“Jangan kurang ajar kamu!” hadik Aston dengan jari telunjuk yang mengarah pada Prims. Mengabaikan beberapa pengunjung yang menyaksikan mereka berseteru lengkap dengan kekerasan yang terjadi di sana.Prims tidak ingin disebut sebagai anak kurang ajar sehingga dia memutuskan untuk bangkit dan menjawab sang ayah, “Apakah aku jauh lebih kurang ajar dari Papa?” tanyanya dengan suara yang gemetar. Ia bisa merasakan panas yang bergejolak di dalam dadanya sekaligus panas yang menyinggahi pipinya, bekas tamparan dari Aston.“Jika apa yang aku katakan itu salah, Papa tidak akan marah seperti ini dan menjelaskannya dengan baik, tapi sekarang itu tidak perlu. Aku sudah mengetahui jawabannya,” ucap Prims kemudian membawa langkah kakinya untuk pergi dari sana.Aston mengikutinya dari belakang seraya memanggil namanya, tapi Prims tidak menoleh ke belakang sama sekali. Pria itu menahan diri untuk tidak melakukan apapun hingga mereka telah berada di luar restoran.“PRIMROSE!” teriakan Aston membuat
Dingin, sepertinya tubuh Prims membeku. Dia membuka matanya dan menatap langit-langit kamar yang temaram. Tangannya menggapai selimut untuk menutupi tubuhnya yang terasa kedinginan. Tetapi ternyata ... selimut telah berada di sana.Ia mengedarkan pandangannya, ini adalah kamar di dalam rumah besar milik Arley.Saat dia mencoba mengingat apa yang terjadi kepadanya, Prims melihat bayangan nisan salib milik Jasmine yang ia peluk sebelum ia kehilangan kesadarannya.Harumnya mawar putih yang tadi ia hirup dari buket bunga yang ia beli, perlahan tersisih saat Prims melihat seorang pria yang berdiri di tepi ranjang dengan tatapan matanya yang terlihat lega.Arley, ia baru saja melangkah dan berhenti di samping ranjang. Kehadiran dan wangi tubuhnya menyinggahi cuping hidungnya dan membuat Prims tahu bahwa apa yang sedang terjadi padanya sekarang ini bukan sebuah halusinasi.Ia perlahan bangun dari tidurnya, menyentuh keningnya yang tak sepanas tadi pagi saat ia mengunjungi makam Jasmine.Ia s
Apakah Ini mimpi? Prims seperti akan pingsan dibuat Arley saat bibir mereka bertemu. Saat matanya terbuka lebar penuh dengan rasa terkejut, pria itu terpejam kedua matanya. Seolah keterkejutan Prims adalah sesuatu yang tak perlu dia pertimbangkan.Detak jantungnya berdebar tidak karuan rasanya, ia meremas kemeja di bagian pinggang Arley dengan kedua tangannya yang terasa kebas dan gemetar.Hingga beberapa detik setelahnya Arley menarik wajahnya menjauh, memberikan sedikit jarak saat Prims terpaku di tempat ia duduk, tak bisa bergerak.Ia mencoba menahan diri, matanya tidak stabil saat iris kelam Arley menatapnya dengan seulas senyuman yang ia terbitkan di kedua sudut bibirnya. Tidak ada yang bicara di antara mereka, keheningan menyergap mengambil alih, Prims terlalu beku untuk mengucapkan sepatah kata. Sukar menatanya, lidahnya dibekukan, begitu juga dengan perutnya yang dipenuhi oleh kepakan sayap kupu-kupu.Dan kupu-kupunya bukan hanya satu melainkan lebih dari ratusan jumlahnya.T
“Kamu tidak perlu menjadi orang lain, karena aku suka denganmu saat kamu adalah Primrose, bukan dia, atau mereka.” Adakah yang bisa menguntaikan kata lebih baik daripada saat pria irit bicara telah menunjukkan seperti apa perasaannya? Prims tidak bisa mengatakan bagaimana hatinya sekarang, ia sibuk menguraikan sesak yang bergejolak di dalam dadanya oleh getaran yang ia nikmati. Pengakuan, sebuah kata yang barangkali tidak akan pernah dibayangkan oleh Prims keluar dari bibir Arley, tetapi malam hari ini pria itu mengubah angannya tak hanya menjadi sebatas angan karena ia telah mengakui rasanya. “Kamu tidak ingin menjawabku?” tanya Arley dengan diiringi sepasang tangan yang merengkuh pinggangnya semakin erat. Mereka tak lagi memiliki jarak. Kedua tangan Prims yang semula menahan dada bidang Arley sekarang pun tak lagi berada di sana. Prims memindahnya ke leher Arley karena takut jatuh dari pangkuannya. Sekaligus membuka portal yang semula membatasi mereka dan mengungkung mereka di
Arley mengangkat salah satu alisnya saat bertanya demikian pada Prims, membiarkan gadis itu memberinya keputusan dan tidak memaksanya mengiyakan atau menolak keinginannya. Sedangkan Prims meremas tangan mereka yang telah saling menggenggam sebelumnya hingga terasa kebas. Matanya memindai Arley sebelum sesaat kemudian mengangguk. Sekali lagi ia terpejam, batas yang tadinya telah hancur dan menyisakan kelambu tipis kini benar-benar tidak lagi ada. Prims menutup matanya sekali lagi, ia merasakan bibir Arley yang menyapanya, mengantarkan rasa manis yang memenuhi dadanya oleh perasaan berdebar. Perutnya membeku, darah berpindah pusat kepada wajahnya saat sentuhan lembut Arley seolah mengatakan bahwa ini adalah sebuah awal dari apa yang telah mereka sepakati sebelumnya tentang, ‘menjadi suami dan istri yang sesungguhnya.’ Bibir prianya—oh bolehkah Prims menyebutnya sebagai ‘pria’ miliknya sekarang? Bibirnya berpindah ke lehernya. Rasanya sedikit dingin, tetapi tubuhnya justru malah mema
“Ekhem!” Jodie berdeham sebelum beranjak mundur dari samping Prims dan Arley yang baru saja menyuguhkan kepadanya pemandangan pagi yang tidak biasa yang membuatnya merasa salah tingkah. Wanita paruh baya berpakaian serba hitam itu mundur dan meminta pada anak buahnya yang lain untuk memberikan ruang pada mereka berdua. Bukan hanya Jodie yang pergi, tetapi keinginan itu timbul di dalam hati Prims, ia pikir ... prianya terlalu kuat memeluknya. Dan debar jantungnya ini ia khawatir jika Arley akan mendengarnya. Sehingga bukankah hal paling benar yang seharusnya ia lakukan adalah pergi? Meski itu rasanya tak mungkin berjalan dengan mulus. “Selamat pagi,” bisik Arley dengan bibir yang mendarat di pipi Prims yang terasa hangat. “Selamat pagi,” balasnya dengan meraih tangan Arley yang ada di pinggangnya, menepuknya sebanyak beberapa kali sembari berujar, “Kamu terlalu kuat memelukku.” Maka Arley kemudian melonggarkan tangannya. Sebelah tangannya terurai pergi sedangkan tangannya yang lain
“Bukankah aku sudah bilang berhentilah berbicara seperti itu?” tegur Prims kemudian kembali memfokuskan diri untuk membuat dasi di leher Arley. Yang ditegur demikian hanya tersenyum saja, sibuk mengamati wajah Prims yang tak hentinya memerah sedari tadi.“Aku akan pulang cepat hari ini,” ujar Arley saat Prims selesai membentuk dasi untuknya.“Iya.”“Mau pergi ke suatu tempat?”“Ke mana?”“Ke manapun yang kamu inginkan. Ada banyak tempat yang bisa kamu pilih untuk dihabiskan berdua.”“Hm ...” Prims memiringkan kepalanya sekilas ke kiri, mempertimbangkan tawarannya. “Aku bingung memilih tempat yang bagus.”“Apakah tidak ada tempat yang sangat ingin kamu datangi?”“Sudah pernah semua jika itu denganmu,” jawabnya yang seketika membuat kedua alis lebat Arley berkerut.“Sudah pernah semua? Ke mana saja itu, Primrose?”“Bioskop, pameran, makan malam, bukankah semuanya sudah pernah kita datangi? Bagaimana kalau kita ... kencan di tempat yang lebih sederhana saja?”Mendengar kata ‘kencan’ dis
Prims memeluk seprai itu erat-erat. Dia pikir, dia harus mencucinya sebentar guna menghilangkan tanda kemerahan itu, agar tak sejelas sekarang.Ia menutup wajahnya dengan seprai yang ia peluk, malu karena Arley bisa saja menilainya sedang mencari perhatian atau bersikap sok polos padahal ia benar-benar tidak bermaksud seperti itu.Ia berlari pergi menuju ke kamar mandi, sebisanya menghilangkan yang tadi ia lihat dengan menggunakan sabun mandi.Beberapa lama di dalam sana, barulah ia keluar dan meletakkann seprai ke dalam keranjang pakaian kotor.Saat Prims memasuki kembali ruang ganti, ia mendengar dering ponselnya. Saat ia menghampirinya, sebuah nama menyeruak memanggilnya. Nama yang tentu saja tidak pernah terpikirkan di dalam benak Prims untuk bisa menghubunginya seperti ini.“Kita baru saja ssaja bertemu, apa maunya menghubungiku?” gumam Prims sendirian saat melihat itu adalah Aston yang memanggilnya.‘Baiklah, aku akan menjawabnya agar cepat selesai,’ batinnya yakin sebelum ia me