pada Prims. Mengabaikan beberapa pengunjung yang menyaksikan mereka berseteru lengkap dengan kekerasan yang terjadi di sana.Prims tidak ingin disebut sebagai anak kurang ajar sehingga dia memutuskan untuk bangkit dan menjawab sang ayah, “Apakah aku jauh lebih kurang ajar dari Papa?” tanyanya dengan suara yang gemetar. Ia bisa merasakan panas yang bergejolak di dalam dadanya sekaligus panas yang menyinggahi pipinya, bekas tamparan dari Aston.“Jika apa yang aku katakan itu salah, Papa tidak akan marah seperti ini dan menjelaskannya dengan baik, tapi sekarang itu tidak perlu. Aku sudah mengetahui jawabannya,” ucap Prims kemudian membawa langkah kakinya untuk pergi dari sana.Aston mengikutinya dari belakang seraya memanggil namanya, tapi Prims tidak menoleh ke belakang sama sekali. Pria itu menahan diri untuk tidak melakukan apapun hingga mereka telah berada di luar restoran.“PRIMROSE!” teriakan Aston membuat
Dingin, sepertinya tubuh Prims membeku. Dia membuka matanya dan menatap langit-langit kamar yang temaram. Tangannya menggapai selimut untuk menutupi tubuhnya yang terasa kedinginan. Tetapi ternyata ... selimut telah berada di sana.Ia mengedarkan pandangannya, ini adalah kamar di dalam rumah besar milik Arley.Saat dia mencoba mengingat apa yang terjadi kepadanya, Prims melihat bayangan nisan salib milik Jasmine yang ia peluk sebelum ia kehilangan kesadarannya.Harumnya mawar putih yang tadi ia hirup dari buket bunga yang ia beli, perlahan tersisih saat Prims melihat seorang pria yang berdiri di tepi ranjang dengan tatapan matanya yang terlihat lega.Arley, ia baru saja melangkah dan berhenti di samping ranjang. Kehadiran dan wangi tubuhnya menyinggahi cuping hidungnya dan membuat Prims tahu bahwa apa yang sedang terjadi padanya sekarang ini bukan sebuah halusinasi.Ia perlahan bangun dari tidurnya, menyentuh keningnya yang tak sepanas tadi pagi saat ia mengunjungi makam Jasmine.Ia s
Apakah Ini mimpi? Prims seperti akan pingsan dibuat Arley saat bibir mereka bertemu. Saat matanya terbuka lebar penuh dengan rasa terkejut, pria itu terpejam kedua matanya. Seolah keterkejutan Prims adalah sesuatu yang tak perlu dia pertimbangkan.Detak jantungnya berdebar tidak karuan rasanya, ia meremas kemeja di bagian pinggang Arley dengan kedua tangannya yang terasa kebas dan gemetar.Hingga beberapa detik setelahnya Arley menarik wajahnya menjauh, memberikan sedikit jarak saat Prims terpaku di tempat ia duduk, tak bisa bergerak.Ia mencoba menahan diri, matanya tidak stabil saat iris kelam Arley menatapnya dengan seulas senyuman yang ia terbitkan di kedua sudut bibirnya. Tidak ada yang bicara di antara mereka, keheningan menyergap mengambil alih, Prims terlalu beku untuk mengucapkan sepatah kata. Sukar menatanya, lidahnya dibekukan, begitu juga dengan perutnya yang dipenuhi oleh kepakan sayap kupu-kupu.Dan kupu-kupunya bukan hanya satu melainkan lebih dari ratusan jumlahnya.T
|| 29 Mei, tahun 2XXX Tahun berganti, tetapi aku merasa langkah kakiku berhenti pada masa di mana aku bisa melihatmu mengatakan bahwa kau akan ada di sisiku, dalam keadaan suka maupun duka, dalam sedih ataupun sengsara. Hari yang menjadi sebuah titik awal, bahwa aku akan mendapatkan hidupku yang baru, dan itu bersama denganmu. Arley Miller, untuk semua yang telah kau lakukan, terima kasih. Tidak ada kata yang lebih baik daripada itu untuk aku sampaikan padamu. Kedatanganmu adalah sebuah hadiah, untukku yang berpikir bahwa aku tidak akan lagi menemukan kata ‘bahagia’ dalam perjalananku menghabiskan sisa usia. Dalam hidupku yang hampir dipenuhi dengan jalan sendu, aku mendapatkanmu. Seorang pria yang menganggapku ada. Kamu yang merengkuhku saat dunia lepas dari genggamanku. Pria yang bersumpah dengan apapun yang dimilikinya untuk membuatku percaya bahwa masih ada dunia yang baik yang tidak menganggapku hanya sebagai bayangan dan kesia-siaan. Pada akhirnya, waktu menggerakkan ak
*** Ada undangan dari Jayden dan juga Lucia. Sebuah undangan makan malam yang digelar di rumahnya secara sederhana. Tidak akan menolak, mengingat mereka adalah sahabat baik, Arley dan Prims datang. Tetapi sebelum sampai di sana, mereka lebih dulu ingin membawakan hadiah. Prims bilang itu adalah buket bunga yang besar atau jika bisa bunga hidup yang bisa diletakkan di dalam rumah dan tidak perlu memrlukan banyak perawatan. Kaktus misalnya. Arley menyarankan kue yang manis, karena Jayden itu tipe gigi manis, ia bilang. Yah ... sebelas dua belas dengan Prims lah kira-kira ... gemar makanan yang manis. Mereka keluar dari Acacia Florist, toko bunga yang mereka lewati selama perjalanan. Bunga yang mereka bicarakan itu telah ada di tangan mereka sekarang. Dengan hati yang gembira Prims dan Arley menuju tempat selanjutnya, di toko kue sembari menggendong si kembar yang tadinya duduk anteng di baby car seat di bagian belakang mobil. Memasuki toko kue, Rhys dan Rose terlihat sangat sena
*** Seperti janji yang pernah ia katakan selepas Prims meninggalkan ruang kunjung tahanan beberapa saat yang lalu saat ia menjenguk ayahnya, Prims bilang ia akan datang ke tempat ini untuk mengabarkan perihal keadilan yang pada akhirnya telah ia terima. Sebuah pemakaman. Lokasi di mana Jasmine Harrick disemayamkan. Nisan salibnya menyambut kedatangan Prims yang menyaunkan kakinya lengkap dengan kedua tangannya yang mendekap buket bunga berukuran besar. Ia sendirian, ia sudah meminta izin pada Arley yang mengiyakannya untuk pergi di hari Minggu pagi ini. Saat anak-anaknya masih tertidur, Prims bergegas dengan diantar oleh Will. Ia tersenyum saat menjumpai foto Jasmine yang juga sama tersenyumnya. “Apa kabar, Mama?” ucapnya sembari meletakkan buket bunga itu di dekat fotonya. “Aku datang sendirian hari ini, Mama.” Prims duduk bersimpuh di sampingnya, mengusap nisan Jasmine yang bersih dan terawat karena memang selain ini di area yang bersih dan bagus, Arley meminta orangnya un
*** Langkah kaki Prims terdengar berirama mengetuk, ia berjalan keluar dari mobil yang dikemudikan oleh Will, sopir milik Arley untuk tiba di tempat ini. Sebuah tempat yang barangkali Prims sama sekali tidak ingin menginjakkan kakinya meski hanya sebentar, pun tidak ingin ia datangi karena luka menganga masih terasa perih. Menyayat, menusuknya. Tak ada terbesit pikiran untuknya datang ke sini, sama sekali. Tetapi sepertinya takdir selalu memiliki rencana lain sehingga mau tak mau ia harus menguatkan diri untuk menghadapinya. Sebuah pesan dari kepolisian Seattle mengatakan bahwa ayahnya Prims, Aston Harvey sedang sakit dan ingin bertemu dengan anak perempuannya. Prims berpikir kenapa ayahnya itu tidak meminta Alice yang mendatangi atau menjenguknya? Kenapa malah dirinya yang sudah bertahun-tahun lamanya ini ia sia-siakan? Dalam kebencian yang masih kental itu, Prims menolak untuk datang. Namun, Arley mengatakan padanya dengan lembut, 'Datanglah, Sayangku ... siapa tahu sekarang
*** “Cepat turun ya panasnya, sayangku ....” Prims mengusap rambut hitam Rose setelah mengatakan demikian. Malam terasa dingin di luar tetapi di dalam sini sedikit chaos sebab si kembar sedang demam. Mereka baru saja imunisasi tadi siang di klinik khusus anak dan malam ini terasa efeknya. Rhys demam, begitu juga dengan Rose. Meski mereka tidak rewel, tetapi mereka tidak mau tidur di box bayi milik mereka sendiri melainkan minta digendong oleh ibunya. Prims yang menggendong Rose pertama. Mungkin sudah lebih dari satu jam dan setiap kali ia ajak duduk atau ingin ia baringkan, anak gadisnya itu akan menangis. Ia memandang Arley, tetapi tidak tega membangunkannya sebab tadi ia juga pulang bekerja cukup larut. Tetapi, Arley adalah Arley yang rasanya selalu bisa mengerti dan merasakan apa yang terjadi pada Prims. Sebab tak lama kemudian ia bangun. Saat Prims memeriksa anak lelakinya dengan meletakkan telapak tanganya di kening Rhys yang ternyata juga sama demamnya. “Anak-anak tidak
Prims hampir saja menggoda Arley lebih banyak sebelum ia menyadari ia telah kehilangan keseimbangan sebab Arley merengkuh pinggangnya dan membuatnya jatuh dengan nyaman di bawahnya. "Aku tidak menginginkanmu?" ulang Arley dengan salah satu sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Ibu jarinya yang besar mengusap lembut bibir Prims sebelum berbisik di depannnya dengan, "Mana mungkin, Nona?" Arley menunduk, memberi kecupan pada bibir Prims sebelum kedua tangan kecil istrinya itu menahannya agar ia tidak melakukan apapun. "Tapi aku tidak mau," ucap Prims, memalingkan sedikit wajahnya. Satu kalimat yang membuat Arley mengangkat kedua alisnya penuh dengan rasa heran. "Kamu tidak mau?" Prims mengangguk, mengarahkan tangannya ke depan, jemarinya menyusuri garis dagunya yang tegas dan disukai oleh Prims. "Aku tidak mau kalau kamu melakukannya dengan masih marah," lanjutnya. "Kenapa aku marah?" "Soal Jeno Lee, aku tahu kamu sangat kesal barusan. Mata Tuan Arley Miller ini mengatakannya le
.... Setelah Jayden dan Lucia pulang, Prims kembali ke dalam kamar terlebih dahulu. Tak sesuai yang ia duga bahwa si kembar akan terbangun, ternyata Rhys dan Rose malah terlelap. Sama-sama miring di dalam box bayi milik mereka dengan lucunya. Ia meninggalkan Arley selama setengah jam lamanya hingga tak sadar prianya itu telah berada di dalam kamar dan melihatnya dari dekat box bayi si kembar. Prims tidak menoleh padanya sama sekali. Matanya tertuju pada layar ponselnya yang menyala dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Kedua pipinya memerah, sama seperti jika Prims sedang malu karena digoda oleh Arley dengan mengatakan ia cantik atau saat Arley menyebut jika ia mencintainya. Seperti itulah keadaan wajahnya sekarang itu. Dan tentu saja itu menimbulkan tanya. ‘Apa yang dia lihat sampai dia tersenyum seperti itu?’ gumamnya dalam hati lalu melangkah mendekat ke arah ranjang seraya mengancingkan atasan piyama tidur yang ia kenakan. Bahkan sampai Arley naik ke atas ran
“Aku benar, ‘kan?” desak Jayden masih tak ingin diam. Arley nyaris saja menjawabnya tetapi hal itu ia urungkan karena mereka mendengar dari belakang, suara Lucia yang bertanya, “Apa yang kalian bicarakan? Ayo masuk dan kita makan!” Mereka berhenti bertengkar dan memasuki rumah. Di ruang makan, Arley tidak menjumpai Prims yang tadi ia lihat sibuk bersama dengan Lucia. “Di mana Primrose, Lucia?” tanya Arley, mengedarkan pandangannya. Urung duduk karena Prims belum tampak. Sama halnya dengan Jayden dan Lucia yang juga urung menarik kursi mereka. “Nona Primrose sedang ke kamar sebentar, Pak Arley. Mau melihat si kembar katanya,” jawab Lucia yang lalu diiyakan oleh Arley. Baru selesai mereka bicarakan, Prims muncul dengan sedikit bergegas. “Kenapa?” tanya Arley begitu melihatnya. “Ah, aku pikir kalian sudah mulai dan aku terlambat makanya aku cepat-cepat ke sini,” jawabnya. “Belum, Sayang. Rhys dan Rose masih tidur?” Prims mengangguk membenarkannya. “Iya, Arley. Masih tidur.” “A
.... “Sayang-sayangnya Mama ....” Prims tidak bisa menahan diri saat melihat si kembar yang digendong oleh opa dan omanya sore ini. Prims sedang berada di halaman depan, melihat bunga bersama dengan Lucia yang datang ke rumahnya, memetiknya beberapa karena Lucia mengatakan ia suka dengan Sweet Juliet yang ada di halaman depan. Sementara Arley dan Jayden sedang bermain bulu tangkis sebelum mereka sama-sama melempar raket mereka saat melihat mobil milik Tom memasuki halaman rumah. Prims dan Lucia mendekat pada si kembar yang telah berpindah tangan pada Arleys serta Jayden. Prims rasa ... Jayden itu sangat suka dengan anak-anak. Dan belakangan ini ... ia tampak lebih gembira daripada hari biasanya. Sangat jauh dari bagaimana Prims melihatnya dulu saat mereka pertama kali bertemu. Alisnya yang tegas dan bibirnya yang lurus sebelas dua belas dengan Arley itu kini selalu tampak menunjukkan senyuman. Ia terlihat seperti sepasang adik dan kakak saat berdiri berdampingan dengan Arley.